"Kalau boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi di desa ini?"
"Begini tuan pendekar,..."
Tumenggung Amuk Kumbara pun lantas menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Desa Telang.
Beberapa hari yang lalu desa ini diserang oleh sekelompok orang misterius. Orang orang itu muncul tiba tiba dan pergi juga dengan seketika. Anehnya, mereka sama sekali tidak menjarah harta para warga, namun hanya melukai dan menghancurkan banyak rumah warga.
Menurut warga yang selamat, orang orang itu mencari sebuah benda yang tersimpan di desa. Namun para warga tidak tahu sama sekali benda apa yang dimaksud, karena di Desa Telang sama sekali tidak memiliki benda berharga apapun.
Mendengar penjelasan dari sang tumenggung, Janu menjadi sedikit penasaran. Apa kejadian ini ada kaitannya dengan penyerangan para penganut ilmu hitam yang baru baru ini sering meresahkan warga.
"Tuan tumenggung, sebenarnya kami kesini mencari batu yang terkenal mampu menyerap kekuatan peti
Hari ketiga pencarian tetap dilanjutkan. Sementara itu kelompok penjaga masih tetap waspada dan terus berpatroli.Di dalam desa sudah dijelajahi semua. Kini Wulung mulai melakukan pencarian ke luar perbatasan desa. Pagi itu dia memulai pencarian ke arah utara, ke areal persawahan warga.Saat Wulung melewati gubuk gubuk petani, dia mulai merasakan ada hawa yang tidak menyenangkan. Hatinya berdesir, ada suatu rasa takut yang membuat bulu kuduknya tiba tiba berdiri.Dia merasakan ada suatu aura yang jahat dan amarah yang tidak tertahan di sekitar sana. Aura itu terasa semakin kuat hingga menekan sampai sampai dia sulit untuk bernafas.Disini Wulung pun terdiam, aura itu hanya dirasakan olehnya.Sementara, para warga dan prajurit yang ikut bersamanya sama sekali tidak merasakan itu. Mereka tetap berjalan seperti biasa. Mungkin karena kekuatan Wulung yang sudah berada pada tingkat lanjut.Para warga dan prajurit melihat tingkah Wulung tiba
Masih agak jauh jarak antara areal persawahan dengan pemukiman warga. Belum sempat para penduduk membawa peti masuk ke dalam desa, mereka dikejutkan oleh suara derap langkah kuda.Para penunggang kuda berpakaian hitam terlihat dari jauh muncul dari arah hutan utara. Wajah dan tubuh mereka ditutup oleh kain serba hitam.Melihat itu, Wulung segera memerintahkan para warga untuk berjalan lebih cepat. Dia bersama para prajurit berjalan di belakang, sambil bersiap menahan musuh."Bagaimana ini tuan pendekar?" Ujar salah satu prajurit sedikit panik"Kita berjaga di belakang sampai peti ini aman. Kalau mendengar suara berisik di sini, pastilah Tumenggung Amuk Kumbara dan para pasukan penjaga kemari." Tegas Wulung.Ada delapan orang prajurit berjaga di belakang. Wulung juga bersiap dengan golok di tangan. Sementara para warga sudah berlarian menyelamatkan diri ke arah desa sambil membawa peti.Puluhan orang penunggang kuda terus bergerak hingga akhi
Dari kejauhan, muncul para prajurit yang berlarian menuju ke tempat Wulung bertarung. Tumenggung Amuk Kumbara berlari di depan memimpin para pasukan, mencoba menyelamatkan Wulung.Disini sang tumenggung tiba pertama,karena lokasinya yang paling dekat. Tiga orang prajurit yang tadi melarikan diri juga ada di dalam barisan. Mereka kembali, walau tubuh penuh luka.Tanpa basa basi, sang tumenggung dan belasan prajurit melibas para penyerang. Mereka pun ikut berbaur dengan puluhan penunggang kuda.Tumenggung Amuk Kumbara berdiri gagah diantara anak buahnya, menghadapi musuh yang datang satu per satu. Seperti macan yang mengamuk, dia menghajar setiap penunggang kuda yang ada di depannya.Ditengah rapatnya kepungan, Wulung terlihat masih sanggup bertahan. Remaja itu bagai iblis yang tidak bisa mati saat tertusuk dan tersayat pedang. Dengan berani, dia bisa memberi jalan untuk para prajurit melarikan diri dan menghadapi puluhan musuh sendirian.Sang tumeng
"Kembali! Pasukan patroli Mataram sudah datang!"Teriakan itu membuat para penunggang kuda terhenyak. Sang pemimpin pun segera bersiul, mengisyaratkan untuk kabur. Dengan langkah seribu akhirnya mereka mundur, meninggalkan para pasukan Mataram yang kelelahan.Peti telah dirampas. Saat gerobak melewati Janu dan kawan kawan, aura jahat kembali menyeruak, membuat bulu kuduk merinding. Keempatnya pun urung untuk mengejar. Janu masih kaget merasakan aura yang muncul itu."Lapor! Kami pasukan tambahan yang dikirim ke sekitar perbatasan sini untuk patoli. Kami diutus dari Bhumi Mataram untuk membantu tuan Tumenggung!"Seorang perwira prajurit tiba menghadap sang tumenggung. Para pasukan patroli yang lain juga sampai ke tempat itu."Senopati Wana, siapa yang memerintah kalian kemari?""Kami dikirim oleh sang Patih Garwapala setelah mendapat informasi dari mata mata kalau penganut ilmu hitam tengah berkumpul di hutan dekat Desa Telang.""Huft.
"Tuan tumenggung, tugas kami disini telah selesai. Saatnya kami pergi!"Janu dan kawan kawannya berlalu. Mereka hendak meninggalkan ruangan.Tumenggung Amuk Kumbara sebenarnya sedikit kecewa melihat keempat remaja itu pergi. Mereka telah berjasa sangat besar dalam membantunya menjaga desa. Namun dia pun sadar kalau mereka bukan bagian dari pasukan Mataram, dia hanya bisa pasrah melihat mereka berlalu."Para pendekar sekalian, sekali lagi, kalau butuh bantuan, kami siap dengan senang hati membantu kalian." Ujarnya lagi."Terimakasih tuan tumenggung." Sambil memberi hormat, Janu dan kawan kawan akhirnya mengundurkan diri dari ruangan itu.Matahari sudah berada di ufuk barat saat keempatnya tiba di pinggir sungai dimana terdapat batu ketumbar yang mereka cari. Disana, batu itu berdiri kokoh seperti karang di pinggir sungai, tertimpa aliran sungai yang cukup deras.Benar saja informasi dari sang tumenggung. Batu misterius itu berwarna merah keku
Pagi hari, setelah Janu berpamitan dengan Tumenggung Amuk Kumbara, mereka berjalan menuju ke timur. Disana mereka hendak mencari pohon walikukun yang kabarnya berada di wilayah Pegunungan Sewu.Perjalanan mereka harus menyeberangi sungai besar dimana di sebelah utara terdapat batu ketumbar, lalu melewati jalan setapak, menembus hutan.Mereka menyeberangi sungai menggunakan teknik pergerakan lanjutan. Bagai seekor bangau, tubuh mereka seakan melayang menapaki air sungai. Memasuki tahap penguatan energi, tubuh mereka bisa dikendalikan sedemikian rupa.Semakin keempatnya melakukan pertarungan, semakin banyak pengalaman, semakin murni pula energi yang mampu mereka serap. Hal ini membuat pondasi energi di dalam tubuh menjadi semakin kokoh.Janu yang menggunakan ilmu meditasi seni permulaan hampa mendapat keuntungan paling besar hal ini. Ilmu yang dia pelajari menitik beratkan pada teknik dasar, sehingga membuatnya memiliki energi paling besar diantara para pen
Tiga orang remaja murid Perguruan Pinus Angin terus saja mengejar sang kelelawar hingga tiba di suatu tebing yang curam. Disana terdapat sebuah gua yang cukup lebar.Wulung dibawa masuk ke dalam gua tersebut. Kepakan ribuan sayap kelelawar dan teriakan Wulung menggema sampai ke luar gua.Gua itu terlihat sangat menyeramkan apabila dilihat dari luar tebing. Lubangnya menyerupai mulut yang menganga, siap memangsa apa saja yang ada di hadapannya. Stalagtit tajam menghujam ke bawah, membentuk semacam gigi taring mengerikan di tengah malam gelap.Gema teriakan dari berbagai makhluk di dalamnya seakan menjadi nyanyian pengantar maut.Ketiga remaja itu harus melompat ke atas diantara bebatuan tebing yang curam dan licin untuk bisa sampai ke mulut gua.Sampai disana, mereka berhenti sejenak. Butuh beberapa saat hingga mata mereka bisa menyesuaikan diri dengan kondisi gua yang gelap gulita."Malya, kalau kau tidak sanggup masuk ke dalam gua, bi
Janu dan Rangin menarik Malya melompat dari mulut gua. Mereka terjun bebas dari tebing yang curam, langsung terperosok ke semak belukar di bawah. Janu sempat menaruh Malya digendongan saat di udara.Disini Janu dan Rangin sigap. Masing masing membawa beban, mendarat di semak belukar dengan tegap. Wulung di pundak Rangin dan Malya di gendongan Janu sedikit terhentak. Wajah Malya masih panik akibat serangan kelelawar tadi.Di bawah sana, ketiganya lantas mendongak ke atas. Di atas tebing, di mulut gua, para kelelawar tadi ditambah ribuan kelelawar dari dalam gua mengikuti sang kelelawar raksasa terbang entah kemana."Huft! Untung saja para kelelawar itu tidak menyerang kita." Gumam Janu sambil menjatuhkan Malya dari gendongan."Apa apaan kalian ini! Loncat tanpa bilang bilang. Untung kita masih selamat!" Gerutu Malya. Amarahnya kini dialihkan kepada kedua temannya."Alah, bilang saja kalau kau takut kelelawar!" Ejek Rangin."Apa? Mau dihajar k