Janu dan Rangin menarik Malya melompat dari mulut gua. Mereka terjun bebas dari tebing yang curam, langsung terperosok ke semak belukar di bawah. Janu sempat menaruh Malya digendongan saat di udara.
Disini Janu dan Rangin sigap. Masing masing membawa beban, mendarat di semak belukar dengan tegap. Wulung di pundak Rangin dan Malya di gendongan Janu sedikit terhentak. Wajah Malya masih panik akibat serangan kelelawar tadi.
Di bawah sana, ketiganya lantas mendongak ke atas. Di atas tebing, di mulut gua, para kelelawar tadi ditambah ribuan kelelawar dari dalam gua mengikuti sang kelelawar raksasa terbang entah kemana.
"Huft! Untung saja para kelelawar itu tidak menyerang kita." Gumam Janu sambil menjatuhkan Malya dari gendongan.
"Apa apaan kalian ini! Loncat tanpa bilang bilang. Untung kita masih selamat!" Gerutu Malya. Amarahnya kini dialihkan kepada kedua temannya.
"Alah, bilang saja kalau kau takut kelelawar!" Ejek Rangin.
"Apa? Mau dihajar k
Beberapa saat Rangin berdiri kaku. Dari tubuhnya tiba tiba mengeluarkan cahaya kuning keemasan, membuat tubuhnya tampak seperti patung emas.Tubuh Rangin yang menjadi sedemikian rupa membuat Janu dan Malya bergidik. Serangan apakah itu? Kenapa Rangin bisa menjadi patung emas seperti itu."Owh, unsur emas cahaya rupanya. Pantas tubuhnya sangat kekar dan berotot." Komentar sang lelaki misterius."Tidak ada apapun yang mencurigakan. Baik, sekarang giliran si wanita." Ujarnya kemudian.Lelaki itu kembali menunjuk. Kini yang dituju adalah Malya. Gadis itu pun sedikit cemas, dia menutup kepalanya.Cahaya berkilau kembali muncul dan menghujam tepat ke tubuh Malya. Sama seperti Rangin, gadis itu juga tidak bisa bergerak.Seketika muncul tanaman yang merambat dari dalam tanah, melilit tubuh Malya. Tangan dan kaki gadis itu bagai diikat oleh suatu tali yang erat. Dedaunan pun ikut menutup sekujur tubuh.Malya kini sudah seperti patung kuno yang
"Semoga kalian bisa melewati tahap pencerahan!"Suara lelaki misterius terdengar sampai ke telinga keempat remaja. Setelah itu suara itu hilang, dan hutan menjadi sepi kembali.Saat keempatnya terbebas dari kekakuan, mereka mendengar petunjuk dari si lelaki misterius. Walaupun mereka sempat kaget, namun ketiga remaja dengan sigap memberi hormat. Wulung yang melihat sikap rekan rekannya ikut memberi hormat."Apa yang terjadi kak? Suara siapa itu?" Wulung yang baru sadar bertanya pelan."Sstt!" Malya menyuruhnya diam."Tuan, maafkan kami apabila semalam kami lancang. Terimakasih telah memberitahu tentang keberadaan pohon walikukun. Untuk saran yang tuan berikan, akan saya coba." Janu kembali memberi hormat ke arah gua.Rangin dan Malya juga memberi hormat. Sejak semalam mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Mereka tanpa sengaja memasuki wilayah pertapaan orang.Disini mereka ingat akan informasi yang diberikan Wulung di M
"Para pendekar sekalian, terimakasih sekali lagi atas bantuannya tempo hari. Kami juga minta maaf atas perlakuan kami sebelumnya, kami sangat malu apabila mengingat kejadian waktu itu.""Santai saja tuan tumenggung, yang penting saat ini kondisi sudah cukup aman." Balas Janu."Oh iya tuan, apa kalian sudah berhasil menemukan pohon walikukun yang kalian cari? Saya dengar kabar, di daerah Pegunungan Sewu ada seorang pertapa sakti yang menjaga wilayah sana.""Kami sudah berhasil menemukan kayu walikukun yang kami cari. Dan benar, memang ada seorang pertapa sakti yang bersemadi disana. Kami berhasil menemukan kayu ini berkat arahannya juga.""Owh, dari yang saya dengar, pertapa itu sangat menakutkan dan jahat. Tapi kalian berhasil meminta bantuan darinya. Selamat kalau begitu!""Yah, kami hanya beruntung saja. Kami juga tidak tahu apapun tentang pertapa itu. Yang pasti, kami berhasil selamat dari sana tanpa kurang suatu apapun."Mendengar penjel
Di pusat penempaan, keempat remaja segera menyerahkan bahan bahan yang mereka peroleh. Mereka menyerahkan beberapa butir batu wesi ireng, beberapa bongkah pecahan batu ketumbar, sebatang kayu walikukun, dan dua buah sisik naga."Kak Lestaman, aku ingin membuat sebuah tongkat, eh, tombak sekalian, dari bahan kayu walikukun ini. Untuk ukuran dan bentuk mata tombak, aku serahkan kepada kak Lestaman." Jelas Wulung."Kalau aku, tolong buatkan senjata apa saja dari bebatuan wesi ireng." Sahut Rangin."Kak, bu...""Sebentar sebentar!... Jelaskan dahulu ilmu kalian, dan bakat kalian!" Potong Lestaman saat Malya mau berbicara."Jelaskan satu per satu. Kau, bicara dahulu!" Tunjuk Lestaman kepada Wulung."Ee, aku memakai ilmu dari kitab sungai lembah berangin. Keahlianku memakai senjata tongkat, dan bakatku adalah unsur air dan angin. Aku memilih senjata tombak karena melihat daya serangnya yang lebih kuat dibanding hanya menggunakan tongkat.""
Lima tahun dijalani Janu dengan meditasi. Kini dia sudah menginjak usia dua puluh dua tahun. Bagi ukuran orang orang Jawa, dia sudah terlalu tua untuk menikah. Namun disini, dia sebagai seorang pendekar, tidak terlalu memikirkannya. Memang, usia orang yang memiliki kekuatan dan kesaktian jauh lebih lama dibandingkan orang biasa.Semakin dewasa, kini Janu terlihat lebih tampan. Rambutnya yang ikal panjang, kini sudah dipotong sebahu. Tubuhnya yang kurus namun tegap ditambah kulit sawo matang, membuatnya terlihat sangat flamboyan. Ditambah lagi matanya yang tajam dan wajahnya yang tirus, semakin meningkatkan kharisma dirinya.Dia bersama dengan ketiga rekannya, kini sudah benar benar menjadi murid inti Perguruan Pinus Angin. Mereka menjadi murid termuda yang berhasil menjadi murid inti perguruan itu.Selama menjadi murid inti, keempatnya sama sekali tidak diperbolehkan keluar perguruan tanpa pemberitahuan. Mereka diminta untuk terus bermeditasi sebelum mencapai ta
Siang hari, Janu dan kawan kawannya sedang berada di salah satu taman asoka. Mereka tengah mendengarkan petuah dari Guru Gatri, seorang guru pertapa dari Perguruan Pinus Angin.Ķali ini mereka datang ke taman asoka karena ada sesuatu yang mereka ingin tahu berkenaan dengan tahap pencerahan. Sekaligus karena acara pemberian petuah dan wejangan sangat jarang dilakukan dan aji mumpung kali ini ada."Nah, bakat dan peningkatan kekuatan juga berkenaan dengan hati. Setiap orang memiliki bakat yang berbeda, selain bawaan dari lahir juga tergantung dari keteguhan hati. Bagaimana kecepatan kalian dalam menapaki setiap tingkat kekuatan, dan bagaimana keahlian kalian memanfaatkan energi alam. Semua itu tercermin dari ketetapan hati kalian.""Hmm, baiklah! Sekarang aku beri waktu kalian untuk bertanya."Setelah lama Guru Gatri memberi wejangan, kini dia memberi kesempatan bertanya.Beberapa murid perguruan yang ada disana saling pandang. Setelah mendapat
Di lokasi lain, di Giriloka, ada sebuah pertemuan antar pemimpin perguruan di tanah Jawa. Mpu Sadhana duduk bersila di pendopo, Ki Ekadanta dan Mpu Kalya duduk di sebelahnya dengan khidmat.Disekitar mereka, para pemimpin perguruan lain dan para pendekar kenamaan juga duduk bersila, membentuk lingkaran di dalam pendopo."Selamat datang para pendekar sekalian! Terimakasih sudah mau menyempatkan diri ke perguruan ini. Sudah lama sekali sejak terakhir kita berkumpul. Baik, tanpa panjang lebar, alasanku mengundang kalian kemari lima tahun lalu adalah karena maraknya kejahatan yang terjadi akhir akhir ini.""Seperti yang kalian tahu, banyak sekali teror yang muncul di seluruh wilayah Jawa, mulai dari perampok, hewan buas, hingga siluman. Mereka tahun tahun belakangan ini semakin berani turun dari sarangnya. Sesuai pesanku dalam undangan, juga meminta kalian untuk menolong para warga dimanapun.""Nah, berkaitan dengan semua itu, aku mengumpulkan kalian ta
"Maaf Mpu Sadhana, perkenankan saya menyela." Sahut seorang pendekar muda."Silahkan.""Begini, menurut saya masalah ini termasuk masalah yang sangat darurat. Berdasarkan cerita dari para sesepuh sekalian, tidak hanya sekali dua kali saja para penganut ilmu hitam berbuat kerusakan yang besar. Teror kali ini bukan hanya mengancam Mataram saja, namun kerajaan sekitarnya juga bisa terpengaruh.""Oleh karena itu, saya, Birawan, mengajukan diri untuk memberantas perkumpulan para penganut ilmu hitam itu." Tegasnya."Bagus, aku setuju! Sudah lama sekali aku tidak menggerakkan tulang tua ini." Ujar Mpu Kalya antusias."Ah, kalau saja aku belum sampai ke tingkat moksa." Gumam seorang pertapa tua."Guru Maruci tidak usah ikut. Guru mengamati saja perkembangannya. Apabila ternyata nanti ada musuh yang juga memiliki kekuatan setara moksa, baru kita nanti bertindak." Ujar Ki Ekadanta."Begini saja, mungkin banyak dari kita yang sudah mencapai ting
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela
Janu dan Wulung juga telah selesai dengan pondok terakhir di wilayahnya. Mereka mendengar keributan di sudut bukit, mereka pun lantas segera menghampirinya.Di satu titik, mereka melihat dari kejauhan beberapa murid tengah bertahan dari serangan para perampok. Di sisi lain, mereka juga melihat lawannya, Jalada, dengan amarahnya menyerang membabi buta.Malya pun terlihat tengah menghadapi Andaka yang sedang mengamuk seperti banteng kesetanan. Sementara itu Rangin yang sedari tadi sudah memisahkan diri tengah mengahadapi lima perampok sekaligus. Nyi Kupita yang hendak membantu Jalada juga tengah ditahan oleh Suli."Wulung, aku akan menghadapi Jalada! Kau urus anak buahnya." Tegas Janu."Tapi kak..." Ujar Wulung sedikit emosi. Dia juga ingin menghadapi Jalada.Janu menatap Wulung, matanya memancarkan keinginan yang sangat kuat. Beberapa saat Wulung mendesah. Dia pun mengangguk."Baik lah kak. Hati hati!" Ucap Wulung pelan. Dia kemudian berlari
"Kita bagi kelompok dalam empat penjuru! Aku ke utara, sisanya kalian bagi saja sendiri, siapa yang akan mengikutiku." Tegas Suli.Para murid pun langsung membagi menjadi empat kelompok, masing masing mengepung dari empat sudut bukit. Janu, Rangin, dan Wulung bergerak ke sisi timur. Sedangkan Malya, bersama murid murid yang lain mengepung dari arah selatan.Disini belum ada yang menyadari pergerakan para murid Perguruan Pinus Angin. Mereka melakukan penyergapan dengan sangat senyap dan tanpa suara, aura mereka pun bahkan dihilangkan. Dengan gesit mereka berjalan mengendap endap dari semak ke semak, pohon ke pohon.Setelah merasa cukup dekat dengan target, mereka langsung menghabisi para penjaga itu dengan senyap. Di luar, para penjaga yang berada di setiap sudut dihabisi tanpa sisa. Tidak ada suara apapun terdengar selain kematian.Para murid berhasil menyusup ke dalam menerobos pagar bambu. Mereka pun bergerak menuju ke pondok pondok yang tersebar disana
Melihat pemimpinnya kalah, para kera yang lain berhamburan ke segala arah. Bagai tubuh tak berkepala, kera kera itu seakan kembali ke sifatnya yang biasa, yang biasanya takut apabila melihat manusia. Dengan tewasnya Lutung Kasyapa, selesai pula tugas Janu dan kawan kawan di Masin. Para prajurit dan murid Perguruan Pinus Angin bisa bernafas lega, kewaspadaan mereka mengendor melihat para kera bergelantungan kabur dari lokasi itu. Para murid perguruan, termasuk Rakawan, terlihat kelelahan setelah bertempur dengan hebat dengan sang siluman. Murid murid dan prajurit yang terluka langsung diberikan pertolongan oleh para prajurit yang sehat. Dua minggu berlalu sejak penyerangan ke hutan Segorokayu, Janu dan ketiga rekannya kini sudah tiba di Lasem. Mereka tidak mau berlama lama di Masin, karena masih ada tugas yang harus dikerjakan di Lasem. Mereka harus membasmi komplotan perampok Tanduk Api yang bertahun tahun meresahkan warga. Di pusat kadipaten, mereka