"Kar, satu Garuda juga udah tau ya pas kak Shaka cegat motor lo waktu di parkiran kemarin. Apalagi ada yang sempet moto mata lo yang merah waktu itu. Akun gosip sekolah semuanya isinya tentang lo sama kak Shaka." Sekar cemberut. Kenapa murid-murid Garuda ini suka sekali mengurusi masalah orang lain. "Kar, jadi lo nangis di taman itu karena kak Shaka? Dia ngapain lo?" Tanya Bella. Sekar menghela nafas panjang. "Bukan apa-apa, kok. Lo gak perlu khawatir." Bella mengerucutkan bibirnya. "Pokoknya kalo ada apa-apa lo harus cerita, ya. Bella siap jadi pendengar yang baik." "Iya iya, bawel." Sekar terkekeh sebelum kemudian menutup sambungan telepon mereka. Shaka yang diam-diam menempelkan telinga di depan pintu kamar Bella menghela nafas berat dan meninggalkan kamar bella dengan lunglai. Sekar meletakkan kembali ponselnya ke atas meja dan panggilan masuk dari kontak lain datang. Sekar mendengus membaca nama yang muncul di layar. "Kok gak diangkat, lagi? Cowok lo, ya?" Bintan
Sekar merasakan punggung Kayden semakin bergetar. Akhirnya gadis itu tak bisa menahan diri. Dia ikut menangis bersama Kayden. "Bang Kay masih punya Sekar." Katanya bergetar. "Jangan pernah tinggalin gue, Kar." Bisik Kayden. Dia memeluk Sekar lebih erat. "Sekar gak akan pernah ninggalin abang." Sekar menggigit bagian dalam bibirnya. Air matanya jatuh semakin deras. "Gue butuh lo. Tolong jangan tinggalin gue juga. Cuma lo yang gue punya sekarang." Sekar mengangguk kuat-kuat. "Pasti. Sekar akan terus ada buat abang. Sekar gak akan ninggalin abang." Rendi memperhatikan mereka dari balik tembok. Hatinya bergetar menyaksikan bagaimana rapuhnya anak majikannya. Melihat mereka membuat Rendi terbayang dengan anak-anaknya di rumah. Laki-laki itu mengusap sudut matanya dengan punggung tangannya °°°°° "Tuan," Rendi membungkuk hormat setelah memasuki ruangan Dimas. Dia menyerahkan berkas rekam medis Farah di tangannya. Satu jam setelah Kayden dan Sekar meninggalkan rumah sakit, Rendi
"Kar," Bella menepuk bahu Sekar yang sedang menelungkupkan wajahnya ke atas meja. "Ngapa, Bell?" tanya Sekar. Gadis itu mengangkat kepalanya sambil menguap. "Kantin yuk!" Ucap Bella. Dia menggoyang tangan Sekar. Barusan Shaka mengiriminya chat agar mengajak Sekar ke kantin. Sekar menggelengkan kepalanya. "Lo sendiri aja gapapa, ya. Gue masih ngantuk." Sekar menguap lagi. Pura-pura. Sebenarnya dia tidak ingin ke kantin karena merasa tidak nyaman dengan tatapan para murid yang tertuju padanya. Seperti tadi pagi saat dia baru datang. Dan yang utama, Sekar malas ke kantin karena tidak ingin melihat Shaka. Bella menghela nafas. "Yaudah lo mau nitip apa, nanti gue beliin." "Gak usah. Gue udah bawa bekal roti, kok." Sekar menepuk tasnya yang sedikit menggembung. Akhirnya Bella ke kantin sendirian. Dia duduk di meja yang sama dengan Shaka dan teman-temannya. "Dia gak masuk, ya?" tanya Shaka begitu Bella duduk. Bella menggeleng, "Masuk. Tapi Sekarnya gak mau ke kantin. Katanya ngant
Dewo sebenarnya tidak puas dengan jumlah segitu tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Apalagi Sekar sudah bawa-bawa Omanya. "Omong-omong kakakmu bulan depan ulang tahun. Ada koleksi perhiasan keluaran baru kalau kamu mau kasih kado." "Hmm" Sekar mengangguk lemah. Adalah sebuah keharusan untuk Sekar melakukannya. Sekar melihat perban yang membalut tangan Dewo. "T-tangan ayah kenapa?" tanyanya. Dewo berdecak. "Ketumpahan kopi sama OB di kantor." Jawabnya. Dewo tak berlama-lama lagi. Setelah menyampaikan keperluannya, dia meninggalkan Sekar tanpa menyentuh kopi yang dipesankan Sekar. Sekar menatap punggung ayahnya yang semakin mengecil dengan tatapan sendu. "Sekar ulang tahun bulan kemarin, jangankan nyiapin kado. Ayah ingat aja Sekar gak yakin." *** "Loh, balik lagi?" Sekar menatap Kayden sinis. Tidak ada larangan untuk menjenguk pasien lebih dari satu kali. Kenapa pula Kayden repot-repot mengurusinya. "Calon imamkuh," Sekar tak meladeni Kayden lagi, tapi langsung menubruk John yan
"Gue ke kelas lagi aja deh." Sekar melengos. "Ih becanda, Sekar." Bella merengek. Dia memegangi tangan Sekar agar tidak benar-benar meninggalkannya. "Duduk di situ aja." Sekar menunjuk kursi yang letaknya paling jauh dari Shaka. Bella mengangguk. Dia mengikuti Sekar berjalan ke sana. "Tapi kata anak-anak lo udah baikan sama kak Shaka." Bella berbisik lagi. "Mana ada!" Sekar ngegas. "Katanya tadi pagi Kak Shaka nyamperin lo ke kelas. Dia senyum-senyum habis dari sana." Bella bertanya lagi. "Dia senyum bukan berarti ada sangkut-pautnya sama gue." Sekar mendengus sebal. Apalagi menyadari hampir seluruh pasang mata di sana memperhatikan ke arahnya dan Shaka bergantian. Dia merasa murid di Garuda ini tidak ada kerjaan sampai mengurusi kehidupan orang lain. "Ternyata belum baikan, ya?" Bella meluruhkan pundak. Padahal dia sudah sangat berharap mereka benar-benar berbaikan. "Jangan bahas dia lagi ah." Sekar berdecak. Matanya berkilat dingin. Tanpa Sekar sadari, sejak gadis itu memasu
Gio mengangguk. "Gue selalu bawa kotak itu kemana pun satu bulan ini. Jaga-jaga kalau gak sengaja ketemu lo. Suka, kan?" Sekar mengangguk. Dia menjulurkan tangan kanannya. Gio membantu Sekar mengenakannya. "Sebenarnya gue bikin dua lagi, buat Kayden juga. Tapi dia gak mungkin mau nerima sekarang." Tak lupa Gio menunjuk gelang dengan model yang sama yang melingkar di tangannya sendiri. Sekar terdiam. Dia juga tidak bisa apa-apa. Padahal dulu mereka tidak terpisahkan sampai banyak yang mengira mereka kembar tiga. Tapi sekarang.... Sekar berdehem. Dia tidak ingin mengingat masa lalu. "Bang Kay ngapain aja pas nyerang lo?" Tanyanya kemudian. Gio cemberut. Mukanya sudah sehancur ini, apa masih harus bertanya lagi. "Hobi banget lo bikin orang kesel." Gio menarik pipi chubby Sekar. "Ya emang salah lo, ya." Sekar menjauhkan tangan Gio. Dia merebut telur gulung di tangan Gio. Miliknya sudah habis duluan. Sebenarnya masih ada tiga bungkus siomay dan bakso bakar, tapi Sekar rencananya ingi
Sekar bertepuk tangan saat mendapati tidak hanya tiga, tapi lima batang cokelat begitu dia memeriksa laci. Matanya berbinar-binar. "Woahh. Ada lima!" Shaka yang diam-diam mengintipnya terkekeh gemas. Sekarang dia percaya dengan yang dibocorkan Bella bahwa Sekar memang pecinta makan. Shaka meninggalkan kelas Sekar dengan hati yang berbunga-bunga. Dia tersenyum sepanjang jalan. Langkahnya terasa ringan. °°° "Udah berapa kali gue peringatin lo buat jauhin Shaka gue!" Sekar membuang pandangan. Dia sedang makan cokelat manis dari Shaka tadi pagi tapi rasa manisnya langsung hilang karena kemunculan Evelyn. "Gue lagi ngomong sama lo!" Evelyn menggeram karena Sekar tak mendengarkan. Kakinya menghentak kesal. Sekar memutar matanya. "Gue gak tertarik sama dia!" Evelyn menyipitkan mata sambil mencondongkan tubuhnya. "Lo ngomongin apa sama Shaka tadi pagi di gerbang sampai bisik-bisik?" Sekar terkekeh. "Lo penasaran?" Sekar kemudian mendekatkan wajahnya, "tanya aja sama Shaka lo itu." Eve
Dimas tersenyum sinis. "Sudah selesai?" tanyanya. Sekar segera mundur. Dia memonyongkan bibirnya karena diabaikan. Tadi saja sok suci menegur dia. Sekar mengepalkan tangannya. Jika bukan orang tua pasti orang itu sudah Sekar tonjok. Dimas memperhatikan Sekar yang mulai mengendarai motornya. Pandangannya rumit. Dia sebenarnya sudah lupa siapa nama gadis itu. Dimas ingat anak itu suka mengintili Kayden sejak anak itu duduk di kelas tiga SD. Dimas jarang pulang ke rumah, tapi saat dia pulang dia akan selalu melihatnya dan Gio di sekeliling Kayden. Sampai saat masuk SMA Kayden memilih tinggal di apartemen, Dimas tidak pernah lagi melihat gadis itu. Dia hanya tau dari Rendi bahwa Kayden sering mengunjungi Farah bersama gadis itu. Dia tidak tau Kayden ada hubungan apa dengannya. Dia juga sebenarnya tidak begitu peduli. Yang dia pedulikan di dunia ini hanya Farahnya seorang. °°° "Hai, babu-babuku." Sekar memasuki Rumah Sendiri dengan bertingkah seperti berjalan di atas red carpet. Tanga
Dimas terkekeh dan menyingkirkan telunjuk Dewo yang menunjuk ke arahnya. "Jangan bilang kau juga tidak tau bahwa Sekar ke Paris dua bulan yang lalu." Mata Dewo berkilat kaget sekilas. Setelahnya dia berusaha terlihat normal. Tapi Dimas menyadari reaksi awalnya. Pria itu tersenyum sinis. Dia membuka galeri di ponselnya dengan menunjukkan rekaman singkat seorang gadis yang nampak mengerucutkan bibirnya. "Ayah Dimas." Ucap gadis dalam video. Mata Kayden dan Gio berkilat mendengar suara itu. Dan mereka bisa membayangkan wajah masam Sekar yang melakukannya di bawah paksaan orang lain. Dimas menjauhkan ponselnya saat tangan Dewo ingin menjangkaunya. Dewo naik pitam melihatnya. "Kau tidak bisa memaksa anak gadis orang lain untuk memanggilmu ayah." "Kenapa tidak bisa! Lagipula dia terlihat senang-senang saja, tidak ada ketegangan. Asal kau tau saat itu dia sedang meminta ditraktir makan di restoran favoritnya, padahal sepanjang jalan dia sudah memalakku untuk membayar semua street food
"Kar~" Suara Kayden parau. Dia langsung memeluk Sekar erat-erat. Gio ikut memeluk kedua orang itu. "Lo harus secepatnya ingat gue, Kar. Gue sama Gio nunggu lo. Kita selalu nunggu lo." Kayden menepuk-nepuk pucuk kepala Sekar. Dia tidak peduli lagi meski pandangannya sudah kabur karena air mata. Gio ikut mengusap bahu Sekar. "Lo harus sehat-sehat di sana. Harus pinter jaga diri. Gak ada gue sama Kayden lagi yang bisa jagain lo." Gio mengusap air matanya. Sekar menatap dua orang itu yang sama sama menangis. Hati Sekar campur aduk. Matanya ikut panas dan akhirnya menjatuhkan bulir-bulir bening. "Cepat pulang. Abang-abang lo nunggu di sini." Kayden mengusap air mata di wajah Sekar dengan hati-hati. Dia lalu mengecup kening gadis itu. Juga dua kelopak matanya. "Gue selalu nunggu lo di sini. Baik-baik di sana, ya~" pintanya. Sekar mengangguk tanpa sadar. Hatiny
"Karena abang pencopet." Sekar menampakkan raut kagetnya. Petra mengusap lagi air matanya. "Karena bang Pepet udah mencopet hati Sekar." Petra berusaha tersenyum. Sekar ikut tersenyum. "Bang Pepet lucu." Petra menganggukkan kepalanya. Tangisnya semakin hebat. "Kalo aku kamu ingat? Pokoknya harus ingat." Sean maju. Belum apa-apa matanya sudah berembun. "Bang Sean, kan?" Sekar tersenyum. "Gak pakai abang. Kamu biasanya manggil aku Sean aja. Gak ada abangnya." Sean mengusap air matanya. Sekar mengernyit. "Bang Sean kan seumuran bang Kayden? Kenapa Sekar gak panggil abang kayak yang lain?" Sekar menoleh pada Kayden yang dari tadi hanya diam. Mata pemuda itu paling sembab. "Bang Kayden," panggil Sekar karena Kayden hanya diam saja. "Kita semua bahkan gatau k
"Besok saya ingin membawa Sekar pulang berobat di Paris." "Om?" Shaka membeku. Dia takut salah mendengar sebelumnya. "Shaka gak salah denger, kan, om? Om gak mungkin mau bawa Sekar ke Paris, kan?" Keheningan di seberang sana sudah menjawab pertanyaan Shaka. Pemuda itu tanpa sadar mundur selangkah. Dia memegangi tembok di sebelahnya. "Om, Shaka yakin Sekar masih bisa disembuhkan di Indonesia. Shaka akan cari rumah sakit yang lebih baik lagi. Dokter yang lebih hebat lagi. Sekar tidak harus dibawa ke Paris, om. Lagipula Sekar baru siuman, om." Louis menghela nafas berat. "Shaka, dengarkan saya. Saya melakukan ini demi kebaikan Sekar. Saya tau pengobatan di Indonesia juga baik. Banyak rumah sakit maju dan dokter yang ahli di bidangnya. Tapi ini sudah dua minggu sejak Sekar siuman. Kesehatannya tidak memiliki banyak kemajuan." Shaka terdiam. Dia ingin menyangkal kata-kata Louis tapi tidak ada suara yang terucap. Dia juga terbayang saat Sekar merintih kesakitan merasakan semua luka
"Kagak ada nanti. Gue gak izinin lo nemuin Sekar sampai kapan pun!" Kayden memotong ucapan John. Kakinya kembali hendak menerjang ke depan. "Kay! Kay!" John berdiri di depan Kayden untuk menghalangi. Dia memegangi bahu Kayden dan memaksa pemuda itu untuk memasuki ruang rawat Sekar bersamanya. Gio memandang pintu ruang rawat Sekar yang sudah tertutup dari dalam. Pemuda itu lalu berjalan mendekati Bagas. Matanya menatap dari pucuk kepala hingga ujung kaki Bagas. Sudah berapa tahun mereka tidak bertemu. Jika bukan karena suara Bagas yang tidak berubah, Gio tidak akan mengenali wajah di balik cambang tebal itu. "Lo sebaiknya pulang, bang. Kayden gak akan ngizinin lo liat Sekar buat sekarang. Cowok itu keras kepala." "Gue tau semua ini terjadi karena gue. Gue nyesel, Yo." "Lo ninggalin banyak masalah buat kita semua di Indo, bang." Gio tersenyum miris. "Gue dan yang lain gak pernah berenti nyari lo selama ini, tapi semuanya sia-sia. Lo gak bisa ditemuin di manapun. Lo emang niat ba
Oda mengangguk. "Saya juga tidak berniat melepaskan bajin-gan itu begitu saja dan menyerahkannya ke polisi. Masalahnya Shaka sudah menyerang tempat persembunyian mereka sendirian dan hampir membakar seluruh bagian rumah itu dan telah menarik perhatian warga sekitar. Orang-orangku juga mengatakan Daniel beserta anak buahnya sudah tidak terlihat di sana. Mereka pasti sudah kabur duluan saat mengetahui Sekar tertabrak. Sekarang polisi sudah terlanjur tau." "Masalah itu biar nanti Kayden yang ke kantor polisi. Kita pasti bisa nemuin Daniel, bang. Sean sama yang lain udah turun nyari mereka. Beberapa geng motor lain yang deket sama Fonza juga ikut turun tangan." "Gue juga udah nyuruh Jovi sama anak-anak buat ikut nyari keberadaan Daniel, Kay." Gio yang sedari awal diam juga ikut bersuara. Kayden memperhatikan wajah Gio yang sembab dan mengangguk. "Thanks." Katanya pelan. "Tapi saya sangsi keberadaan orang itu mudah ditemukan.
"Woy jangan kabur!"Kedua gadis itu sontak menoleh ke belakang dan melihat belasan orang mengejar mereka dari jarak agak jauh.Sekar melotot ngeri. Dia mengepalkan tangannya dan mempercepat larinya. "Kabur, Len!" Gadis itu menoleh pada Evelyn. "Lo masih sanggup, gak? Atau gue gendong aja?"Evelyn menggeleng tegas. Gadis itu menggigit bagian dalam bibirnya. Keringatnya sebesar biji jagung setiap dia menggerakkan kakinya.Sekar mengencangkan kepalan tangannya. Daniel. Awas saja. Besok dia luluh lantakkan orang itu bersama pengikutnya."Argh!" Evelyn berteriak saat tubuhnya terhuyung ke depan dan lututnya segera bergesekan dengan aspal jalanan. Dia merasakan kulitnya terkelupas dan terasa panas membakar. "Ilen!" Sekar yang sudah berjarak jauh di depannya segera menoleh mendengar teriakan Evelyn. Matanya melotot panik dan segera berlari hendak menghampiri Evelyn."Jangan." Evelyn menggelengkan kepala. Matanya berembun. "Jan
"Lo beneran bego." Sekar menaikkan sudut bibirnya melihat seseorang yang juga terborgol di seberangnya. Gadis itu meringkuk. Meski kondisi ruangan mereka disekap remang-remang tapi Sekar dapat melihat wajah gadis itu yang lebam-lebam. Terdapat bulatan besar berwarna kehitaman di mata kirinya. Entah siapa yang sudah melayangkan kepalan tangannya."Shh..." Gadis itu meringis saat membuka mulutnya."Mulut lo robek. Mending diem kata gue mah." Sekar terkekeh dan melanjutkan ucapannya. "Tapi gue penasaran, mata lo ditonjok siapa? Anjir GG banget pukulannya. Jangan bilang cowok lo si Brian?"Evelyn menggertakkan giginya. Matanya melirik tajam Sekar. "Berisik. Mending lo pingsan aja kayak tadi.""Gue bangun karena tiba-tiba lapar. Tau gak, pas lo nelpon tadi posisi gue lagi nunggu pesenan makanan gue. Demi nyelametin kakak yang akhirnya mau nerima gue makanya gue langsung ke sini jemput lo, taunya kena prank." Sekar terkekeh. Kebetulan perutnya keroncong
"Mau ke mana kamu, kak?" Shaka terlonjak kaget saat ruang tengah yang awalnya gelap menjadi terang benderang. Di belakangnya Ratna muncul dengan tangan bertengger di pinggang. "M-mama." Shaka menarik tangannya menyembunyikan sepatu yang ditentengnya di belakang tubuhnya. "Kamu mau ke mana lagi jam satu malam begini! Bentar lagi ujian, bukannya belajar di rumah." Mata Ratna tertuju pada tangan Shaka yang bersembunyi di belakang tubuhnya. "Kakak harus keluar, ma. Penting." Shaka memberikan tatapan memohon. "Udah larut malam, kak. Bahaya. Sekarang begal lagi marak. Lagian bisa tunggu besok pagi aja, kan." Ratna menatap gemas sekaligus kesal. "Mending balik ke kamarmu. Mama gak kasih izin kamu pergi sekarang. "Ma," Shaka menggelengkan kepalanya. "Kakak baru aja dapat kabar kalo Sekar diculik. Kakak mau bantu cari Sekar." "Lagi-lagi perempuan matre itu lagi?" Ratna menyugar rambutnya