Hari ketiga pencarian tetap dilanjutkan. Sementara itu kelompok penjaga masih tetap waspada dan terus berpatroli.
Di dalam desa sudah dijelajahi semua. Kini Wulung mulai melakukan pencarian ke luar perbatasan desa. Pagi itu dia memulai pencarian ke arah utara, ke areal persawahan warga.
Saat Wulung melewati gubuk gubuk petani, dia mulai merasakan ada hawa yang tidak menyenangkan. Hatinya berdesir, ada suatu rasa takut yang membuat bulu kuduknya tiba tiba berdiri.
Dia merasakan ada suatu aura yang jahat dan amarah yang tidak tertahan di sekitar sana. Aura itu terasa semakin kuat hingga menekan sampai sampai dia sulit untuk bernafas.
Disini Wulung pun terdiam, aura itu hanya dirasakan olehnya.
Sementara, para warga dan prajurit yang ikut bersamanya sama sekali tidak merasakan itu. Mereka tetap berjalan seperti biasa. Mungkin karena kekuatan Wulung yang sudah berada pada tingkat lanjut.
Para warga dan prajurit melihat tingkah Wulung tiba
Masih agak jauh jarak antara areal persawahan dengan pemukiman warga. Belum sempat para penduduk membawa peti masuk ke dalam desa, mereka dikejutkan oleh suara derap langkah kuda.Para penunggang kuda berpakaian hitam terlihat dari jauh muncul dari arah hutan utara. Wajah dan tubuh mereka ditutup oleh kain serba hitam.Melihat itu, Wulung segera memerintahkan para warga untuk berjalan lebih cepat. Dia bersama para prajurit berjalan di belakang, sambil bersiap menahan musuh."Bagaimana ini tuan pendekar?" Ujar salah satu prajurit sedikit panik"Kita berjaga di belakang sampai peti ini aman. Kalau mendengar suara berisik di sini, pastilah Tumenggung Amuk Kumbara dan para pasukan penjaga kemari." Tegas Wulung.Ada delapan orang prajurit berjaga di belakang. Wulung juga bersiap dengan golok di tangan. Sementara para warga sudah berlarian menyelamatkan diri ke arah desa sambil membawa peti.Puluhan orang penunggang kuda terus bergerak hingga akhi
Dari kejauhan, muncul para prajurit yang berlarian menuju ke tempat Wulung bertarung. Tumenggung Amuk Kumbara berlari di depan memimpin para pasukan, mencoba menyelamatkan Wulung.Disini sang tumenggung tiba pertama,karena lokasinya yang paling dekat. Tiga orang prajurit yang tadi melarikan diri juga ada di dalam barisan. Mereka kembali, walau tubuh penuh luka.Tanpa basa basi, sang tumenggung dan belasan prajurit melibas para penyerang. Mereka pun ikut berbaur dengan puluhan penunggang kuda.Tumenggung Amuk Kumbara berdiri gagah diantara anak buahnya, menghadapi musuh yang datang satu per satu. Seperti macan yang mengamuk, dia menghajar setiap penunggang kuda yang ada di depannya.Ditengah rapatnya kepungan, Wulung terlihat masih sanggup bertahan. Remaja itu bagai iblis yang tidak bisa mati saat tertusuk dan tersayat pedang. Dengan berani, dia bisa memberi jalan untuk para prajurit melarikan diri dan menghadapi puluhan musuh sendirian.Sang tumeng
"Kembali! Pasukan patroli Mataram sudah datang!"Teriakan itu membuat para penunggang kuda terhenyak. Sang pemimpin pun segera bersiul, mengisyaratkan untuk kabur. Dengan langkah seribu akhirnya mereka mundur, meninggalkan para pasukan Mataram yang kelelahan.Peti telah dirampas. Saat gerobak melewati Janu dan kawan kawan, aura jahat kembali menyeruak, membuat bulu kuduk merinding. Keempatnya pun urung untuk mengejar. Janu masih kaget merasakan aura yang muncul itu."Lapor! Kami pasukan tambahan yang dikirim ke sekitar perbatasan sini untuk patoli. Kami diutus dari Bhumi Mataram untuk membantu tuan Tumenggung!"Seorang perwira prajurit tiba menghadap sang tumenggung. Para pasukan patroli yang lain juga sampai ke tempat itu."Senopati Wana, siapa yang memerintah kalian kemari?""Kami dikirim oleh sang Patih Garwapala setelah mendapat informasi dari mata mata kalau penganut ilmu hitam tengah berkumpul di hutan dekat Desa Telang.""Huft.
"Tuan tumenggung, tugas kami disini telah selesai. Saatnya kami pergi!"Janu dan kawan kawannya berlalu. Mereka hendak meninggalkan ruangan.Tumenggung Amuk Kumbara sebenarnya sedikit kecewa melihat keempat remaja itu pergi. Mereka telah berjasa sangat besar dalam membantunya menjaga desa. Namun dia pun sadar kalau mereka bukan bagian dari pasukan Mataram, dia hanya bisa pasrah melihat mereka berlalu."Para pendekar sekalian, sekali lagi, kalau butuh bantuan, kami siap dengan senang hati membantu kalian." Ujarnya lagi."Terimakasih tuan tumenggung." Sambil memberi hormat, Janu dan kawan kawan akhirnya mengundurkan diri dari ruangan itu.Matahari sudah berada di ufuk barat saat keempatnya tiba di pinggir sungai dimana terdapat batu ketumbar yang mereka cari. Disana, batu itu berdiri kokoh seperti karang di pinggir sungai, tertimpa aliran sungai yang cukup deras.Benar saja informasi dari sang tumenggung. Batu misterius itu berwarna merah keku
Pagi hari, setelah Janu berpamitan dengan Tumenggung Amuk Kumbara, mereka berjalan menuju ke timur. Disana mereka hendak mencari pohon walikukun yang kabarnya berada di wilayah Pegunungan Sewu.Perjalanan mereka harus menyeberangi sungai besar dimana di sebelah utara terdapat batu ketumbar, lalu melewati jalan setapak, menembus hutan.Mereka menyeberangi sungai menggunakan teknik pergerakan lanjutan. Bagai seekor bangau, tubuh mereka seakan melayang menapaki air sungai. Memasuki tahap penguatan energi, tubuh mereka bisa dikendalikan sedemikian rupa.Semakin keempatnya melakukan pertarungan, semakin banyak pengalaman, semakin murni pula energi yang mampu mereka serap. Hal ini membuat pondasi energi di dalam tubuh menjadi semakin kokoh.Janu yang menggunakan ilmu meditasi seni permulaan hampa mendapat keuntungan paling besar hal ini. Ilmu yang dia pelajari menitik beratkan pada teknik dasar, sehingga membuatnya memiliki energi paling besar diantara para pen
Tiga orang remaja murid Perguruan Pinus Angin terus saja mengejar sang kelelawar hingga tiba di suatu tebing yang curam. Disana terdapat sebuah gua yang cukup lebar.Wulung dibawa masuk ke dalam gua tersebut. Kepakan ribuan sayap kelelawar dan teriakan Wulung menggema sampai ke luar gua.Gua itu terlihat sangat menyeramkan apabila dilihat dari luar tebing. Lubangnya menyerupai mulut yang menganga, siap memangsa apa saja yang ada di hadapannya. Stalagtit tajam menghujam ke bawah, membentuk semacam gigi taring mengerikan di tengah malam gelap.Gema teriakan dari berbagai makhluk di dalamnya seakan menjadi nyanyian pengantar maut.Ketiga remaja itu harus melompat ke atas diantara bebatuan tebing yang curam dan licin untuk bisa sampai ke mulut gua.Sampai disana, mereka berhenti sejenak. Butuh beberapa saat hingga mata mereka bisa menyesuaikan diri dengan kondisi gua yang gelap gulita."Malya, kalau kau tidak sanggup masuk ke dalam gua, bi
Janu dan Rangin menarik Malya melompat dari mulut gua. Mereka terjun bebas dari tebing yang curam, langsung terperosok ke semak belukar di bawah. Janu sempat menaruh Malya digendongan saat di udara.Disini Janu dan Rangin sigap. Masing masing membawa beban, mendarat di semak belukar dengan tegap. Wulung di pundak Rangin dan Malya di gendongan Janu sedikit terhentak. Wajah Malya masih panik akibat serangan kelelawar tadi.Di bawah sana, ketiganya lantas mendongak ke atas. Di atas tebing, di mulut gua, para kelelawar tadi ditambah ribuan kelelawar dari dalam gua mengikuti sang kelelawar raksasa terbang entah kemana."Huft! Untung saja para kelelawar itu tidak menyerang kita." Gumam Janu sambil menjatuhkan Malya dari gendongan."Apa apaan kalian ini! Loncat tanpa bilang bilang. Untung kita masih selamat!" Gerutu Malya. Amarahnya kini dialihkan kepada kedua temannya."Alah, bilang saja kalau kau takut kelelawar!" Ejek Rangin."Apa? Mau dihajar k
Beberapa saat Rangin berdiri kaku. Dari tubuhnya tiba tiba mengeluarkan cahaya kuning keemasan, membuat tubuhnya tampak seperti patung emas.Tubuh Rangin yang menjadi sedemikian rupa membuat Janu dan Malya bergidik. Serangan apakah itu? Kenapa Rangin bisa menjadi patung emas seperti itu."Owh, unsur emas cahaya rupanya. Pantas tubuhnya sangat kekar dan berotot." Komentar sang lelaki misterius."Tidak ada apapun yang mencurigakan. Baik, sekarang giliran si wanita." Ujarnya kemudian.Lelaki itu kembali menunjuk. Kini yang dituju adalah Malya. Gadis itu pun sedikit cemas, dia menutup kepalanya.Cahaya berkilau kembali muncul dan menghujam tepat ke tubuh Malya. Sama seperti Rangin, gadis itu juga tidak bisa bergerak.Seketika muncul tanaman yang merambat dari dalam tanah, melilit tubuh Malya. Tangan dan kaki gadis itu bagai diikat oleh suatu tali yang erat. Dedaunan pun ikut menutup sekujur tubuh.Malya kini sudah seperti patung kuno yang
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela
Janu dan Wulung juga telah selesai dengan pondok terakhir di wilayahnya. Mereka mendengar keributan di sudut bukit, mereka pun lantas segera menghampirinya.Di satu titik, mereka melihat dari kejauhan beberapa murid tengah bertahan dari serangan para perampok. Di sisi lain, mereka juga melihat lawannya, Jalada, dengan amarahnya menyerang membabi buta.Malya pun terlihat tengah menghadapi Andaka yang sedang mengamuk seperti banteng kesetanan. Sementara itu Rangin yang sedari tadi sudah memisahkan diri tengah mengahadapi lima perampok sekaligus. Nyi Kupita yang hendak membantu Jalada juga tengah ditahan oleh Suli."Wulung, aku akan menghadapi Jalada! Kau urus anak buahnya." Tegas Janu."Tapi kak..." Ujar Wulung sedikit emosi. Dia juga ingin menghadapi Jalada.Janu menatap Wulung, matanya memancarkan keinginan yang sangat kuat. Beberapa saat Wulung mendesah. Dia pun mengangguk."Baik lah kak. Hati hati!" Ucap Wulung pelan. Dia kemudian berlari
"Kita bagi kelompok dalam empat penjuru! Aku ke utara, sisanya kalian bagi saja sendiri, siapa yang akan mengikutiku." Tegas Suli.Para murid pun langsung membagi menjadi empat kelompok, masing masing mengepung dari empat sudut bukit. Janu, Rangin, dan Wulung bergerak ke sisi timur. Sedangkan Malya, bersama murid murid yang lain mengepung dari arah selatan.Disini belum ada yang menyadari pergerakan para murid Perguruan Pinus Angin. Mereka melakukan penyergapan dengan sangat senyap dan tanpa suara, aura mereka pun bahkan dihilangkan. Dengan gesit mereka berjalan mengendap endap dari semak ke semak, pohon ke pohon.Setelah merasa cukup dekat dengan target, mereka langsung menghabisi para penjaga itu dengan senyap. Di luar, para penjaga yang berada di setiap sudut dihabisi tanpa sisa. Tidak ada suara apapun terdengar selain kematian.Para murid berhasil menyusup ke dalam menerobos pagar bambu. Mereka pun bergerak menuju ke pondok pondok yang tersebar disana
Melihat pemimpinnya kalah, para kera yang lain berhamburan ke segala arah. Bagai tubuh tak berkepala, kera kera itu seakan kembali ke sifatnya yang biasa, yang biasanya takut apabila melihat manusia. Dengan tewasnya Lutung Kasyapa, selesai pula tugas Janu dan kawan kawan di Masin. Para prajurit dan murid Perguruan Pinus Angin bisa bernafas lega, kewaspadaan mereka mengendor melihat para kera bergelantungan kabur dari lokasi itu. Para murid perguruan, termasuk Rakawan, terlihat kelelahan setelah bertempur dengan hebat dengan sang siluman. Murid murid dan prajurit yang terluka langsung diberikan pertolongan oleh para prajurit yang sehat. Dua minggu berlalu sejak penyerangan ke hutan Segorokayu, Janu dan ketiga rekannya kini sudah tiba di Lasem. Mereka tidak mau berlama lama di Masin, karena masih ada tugas yang harus dikerjakan di Lasem. Mereka harus membasmi komplotan perampok Tanduk Api yang bertahun tahun meresahkan warga. Di pusat kadipaten, mereka