“Ehm, ya sudahlah kalau lupa, jauh lebih baik. Intinya, mereka datang ke sini untuk berlatih bela diri apa namanya itu, wing wing?”“Wing chun.” Nuwa membenarkan ucapan Maira. “Nah itu dia, susah sekali namanya.” “Mereka bertiga?” Nuwa memastikan. “Besok akan datang lebih banyak lagi.” “Eh, jangan dulu. Aku bukanlah seorang guru sebenarnya. Yang guru besar suamiku. Jadi bisa dikatakan aku masih kaku mengajar orang.” “Jadi?” “Tiga ini saja dulu. Anggap saja mereka kelinci percobaanku.” Mata besar Nuwa memandang pemuda di depannya satu demi satu. Wajah khas Arab campuran Balrus, umur masih kecil sudah mulai tumbuh kumis. Besar sedikit brewoknya sudah dipelihara. “Berhentilah mengurus kuda. Untuk yang satu ini kau akan digaji pemerintah. Suamiku sedang mengurus pemberhentian kerjamu.” “Oh, tidak, nanti Kai tidak akan bersamaku.”“Sudah ditebus sekalian.” Maira meyakinkan. “Oh, enak juga hidupku di sini walau kekeringan.” “Kekeringan apa?” “Di sini tidak ada hujan. Padahal bias
“Ha ha ha, tertangkap kau juga akhirnya.” Tak susah bagi Nuwa menangkap Rizki sebab langkah anak itu tersendat karena sesak napas. Dengan membawa sebatang pedang dari kayu wanita Suku Mui itu melihat ketiga anak yang terlihat pasrah di depannya. “Besok, aku tak mau melihat ada kumis di wajah kalian, masih kecil sudah seperti orang tua saja. Bahkan suamiku tak punya kumis satu helai pun.” Nuwa tersenyum sendirian. Dirinya merasa senang bisa bersikap semena-mena pada anak-anak tak berdosa di depannya. Sengaja dia mengangkat pedang kayu dan tiga serangkai itu ketakutan. Sifat anak-anak Nuwa muncul lagi di tempat yang aman. Kalau di Xin Hua setiap hari hidupnya penuh dengan petualangan menyelamatkan diri. “Sebelum dimulai, Rizki, aku akan mencoba mengobati penyakitmu dulu. Ditusuk jarum tidak akan sakit,” ucap Nuwa, dan wajah Rizki langsung pucat. “Silakan duduk di kursi bundar yang aku sediakan,” tunjuk sang guru. Anak Sultan hanya diam saja. “Bawa saudara kalian, kalau tidak …” Terak
Akhrinya Rizki terbatuk cukup kuat. Darah merah kental agak kehitaman ia muntahkan dengan rasa sakit luar biasa teramat sangat. Nuwa mencabut jarum-jarum itu dan memberikan air minum pada anak Sultan. “Pahitnya.” Rizki menolak air itu. “Telan atau kau mati!” ancam Nuwa, dan terpaksa dihabiskan juga. “Air apa ini?” Rizki menelannya dengan terpaksa. “Air comberan,” jawab Nuwa bohong, anak itu serasa ingin memutahkan isi perutnya. “Kak, ada baiknya mungkin dibawa periksa ke rumah sakit sekali lagi untuk memastikan. Kalau masih ada sisa racunnya yang tertinggal, dia tidak bisa ikut latihan, aku takut dia tidak akan kuat.” Pesan Nuwa pada Maira. Mereka semua pulang ketika hari sudah siang. Hari kesembilan, semuanya datang tanpa kekurangan satu pun. Rizki mengejar ketertinggalan selama tujuh hari lamanya. Terkadang drone terbang di atas langit ketika mereka semua latihan bersama. Fahmi merekam kegiatan anak-anak itu sebagai bukti keseriusan Nuwa dalam melatih anak didiknya. Enam bula
“Assalammualaikum, Umi,” ucap Bhani pada Nuwa di depan rumah Gu. “Wa’alaikumussalam, sejak kapan aku kawin sama abimu, ha? Panggil seperti biasa saja,” jawab Nuwa.Maira tertawa mendengar Nuwa bicara terlalu blak-blakan. Atas undangan—sedikit memaksa sebenarnya, Nuwa baru mau datang. Kalau tidak wanita yang kini sudah berusia 21 tahun itu akan memilih di dalam rumah saja atau berkuda jarak jauh. Hari ini adalah hari pertama syawal di Negeri Syam pertama kali untuk Nuwa. Berhubung karena dia tidak memiliki saudara dan sangat terasing di tempat itu, tak tega Maira melihatnya sendirian saja. “Sudahlah, dia hanya anak kecil, ayo, masuk, ibuku sudah menunggumu.” Maira menarik tangan Nuwa. Wanita Suku Mui itu terkejut ketika ada yang menabrak bahunya. Orang itu tak lain adalah Dayyan. Musuh bebuyutannya dari dulu. “Kau, kau masih hidup ternyata. Aku pikir kau sudah lama mati.” Sebelah tangan Nuwa naik ingin menghantam Dayyan. Namun, lagi-lagi tangan itu ditangkap oleh Maira. Hari perta
“Masalahnya apa?” tanya Maira juga penasaran. “Aku tak terlalu paham bahasa Arab. Jadi aku kalau belanja yang perlu-perlu saja. Macam-macam sekali bahasa Arab di pasar, aku jadi bingung.” “Ya tinggal ambil kurma, bayar, pergi, itu saja, gampang.” Naima ikut menyarankan. Nuwa seperti kecanduan kurma di rumah Gu. “Masalahnya, aku hampir berkelahi dengan pedagang kurmanya. Sejak saat itu aku jadi malas.” “Sebabnya?” Maira penasaran. “Dia bicara denganku, suaranya besar sekali. Sampai hampir melompat aku dipanggil olehnya. Ya, ukhti, ukhti, ukhtiii, itu saja yang aku ingat, selebihnya bahasa Arab yang tidak aku mengerti. Badannya besar, kumisnya tebal seperti tuan tanah di film India, cambangnya lagi, burung bisa bersarang di sana. Dia sodorkan kurma agak maksa denganku. Aku sudah bilang, tidak, la, la, la, akhi, la. Aku ingin pergi, dia sodorkan lagi, naik emosiku. Berantem kita, ngajak ribut kau dari tadi, sudah aku gulung lengan gamisku.” Nuwa menarik napas sebentar. “Terus?” Ko
Dayyan baru pulang dari mengajar, tak butuh waktu lama ia pun menjemput Bhani dari latihan di rumah Nuwa. Dari yang lelaki itu lihat, progress putra pertamanya semakin lama semakin membaik. Walau di bulan-bulan awal latihan, Bhani lebih sering menangis karena kelelahan, tangan dan kakinya memerah dan lain sebagainya. Harus Dayyan akui, cara Nuwa melatih sangat keras untuk anak kecil. Dayyan teringat dengan pesan Feme dulu bahwa Bhani harus jadi anak lelaki yang tangguh. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah menasehati agar putranya bersabar. Agar tak salah mengambil keputusan seperti dirinya dulu dan mengakibatkan penyesalan berkepanjangan, sekalipun sudah menerima hukuman setimpal. Rasanya tidak adil, dia yang bersalah, tapi Feme yang meregang nyawa. “Ayah, ini ada bingkisan dari guru, dia katanya membuat banyak.” Bhani mengeluarkan kue pao dari dalam wadah kertas putih. Bentuk yang bulat besar dengan warna putih sangat menarik serta aroma yang sangat wangi. Jarang bahkan mungkin tid
"Ben lu,” umpat Nuwa dalam bahasanya. Dayyan mencoba maklum. “Kalau ingin ikut kelas, silakan duduk dan kita mulai belajar seperti biasa. Hari ini aku maafkan keterlembatanmu.” Lelaki itu mempersilakan Nuwa duduk. “Hei, siapa kau berani mengaturku, ha?” Nuwa berkacak pinggang. Ia diperhatikan oleh sembilan belas murid di sana. “Ehm, tenanglah dulu.” “Ni tule (kau si botak). Ni zai zheli zhuo shenme (apa yang kau lakukan di sini).” Nuwa terbawa emosi. Suaranya memang terdengar manja tapi kalau sedang marah bisa menggelegar seperti komandan pasukan perang, iya pasukan wortel berkaki dan tangan. “Aku tak paham yang kau katakan, aku di sini mengajar, silakan duduk, ada pun dendam lama jangan dibawa ke dalam kelas.” “Wo bu xihuan kan dao ni (aku tak suka melihatmu).” Tangan Nuwa sudah terkepal, ingin rasanya dia mengajak Dayyan duel lagi seperti dulu. Tak sadar perempuan itu telah menjadi pusat perhatian wanita di dalam kelas. “Ada apa ini?” Dua orang petugas di bawah sampai ke atas
Dayyan—anak pertama Ali yang menjadi tentara sejak usia muda, tetapi berakhir ketika salah menjatuhkan vonis hukuman terhadap Nuwa. Hingga akhirnya ia harus merasakan akibatnya. Memang secara teori ia sudah tidak lagi bekerja di bidang militer. Namun, kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa ia kerap membantu bawahan juga melalui jalur tidak resmi tapi tidak juga ilegal. Selain masih membantu, disiplin lelaki itu juga masih sangat membekas, dan terbawa ke tempatnya mengajar.Ayah Bhani tak suka ada yang terlambat, bahkan semua siswi sudah harus berada di kelas sebelum dia datang. Hari ketujuh kelas belajar dengan banyak sekali drama. Nuwa sering membuatnya jengkel. Dan berakhir wanita itu dihukum berdiri di depan kelas. Sayangnya, mau disuruh berdiri satu jam atau dua jam sekali pun Nuwa kuat saja. Jangankan dua kaki, satu kaki juga ia sanggup. Dayyan termasuk syeikh killer di kelas. Semua demi agar siswi bisa lancar berbahasa Arab enam bulan kemudian. Atau jika nilai tidak memuaska
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun