I-G:@deasta18
Carmen mengelus dada karena lega bisa kabur dari Selin dan Raymond. Setelah tenang, Carmen berjalan santai. Akan tetapi dia tetap mengelus dada, masih tak menyangka jika Raymond kencan dengan ibu tirinya sendiri. "Tanda-tanda akhir season," gumam Carmen pelan, "anak jalan dengan ibu tirinya. Ck ck ck …." Carmen geleng-geleng kepala sembari berdecak. Melihat sebuah toko permen, mata Carmen membulat lebar. Senyuman cerah langsung muncul di bibirnya. Dengan riang dan antusias, dia masuk ke toko itu. Sebenarnya Carmen terganggu melihat Selin dan Raymond di sini. Istri mana yang tak sakit hati melihat suaminya jalan dengan perempuan lain? Dan ini masih jam kerja, di mana seharusnya Raymond di kantor tetapi malah ada di mall dengan ibu tirinya. Apakah Raymond memiliki perasaan pada ibu tirinya sehingga dia menyempatkan diri menemani wanita itu jalan-jalan di mall? Namun, daripada larut dalam kesedihan, Carmen memilih tetap mengunakan akal sehat. Ini kesempatannya bisa lepas da
"Su-suami," gumam Carmen pelan, mirip seperti bisikan tetapi sepertinya sosok itu mendengarnya. Terbukti karena sosok itu langsung menoleh pada Carmen. "Ha-hai, Mas Kaizer," sapa Carmen gugup, mau tak mau dia terpaksa kembali berpura-pura manis demi keselamatan diri. Sedangkan Lennon, dia menghela napas pelan–menatap putra dan menantunya secara bergantian. Dia geleng-geleng kepala, tak habis pikir pada kedua makhluk ini. "Ayah kira kau datang karena apa. Ternyata … kau tahu Chestnut akan ke sini," ucap Lennon datar. Putranya mendadak datang ke sini dan saat ditanya datang karena apa, Raymond hanya diam. Sekarang Lennon tahu kenapa Raymond datang ke rumah ini. Raymond tak menanggapi ayahnya, memilih tetap menatap tajam pada istrinya. Sedangkan Carmen sudah panik setengah mati. Dia seketika teringat pada pria penguntit di toko permen. Ja-jangan-jangan itu Raymond?! Tapi pakaian suaminya dan pria itu berbeda. Raymond mengenakan tuxedo biru gelap, sedangkan pria tadi mengenakan
"Maafkan aku, Tuan Lennon," pinta Selin dengan suara pelan dan parau. Air matanya terus mengalir, punggungnya sangat sakit! Apa salahnya Selin berharap pada perlindungan Raymond tanpa peduli jika Raymond memperalatnya?! Lennon sangat kejam–mengurungnya di sini, dan tak ada yang bisa mengeluarkannya dari tempat ini. Kecuali Raymond! Hanya Raymond yang setara Lennon, dan hanya Raymond yang bisa melawan ayahnya. Dia tahu dia murahan karena menggoda Raymond dan menawarkan tubuhnya pada pria itu. Tapi salahkan dia ingin mengharapkan perlindungan dari pria mengerikan yang sedang mencambuknya ini?! "Maafkan aku …," rintih Selin lalu berakhir pingsan karena tidak kuat. Lennon langsung berhenti mencambuk Selin, dia menyerahkan cambuk pada Vior lalu menyuruh maid membawa Selin dari sana. "Tuan, kurasa anda terlalu kejam." Vior menatap iba pada Selin, lalu beralih menatap tuannya yang masih berbalut kemarahan. "Perlu! Agar Selin tidak berani mendekati Raymond lagi." Lennon berka
"Ini sudah malam. Kenapa dia bisa di sini dan … dia menangis?" monolog Carmen, memperhatikan Selin yang sedang menangis. Wanita itu duduk di sofa, tepat pada bagian tengah sofa. Tatapan mata Selin kosong, akan tetapi air matanya terus jatuh. "Jangan-jangan dia makhluk halus?" Carmen berniat mendekat tetapi mengingat ini sudah malam, Carmen cukup takut. Selin mirip sekali dengan cerita Teresia tentang hantu gentayangan. Rambut panjang, menangis dan tatapan kosong! "Ibu." Carmen memanggil salah satu maid yang kebetulan lewat dari sebelahnya. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya Ura?" Maid tersebut menunduk sebentar, lalu menatap Carmen dengan muka serius. Maid di sini dituntut untuk selalu serius, mereka dilarang dekat dengan majikan. Mereka harus tetap tahu posisi jika di rumah ini mereka hanya pekerja. Itu sebabnya semanis dan se humble apapun Carmen, mereka tidak berani mendekati. "Ibu bisa melihat perempuan itu nggak?" tanya Carmen pelan. Maid tersebut menoleh
"Sekalipun aku rela mati untuk Raymond, dia tidak akan jatuh cinta padaku," ucap Selin dengan suara gemetaran, masih ketakutan karena Lennon sudah datang ke rumah ini. Raymond tidak muncul dan dia tidak tahu harus berlindung pada siapa lagi. Carmen mengerjap berulang kali, ucapan Selin membuatnya merasa sangat aneh. Ya, aneh. Jika dia tahu Raymond tak akan jatuh cinta padanya walau dia rela mati demi pria itu, lalu kenapa Selin menempeli Raymond? Bahkan dia menawarkan tubuhnya untuk Raymond sentuh. "Hah …." Selin tiba-tiba menghela napas panjang. Dia menyandar pada pohon lalu satu tangannya memegang kening. Air matanya kembali jatuh dengan sangat deras, bibirnya bergetar–berusaha menahan isakan agar tak keluar dari mulutnya. Setelah lama diam, Selin tiba-tiba bersuara, "aku jahat. Aku perempuan rendahan. Aku … aku manusia hina dan kotor. Dan aku tahu itu!" ucap Selin lemah, "tapi aku terpaksa. Aku hanya putri angkat dari keluarga Tama–keluarga dari pihak nenek Raymond." Mata
Dari sana, orang-orang membenci Selin dan menganggapnya wanita licik. Saat berusia dua puluh tahun, Selin berniat kabur. Akan tetapi dia ketahuan oleh ayah angkatnya. Karena hal itu Selin dipukuli lalu dikurung di sebuah gudang. Ternyata dia tidak diperbolehkan kabur karena dia sudah dipersiapkan sebagai pion untuk membunuh Raymond. Keluarga Tama sangat iri pada Raymond karena Raymond mendapatkan semua kekayaan mereka. Setelah berusia dua puluh tujuh tahun, dia disiapkan untuk menikah dengan Raymond, tetapi gagal karena Lennon tiba-tiba mengaku tertarik padanya. Carmen juga menceritakan kehidupannya yang tak kalah pedih dari Selin. Dia anak kandung tetapi ditirikan oleh seluruh keluarganya, mereka lebih menyayangi kakak tiri Carmen. Dia juga mengaku kalau dia terpaksa menikah dengan Raymond. "Kamu punya banyak masalah hidup, ibu tirimu menguasai kekayaan keluargamu, kakak tirimu merampas kekasihmu, ayah mu pernah mengabaikan mu dan seluruh keluarga mu membencimu. Tapi kenapa k
"Cepat ke sini!" sentak Lennon, membentak Selin supaya segera mendekat padanya. Selin keluar dari balik punggung Raymond, berjalan dengan langkah pelan karena ketakutan. Kepalanya menunduk, tak berani menatap siapapun. "Bisakah kau tidak kasar pada wanitamu?!" tegur Raymond dengan nada ketus, menatap dingin pada Lennon. "Kenapa?" Lennon balik menatap tajam pada putranya, "di depan istrimu kau membela perempuan lain. Apa kau suka pada perempuan ini?!" "Cih." Raymond berdecis sinis, "jangan memancing! Mengenai kencan-- aku tidak kencan dengannya. Aku hanya …-" "Iya, Ayah. Mas Kaizer dan Mama mertua tiri tidak kencan kok. Mas Kaizer ingin membeli hadiah untukku. Jadi dia mengajak Mama mertua tiri karena Mama mertua tiri seorang perempuan dan bisa memilih hadiah yang cocok untukku," jawab Carmen cepat, memotong ucapan Raymond. Raymond menaikkan sebelah alis–menoleh pada istrinya, cukup terkejut karena Carmen membela Selin. "Jangan berbohong, Chestnut." Lennon memperinga
"Ha-hadir!" seru Carmen gugup. "Kemari," dingin Raymond dari tempatnya. Carmen buru-buru menghampiri Raymond, di mana setelah di depan pria itu, Raymond mencekal tangannya lalu menarik Carmen pergi dari sana. "Mas Raymond ingin membawaku ke mana?" tanya Carmen, menatap suaminya bingung. Ah, dia sempat mengira Raymond akan bergabung di dapur lalu menghajarnya habis-habisan seperti waktu itu. Ternyata, Raymond membawanya pergi dari sana. "Sebentar lagi, Talita akan bersekolah. Aku ingin kau menemaniku membeli peralatan sekolah Talita," jawab Raymond enteng–Carmen hanya menganggukkan kepala, memilih menuruti suaminya. Hingga setelah di parkiran, perasaan Carmen berubah tak enak–gelisah dan sedikit sakit ketika melihat Siran dan Talita ada di mobil Raymond. Bahkan keduanya sudah duduk di depan, di mana saat Siran melihat mereka, perempuan itu langsung menunjukkan senyuman anggun. Carmen yakin, itu sebuah senyuman mengejek. Raut muka Carmen berubah tak bersemangat. Tahapan
Lennon mengangkat pandangan, menatap putranya dengan tatapan kagum bercampur tak percaya. Yah, pria yang sering diteriaki iblis tak berhati itu adalah putranya. Dia orang yang sama dengan anak kecil yang melihat ayahnya membunuh ibunya yang sedang hamil besar. Dia anak yang tumbuh dengan kasih sayang yang sangat kurang, dan mental yang terluka. Namun, kenapa dalam hal ini, putranya terlihat seperti seseorang yang tumbuh tanpa luka?! Lennon tahu Raymond sangat ingin punya adik, dan dulu-- dia sangat menunggu kelahiran adiknya. Lennon juga tahu Raymond melindungi Talita karena gadis kecil itu adiknya. Hanya saja, Lennon tetap tak percaya bahwa putranya bisa melakukan hal ini; membuat adiknya percaya pada hari baik, menjaganya, dan menjamin kehidupan bagi adiknya. Lennon tak menyangka kalau Raymond sangat tulus pada Talita. Ketulusan anak itu sampai di titik-- membuat Talita lebih memilih kakaknya dibandingkan ibu ataupun ayahnya. "Kemari," panggil Raymond pelan pada Talita. Anak
"Kak Lemon," jawab Talita dengan nada takut bercampur gugup. Jawabannya tersebut membuat orang-orang menatap terkejut pada Talita, merasa aneh ataupun heran. Sebab, kenapa Talita malah memilih Raymond? Bukankah seharunya Talita memilih salah satu dari orang tuanya? Bukan Raymond. "Sayang, Tuan Raymond bukan pilihan," ucap Laudia lembut pada cucunya. Hanya pura-pura karena dia juga tak menyukai Talita, anak ini akan menjadi beban di keluarga Klopper. Yah, kecuali Siran menikah dengan Lennon, mungkin anak ini akan menjadi cucu kesayangannya. Talita melepas pelukan Siran dari tubuh kecilnya. Dia berdiri ditengah dengan tubuh kecil yang ketakutan. Talita menatap satu per satu orang-orang di sana, memperhatikan wajah mereka yang terlihat menakutkan bagi Talita. Meski masih kecil, tapi Talita tahu mereka semua tak menginginkan Talita. Tapi …-Talita menatap ke arah Raymond yang menampilkan air muka datar. Kemudian dia menatap ayah dan berakhir pada mamanya. "Talita tidak menyayangi Mam
"Tetapi Ayah tidak mau menikah dengan Mama, jadi kamu harus memilih salah satunya," ujar Siran lagi dengan nada sendu supaya mendapat simpati dari yang lainnya. Dia sengaja mengatakan hal itu, agar Talita memaksa Lennon untuk menikahinya. Secara ragu, Talita menatap ke arah Lennon, akan tetapi anak itu langsung menunduk takut karena melihat wajah marah ayahnya. Dia tidak berani! "Jadi Talita ingin bersama Ayah atau Mama?" tanya Siran kembali dengan nada rendah, sengaja membelai rambut Talita agar dia terlihat lembut dan menyayangi anak itu. "Bukankah dulu Kak Lennon tidak ingin Talita? Jadi biarkan saja Talita ikut dengan Siran. Toh, status Talita juga bukan anak sah keluarga Abraham," ucap Rihana dengan nada tegas, memberi tanggapan pada Lennon. Memang benar, Rihana ingin Lennon menikahi Siran, karena dengan begitu nama baik Lennon perlahan akan pudar. Selain itu, dia ingin balas dendam pada Selin. Sebab jika Lennon menikah dengan Siran, maka posisi Selin akan semakin rendah. Itu
"Aku hanya ingin anakku kembali padaku. Aku yang membesarkan Talita dengan segenap jiwa. Sedangkan kalian semua, dulu kalian ingin melenyapkannya kan?" ucap Siran dengan sedih, duduk di lantai sebagai hukuman dari ayahnya. Sebelumnya, dia mendapat tamparan di wajahnya dari Lennon. Itu sangat sakit! Untungnya ayahnya memohon supaya Lennon berhenti menamparnya. Mantan suami dan mertuanya juga datang ke sini. Mereka ingin mengetahui apa sebenarnya terjadi, dan seperti apa selanjutnya. Selain itu, mereka datang untuk menuntut Raymond pada Lennon karena Raymond menendang perut Harlen. Perut Harlen lebam dan sakit, dan itu perbuatan kejam Raymond. "Itu karena kami tidak tahu kalau anak yang kau kandung, itu anak Kak Lennon," ucap Rihana dengan nada lembut, tetapi terkesan menyindir–seperti menggiring orang-orang supaya berpikir kalau Lennon adalah pria bejad. Padahal semua sudah tahu jika Lennon adalah korban kelicikan Siran. Lennon dijebak oleh wanita menjijikan ini! "Apa mak
Carmen langsung melebarkan senyuman pada Raymond, melambaikan tangan pada suaminya tersebut. Namun, dia tetap berdiri di kaku di tempatnya. Faktanya, bukan hanya chef lain yang takut Raymond di sini. Carmen juga sangat takut karena dia yang akan menjadi bulan-bulanan suaminya di sini. Melihat Vincen tak jauh darinya, Carmen mendekati pria itu lalu berbisik padanya. "Kepala Chef yang memanggilnya ke sini yah?" bisik Carmen pelan. "Menjauh, Carmen. Saya dalam masalah besar," balas Vincen, sudah berkeringat dingin sambil menatap panik pada Raymond. Tiba-tiba Carmen mendekatinya dan Raymond yang ada di depan sana langsung melayangkan tatapan membunuh padanya. "Makanya jawab, Kepala Chef." Carmen berbisik lagi. Vincen menganggukkan kepala. "Saya takut Tuan Harlen melukaimu, Carmen. Oleh sebab itu saya menghubungi Tuan Raymond.""Hehehe … terimakasih, Kepala Chef. Kamu membuat kita semua dalam bahaya," cengenges Carmen, menatap tertekan pada Vincen. Astaga! Kenapa atasannya ini harus
"Hah?" Carmen melongo kaget mendengar penuturan Harlen. Menurut Carmen, pria ini sangat tidak sopan dan keterlaluan karena membahas hal seperti itu pada Carmen. Pertama, mereka tak sedekat itu dan yang kedua, apa hak nya membongkar masalah 'itu seseorang? 'Kupikir Abraham paling tak sopan itu Mas Kaizer, ternyata masih ada Fir'aun satu ini.' batin Carmen, menatap malu bercampur meringis mendengar ucapan Harlen barusan. Namun, Carmen mencoba tenang dan tak terpancing kemarahan. "Yah, suamimu seorang hyper. Dan suatu saat, setelah kau tidak bisa memuaskannya lagi, kau akan dicampakkan. Lebih baik sekarang minta cerai lah padanya, Carmen, sebelum kau dicampakkan," lanjut Harlen, menyunggingkan smirk tipis karena merasa Carmen terhasut oleh ucapannya. Lihatlah! Raut muka Carmen seperti menahan jijik. Tentu saja! Perempuan baik-baik seperti Carmen akan sangat menghindari pria hyper. Karena itu dianggap tidak benar. "Sok tahu! Orang Mas Kaizer tank kok," ucap Carmen tiba-tiba. R
"Pipiku sudah tidak apa-apa, Mas," ucap Carmen, di mana saat ini dia dan suaminya telah di rumah mereka. Raymond tengah mengompres pipinya, padahal sebelumnya pria ini juga sudah mengobatinya. "Syuttt." Raymond memberi isyarat supaya Carmen diam, "pipimu merah karena wanita gila itu. Apa masih sakit, Sweetheart?" tanya Raymond kemudian, menyentuh pipi istrinya dengan lembut pada pelan. Dia sangat berhati-hati karena takut menyakiti istrinya. Carmen menggelengkan kepala. "Ini tidak sakit, Mas. Percaya deh padaku," ucapnya pelan, berusaha meyakinkan suaminya yang terlihat masih sangat khawatir. "Seharusnya aku tidak membawamu ke sana." Raymond menarik Carmen dalam pelukannya, mendekap istrinya secara hangat, "maaf," lanjutnya. "Ti-tidak perlu meminta maaf, Mas Kaizer," cicit Carmen, merasa tak enak pada Raymond. Suaminya tidak salah sama sekali dan Carmen juga tak punya pikiran untuk menyalahkan Raymond. Malah, dia sangat senang! Karena ketika dia mendapat masalah di keluarga
"Mama, ada Ayah," ucap Carmen, setelah membawa Lennon masuk dalam kamar tersebut. Selin mendongak, memasang wajah kaget bercampur gugup. Matanya membulat, menatap panik bercampur malu pada Lennon. Sedangkan pria itu, terlihat memasang muka datar. Sehingga Selin sulit menebak apa yang pria pikirkan. "Oh." Selin buru-buru duduk, membungkuk pada suaminya untuk memberi hormat, "a-ada apa Tuan? Kenapa anda datang ke sini? Apa Tuan butuh sesuatu?" tanya Selin dengan bahasa yang begitu formal. Carmen menggaruk pipi, memperhatikan mertuanya yang berbicara sangat formal. Dia ingin mengatakan aneh, tetapi bukankah dulu dia juga berbicara formal pada Raymond?! "Tidak ada." Lennon menjawab santai, berjalan ke kasur lalu duduk di pinggir. Dia menepuk tempat di sebelahnya, isyarat supaya Selin duduk di sana. Selin menurut, mendekat pada suaminya lalu duduk di sebelah Lennon. "Apa Tuan ingin membicarakan sesuatu?" tanya Selin kembali. "Humm." Lennon berdehem singkat, dia menoleh sejenak
"Chestnut, Ayah tidak …-" "Cukup tahu, Ayah!" ucap Carmen dengan nada ketus, meraih pergelangan Selin lalu menariknya supaya pergi dari sana. "Ayo, Mama, kita pergi dari sini. Aku akan membantu Mama mengemasi barang, Mama minggat dari rumah ini supaya Ayah senang. Aku juga akan membantu Mama mengurus surat perceraian dengan Ayah," ucap Carmen dengan nada lantang, bergegas masuk sambil menarik paksa Selin. Raymond menghadang saat di pintu, dia berniat marah karena Carmen kabur. Namun, mengejutkannya, Carmen mendorongnya cukup kuat lalu menyenggol lengan Raymond secara sengaja–saat dia melewati Raymond. "Damn!" umpat Raymond pelan, berkacak pinggang sambil memperhatikan punggung istrinya yang kian menjauh. Kening Raymond mengerut karena bingung. Apa dia melakukan kesalahan? Di sisi lain, Lennon terdiam dan membeku mendengar ucapan Carmen tadi. Hell! Kenapa anak kecil dengan cengiran manis itu mendadak menyeramkan?! 'Mama minggat dari rumah ini supaya Ayah senang. Aku ju