Maira masuk ke rumah tempat tinggal Nuwa. Sedangkan wanita itu sendiri sedang menambatkan kudanya pada sebatang pohon besar. Kai—kuda kesayangan wanita Suku Mui itu tidak mau tinggal di kandang lagi. Dia sangat setia mengikuti Nuwa. Wanita berusia 20 tahun itu berlalu ke dapur dan mengambilkan segelas air putih pada Maira. Nuwa tidak minum manis atau yang lain terlalu sering. Sebab bisa membuat tubuhnya berat saat latihan.“Aku akan merepotkanmu. Sangat merepotkanmu,” ucap Maira, sambil matanya melihat ruang tamu yang kecil itu. Ada gambar siluet tubuh manusia dengan titik-titik merah, ditempel di dinding. Serta gambaran beberapa jurus yang juga dipajang di sana. “Tidak apa-apa, lagi pula aku tidak punya pekerjaan selain mengurus kuda dan latihan seharian,” jawab Nuwa, ia tahu ke mana arah pandangan Maira tertuju. “Ini titik-titik penting tubuh manusia, bisa sebagai sasaran dalam pertarungan, juga bisa berguna untuk ilmu pengobatan.” “Kau bisa mengobati orang sakit?” “Tidak. Aku h
Jeep Maira sampai di kantor polisi. Wanita bermata biru itu langsung membawa Nuwa ke tempat belajar menembak. Setelah menggunakan tutup telinga, Maira menunjukkan caranya membidik lawan satu demi satu. Tentu saja ia yang sudah pengalaman selama belasan tahun bisa melakukannya dengan baik. Tidak dengan Nuwa. “Aku payah sekali dari tadi tidak tepat sasaran.” Peluru Nuwa tidak pernah mencapai titik tengah seperti halnya Maira. “Tidak apa-apa, tidak perlu tepat sasaran sebenarnya, cukup membuat orang terluka saja. Ayo, kita sudahi latihannya. Akan aku perlihatkan di mana lokasi hilangnya suamiku.” Maira meletakkan perlengkapan menembaknya begitu juga dengan Nuwa. Wanita Suku Mui itu lebih interest menggunakan belati daripada pistol. “Di sini, di deretan pegunungan ini Fahmi hilang, sampai sekarang tidak juga ketemu. Sudah dicari sampai ke dalam akar pohon tapi tidak ada jejaknya sama sekali. Setiap kali kami datang, mereka seperti hilang tanpa jejak.” Maira menunjukkan gambar di layar
Sohwa sedang memantau pergerakan di sekitar tempat mereka bersembunyi. Mereka—para tentara Xin Hua itu memang gila. Di negaranya mereka memotong dan meratakan pegunungan untuk membuat perumahan mewah baru untuk para elit pejabat. Di Syam mereka menggali pegunungan sebagai markas tempat berlindung yang tidak pernah diprediksi oleh Maira. “Apakah semuanya aman malam ini?” tanya Sohwa. Ia sangat lelah dan ingin beristirahat. Barusan ia mengksekusi mati tiga anak kecil dan jenazah sudah dikirim ke rumah masing-masing. Saatnya ia minum arak dan tidur sampai pagi. “Aman, Letnan Sohwa,” jawab salah satu mata-matanya. “Baiklah, jangan ganggu aku malam ini, dan jaga Fahmi baik-baik. Dia tawanan spesial Kapten Xia He. Jangan lupa undian kematian jalankan lagi. Aku ingin tidur, rasanya mengantuk sekali.” Sohwa meninggalkan ruangan di mana anak buahnya kerap menyusun rencana sangat keji. Wanita itu masuk ke ruangan pribadinya, menggunakan head set dengan musik full volume dan tidur sampai tub
“Mudah-mudahan kunci ada pada salah satu dari kalian.” “Gawat, ada penyusup. Cepat panggil yang lain dan lapor pad—” Belum selesai wanita itu bicara, sebilah belati menancap di uluhatinya. Ia pun tumbang. Tiga yang lain menoleh ke belakang. Mereka menarik pistol, tetapi Nuwa terlebih dahulu melempar tangan mereka dengan batu lalu melempar seutas tali hingga merampas senjata api tersebut, agar tidak timbul kegaduhan. Misi harus dijalankan setenang mungkin.“Bunuh dia!” Perintah yang pangkatnya paling tinggi. Fahmi yang mendengar keributan itu berusaha mengintip sebisa mungkin. Siluet bayangan tiga perempuan melawan satu orang terlihat jelas diterangi oleh cahaya api yang hidup. Fahmi membelalakkan mata ketika sebuah benda tajam menancap di perut dan ada yang menjerit. Begitu juga ketika terdengar suara patahan tulang lalu hening. Sisa satu lawan satu. Sebuah hantaman menyakitkan diarahkan di bagian tulang yang melindungi jantung. Cukup dua kali pukulan, Nuwa berhasil membuat yang t
Nuwa menarik kudanya ke tempat di mana keran air berada. Ia jadi bahan perhatian beberapa orang yang menunggu. Namun, wanita itu tidak peduli. Ia mencari ember, menghidupkan keran dan memberi minum kudanya yang haus. Sama, Nuwa juga haus sekali, tapi untuk minta air dengan siapa? “Kai, minum.” Wanita berusia 20 tahun itu menyodorkan seember penuh air. Kuda tersebut menghilangkan dahaganya sesegera mungkin. “Apakah aku harus minum air dalam ember ini juga?” tanya Nuwa pada desir pasir yang terus lewat. Air tersebut bersisa, Nuwa mengangkat embernya. Ia lihat sejenak, angkat dan tidak jadi diminum. Nuwa justru menyiram kepalanya yang panas di pagi hari dengan sisa air di dalam ember. “Segar sekali,” ucapnya sambil membersihkan matanya yang serasa terisi pasir. Nuwa tidak sadar dilihat oleh beberapa lelaki di sana. “Astaghfirullah,” ujar mereka bersamaan. Seperti melihat bidadari mandi di siang hari yang panas. Tak baik bagi mata lelaki. “Ayo cepat sana, datangi dia dan tanya apa ya
Fahmi dibawa ke ruang rawat ketika Maira sudah mengganti baju dan membersihkan tubuh suaminya. Ketika sadarkan diri, yang pertama Fahmi lihat yaitu Maira, mereka berdua di dalam satu ruangan. “Aku pikir kau tak akan kembali.” Maira memegang tangan suaminya. Ada salah satu jemari yang ia rasakan tak punya kekuatan lagi. Fahmi hanya menghela napas panjang saja. “Patah, mereka menyiksaku luar biasa. Cincin kawinku pun hilang.” “Ada di rumah, mereka mengirimnya kembali. Jangan risaukan hal itu, yang penting kau kembali hidup-hidup. Aku berpesan pada Nuwa tadi untuk membawamu hidup atau mati. Syukurlah dia membawamu tanpa kekurangan satu apa pun.” Maira mengecup tangan suaminya berkali-kali. Mata biru wanita itu melihat ke arah infus. Sudah dua kali ganti dan cepat sekali kosong. Ia pun memanggil perawat dan minta dipasangkan yang baru. “Dia kuat sekali dan sadis juga melawan musuh.” Fahmi mengingat kejadian beberapa jam lalu. Bagaimana Nuwa melubangi leher para tentara Xin Hua dengan
Maira dan Fahmi sama-sama menggunakan seragam kepolisian lengkap dengan pengaman di bagian-bagian tubuh yang vital. Wanita bermata biru itu membuka laci. Ia mencari pistolnya tetapi tidak ada. “Eh, tidak ada, ke mana ya?” Maira sampai mengeluarkan isi laci semuanya. Begitu juga dengan belatinya. Padahal dua benda itu ia berikan pada Nuwa. “Tidak ada waktu mencari. Pakai ini saja.” Fahmi memberikan senjata miliknya. “Terus, kau pakai apa?” “Ini, jauh lebih baik.” Fahmi mengeluarkan senapan laras panjangnya.Mereka berdua kemudian berangkat ketika orang-orang masih tidur. Anak ketiga yang masih kecil akan dijaga oleh dua orang kakak lelakinya. Maira yang menyetir lagi karena kaki Fahmi masih sakit. “Kau menghubungi siapa?” tanya Fahmi ketika melihat istrinya mengambil ponsel dan mendial satu nama. “Nuwa, yang menolongmu kemarin.” “Untuk apa? Biarkan dia beristirahat. Dia tidak boleh sebenarnya ikut urusan ini, dia bukan bagian dari kepolisian atau militer. Dia warga sipil yang ha
“Buka pintu penjaranya, Nui.” Sohwa menyerahkan kunci. Bawahan tersebut mengambil dan mulai membuka jeruji besi. “Bagaimana bisa ada mayat bergelimangan di penjara. Penyusupnya pasti benar-benar hebat.” Sohwa sampai tutup mulut mencium bau mayat yang mulai membusuk. Pintu penjara sudah dibuka dan anak-anak mulai ketakutan. “Eksekusi, Nui!” Sohwa memberikan jarum beracunnya. Nui mengambil tiga batang sekaligus. Lalu ia ingin tancapkan ke mata perempuan kejam itu. Sohwa menahan tangan Nui. “Nui, kau penyusupnya. Bedebah kau!” Sohwa kesulitan menahan tangan Nui yang bergerak cepat. Sedikit lagi matanaya akan tertusuk. “Nui sudah mati, yang ada hanya Nuwa. Wei Nuwa, Wei Nuwa. Kau harus ingat namaku sampai di neraka. Aku tidak pernah memaafkan orang-orang seperti kalian.” Nuwa menekan jarum itu lebih dekat. “Kau mengkhianati negaramu!” “Negara tidak pernah peduli padaku,” jawab Nuwa. Sorot mata besar itu sangat memancarkan dendam sangat mendalam atas kematian Kai. Bagi Nuwa semua ten
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun