Nuwe menonton video rekaman dirinya dan Kai ketika masih berada di Xin Hua. Kenangan selama bertahun-tahun lamanya yang dirangkum dalam beberapa menit. Kemudian pada adegan terakhir, ia tak sanggup melihatnya. Adegan ketika Kai digantung dan dirinya menyeret-nyeret tubuh di tanah. “Semua kita lalui bersama, Kai, susah, senang, dalam keadaan panen, atau pun kelaparan. Ternyata hanya lima tahun kita berjodoh di dunia ini. Tapi, aku akan pastikan kalau kita akan bersama lagi suatu hari nanti.” Nuwa mematikan dan menutup laptonya. Ia berkata demikian seolah-olah mampu menggenggam dunia dan takdir dengan tangan kecilnya. Memang tangan itu cepat dan kuat, tapi manusia tetaplah memiliki keterbatasan. Pagi harinya, atas saran ibu asrama, Nuwa pergi ke kantor pemerintahan untuk mendapatkan kartu identitas diri yang baru. Saran dari ibu asrama agar dia memakai taksi. Namun, karena ada keperluan lain ia pun memilih jalan kaki. Tempat mana yang dituju janda Kai pertama kali? Yaitu salon kecant
Nuwa membuka pintu kamarnya. Dari dulu ia sudah biasa kalau bangun pagi sebelum Shubuh maka akan latihan dahulu bersama Kai. Bertahun-tahun lamanya ia jalani rutinitas itu hingga terbentuklah sebuah tubuh yang tangkas, cekatan, juga kuat. Namun, kini Nuwa bingung. Ia ingin latihan tapi terlalu banyak orang di luar, serta tidak ada boneka kayu. Lompat ke sana kemari nanti pasti akan jadi pusat perhatian khalayak ramai. “Terlalu lama tidak latihan, bisa-bisa hilang semua ilmu yang diberikan oleh Kai. Hanya itu sajalah kenangan darinya yang aku miliki.” Nuwa mengunci pintu kamarnya. Ia berjalan kaki membawa uang saja tanpa ponsel. Sebab tiga hari benda itu tidak ada yang menghubungi. Kontak di ponselnya hanya ada Maira saja. Terus saja ia jalan kaki setelah turun dari kereta cepat yang membawanya ke dekat pinggiran kota. Di sana ia jalan-jalan. Tempat pertama yang Nuwa tuju yaitu toko buku. Dulu dia pernah belajar tentang titik-titik vital tubuh manusia bersama Kai. Ada sebuah kitab k
“Tuan, ini binatang peliharaanmu? Dia mengamuk di tengah kota. Aku berusaha menenangkan dan aku antar dia pulang.” Nuwa menyerahkan tali kekang pada salah satu lelaki. “Kau yang menenangkannya?” tanya mereka. “Iya, kenapa?” “Ini kuda paling liar dan sulit diatur, bagaimana bisa?” “Bukan liar, terlalu banyak tekanan, karena itu dia stress. Kuda juga punya perasan, Tuan. Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu.” Nuwa ingin pergi ketika sudah menyerahkan tali kekang itu. Namun, binatang berwarna hitam itu mengikutinya dari belakang. “Aku pendatang di sini, aku belum punya rumah. Ini tempatmu tinggal, kau di sini saja, ya.” Nuwa mendorong kuda itu, lalu berbalik, tetapi masih diikuti. Kuda itu tidak mau ditinggalkan. Nuwa mengantarnya lagi. “Sepertinya, dia jinak denganmu. Padahal dengan kami setiap hari harus dicambuk.” “Ya itulah salahmu, Tuan, kenapa dicambuk. Kau dicambuk mau tidak?” Nuwa terbawa emosi. “Kami jual saja dia padamu, bagaimana?” “Aku tidak punya rumah, tak mungkin
Maira masuk ke rumah tempat tinggal Nuwa. Sedangkan wanita itu sendiri sedang menambatkan kudanya pada sebatang pohon besar. Kai—kuda kesayangan wanita Suku Mui itu tidak mau tinggal di kandang lagi. Dia sangat setia mengikuti Nuwa. Wanita berusia 20 tahun itu berlalu ke dapur dan mengambilkan segelas air putih pada Maira. Nuwa tidak minum manis atau yang lain terlalu sering. Sebab bisa membuat tubuhnya berat saat latihan.“Aku akan merepotkanmu. Sangat merepotkanmu,” ucap Maira, sambil matanya melihat ruang tamu yang kecil itu. Ada gambar siluet tubuh manusia dengan titik-titik merah, ditempel di dinding. Serta gambaran beberapa jurus yang juga dipajang di sana. “Tidak apa-apa, lagi pula aku tidak punya pekerjaan selain mengurus kuda dan latihan seharian,” jawab Nuwa, ia tahu ke mana arah pandangan Maira tertuju. “Ini titik-titik penting tubuh manusia, bisa sebagai sasaran dalam pertarungan, juga bisa berguna untuk ilmu pengobatan.” “Kau bisa mengobati orang sakit?” “Tidak. Aku h
Jeep Maira sampai di kantor polisi. Wanita bermata biru itu langsung membawa Nuwa ke tempat belajar menembak. Setelah menggunakan tutup telinga, Maira menunjukkan caranya membidik lawan satu demi satu. Tentu saja ia yang sudah pengalaman selama belasan tahun bisa melakukannya dengan baik. Tidak dengan Nuwa. “Aku payah sekali dari tadi tidak tepat sasaran.” Peluru Nuwa tidak pernah mencapai titik tengah seperti halnya Maira. “Tidak apa-apa, tidak perlu tepat sasaran sebenarnya, cukup membuat orang terluka saja. Ayo, kita sudahi latihannya. Akan aku perlihatkan di mana lokasi hilangnya suamiku.” Maira meletakkan perlengkapan menembaknya begitu juga dengan Nuwa. Wanita Suku Mui itu lebih interest menggunakan belati daripada pistol. “Di sini, di deretan pegunungan ini Fahmi hilang, sampai sekarang tidak juga ketemu. Sudah dicari sampai ke dalam akar pohon tapi tidak ada jejaknya sama sekali. Setiap kali kami datang, mereka seperti hilang tanpa jejak.” Maira menunjukkan gambar di layar
Sohwa sedang memantau pergerakan di sekitar tempat mereka bersembunyi. Mereka—para tentara Xin Hua itu memang gila. Di negaranya mereka memotong dan meratakan pegunungan untuk membuat perumahan mewah baru untuk para elit pejabat. Di Syam mereka menggali pegunungan sebagai markas tempat berlindung yang tidak pernah diprediksi oleh Maira. “Apakah semuanya aman malam ini?” tanya Sohwa. Ia sangat lelah dan ingin beristirahat. Barusan ia mengksekusi mati tiga anak kecil dan jenazah sudah dikirim ke rumah masing-masing. Saatnya ia minum arak dan tidur sampai pagi. “Aman, Letnan Sohwa,” jawab salah satu mata-matanya. “Baiklah, jangan ganggu aku malam ini, dan jaga Fahmi baik-baik. Dia tawanan spesial Kapten Xia He. Jangan lupa undian kematian jalankan lagi. Aku ingin tidur, rasanya mengantuk sekali.” Sohwa meninggalkan ruangan di mana anak buahnya kerap menyusun rencana sangat keji. Wanita itu masuk ke ruangan pribadinya, menggunakan head set dengan musik full volume dan tidur sampai tub
“Mudah-mudahan kunci ada pada salah satu dari kalian.” “Gawat, ada penyusup. Cepat panggil yang lain dan lapor pad—” Belum selesai wanita itu bicara, sebilah belati menancap di uluhatinya. Ia pun tumbang. Tiga yang lain menoleh ke belakang. Mereka menarik pistol, tetapi Nuwa terlebih dahulu melempar tangan mereka dengan batu lalu melempar seutas tali hingga merampas senjata api tersebut, agar tidak timbul kegaduhan. Misi harus dijalankan setenang mungkin.“Bunuh dia!” Perintah yang pangkatnya paling tinggi. Fahmi yang mendengar keributan itu berusaha mengintip sebisa mungkin. Siluet bayangan tiga perempuan melawan satu orang terlihat jelas diterangi oleh cahaya api yang hidup. Fahmi membelalakkan mata ketika sebuah benda tajam menancap di perut dan ada yang menjerit. Begitu juga ketika terdengar suara patahan tulang lalu hening. Sisa satu lawan satu. Sebuah hantaman menyakitkan diarahkan di bagian tulang yang melindungi jantung. Cukup dua kali pukulan, Nuwa berhasil membuat yang t
Nuwa menarik kudanya ke tempat di mana keran air berada. Ia jadi bahan perhatian beberapa orang yang menunggu. Namun, wanita itu tidak peduli. Ia mencari ember, menghidupkan keran dan memberi minum kudanya yang haus. Sama, Nuwa juga haus sekali, tapi untuk minta air dengan siapa? “Kai, minum.” Wanita berusia 20 tahun itu menyodorkan seember penuh air. Kuda tersebut menghilangkan dahaganya sesegera mungkin. “Apakah aku harus minum air dalam ember ini juga?” tanya Nuwa pada desir pasir yang terus lewat. Air tersebut bersisa, Nuwa mengangkat embernya. Ia lihat sejenak, angkat dan tidak jadi diminum. Nuwa justru menyiram kepalanya yang panas di pagi hari dengan sisa air di dalam ember. “Segar sekali,” ucapnya sambil membersihkan matanya yang serasa terisi pasir. Nuwa tidak sadar dilihat oleh beberapa lelaki di sana. “Astaghfirullah,” ujar mereka bersamaan. Seperti melihat bidadari mandi di siang hari yang panas. Tak baik bagi mata lelaki. “Ayo cepat sana, datangi dia dan tanya apa ya