“Buka pintu penjaranya, Nui.” Sohwa menyerahkan kunci. Bawahan tersebut mengambil dan mulai membuka jeruji besi. “Bagaimana bisa ada mayat bergelimangan di penjara. Penyusupnya pasti benar-benar hebat.” Sohwa sampai tutup mulut mencium bau mayat yang mulai membusuk. Pintu penjara sudah dibuka dan anak-anak mulai ketakutan. “Eksekusi, Nui!” Sohwa memberikan jarum beracunnya. Nui mengambil tiga batang sekaligus. Lalu ia ingin tancapkan ke mata perempuan kejam itu. Sohwa menahan tangan Nui. “Nui, kau penyusupnya. Bedebah kau!” Sohwa kesulitan menahan tangan Nui yang bergerak cepat. Sedikit lagi matanaya akan tertusuk. “Nui sudah mati, yang ada hanya Nuwa. Wei Nuwa, Wei Nuwa. Kau harus ingat namaku sampai di neraka. Aku tidak pernah memaafkan orang-orang seperti kalian.” Nuwa menekan jarum itu lebih dekat. “Kau mengkhianati negaramu!” “Negara tidak pernah peduli padaku,” jawab Nuwa. Sorot mata besar itu sangat memancarkan dendam sangat mendalam atas kematian Kai. Bagi Nuwa semua ten
Nuwa memotong batang pohon kecil-kecil dan mulai membuat bonsai untuk diletakkan di dalam rumah. Hidup di sekeliling padang pasir, sawah dan pegunungan yang jauh membuatnya kekeringan. Sebenarnya ia juga suka merangkai bunga walau tak seindah tangan-tangan lemah lembut perempuan lain. Namun, di sini bunga segar sangat mahal harganya. Lebih baik uangnya ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari saja. Iya, dia menolak santunan pemerintah. Baginya harga diri jauh lebih penting. Bahkan di Xin Hua semiskin apa pun dia tak pernah mengemis, menahan lapar sering. Nuwa masih bisa bekerja menggunakan kedua tangan dan kakinya. Jika ditanyakan memang sejak kembali dari menyelamatkan anak-anak, namanya memang cukup dikenal. Akan tetapi, ia tak pernah memanfaatkan hal itu. Nuwa yang sederhana dari dulu sama saja tidak ada yang berubah dari dirinya. “Di sini tidak ada bunga lotus sama sekali. Padahal akan sangat indah kalau ada di ruang tamu. Bunga pasir saja banyaknya, mending juga bunga bank, ckc
“Ehm, ya sudahlah kalau lupa, jauh lebih baik. Intinya, mereka datang ke sini untuk berlatih bela diri apa namanya itu, wing wing?”“Wing chun.” Nuwa membenarkan ucapan Maira. “Nah itu dia, susah sekali namanya.” “Mereka bertiga?” Nuwa memastikan. “Besok akan datang lebih banyak lagi.” “Eh, jangan dulu. Aku bukanlah seorang guru sebenarnya. Yang guru besar suamiku. Jadi bisa dikatakan aku masih kaku mengajar orang.” “Jadi?” “Tiga ini saja dulu. Anggap saja mereka kelinci percobaanku.” Mata besar Nuwa memandang pemuda di depannya satu demi satu. Wajah khas Arab campuran Balrus, umur masih kecil sudah mulai tumbuh kumis. Besar sedikit brewoknya sudah dipelihara. “Berhentilah mengurus kuda. Untuk yang satu ini kau akan digaji pemerintah. Suamiku sedang mengurus pemberhentian kerjamu.” “Oh, tidak, nanti Kai tidak akan bersamaku.”“Sudah ditebus sekalian.” Maira meyakinkan. “Oh, enak juga hidupku di sini walau kekeringan.” “Kekeringan apa?” “Di sini tidak ada hujan. Padahal bias
“Ha ha ha, tertangkap kau juga akhirnya.” Tak susah bagi Nuwa menangkap Rizki sebab langkah anak itu tersendat karena sesak napas. Dengan membawa sebatang pedang dari kayu wanita Suku Mui itu melihat ketiga anak yang terlihat pasrah di depannya. “Besok, aku tak mau melihat ada kumis di wajah kalian, masih kecil sudah seperti orang tua saja. Bahkan suamiku tak punya kumis satu helai pun.” Nuwa tersenyum sendirian. Dirinya merasa senang bisa bersikap semena-mena pada anak-anak tak berdosa di depannya. Sengaja dia mengangkat pedang kayu dan tiga serangkai itu ketakutan. Sifat anak-anak Nuwa muncul lagi di tempat yang aman. Kalau di Xin Hua setiap hari hidupnya penuh dengan petualangan menyelamatkan diri. “Sebelum dimulai, Rizki, aku akan mencoba mengobati penyakitmu dulu. Ditusuk jarum tidak akan sakit,” ucap Nuwa, dan wajah Rizki langsung pucat. “Silakan duduk di kursi bundar yang aku sediakan,” tunjuk sang guru. Anak Sultan hanya diam saja. “Bawa saudara kalian, kalau tidak …” Terak
Akhrinya Rizki terbatuk cukup kuat. Darah merah kental agak kehitaman ia muntahkan dengan rasa sakit luar biasa teramat sangat. Nuwa mencabut jarum-jarum itu dan memberikan air minum pada anak Sultan. “Pahitnya.” Rizki menolak air itu. “Telan atau kau mati!” ancam Nuwa, dan terpaksa dihabiskan juga. “Air apa ini?” Rizki menelannya dengan terpaksa. “Air comberan,” jawab Nuwa bohong, anak itu serasa ingin memutahkan isi perutnya. “Kak, ada baiknya mungkin dibawa periksa ke rumah sakit sekali lagi untuk memastikan. Kalau masih ada sisa racunnya yang tertinggal, dia tidak bisa ikut latihan, aku takut dia tidak akan kuat.” Pesan Nuwa pada Maira. Mereka semua pulang ketika hari sudah siang. Hari kesembilan, semuanya datang tanpa kekurangan satu pun. Rizki mengejar ketertinggalan selama tujuh hari lamanya. Terkadang drone terbang di atas langit ketika mereka semua latihan bersama. Fahmi merekam kegiatan anak-anak itu sebagai bukti keseriusan Nuwa dalam melatih anak didiknya. Enam bula
“Assalammualaikum, Umi,” ucap Bhani pada Nuwa di depan rumah Gu. “Wa’alaikumussalam, sejak kapan aku kawin sama abimu, ha? Panggil seperti biasa saja,” jawab Nuwa.Maira tertawa mendengar Nuwa bicara terlalu blak-blakan. Atas undangan—sedikit memaksa sebenarnya, Nuwa baru mau datang. Kalau tidak wanita yang kini sudah berusia 21 tahun itu akan memilih di dalam rumah saja atau berkuda jarak jauh. Hari ini adalah hari pertama syawal di Negeri Syam pertama kali untuk Nuwa. Berhubung karena dia tidak memiliki saudara dan sangat terasing di tempat itu, tak tega Maira melihatnya sendirian saja. “Sudahlah, dia hanya anak kecil, ayo, masuk, ibuku sudah menunggumu.” Maira menarik tangan Nuwa. Wanita Suku Mui itu terkejut ketika ada yang menabrak bahunya. Orang itu tak lain adalah Dayyan. Musuh bebuyutannya dari dulu. “Kau, kau masih hidup ternyata. Aku pikir kau sudah lama mati.” Sebelah tangan Nuwa naik ingin menghantam Dayyan. Namun, lagi-lagi tangan itu ditangkap oleh Maira. Hari perta
“Masalahnya apa?” tanya Maira juga penasaran. “Aku tak terlalu paham bahasa Arab. Jadi aku kalau belanja yang perlu-perlu saja. Macam-macam sekali bahasa Arab di pasar, aku jadi bingung.” “Ya tinggal ambil kurma, bayar, pergi, itu saja, gampang.” Naima ikut menyarankan. Nuwa seperti kecanduan kurma di rumah Gu. “Masalahnya, aku hampir berkelahi dengan pedagang kurmanya. Sejak saat itu aku jadi malas.” “Sebabnya?” Maira penasaran. “Dia bicara denganku, suaranya besar sekali. Sampai hampir melompat aku dipanggil olehnya. Ya, ukhti, ukhti, ukhtiii, itu saja yang aku ingat, selebihnya bahasa Arab yang tidak aku mengerti. Badannya besar, kumisnya tebal seperti tuan tanah di film India, cambangnya lagi, burung bisa bersarang di sana. Dia sodorkan kurma agak maksa denganku. Aku sudah bilang, tidak, la, la, la, akhi, la. Aku ingin pergi, dia sodorkan lagi, naik emosiku. Berantem kita, ngajak ribut kau dari tadi, sudah aku gulung lengan gamisku.” Nuwa menarik napas sebentar. “Terus?” Ko
Dayyan baru pulang dari mengajar, tak butuh waktu lama ia pun menjemput Bhani dari latihan di rumah Nuwa. Dari yang lelaki itu lihat, progress putra pertamanya semakin lama semakin membaik. Walau di bulan-bulan awal latihan, Bhani lebih sering menangis karena kelelahan, tangan dan kakinya memerah dan lain sebagainya. Harus Dayyan akui, cara Nuwa melatih sangat keras untuk anak kecil. Dayyan teringat dengan pesan Feme dulu bahwa Bhani harus jadi anak lelaki yang tangguh. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah menasehati agar putranya bersabar. Agar tak salah mengambil keputusan seperti dirinya dulu dan mengakibatkan penyesalan berkepanjangan, sekalipun sudah menerima hukuman setimpal. Rasanya tidak adil, dia yang bersalah, tapi Feme yang meregang nyawa. “Ayah, ini ada bingkisan dari guru, dia katanya membuat banyak.” Bhani mengeluarkan kue pao dari dalam wadah kertas putih. Bentuk yang bulat besar dengan warna putih sangat menarik serta aroma yang sangat wangi. Jarang bahkan mungkin tid