"Sekar gak mau! Kalian semua penculik!" Sekar merengek saat mereka mulai menggotongnya lagi. Bibirnya cemberut. Wajahnya sudah semasam air cuka.
"Nanti Sekar laporin ke pamannya Sekar!" Sekar menggeliat. Menarik-narik tangan dan kakinya agar terlepas dari cengkeraman mereka. "Diem aja sih, Kar!" John mendelik. Sekar membuang muka. "Ini penindasan terhadap anak kecil! Nanti Sekar gak mau sini lagi." Rombongan itu terkekeh saja. Satu pemuda lagi yang tidak kebagian tugas dengan inisiatif sendiri meraih kunci motor scoopy biru muda Sekar di atas meja dan berjalan setengah berlari mendahului mereka menuju parkiran rumah itu. Dia memanaskan motor itu di depan gerbang. Komplotan itu mendudukkan Sekar di atas motornya. Kayden menepuk-nepuk kepala Sekar. Dia menjawil ujung bibir gadis itu yang masih saja cemberut. "Senyum dong~" "Huh!" Sekar membuang wajah ke samping dan melipat tangan di dada. Kayden menepuk lagi kepala gadis itu kemudian menyampirkan ransel bunga-bunga ke bahu Sekar. "Ingat jangan nakal di sekolah. Jangan godain cowok ganteng. Jangan bikin ulah. Sama jangan berurus-" "Jangan berurusan sama Shaka. Kalo Sekar papasan sama dia di koridor, wajib puter balik. Ck. Itu mulu tiap hari!" Sekar berdecak dan memutar mata jengah. Kayden mengangguk puas. "Bagus. Pokoknya kalo lo di-" "Bang~" Sekar merengek, "Kalo masih lama mending Sekar balik tidur lagi." Kayden terkekeh. Tangannya menepuk puncak kepala gadis itu. "Yaudah sana berangkat. Hati-hati." "Hati-hati kesayangan abang~" lima orang lelaki di samping Kayden kompak bersuara. Senyum manis terpatri di bibir masing-masing. Sekar membuang muka. Suaranya ketus membalas mereka. "Sekar gak sayang tuh!" Sekar lalu melajukan motornya keluar dari gerbang rumah itu. *** Sekar menurunkan laju kendaraannya saat gerbang SMA Garuda sudah berada di depannya. Sekar menghela nafas berat dan mulai memasuki area sekolah itu. Dia mengarahkan motornya ke parkiran khusus sepeda motor. Matanya langsung bertatapan dengan seseorang. Sekar mengeratkan genggaman tangannya. Dia berusaha untuk menghindari tatapan pemuda itu. Matanya menatap sekeliling mencari tempat kosong. "Parkir di sini aja." Pemuda itu menepuk jok motornya sendiri. Sekar menoleh. Di samping motor besar pemuda itu memang ada space kosong yang muat untuk motornya. Letaknya yang di bawah pohon kedondong yang rindang membuat motornya tidak akan kepanasan. Wajah Kayden tiba-tiba terlintas di benaknya. Sekar menggeleng kemudian menolehkan kepalanya ke sekitar lagi. Pemuda itu berdecak tidak puas. "Di sini aja. Lo gak bisa parkir lagi di lain. Udah penuh semua. Lo liat sendiri, kan?" Sekar menggigit bibirnya. Dia menghembuskan nafas berat sebelum mengarahkan motornya ke sebelah motor besar pemuda itu. Matanya berusaha untuk tidak menoleh ke mana-mana. Pemuda itu terkekeh melihatnya. "Kok tumben lo telat datang hari ini?" Suara pemuda itu menanyai Sekar. Sekar hanya memandang cowok itu sekilas sebelum menundukkan pandangan. "Thanks." setelah itu Sekar pergi menuju kelasnya di lantai tiga. Pemuda itu menatap punggung gadis itu dan berdecak tidak puas. Dia lalu memperhatikan wajahnya di spion, "masih yang paling ganteng muka gue. Kenapa dia liat gue kayak liat hantu?" *** Sekar menarik nafas dalam sebelum memasuki kelasnya yang sudah mulai ramai. Mereka saling melempar canda dengan teman masing-masing. Sekar kembali menghela nafas dan mengepalkan tangannya. Dia melewati meja-meja murid sampai akhirnya berhenti di kursi paling belakang dan duduk di sana. Sekar merasakan beberapa tatapan yang mengarah padanya tapi Sekar mengabaikannya. Dia memasukkan tasnya ke dalam laci dan merebahkan kepalanya ke atas meja dengan lengan kiri sebagai bantal. Sekar lalu memejamkan matanya. Tanpa sadar sebutir cairan bening keluar dari sudut matanya. "Manda, Oci... Gue kangen kalian." Cairan bening itu kembali jatuh dan semakin deras. Sekar menelungkupkan kepalanya dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia tidak ingin ketahuan nangis di kelas. *** "Aaa..." Sekar berjengit kaget saat merasakan dingin di sebelah pipinya. Dia segera memiringkan tubuhnya. Pemuda itu terkekeh. "Bengong aja lo!" Dia lalu menyodorkan sebotol minuman dingin ke depan gadis itu. "Tadi kenapa lo langsung ninggalin gue di parkiran? Padahal gue udah nunggu lo dari lama tau." Sekar melotot melihat wajah di depannya. Kata-kata Kayden tadi pagi langsung berseliweran seperti hantu di kepalanya. 'Jauhi Shaka... Jauhi Shaka....' Sekar tanpa sadar berdiri. Dia membereskan tiga novelnya yang berserakan kemudian pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. Shaka melongo melihat punggung gadis itu yang sudah menghilang di balik tembok. "Muka gue beneran gak ganteng lagi, kah? Kenapa doi liat gue kayak abis liat setan?" Shaka menggeram frustrasi sambil mengacak rambutnya sendiri. "Susah banget narik perhatian lo!" *** "Jiahh dianggurin!" Seorang pemuda langsung terdengar begitu Shaka tiba di rooftop sekolah mereka di lantai delapan. Shaka mendelik kemudian menghampiri empat orang itu yang tengah bersantai di samping pagar pembatas. Shaka menjauhkan sebelah kaki yang nangkring di atas kursi sebelum duduk di sana. Dia menatap sebuah pintu yang terkunci dari luar di depannya. Satu-satunya ruangan di atap gedung sekolah mereka. "Gak ngumpul di sana aja lu, gitaran kek?" Shaka menunjuk ruangan itu dengan dagunya. "Kalo di dalem mah gak bisa liat lu ditinggalin cewek." Ricko, yang tadi kakinya disingkirkan Shaka melemparinya dengan kulit kacang. "Pertama kali gak sih liat Shaka dianggurin cewek." Vernon terkekeh. Dia merampas bungkus kacang di tangan Ricko. Bara mengangguk semangat yang diikuti Devan. Keempatnya menatap Shaka miris. "Pelet lu kagak manjur-manjur amat ternyata!" Bara terkekeh kemudian mengambil botol minuman dingin di tangan Shaka yang masih tersegel. Dia meminumnya dengan rakus. "Setan. Padahal gue juga haus!" Vernon menggeplak kepala Bara. Bara terkekeh. "Lo kalah cepet ... Tapi rasanya biasa aja, cuma jus mangga biasa. Tapi ada aroma-aroma penolak-" Shaka menggeplak kepala Bara yang tengah membaui jus mangganya hingga botol itu tumpah dan sebagian cairan oranye itu membasahi wajah dan seragam Bara. Bara menatap masam Shaka kemudian menyeka wajahnya dengan tangan. Gantian Shaka yang terkekeh. Dia kemudian menyadarkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya menatap ke hamparan rumput hijau taman samping sekolah yang hening. Mata Shaka tertuju pada kursi di bawah pohon yang tadi dia duduki bersama Sekar. Senyumnya tersungging. "Cuma masalah waktu aja. Gak ada sejarahnya gue gak bisa naklukin cewek." "Udah dua minggu lo ngincer tuh cewek. Mana sampe pura-pura ketabrak doi." Ricko terkekeh. "Empat kali." Tambah Devan. Cowok yang dari tadi bungkam itu akhirnya bersuara. Shaka menatapnya sebal. "Calon propesor diem aja!" Bara ngakak. "Devan sekalinya ngomong langsung bongkar aib orang." Vernon mengangguk setuju. "Iya. Padahal gue sama Bara cuma pernah liat dua kali. Yang pertama pas abis upacara. Pak bos sampe kejengkang. Alami bener jatohnya." Vernon tersenyum miring sembari melirik Shaka dengan ekor mata. "Yang kedua pas itu kan, ngerapihin bola mau dibalikin ke gudang. Lah tumben-tumbenan dia mau. Biasa juga kita-kita yang disuruh." Tambah Bara. "Eh tapi zonk. Cewek incerannya malah minta tolong tante Cecil buat bantu. Lu kagak digrepe si tante kan di gudang?" Timpal Vernon. "Rezeki kagak ke mana kata Cecil mah." Ricko terkekeh. Shaka menatap sebal mereka semua. "Eh tapi yang dua lagi kapan, Van?" Vernon mencondongkan kepala. Lagaknya sudah seperti ibu-ibu saat mencari gosip terpanas."Pas lagi di perpus-" Ucapan Devan terpotong karena Ricko sudah berdiri dan memeriksa dahi Shaka. "Gak demam. Apa jangan-jangan lo kerasukan arwah kakek gue makanya lo bisa nyasar ke sarangnya orang pinter?" Shaka berdecak dan menjauhkan tangan Ricko. "Kakek lo masih sehat dua-duanya. Lo gue aduin kakek Ali biar disuruh cari duapuluh jangkrik!" Ricko terkekeh dan menggeplak kepala Shaka. "Masih inget aja lo hukuman jaman kita bocah! Kakek yang gue maksud tuh opah Albert Einstein. Kagak tau aja lu gue cucunya. Makanya kepinteran belio nurun ke gue." Ricko mengangkat kerah seragamnya sambil menolehkan kepala bangga. Bara menggeplak kepala Ricko dengan emosi. Padahal dia sudah menyimak dengan serius tadi. "Malu lo sama calon propesor Devan. Orang pinter mah diem-diem, ya, Van?" "Orang pinter mah minum t*lak angin." Devan terkekeh. Bara, Shaka, Ricko dan Vernon sontak menggeleng. Detik berikutnya tawa mereka menggema. "Coba lagi. Anda belum beruntung." Shaka menepuk bahu Devan pr
"Ngagetin aja abang nih!" Sekar memukul bahu John yang sudah berdiri di depannya. Wajah gadis itu masih tegang. "Lagian lu pada ngapain bisik-bisik? Lo mau ngerahasiain apa dari Kayden? Lo kalo ketahuan pasti digelitikin pake kemoceng sampe nangis." John mengacungkan telunjuknya. Matanya melotot-lotot. Sekar mengerucutkan bibirnya. "Sekar mau rahasiain kalo kemaren bang Jono pecahin cangkir kesayangan bang Kay diem-diem." John melototkan matanya. Ucapannya tergagap. "Eh k-kapan? J-jangan nuduh sembarangan kalo gak ada bukti." Sekar menyipitkan matanya. Perkataannya sengaja diperlambat. "Tengah malam kemaren, jam 02:45 abang ngapain ngendap-ngendap bawa kresek hitam lewat pintu belakang?" Mata John melotot. "Sekar sudah amanin barang buktinya." Sekar berbisik pelan. "Tadinya mau Sekar rahasiain sama Sean, tapi yaudah kalo bang Jono mau semuanya dibongkar. Huh~" Sekar mengibaskan rambutnya sebelum menggandeng Sean masuk. "Beneran pecah cangkirnya?" Sean menoleh ke samping. Sekar m
Arabella tersenyum puas melihat reaksi Sekar. Dia bersorak riang dan menjentikkan jarinya. "Tuh kan, bener tebakan gue! Gak sia-sia dua minggu ini gue merhatiin lo!" Sekar melongo. Bella terkekeh kemudian menggeser duduknya lebih dekat. Gadis itu merendahkan suaranya. "Awalnya gue heran aja di saat semua murid baru pada sibuk nyari temen dan bentuk circle masing-masing, lo malah narik diri. Padahal, ya, lo itu cantik banget, blasteran lagi. Lo tuh gampang banget kalau mau jadi famous meskipun baru kelas sepuluh." 'Bahkan ada foto lo di ponsel kakak gue.' Arabella menambahi dalam hati. "Lo jangan aneh-aneh deh. Gue gak kenal siapa itu kak Evelyn yang lo maksud." Sekar menggelengkan kepalanya kemudian bangkit berdiri. Arabella menahan lengan Sekar. Matanya bertatapan dengan Sekar. "Lo gak perlu bohong. Gue liat sendiri pas Kak Evelyn narik lo ke gudang belakang kemarin. Meskipun gue gak tau apa yang dia lakuin di sana, tapi gue yakin itu pasti bukan sesuatu yang baik, kan?" Sekar m
Langit sudah hampir gelap saat Sekar kembali ke apartemennya yang sepi. Di sebelah tangannya dia menenteng paperbag dengan logo restoran terkenal. Sekar memasuki apartemennya dengan helaan nafas yang besar dan berat. Tapi dia kemudian tersenyum saat melihat sepasang sepatu laki-laki tersimpan di bagian paling atas rak sepatunya. Apalagi saat melihat seseorang yang sedang duduk di sofa membelakanginya. Cowok itu sedang fokus dengan layar televisi di depannya yang sedang menyayangkan siaran tinju. Sekar buru-buru melepas sepatunya dan menyimpannya di sebelah sepatu cowok itu. Sekar kemudian berlari dengan kaki telanjangnya dan langsung memeluk cowok itu dari belakang. Cowok itu mengecup lengan yang melingkari pundaknya kemudian menatap Sekar dari samping. "Gimana sekolah hari ini? Kok sore banget pulangnya?" "Aaa kangeeen... Bang Kay kenapa gak bilang dulu sih kalau mau ke sini?" Sekar melepas tas di punggungnya juga paperbag nya dan meletakkannya ke atas meja. Dia kemudian bergabun
Sementara itu di tempat yang berbeda, Shaka sedang cengar-cengir menatap deretan angka di layar ponselnya. Dia menyentuh dada kirinya yang berdegup kencang. Shaka berdeham sebentar sebelum menyentuh logo telepon berwarna hijau di layar. Pemuda itu menggigit bibirnya. Tangannya naik merapikan rambutnya. Shaka tersenyum melihat panggilnya diangkat. Dia buru-buru menempelkan ponselnya ke telinga. "Hai." Shaka menyapa dengan suaranya yang paling lembut. "..." Wajah Shaka mengeras. Dia kemudian memutuskan panggilan secara sepihak. Nafasnya memburu. Kata-kata dari orang di balik telepon tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. "Arghhh... Gue harap lo cuma becanda, Kar." Shaka melempar ponselnya ke tengah ranjang Vernon. Vernon, Bara, Ricko dan Devan yang sedang duduk di balkon kamar Vernon melongokkan kepala dari luar. "Arghhh Sekaar." Shaka menjatuhkan bobot tubuhnya ke sofa dengan kasar. Dia menyugar rambutnya ke belakang kemudian memejamkan mata berusaha meredam emosi. Empat sah
"Gak. Soalnya kemaren pak Jarwo udah cerita." Jawab Sekar. Dia terkekeh melihat wajah kesal Sadi. "Eh, itu pesenan Sekar deh kayaknya." Sekar mendekati gerbang saat melihat mamang gopud. Dia berdecak puas saat sudah menerima dua plastik besar pesanannya. Sekar kembali ke pos satpam dan mengeluarkan tiga bungkus bakso ke atas meja. "Buat bapak-bapak." "Aduh neng, jadi ngerepotin." Sadi tersenyum sungkan. "Padahal baru kemarin neng beliin kita rokok mahal, sekarang dikasih makanan gratis pula." "Gak papa. Lagian bukan duit Sekar juga." Sekar terkekeh. "Kalo gitu sampein makasih kita buat pacarnya neng, ya." Ucap Jarwo. "Iya." Sekar terkekeh saja. Dia membayangkan pasti Kayden akan mengamuk kalau Sekar mengaku-ngaku pacarnya. Sekar kemudian pamit pada bapak-bapak itu. °°°°° "Lo ternyata ada di sini? Gue udah keliling-keliling nyari lo tau." Bella mendumel saat melihat Sekar saat dia baru saja tiba di taman. Gadis itu langsung duduk di samping Sekar. Wajahnya cemberut. "Aa
Sekar membasuh wajahnya berkali-kali untuk meredamkan amarahnya. Kata Kayden, jika sedang marah Sekar harus pergi membasuh muka untuk menenangkan amarahnya. "Dia gatau apa-apa. Dia bego. Shaka bego. Shaka bajingan. Bodoh. Gak punya otak, gak punya akhlak." Sekar terus menepuk-nepuk air ke wajahnya. Air matanya sesekali masih merembes. Sekar menggigit bagian dalam bibirnya agar tangisnya tidak pecah. "Ibu orang baik." Bibir Sekar bergetar. Bayangan ibunya yang tengah senyum dari tengah laut terlintas di benaknya. Hati Sekar langsung tenggelam hingga ke dasar. "Ibu~" Ceklek. Seseorang membuka pintu toilet dari luar. Sekar melihat orang yang masuk dari kaca di depannya. Sekar menatap datar pantulan orang itu dan melihat gadis itu mendekatinya. "Gimana rasanya dihina sama cowok paling ganteng di Garuda?" Evelyn berdesis. Gadis itu juga menatap Sekar dari pantulan kaca di depan mereka. Sekar meraih tisu lalu mengusapkannya ke wajah. Gadis itu kemudian menyunggingkan senyumnya. "Segit
"Arghhh..." Shaka berteriak dan menghantamkan kepalan tangannya ke tembok di depannya. Sepatunya menginjak pecahan beling yang berserakan di lantai. "Bang-sat. Be-go. Be-go." Shaka kembali menghantamkan tinjunya sekuat tenaga. Kulit tangannya robek dan darah merembes keluar sebagian sudah mulai mengering. "Sejak kapan lo brengsek gini, ha! Bajing-an. Bang-sat. Punya mulut dijaga, anj-ing!" Shaka terus meninju ke depan. Semakin dia ingin melupakan kejadian tadi, semakin kata-kata jahatnya berputar seperti kaset rusak di kepalanya. Apalagi teringat wajah Sekar yang menangis karena kata-kata kasarnya. Shaka merasa dia begitu brengsek. Dia memang sedikit tersinggung dengan yang dikatakan Sekar, tapi tentu itu bukan salah Sekar. Perempuan mana pun pasti akan merasa risih jika terus didekati apalagi dengan paksaan seperti yang dilakukan Shaka beberapa hari ini. Tidak seharusnya Shaka marah pada gadis itu. "Gue harus apa, nyet!" Shaka menyugar rambutnya frustrasi. Tubuhnya meluruh ke l
Dimas terkekeh dan menyingkirkan telunjuk Dewo yang menunjuk ke arahnya. "Jangan bilang kau juga tidak tau bahwa Sekar ke Paris dua bulan yang lalu." Mata Dewo berkilat kaget sekilas. Setelahnya dia berusaha terlihat normal. Tapi Dimas menyadari reaksi awalnya. Pria itu tersenyum sinis. Dia membuka galeri di ponselnya dengan menunjukkan rekaman singkat seorang gadis yang nampak mengerucutkan bibirnya. "Ayah Dimas." Ucap gadis dalam video. Mata Kayden dan Gio berkilat mendengar suara itu. Dan mereka bisa membayangkan wajah masam Sekar yang melakukannya di bawah paksaan orang lain. Dimas menjauhkan ponselnya saat tangan Dewo ingin menjangkaunya. Dewo naik pitam melihatnya. "Kau tidak bisa memaksa anak gadis orang lain untuk memanggilmu ayah." "Kenapa tidak bisa! Lagipula dia terlihat senang-senang saja, tidak ada ketegangan. Asal kau tau saat itu dia sedang meminta ditraktir makan di restoran favoritnya, padahal sepanjang jalan dia sudah memalakku untuk membayar semua street food
"Kar~" Suara Kayden parau. Dia langsung memeluk Sekar erat-erat. Gio ikut memeluk kedua orang itu. "Lo harus secepatnya ingat gue, Kar. Gue sama Gio nunggu lo. Kita selalu nunggu lo." Kayden menepuk-nepuk pucuk kepala Sekar. Dia tidak peduli lagi meski pandangannya sudah kabur karena air mata. Gio ikut mengusap bahu Sekar. "Lo harus sehat-sehat di sana. Harus pinter jaga diri. Gak ada gue sama Kayden lagi yang bisa jagain lo." Gio mengusap air matanya. Sekar menatap dua orang itu yang sama sama menangis. Hati Sekar campur aduk. Matanya ikut panas dan akhirnya menjatuhkan bulir-bulir bening. "Cepat pulang. Abang-abang lo nunggu di sini." Kayden mengusap air mata di wajah Sekar dengan hati-hati. Dia lalu mengecup kening gadis itu. Juga dua kelopak matanya. "Gue selalu nunggu lo di sini. Baik-baik di sana, ya~" pintanya. Sekar mengangguk tanpa sadar. Hatiny
"Karena abang pencopet." Sekar menampakkan raut kagetnya. Petra mengusap lagi air matanya. "Karena bang Pepet udah mencopet hati Sekar." Petra berusaha tersenyum. Sekar ikut tersenyum. "Bang Pepet lucu." Petra menganggukkan kepalanya. Tangisnya semakin hebat. "Kalo aku kamu ingat? Pokoknya harus ingat." Sean maju. Belum apa-apa matanya sudah berembun. "Bang Sean, kan?" Sekar tersenyum. "Gak pakai abang. Kamu biasanya manggil aku Sean aja. Gak ada abangnya." Sean mengusap air matanya. Sekar mengernyit. "Bang Sean kan seumuran bang Kayden? Kenapa Sekar gak panggil abang kayak yang lain?" Sekar menoleh pada Kayden yang dari tadi hanya diam. Mata pemuda itu paling sembab. "Bang Kayden," panggil Sekar karena Kayden hanya diam saja. "Kita semua bahkan gatau k
"Besok saya ingin membawa Sekar pulang berobat di Paris." "Om?" Shaka membeku. Dia takut salah mendengar sebelumnya. "Shaka gak salah denger, kan, om? Om gak mungkin mau bawa Sekar ke Paris, kan?" Keheningan di seberang sana sudah menjawab pertanyaan Shaka. Pemuda itu tanpa sadar mundur selangkah. Dia memegangi tembok di sebelahnya. "Om, Shaka yakin Sekar masih bisa disembuhkan di Indonesia. Shaka akan cari rumah sakit yang lebih baik lagi. Dokter yang lebih hebat lagi. Sekar tidak harus dibawa ke Paris, om. Lagipula Sekar baru siuman, om." Louis menghela nafas berat. "Shaka, dengarkan saya. Saya melakukan ini demi kebaikan Sekar. Saya tau pengobatan di Indonesia juga baik. Banyak rumah sakit maju dan dokter yang ahli di bidangnya. Tapi ini sudah dua minggu sejak Sekar siuman. Kesehatannya tidak memiliki banyak kemajuan." Shaka terdiam. Dia ingin menyangkal kata-kata Louis tapi tidak ada suara yang terucap. Dia juga terbayang saat Sekar merintih kesakitan merasakan semua luka
"Kagak ada nanti. Gue gak izinin lo nemuin Sekar sampai kapan pun!" Kayden memotong ucapan John. Kakinya kembali hendak menerjang ke depan. "Kay! Kay!" John berdiri di depan Kayden untuk menghalangi. Dia memegangi bahu Kayden dan memaksa pemuda itu untuk memasuki ruang rawat Sekar bersamanya. Gio memandang pintu ruang rawat Sekar yang sudah tertutup dari dalam. Pemuda itu lalu berjalan mendekati Bagas. Matanya menatap dari pucuk kepala hingga ujung kaki Bagas. Sudah berapa tahun mereka tidak bertemu. Jika bukan karena suara Bagas yang tidak berubah, Gio tidak akan mengenali wajah di balik cambang tebal itu. "Lo sebaiknya pulang, bang. Kayden gak akan ngizinin lo liat Sekar buat sekarang. Cowok itu keras kepala." "Gue tau semua ini terjadi karena gue. Gue nyesel, Yo." "Lo ninggalin banyak masalah buat kita semua di Indo, bang." Gio tersenyum miris. "Gue dan yang lain gak pernah berenti nyari lo selama ini, tapi semuanya sia-sia. Lo gak bisa ditemuin di manapun. Lo emang niat ba
Oda mengangguk. "Saya juga tidak berniat melepaskan bajin-gan itu begitu saja dan menyerahkannya ke polisi. Masalahnya Shaka sudah menyerang tempat persembunyian mereka sendirian dan hampir membakar seluruh bagian rumah itu dan telah menarik perhatian warga sekitar. Orang-orangku juga mengatakan Daniel beserta anak buahnya sudah tidak terlihat di sana. Mereka pasti sudah kabur duluan saat mengetahui Sekar tertabrak. Sekarang polisi sudah terlanjur tau." "Masalah itu biar nanti Kayden yang ke kantor polisi. Kita pasti bisa nemuin Daniel, bang. Sean sama yang lain udah turun nyari mereka. Beberapa geng motor lain yang deket sama Fonza juga ikut turun tangan." "Gue juga udah nyuruh Jovi sama anak-anak buat ikut nyari keberadaan Daniel, Kay." Gio yang sedari awal diam juga ikut bersuara. Kayden memperhatikan wajah Gio yang sembab dan mengangguk. "Thanks." Katanya pelan. "Tapi saya sangsi keberadaan orang itu mudah ditemukan.
"Woy jangan kabur!"Kedua gadis itu sontak menoleh ke belakang dan melihat belasan orang mengejar mereka dari jarak agak jauh.Sekar melotot ngeri. Dia mengepalkan tangannya dan mempercepat larinya. "Kabur, Len!" Gadis itu menoleh pada Evelyn. "Lo masih sanggup, gak? Atau gue gendong aja?"Evelyn menggeleng tegas. Gadis itu menggigit bagian dalam bibirnya. Keringatnya sebesar biji jagung setiap dia menggerakkan kakinya.Sekar mengencangkan kepalan tangannya. Daniel. Awas saja. Besok dia luluh lantakkan orang itu bersama pengikutnya."Argh!" Evelyn berteriak saat tubuhnya terhuyung ke depan dan lututnya segera bergesekan dengan aspal jalanan. Dia merasakan kulitnya terkelupas dan terasa panas membakar. "Ilen!" Sekar yang sudah berjarak jauh di depannya segera menoleh mendengar teriakan Evelyn. Matanya melotot panik dan segera berlari hendak menghampiri Evelyn."Jangan." Evelyn menggelengkan kepala. Matanya berembun. "Jan
"Lo beneran bego." Sekar menaikkan sudut bibirnya melihat seseorang yang juga terborgol di seberangnya. Gadis itu meringkuk. Meski kondisi ruangan mereka disekap remang-remang tapi Sekar dapat melihat wajah gadis itu yang lebam-lebam. Terdapat bulatan besar berwarna kehitaman di mata kirinya. Entah siapa yang sudah melayangkan kepalan tangannya."Shh..." Gadis itu meringis saat membuka mulutnya."Mulut lo robek. Mending diem kata gue mah." Sekar terkekeh dan melanjutkan ucapannya. "Tapi gue penasaran, mata lo ditonjok siapa? Anjir GG banget pukulannya. Jangan bilang cowok lo si Brian?"Evelyn menggertakkan giginya. Matanya melirik tajam Sekar. "Berisik. Mending lo pingsan aja kayak tadi.""Gue bangun karena tiba-tiba lapar. Tau gak, pas lo nelpon tadi posisi gue lagi nunggu pesenan makanan gue. Demi nyelametin kakak yang akhirnya mau nerima gue makanya gue langsung ke sini jemput lo, taunya kena prank." Sekar terkekeh. Kebetulan perutnya keroncong
"Mau ke mana kamu, kak?" Shaka terlonjak kaget saat ruang tengah yang awalnya gelap menjadi terang benderang. Di belakangnya Ratna muncul dengan tangan bertengger di pinggang. "M-mama." Shaka menarik tangannya menyembunyikan sepatu yang ditentengnya di belakang tubuhnya. "Kamu mau ke mana lagi jam satu malam begini! Bentar lagi ujian, bukannya belajar di rumah." Mata Ratna tertuju pada tangan Shaka yang bersembunyi di belakang tubuhnya. "Kakak harus keluar, ma. Penting." Shaka memberikan tatapan memohon. "Udah larut malam, kak. Bahaya. Sekarang begal lagi marak. Lagian bisa tunggu besok pagi aja, kan." Ratna menatap gemas sekaligus kesal. "Mending balik ke kamarmu. Mama gak kasih izin kamu pergi sekarang. "Ma," Shaka menggelengkan kepalanya. "Kakak baru aja dapat kabar kalo Sekar diculik. Kakak mau bantu cari Sekar." "Lagi-lagi perempuan matre itu lagi?" Ratna menyugar rambutnya