Sekar cepat menyambar. "Mana ada. Gak boleh kan bang Oda ngajak cowok ke apart?" Oda mengangguk kemudian memandang Kayden di sampingnya. "Kamu ini curigaan sekali." Dia kemudian mengalihkan tatapannya pada Sekar. "Tadi abang cuma becanda. Kamu boleh kok tidur di apart. Harus dipertahanin rajin belajarnya, ya. Jangan pas mau ujian aja." Sekar menggertakkan giginya dan mengangguk sungguh-sungguh. "Maafin Sekar ya Allah, Sekar udah bohongin abang-abang Sekar." Sekar bergumam tanpa suara. Dia melanjutkan langkahnya menuju kamarnya. "Kamu ini kenapa suka sekali mencurigai Sekar. Nanti yang aslinya tidak ada niatan menjadi ada karena kamu." Oda berucap setelah Sekar tidak terlihat lagi. Kayden terkekeh dan menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kali aja dia beneran berani nyelundupin cowok ke apart. Tapi bang Oda tau ga," Kayden mencondongkan tubuhnya dan memelankan suaranya. "Semingguan ini Kayden kira ada ya
"Kak An?" Bella memanggil lagi. "Kamu salah. Cowok itu masih di belakang kita. Kayaknya dia emang lagi ngikutin kita." Anna mengencangkan pegangan tangannya. Punggungnya jadi semakin lurus. Apalagi saat motor pengendara itu sudah beriringan di sampingnya dan menggerakkan dagu isyarat untuk Anna dan Bella mengikutinya. Motor itu berbelok di depan sebuah kafe. "Kak," Bella pucat saat melihat Anna ikut berbelok mengikuti pengendara itu. "Gak ada cara lain. Pengendara itu jelas emang udah ngincer kita." Ucap Anna. Dia merasakan telapak tangannya berkeringat. "Siap-siap telpon Kayden atau Shaka. Kalau misalnya terjadi apa-apa, lo masih sanggup lari, kan?" Tanya Anna berbisik. Bella mengangguk. Raut wajahnya tegang. Dia melepaskan helmnya mengikuti Anna. Tangannya sedikit bergetar. Dengan bergandengan mereka menghampiri pengendara itu yang masih duduk di atas motornya. Dari balik helmnya, Kayden tersenyum geli meli
Jauh di seberang sana, Sekar sedang membantu mengganti perban untuk Gio bersama seorang perawat. Sekar sendiri yang menawarkan diri. "Aw aw. Pelan-pelan," Gio meringis. "Sus, suster barunya gak becus nih, bintang satu. Enakan juga sama sus Mia." Gio mengedipkan mata. Suster yang berdiri di samping Sekar tersipu malu. Sementara Sekar mencubit pinggang Gio. "Heh masih sakit aja udah gatel. Suntik gila aja, kak Mia." "Iya, biar saya makin tergila-gila sama sus Mia." Gio mengedipkan matanya lagi. Detik berikutnya dia melolong keras karena Sekar lagi-lagi mencubit pinggangnya. Kali ini disertai putaran. "Ganas banget, sih." Gio mengusap-usap area pinggangnya. Sekar terkekeh dan melanjutkan membersihkan luka Gio. "Dah mulai kering~" Sekar tersenyum lega. "Kar, hapemu loh dari tadi bunyi terus." Jovial yang duduk di sofa menunjuk tas ransel Sekar di atas meja. "Hah?
"A-apa isinya?" Sari merasa panik. Jangan-jangan rahasianya terbongkar. Tapi tidak mungkin. Laki-laki itu sudah meninggalkan Jakarta sejak dua hari lalu. "Tanya saja orang itu. Nanti juga Anda akan tau setelahnya." Kayden tersenyum sinis pada Sari. "Oh ya, maaf tidak bisa mampir. Saya alergi menginjak rumah sepasang penipu." Kayden melambaikan tangannya. Dia berjalan menuju motornya mengabaikan segala umpatan Sari. Perasaannya sungguh puas setelah menyerahkan barang titipan Oda itu. Minusnya hanya pada secarik kertas itu yang diganti Oda di detik-detik terakhir. Kayden menepuk kantong celananya yang lain yang berisi kertas yang asli. Kayden menghela nafas. Biarlah dulu. Sekarang saatnya mengurusi adiknya yang nakal. Sementara itu Dewo mengernyitkan dahi sambil memperhatikan motor Kayden yang mulai meninggalkan halaman rumahnya. Sari di sampingnya menutup telinga karena suara knalpot Kayden yang sengaja digeber-geber.
Sekar melirik Kayden di sebelah Oda. Tatapan mereka bertemu. Detik berikutnya Kayden membuang muka. "Udah lama?" Tanya Oda lagi. "Sekar baru kok pulang." Sekar mengintip Kayden lagi. Pemuda itu sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. Atau pura-pura sibuk. "Itu kemoceng buat apa? Bukannya kamu musuhan." Oda terkekeh sambil mengusap rambut Sekar. Sekar menghela nafas berat. Dia lalu memandang Kayden. "B-bang Kay, Sekar-" "Kayden ke atas dulu, bang. Capek." Kayden memotong ucapan Sekar. Dia bangkit berdiri dan melewati Sekar begitu saja. Sekar menggigit bibirnya. Dia menatap punggung Kayden yang semakin menjauh. Oda menggeleng lucu. "Jadi kemocengnya kamu siapin buat minta hukuman dari Kayden? Kamu habis bikin salah apa memangnya?" "Kamu pacaran lagi sama pemuda itu?" Tebak Oda. Sekar melototkan matanya. Dia menggeleng keras-keras. Sudah dua kali dia d
Sekar mengerucutkan bibirnya. Hilang sudah semua rasa bersalahnya. Dia mencondongkan tubuhnya kemudian mencubit pinggang Kayden dengan keras hingga cowok itu melolong. "Ngapa sih, Kar? Sakit tau pinggang gue." Kayden mengusap-usap area pinggangnya. "Bang Kay tuh drama. Orang cuma salah ketemu Gio diam-diam yang dibahas sampai gak pantes bahagia di dunia lah." Sekar mencibir dan memutar bola matanya. Sudut bibir Kayden terangkat. Dia menjulurkan tangannya dan meraih cangkir susu di atas meja. Sekar mencibir. "Kirain mau ambil rokok." Kayden terkekeh. "Kagak lah. Masih pait lidah gue. Gilak. Kagak enak begitu tapi lu pada malah doyan." Sekar terkekeh. "Sini Sekar bantu habisin." Matanya berkilat memandang sebungkus rokok di atas meja. Namun sebelum tangannya berhasil, seseorang sudah mendahuluinya. Kayden memasukkan bungkus rokoknya ke dalam saku celana. Sekar mengerucutkan bibirny
Kemarin setelah pengampunan Kayden dan penyelesaian hukuman kemoceng, melihat wajah Kayden yang masih masam, Sekar dengan kesadaran diri menyerahkan ponselnya sebagai barang sitaan. Kayden sudah berjanji untuk mengembalikannya pagi ini. Kayden meringis. "Beneran lupa gimana. Lagian gue tebak juga hapenya pasti mati. Baterenya udah merah, kan, kemaren?" Sekar memicingkan matanya. "Ya, terus gak abang cas-in?" "Ya orang hapelu ngapain gue yang repot ngecasin." Kayden terkekeh. Dia lalu mematikan layar ponselnya dan menyerahkannya pada Sekar. "Pakai punya abang dulu. Maaf ya~" Sekar terpaksa menerimanya. Tapi matanya menatap Kayden dengan tidak ramah. Kayden terkekeh. Dia kemudian mengacak puncak kepala Sekar. "Tunggu di sini. Gue panggilin John buat anter lu." *** "Kar~" Anna yang duduk paling dekat dengan
Mata Sekar berkedut-kedut. "Iko bang-sat." Katanya. Tangannya meraih botol air mineral yang tinggal setengah dan melemparkannya ke muka Ricko. "Ganas banget, sih." Ricko mengusap-usap sebelah pipinya yang kemerahan. Dia menatap Gio dengan nelangsa. Gio terkekeh. "Lu sendiri yang nyari masalah." Katanya. Dia kemudian mengambil ponsel di tangan Ricko dan memperbesar foto dua perempuan yang sedang berangkulan di layar. Matanya memicing hingga tinggal segaris. "Lo kenal gak?" Musthofa ikut mendekati ranjang Gio. "Kita dapat setelah mulihin email dia. Dapat dipastiin satu di antara dua orang itu adalah yang minta tante lo buat fitnah lo. Mereka mulai sering bertukar pesan sebulan sebelum kejadian." "Kenapa ada dua orang di foto?" Gio menolehkan kepalanya pada Musthofa. "Kemungkinan tante lo udah saling kenal se
"Masuk!" Kata suara dari dalam. Sekar berdecih dalam hati. Matanya berkilat jijik mendengar suara Brian itu. Dia berjalan santai setelah seorang pemuda membukakan pintu. Begitu masuk mata Sekar langsung melotot melihat sosok di depannya. Matanya berkilat ngeri sesaat. Dia berbalik dan ingin keluar dari ruangan itu tapi seseorang sudah terlebih dahulu menutup pintu dan menguncinya dari luar. Seseorang yang duduk di balik meja menaikkan sudut bibirnya. Dia berjalan menghampiri Sekar. Sekar meneguk ludahnya. Kakinya bergerak mundur tanpa sadar. Pemuda itu berhenti di depan Sekar. Dia menyesap rokok di tangannya dan menghembuskan asapnya tepat ke depan wajah Sekar. Sekar memejamkan matanya dan menahan sekuat tenaga agar tidak kelepasan batuk. "Long time no see, baby girl~" Kata pemuda itu. Sebelah tangannya mengelusi pipi kiri Sekar. Sekar memejamkan matanya dan menolehkan wajahnya k
Ponsel Sekar berdering. Gadis itu merogoh isi tasnya untuk memeriksa ponselnya. Dia tertegun menatap layar ponselnya. "Ilen?" Gumamnya tanpa suara. Keningnya berkerut. Dia menggeleng kemudian mengembalikan ponselnya ke dalam tas setelah menolak panggilan. Belum selesai menyimpan ponselnya, nada dering kembali bergema. Sekar berdecak dan dengan cepat menggeser ikon telepon berwarna hijau di layar. "Kenapa?" Tanya Sekar ketus. "Kar, tolongin gue. G-gue takut~" "Hah?" Sekar melototkan matanya. Dia menjauhkan ponselnya dari telinga. Matanya sekali lagi memastikan nama penelepon. "Kar, gue takut." Suara Evelyn terdengar lagi. "Len, lo baik-baik aja, kan?" Tanya Sekar cemas. Evelyn menggelengkan kepalanya di seberang sana. "Selametin gue, Kar. G-gue... Hiks. Gue takut." "Len, lo tenang, oke. Lo bisa ceritain semuanya pelan-pelan." "Brian, d-dia nipu gue. S
"Dulu aku merasa kau adalah manusia paling menjijikkan yang rela melakukan apa saja demi harta, tapi ternyata jalang di sampingmu jauh lebih menjijikkan. Kalian pasangan yang cocok." Oda tersenyum sinis. Dia puas karena Dewo terdiam lama di seberangnya tanpa bisa menjawab. "Dan untuk isi catatan sebenarnya aku sudah lupa di mana menyimpannya, yang jelas...." "A-apa?" Dewo menahan nafas. Tangannya berkeringat. "Seandainya suatu hari nanti kau kecelakaan yang sangat parah dan membutuhkan donor darah dari anak-anakmu, maka hanya ada satu anakmu yang bisa melakukannya." Hati Dewo menjadi dingin. "Apa maksud perkataanmu?" Oda tersenyum sinis. "Dewo Maryoto, kau mampu merampok kekayaan tanteku dengan otak pintarmu, apa hal kecil seperti ini saja kau tidak mampu mengartikannya." Oda kemudian menekan logo telepon merah di layar ponselnya. Pemuda itu berdecak jijik se
"Kar~" Shaka langsung bangkit saat melihat Sekar muncul di belokan lantai apartemennya. Hatinya yang tergantung seharian ini akhirnya bisa merasakan kelegaan. Shaka mendekat dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. "Kamu ke mana aja~? Seharian aku ngawatirin kamu. Aku takut kamu kenapa-napa." Tubuh Sekar membeku. Shaka tak menyadari keanehannya. Tangannya mengusap puncak kepala Sekar dengan sayang. "Sayang?" Shaka menundukkan kepalanya hingga wajahnya sejajar dengan Sekar. Sekar mundur ke belakang dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kata-kata orang tua Shaka kemarin terngiang lagi di benaknya. Mata Sekar berembun lagi. "Kar, kamu kenapa?" "A-aku gak papa." Sekar menolehkan wajahnya ke samping saat tangan Shaka hendak menyentuh dagunya. "A-aku capek mau istirahat. Kamu sebaiknya pulang." Sekar mendorong bahu Shaka kemudian segera mem
"Iya, tapi kita kan posisinya juga lagi bolos. Ntar lo bebas mau galakin kalo lo lagi gak bolos. Ini kita sama jatohnya. Kagak malu lo?" Gio mengembalikan spatulanya ke tangan Kayden. "Aduk lagi. Jan lupa tambahin aer dikit." Perintahnya. Gio kemudian mendekati Sekar lagi. Gio menepuk puncak kepala Sekar dua kali sambil mengedipkan sebelah matanya. Sekar mengulum senyumnya. "Seneng, kan, lo sekarang ada yang bela." Kayden melototi Sekar. Sekar berpura-pura tidak melihatnya. "Sekali ini gue gak marah. Tapi besok-besok janji jangan bolos lagi." Kata Kayden lebih lembut. Sekar menganggukkan kepalanya dengan patuh. Setelahnya baru dia berani mendekati Kayden. "Bang Kay masak apa?" Tanyanya manja. "Mie rebus." Kata Kayden. Dia lalu menyerahkan spatula di tangannya. "Bantu adukin." Katanya. Dia lalu mulai memecahkan tujuh butir telur. "Banyaknya~" Sekar membulatkan mulutnya melihat mie di dalam panci
Kayden terkekeh. Dia dengan semangat menunggu bagaimana Gio akan menghadapi Sekar yang curigaan. "Beneran habis putus. Astaga. Kan liat sendiri selama gue dirawat di rumah sakit gak ada yang jenguk gue. Kalo ada pacar kan gak mungkin gue gak dijenguk." Gio mendelik sebal. Sekar terkekeh. "Terus kok kenapa bisa putus?" "Kepo lu!" Gio mengusap wajah Sekar dengan telapak tangannya. "Paling habis diselingkuhin kan lo?" Kayden tersenyum mengejek. Gio bungkam. Hanya matanya yang melirik sinis Kayden. Kayden terbahak-bahak dan memukul pahanya sendiri. "Anji-ng. Beneran habis diselingkuhin?" "Setan lu!" Gio menarik bagian depan rambut Kayden. Bibirnya cemberut. Sekar terkekeh lucu. "Gio jomblo aja juga, biar kayak Sekar sama bang Kay~" Sekar mengh
Mata Kayden berkedut kesal. "Biasa juga gue. Ada lu aja makanya jadi elu." "Ya berarti selama ini pelayanan lu kagak memuaskan. Gitu aja kagak ngarti." "Heh mulut lu!" Kayden melototkan mata. Kemudian adegan jambak menjambak terjadi lagi. Sekar beralih duduk di single sofa. Dia melanjutkan memakan cikinya dan cengengesan melihat kelakuan keduanya. "Kok lo gak misahin gue sama Kayden?" Gio menahan tangan Kayden yang hampir menyentuh rambutnya yang acak-acakan. Dia menatap Sekar tak puas. Begitu juga Kayden. "Abang berantemnya seru. Sekar mau nonton." Sekar memamerkan senyumnya. Mata Gio dan Kayden berkedut kesal. Mereka lalu berpisah dan duduk diam seperti semula. "Sini lagi," Kayden menunjuk tengah-tengah sofa yang kosong. Sekar dengan cemberut kembali duduk di sana.
Sekar sedang duduk di atas permadani dengan berbagai bumbu dapur menghampar di depannya. Di sebelah gadis itu masih menyala laptop yang layarnya menampilkan beragam informasi tentang bumbu-bumbuan beserta gambarnya. "Yang ini pedas!" Sekar menjauhkan butiran kecil berwarna putih di tangannya. Dia baru saja membauinya. Rasa pedas memenuhi rongga hidungnya. "Lagi apa?" Sekar menoleh ke belakang dan langsung tersenyum lebar. "Bang Kay~ Bang Kay datang sama Gio~" Sekar lekas menumpahkan butiran merica di tangannya ke dalam mangkuk. Dia mengibas-ngibaskan tangannya ke ujung kaosnya kemudian mendekati Kayden dan Gio. Senyumannya semakin lebar saja. "Awas robek bibirnya senyum lebar-lebar." Kayden mencubit gemas sebelah pipi Sekar. "Biarin!" Sekar menjulurkan lidahnya. Senyumnya semakin lebar. Dia lalu menyerobot untuk berdiri di tengah-
Sekar menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Iya." Jawabnya. Shaka tersenyum puas. Dia mengacak gemas pucuk kepala Sekar. "Yaudah kalo gitu aku tinggal dulu, ya." Sekar langsung menaikkan pandangannya menatap Shaka. Shaka tersenyum manis dan meraih tangan Sekar. "Bentar aja. Ini barang bang Mustopa ada yang kebawa sama aku. Dia butuh sekarang." Sekar mengeratkan genggaman tangannya. Dia takut melihat pandangan tidak suka Ratna di belakang punggung Shaka. "Ya. Bentar doang kok. Janji abis itu gak kelayapan ke mana-mana. Lagian kan di rumah ada mama. Kalian bisa masak-masak seru lagi. Bisa belajar masak karedok juga. Itu tuh masakan sunda kesukaan aku. Kamu harus belajar bikin itu. Biar aku tambah tergila-gila sama kamu." Shaka membisikkan kalimat terakhir. "Ya ma, Shaka