Jauh di seberang sana, Sekar sedang membantu mengganti perban untuk Gio bersama seorang perawat. Sekar sendiri yang menawarkan diri.
"Aw aw. Pelan-pelan," Gio meringis. "Sus, suster barunya gak becus nih, bintang satu. Enakan juga sama sus Mia." Gio mengedipkan mata. Suster yang berdiri di samping Sekar tersipu malu. Sementara Sekar mencubit pinggang Gio. "Heh masih sakit aja udah gatel. Suntik gila aja, kak Mia." "Iya, biar saya makin tergila-gila sama sus Mia." Gio mengedipkan matanya lagi. Detik berikutnya dia melolong keras karena Sekar lagi-lagi mencubit pinggangnya. Kali ini disertai putaran. "Ganas banget, sih." Gio mengusap-usap area pinggangnya. Sekar terkekeh dan melanjutkan membersihkan luka Gio. "Dah mulai kering~" Sekar tersenyum lega. "Kar, hapemu loh dari tadi bunyi terus." Jovial yang duduk di sofa menunjuk tas ransel Sekar di atas meja. "Hah?"A-apa isinya?" Sari merasa panik. Jangan-jangan rahasianya terbongkar. Tapi tidak mungkin. Laki-laki itu sudah meninggalkan Jakarta sejak dua hari lalu. "Tanya saja orang itu. Nanti juga Anda akan tau setelahnya." Kayden tersenyum sinis pada Sari. "Oh ya, maaf tidak bisa mampir. Saya alergi menginjak rumah sepasang penipu." Kayden melambaikan tangannya. Dia berjalan menuju motornya mengabaikan segala umpatan Sari. Perasaannya sungguh puas setelah menyerahkan barang titipan Oda itu. Minusnya hanya pada secarik kertas itu yang diganti Oda di detik-detik terakhir. Kayden menepuk kantong celananya yang lain yang berisi kertas yang asli. Kayden menghela nafas. Biarlah dulu. Sekarang saatnya mengurusi adiknya yang nakal. Sementara itu Dewo mengernyitkan dahi sambil memperhatikan motor Kayden yang mulai meninggalkan halaman rumahnya. Sari di sampingnya menutup telinga karena suara knalpot Kayden yang sengaja digeber-geber.
Sekar melirik Kayden di sebelah Oda. Tatapan mereka bertemu. Detik berikutnya Kayden membuang muka. "Udah lama?" Tanya Oda lagi. "Sekar baru kok pulang." Sekar mengintip Kayden lagi. Pemuda itu sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. Atau pura-pura sibuk. "Itu kemoceng buat apa? Bukannya kamu musuhan." Oda terkekeh sambil mengusap rambut Sekar. Sekar menghela nafas berat. Dia lalu memandang Kayden. "B-bang Kay, Sekar-" "Kayden ke atas dulu, bang. Capek." Kayden memotong ucapan Sekar. Dia bangkit berdiri dan melewati Sekar begitu saja. Sekar menggigit bibirnya. Dia menatap punggung Kayden yang semakin menjauh. Oda menggeleng lucu. "Jadi kemocengnya kamu siapin buat minta hukuman dari Kayden? Kamu habis bikin salah apa memangnya?" "Kamu pacaran lagi sama pemuda itu?" Tebak Oda. Sekar melototkan matanya. Dia menggeleng keras-keras. Sudah dua kali dia d
Sekar mengerucutkan bibirnya. Hilang sudah semua rasa bersalahnya. Dia mencondongkan tubuhnya kemudian mencubit pinggang Kayden dengan keras hingga cowok itu melolong. "Ngapa sih, Kar? Sakit tau pinggang gue." Kayden mengusap-usap area pinggangnya. "Bang Kay tuh drama. Orang cuma salah ketemu Gio diam-diam yang dibahas sampai gak pantes bahagia di dunia lah." Sekar mencibir dan memutar bola matanya. Sudut bibir Kayden terangkat. Dia menjulurkan tangannya dan meraih cangkir susu di atas meja. Sekar mencibir. "Kirain mau ambil rokok." Kayden terkekeh. "Kagak lah. Masih pait lidah gue. Gilak. Kagak enak begitu tapi lu pada malah doyan." Sekar terkekeh. "Sini Sekar bantu habisin." Matanya berkilat memandang sebungkus rokok di atas meja. Namun sebelum tangannya berhasil, seseorang sudah mendahuluinya. Kayden memasukkan bungkus rokoknya ke dalam saku celana. Sekar mengerucutkan bibirny
Kemarin setelah pengampunan Kayden dan penyelesaian hukuman kemoceng, melihat wajah Kayden yang masih masam, Sekar dengan kesadaran diri menyerahkan ponselnya sebagai barang sitaan. Kayden sudah berjanji untuk mengembalikannya pagi ini. Kayden meringis. "Beneran lupa gimana. Lagian gue tebak juga hapenya pasti mati. Baterenya udah merah, kan, kemaren?" Sekar memicingkan matanya. "Ya, terus gak abang cas-in?" "Ya orang hapelu ngapain gue yang repot ngecasin." Kayden terkekeh. Dia lalu mematikan layar ponselnya dan menyerahkannya pada Sekar. "Pakai punya abang dulu. Maaf ya~" Sekar terpaksa menerimanya. Tapi matanya menatap Kayden dengan tidak ramah. Kayden terkekeh. Dia kemudian mengacak puncak kepala Sekar. "Tunggu di sini. Gue panggilin John buat anter lu." *** "Kar~" Anna yang duduk paling dekat dengan
Mata Sekar berkedut-kedut. "Iko bang-sat." Katanya. Tangannya meraih botol air mineral yang tinggal setengah dan melemparkannya ke muka Ricko. "Ganas banget, sih." Ricko mengusap-usap sebelah pipinya yang kemerahan. Dia menatap Gio dengan nelangsa. Gio terkekeh. "Lu sendiri yang nyari masalah." Katanya. Dia kemudian mengambil ponsel di tangan Ricko dan memperbesar foto dua perempuan yang sedang berangkulan di layar. Matanya memicing hingga tinggal segaris. "Lo kenal gak?" Musthofa ikut mendekati ranjang Gio. "Kita dapat setelah mulihin email dia. Dapat dipastiin satu di antara dua orang itu adalah yang minta tante lo buat fitnah lo. Mereka mulai sering bertukar pesan sebulan sebelum kejadian." "Kenapa ada dua orang di foto?" Gio menolehkan kepalanya pada Musthofa. "Kemungkinan tante lo udah saling kenal se
Jantung Kayden berdebar kencang. Rautnya berubah tegang. "Kenapa Gio? Dokter bilang apa?" "G-Gio kritis. K-kata dokternya umurnya udah gak lama lagi." Sekar kebetulan melirik Gio yang juga sedang menatapnya dengan tajam. Sekar meneguk ludahnya dan buru-buru mengalihkan pandangannya ke lain. "Kata John, lo bilang Gio dah baikan. Lo jangan becanda." Kayden bangkit berdiri. Terdapat lapisan keringat di jidatnya. Sekar meneguk ludahnya. "G-Gio tiba-tiba kejang-kejang tadi. Abang sini. S-Sekar takut." Sekar melirik Gio yang sekarang menatapnya dengan seringai menyeramkan. "Ya, bang Kay ke sini. Sekar takut." Suaranya merengek. Kali ini gadis itu benar-benar takut. "Kirim lokasinya. Gue ke sana sekarang." Terdengar suara Kayden yang bergetar seperti sedang berlari. "Iya. Bang Kay jangan lama." Sekar menutup teleponnya.
Sekar menjentikkan jarinya. "Iya, tante Alice. Sekar baru ingat namanya. Tante ini yang suka sok akrab sama bang Kay itu, kan? Yang bibirnya merah kayak cabe." Kayden mengangguk. Tangannya mengepal erat. Matanya kemudian bertemu dengan Gio yang berbaring di atas ranjang. Kayden melihat dari bahu hingga lengan pemuda itu berbalut perban. "Gue gak pernah ngianatin lo, Kay. Lo udah kayak saudara kandung gue. Sekali pun gue gak pernah punya niat gak baik sama lo." Kayden berjalan menghampiri Gio. "Gue minta maaf." "Ngomong apa. Gue gak pernah nyalahin lo sama sekali." Gio tersenyum. Matanya berkaca-kaca. "L-lo gak benci gue? Gue pasrah kalo lo mau mukulin gue." Gio menggeleng kemudian merentangkan tangannya. "Gue cedera begini lo suruh mukulin. Mending peluk gue. Kangen gue sama lu." Pemuda itu terkekeh. Kayden berjengit jijik tapi detik berikutnya Kayden benar-benar memeluk Gio. Mat
Sekar berlari kecil memasuki rumah sendiri. Dari jauh dia tersenyum melihat Kayden duduk berdampingan dengan Gio. "Abang~" Sekar memanggil dan kedua orang itu langsung menengadahkan kepalanya. "Gue yang dipanggil." Kayden berdecak tidak puas pada Gio. Dia menepuk sisi sofa yang kosong di kanannya. "Gue juga abangnya." Gio memutar mata. Dia lalu bergeser sehingga menciptakan jarak di antara dia dan Kayden. Dia lalu menarik tangan Sekar untuk duduk di sana. Kayden menatapnya dengan tidak puas. "Lu baru tiga hari di sini udah semena-mena ya!" Gio terkekeh dan mengibaskan tangannya tak peduli. Dia lalu merapikan anak rambut Sekar yang menempel di dahi. "Ke mana aja tadi sama Shaka? Itu bawa apa?" Gio melirik kantung plastik hitam yang mengeluarkan aroma yang sudah dihapal Gio. "Telur gulung." Sekar terkikik senang. "Tadi Shaka belinya banyak banget, sebagian udah Sekar kasih sama ban
"Besok saya ingin membawa Sekar pulang berobat di Paris." "Om," panggil Shaka. Rasanya seperti ada sebongkah batu berat yang menghantam perasaannya. "Shaka yakin Sekar masih bisa disembuhkan di Indonesia, om. Saya akan cari rumah sakit yang lebih baik lagi. Dokter yang lebih hebat lagi. Sekar pasti bisa disembuhkan, tidak harus berobat di Prancis, om. Saya mohon jangan pisahkan saya dengan Sekar, om. Saya mencintainya." Louis menghela nafas berat. "Shaka, dengarkan saya. Saya melakukan ini demi kebaikan Sekar. Saya tau pengobatan di Indonesia juga baik. Banyak rumah sakit maju dan dokter yang ahli di bidangnya. Tapi ini sudah dua minggu sejak Sekar siuman. Kesehatannya tidak memiliki banyak kemajuan." Shaka terdiam. Dia ingin menyangkal kata-kata Louis tapi tidak ada suara yang terucap. Dia juga terbayang saat Sekar merintih kesakitan merasakan semua luka di tubuhny
"Kagak ada nanti. Gue gak izinin lo nemuin Sekar sampai kapan pun!" Kayden memotong ucapan John. Kakinya kembali hendak menerjang. "Kay! Kay!" John berdiri di depan Kayden untuk menghalangi. Dia memaksa Kayden untuk memasuki ruang rawat Sekar bersamanya. "Lo sebaiknya pulang, bang. Kayden gak akan ngizinin lo liat Sekar buat sekarang. Cowok itu keras kepala." Gio menatap pemuda itu dengan linglung. Dia sudah lupa berapa tahun tidak bertemu. Kalau tidak karena suaranya yang tidak banyak berubah, Gio tidak akan bisa mengenali laki-laki itu karena tampilannya yang kini berbeda. "Gue tau semua ini terjadi karena gue. Gue nyesel, Yo." "Lo ninggalin banyak masalah buat kita semua di Indo, bang." Gio tersenyum miris. "Gue dan yang lain gak pernah berenti nyari lo selama ini, tapi semuanya sia-sia. Lo gak bisa ditemuin di manapun. Lo emang niat banget mengasingkan dir
Oda mengangguk. "Saya juga tidak berniat melepaskan bajin-gan itu begitu saja dan menyerahkannya ke polisi. Masalahnya Shaka sudah menyerang tempat persembunyian mereka sendirian dan hampir membakar seluruh bagian rumah itu dan telah menarik perhatian warga sekitar. Orang-orangku juga mengatakan Daniel beserta anak buahnya sudah tidak terlihat di sana. Mereka pasti sudah kabur duluan saat mengetahui Sekar tertabrak. Sekarang polisi sudah terlanjur tau." "Masalah itu biar nanti Kayden yang ke kantor polisi. Kita pasti bisa nemuin Daniel, bang. Sean sama yang lain udah turun nyari mereka. Beberapa geng motor lain yang deket sama Fonza juga ikut turun tangan." "Gue juga udah nyuruh Jovi sama anak-anak buat ikut nyari keberadaan Daniel, Kay." Gio yang sedari awal diam juga ikut bersuara. Kayden memperhatikan wajah Gio yang sembab dan mengangguk. "Thanks." Katanya pelan. "Tapi saya sangsi keberadaan orang itu mudah ditemukan.
"Woy jangan kabur!"Kedua gadis itu sontak menoleh ke belakang dan melihat belasan orang mengejar mereka dari jarak agak jauh.Sekar melotot ngeri. Dia mengepalkan tangannya dan mempercepat larinya. "Kabur, Len!" Gadis itu menoleh pada Evelyn. "Lo masih sanggup, gak? Atau gue gendong aja?"Evelyn menggeleng tegas. Gadis itu menggigit bagian dalam bibirnya. Keringatnya sebesar biji jagung setiap dia menggerakkan kakinya.Sekar mengencangkan kepalan tangannya. Daniel. Awas saja. Besok dia luluh lantakkan orang itu bersama pengikutnya."Argh!" Evelyn berteriak saat tubuhnya terhuyung ke depan dan lututnya segera bergesekan dengan aspal jalanan. Dia merasakan kulitnya terkelupas dan terasa panas membakar. "Ilen!" Sekar yang sudah berjarak jauh di depannya segera menoleh mendengar teriakan Evelyn. Matanya melotot panik dan segera berlari hendak menghampiri Evelyn."Jangan." Evelyn menggelengkan kepala. Matanya berembun. "Jan
"Lo beneran bego." Sekar menaikkan sudut bibirnya melihat seseorang yang juga terborgol di seberangnya. Gadis itu meringkuk. Meski kondisi ruangan mereka disekap remang-remang tapi Sekar dapat melihat wajah gadis itu yang lebam-lebam. Terdapat bulatan besar berwarna kehitaman di mata kirinya. Entah siapa yang sudah melayangkan kepalan tangannya."Shh..." Gadis itu meringis saat membuka mulutnya."Mulut lo robek. Mending diem kata gue mah." Sekar terkekeh dan melanjutkan ucapannya. "Tapi gue penasaran, mata lo ditonjok siapa? Anjir GG banget pukulannya. Jangan bilang cowok lo si Brian?"Evelyn menggertakkan giginya. Matanya melirik tajam Sekar. "Berisik. Mending lo pingsan aja kayak tadi.""Gue bangun karena tiba-tiba lapar. Tau gak, pas lo nelpon tadi posisi gue lagi nunggu pesenan makanan gue. Demi nyelametin kakak yang akhirnya mau nerima gue makanya gue langsung ke sini jemput lo, taunya kena prank." Sekar terkekeh. Kebetulan perutnya keroncong
"Mau ke mana kamu, kak?" Shaka terlonjak kaget saat ruang tengah yang awalnya gelap menjadi terang benderang. Di belakangnya Ratna muncul dengan tangan bertengger di pinggang. "M-mama." Shaka menarik tangannya menyembunyikan sepatu yang ditentengnya di belakang tubuhnya. "Kamu mau ke mana lagi jam satu malam begini! Bentar lagi ujian, bukannya belajar di rumah." Mata Ratna tertuju pada tangan Shaka yang bersembunyi di belakang tubuhnya. "Kakak harus keluar, ma. Penting." Shaka memberikan tatapan memohon. "Udah larut malam, kak. Bahaya. Sekarang begal lagi marak. Lagian bisa tunggu besok pagi aja, kan." Ratna menatap gemas sekaligus kesal. "Mending balik ke kamarmu. Mama gak kasih izin kamu pergi sekarang. "Ma," Shaka menggelengkan kepalanya. "Kakak baru aja dapat kabar kalo Sekar diculik. Kakak mau bantu cari Sekar." "Lagi-lagi perempuan matre itu lagi?" Ratna menyugar rambutnya
"Masuk!" Kata suara dari dalam. Sekar berdecih dalam hati. Matanya berkilat jijik mendengar suara Brian itu. Dia berjalan santai setelah seorang pemuda membukakan pintu. Begitu masuk mata Sekar langsung melotot melihat sosok di depannya. Matanya berkilat ngeri sesaat. Dia berbalik dan ingin keluar dari ruangan itu tapi seseorang sudah terlebih dahulu menutup pintu dan menguncinya dari luar. Seseorang yang duduk di balik meja menaikkan sudut bibirnya. Dia berjalan menghampiri Sekar. Sekar meneguk ludahnya. Kakinya bergerak mundur tanpa sadar. Pemuda itu berhenti di depan Sekar. Dia menyesap rokok di tangannya dan menghembuskan asapnya tepat ke depan wajah Sekar. Sekar memejamkan matanya dan menahan sekuat tenaga agar tidak kelepasan batuk. "Long time no see, baby girl~" Kata pemuda itu. Sebelah tangannya mengelusi pipi kiri Sekar. Sekar memejamkan matanya dan menolehkan wajahnya k
Ponsel Sekar berdering. Gadis itu merogoh isi tasnya untuk memeriksa ponselnya. Dia tertegun menatap layar ponselnya. "Ilen?" Gumamnya tanpa suara. Keningnya berkerut. Dia menggeleng kemudian mengembalikan ponselnya ke dalam tas setelah menolak panggilan. Belum selesai menyimpan ponselnya, nada dering kembali bergema. Sekar berdecak dan dengan cepat menggeser ikon telepon berwarna hijau di layar. "Kenapa?" Tanya Sekar ketus. "Kar, tolongin gue. G-gue takut~" "Hah?" Sekar melototkan matanya. Dia menjauhkan ponselnya dari telinga. Matanya sekali lagi memastikan nama penelepon. "Kar, gue takut." Suara Evelyn terdengar lagi. "Len, lo baik-baik aja, kan?" Tanya Sekar cemas. Evelyn menggelengkan kepalanya di seberang sana. "Selametin gue, Kar. G-gue... Hiks. Gue takut." "Len, lo tenang, oke. Lo bisa ceritain semuanya pelan-pelan." "Brian, d-dia nipu gue. S
"Dulu aku merasa kau adalah manusia paling menjijikkan yang rela melakukan apa saja demi harta, tapi ternyata jalang di sampingmu jauh lebih menjijikkan. Kalian pasangan yang serasi." Oda tersenyum sinis. Dia puas karena Dewo terdiam lama di seberangnya tanpa bisa menjawab. "Dan untuk isi catatan sebenarnya aku sudah lupa di mana menyimpannya, yang jelas...." "A-apa?" Dewo menahan nafas. Tangannya berkeringat. "Seandainya suatu hari nanti kau kecelakaan yang sangat parah dan membutuhkan donor darah dari anak-anakmu, maka hanya ada satu anakmu yang bisa melakukannya." Hati Dewo menjadi dingin. "Apa maksud perkataanmu?" Oda tersenyum sinis. "Dewo Maryoto, kau mampu merampok kekayaan tanteku dengan otak pintarmu, apa hal kecil seperti ini saja kau tidak mampu mengartikannya." Oda kemudian menekan logo telepon merah di layar ponselnya. Pemuda itu berdecak jijik setelahnya. Dia kemudian menghubungi sebuah nomor. Tak lama panggilannya diangkat. "Bawa dua orang itu ke markas b