“Assalammualaikum, Umi,” ucap Bhani pada Nuwa di depan rumah Gu. “Wa’alaikumussalam, sejak kapan aku kawin sama abimu, ha? Panggil seperti biasa saja,” jawab Nuwa.Maira tertawa mendengar Nuwa bicara terlalu blak-blakan. Atas undangan—sedikit memaksa sebenarnya, Nuwa baru mau datang. Kalau tidak wanita yang kini sudah berusia 21 tahun itu akan memilih di dalam rumah saja atau berkuda jarak jauh. Hari ini adalah hari pertama syawal di Negeri Syam pertama kali untuk Nuwa. Berhubung karena dia tidak memiliki saudara dan sangat terasing di tempat itu, tak tega Maira melihatnya sendirian saja. “Sudahlah, dia hanya anak kecil, ayo, masuk, ibuku sudah menunggumu.” Maira menarik tangan Nuwa. Wanita Suku Mui itu terkejut ketika ada yang menabrak bahunya. Orang itu tak lain adalah Dayyan. Musuh bebuyutannya dari dulu. “Kau, kau masih hidup ternyata. Aku pikir kau sudah lama mati.” Sebelah tangan Nuwa naik ingin menghantam Dayyan. Namun, lagi-lagi tangan itu ditangkap oleh Maira. Hari perta
“Masalahnya apa?” tanya Maira juga penasaran. “Aku tak terlalu paham bahasa Arab. Jadi aku kalau belanja yang perlu-perlu saja. Macam-macam sekali bahasa Arab di pasar, aku jadi bingung.” “Ya tinggal ambil kurma, bayar, pergi, itu saja, gampang.” Naima ikut menyarankan. Nuwa seperti kecanduan kurma di rumah Gu. “Masalahnya, aku hampir berkelahi dengan pedagang kurmanya. Sejak saat itu aku jadi malas.” “Sebabnya?” Maira penasaran. “Dia bicara denganku, suaranya besar sekali. Sampai hampir melompat aku dipanggil olehnya. Ya, ukhti, ukhti, ukhtiii, itu saja yang aku ingat, selebihnya bahasa Arab yang tidak aku mengerti. Badannya besar, kumisnya tebal seperti tuan tanah di film India, cambangnya lagi, burung bisa bersarang di sana. Dia sodorkan kurma agak maksa denganku. Aku sudah bilang, tidak, la, la, la, akhi, la. Aku ingin pergi, dia sodorkan lagi, naik emosiku. Berantem kita, ngajak ribut kau dari tadi, sudah aku gulung lengan gamisku.” Nuwa menarik napas sebentar. “Terus?” Ko
Dayyan baru pulang dari mengajar, tak butuh waktu lama ia pun menjemput Bhani dari latihan di rumah Nuwa. Dari yang lelaki itu lihat, progress putra pertamanya semakin lama semakin membaik. Walau di bulan-bulan awal latihan, Bhani lebih sering menangis karena kelelahan, tangan dan kakinya memerah dan lain sebagainya. Harus Dayyan akui, cara Nuwa melatih sangat keras untuk anak kecil. Dayyan teringat dengan pesan Feme dulu bahwa Bhani harus jadi anak lelaki yang tangguh. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah menasehati agar putranya bersabar. Agar tak salah mengambil keputusan seperti dirinya dulu dan mengakibatkan penyesalan berkepanjangan, sekalipun sudah menerima hukuman setimpal. Rasanya tidak adil, dia yang bersalah, tapi Feme yang meregang nyawa. “Ayah, ini ada bingkisan dari guru, dia katanya membuat banyak.” Bhani mengeluarkan kue pao dari dalam wadah kertas putih. Bentuk yang bulat besar dengan warna putih sangat menarik serta aroma yang sangat wangi. Jarang bahkan mungkin tid
"Ben lu,” umpat Nuwa dalam bahasanya. Dayyan mencoba maklum. “Kalau ingin ikut kelas, silakan duduk dan kita mulai belajar seperti biasa. Hari ini aku maafkan keterlembatanmu.” Lelaki itu mempersilakan Nuwa duduk. “Hei, siapa kau berani mengaturku, ha?” Nuwa berkacak pinggang. Ia diperhatikan oleh sembilan belas murid di sana. “Ehm, tenanglah dulu.” “Ni tule (kau si botak). Ni zai zheli zhuo shenme (apa yang kau lakukan di sini).” Nuwa terbawa emosi. Suaranya memang terdengar manja tapi kalau sedang marah bisa menggelegar seperti komandan pasukan perang, iya pasukan wortel berkaki dan tangan. “Aku tak paham yang kau katakan, aku di sini mengajar, silakan duduk, ada pun dendam lama jangan dibawa ke dalam kelas.” “Wo bu xihuan kan dao ni (aku tak suka melihatmu).” Tangan Nuwa sudah terkepal, ingin rasanya dia mengajak Dayyan duel lagi seperti dulu. Tak sadar perempuan itu telah menjadi pusat perhatian wanita di dalam kelas. “Ada apa ini?” Dua orang petugas di bawah sampai ke atas
Dayyan—anak pertama Ali yang menjadi tentara sejak usia muda, tetapi berakhir ketika salah menjatuhkan vonis hukuman terhadap Nuwa. Hingga akhirnya ia harus merasakan akibatnya. Memang secara teori ia sudah tidak lagi bekerja di bidang militer. Namun, kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa ia kerap membantu bawahan juga melalui jalur tidak resmi tapi tidak juga ilegal. Selain masih membantu, disiplin lelaki itu juga masih sangat membekas, dan terbawa ke tempatnya mengajar.Ayah Bhani tak suka ada yang terlambat, bahkan semua siswi sudah harus berada di kelas sebelum dia datang. Hari ketujuh kelas belajar dengan banyak sekali drama. Nuwa sering membuatnya jengkel. Dan berakhir wanita itu dihukum berdiri di depan kelas. Sayangnya, mau disuruh berdiri satu jam atau dua jam sekali pun Nuwa kuat saja. Jangankan dua kaki, satu kaki juga ia sanggup. Dayyan termasuk syeikh killer di kelas. Semua demi agar siswi bisa lancar berbahasa Arab enam bulan kemudian. Atau jika nilai tidak memuaska
“Iya, suamiku memang orang baik, dia gemar bersedekah, dan santun pada orang tuaku, anak-anak pun kagum padanya.” Nuwa membaca sesuai dialog. Dayyan tersenyum, sudah mulai lancar Nuwa membaca sejak rajin dihukum. “Sedekah apanya, kami orang miskin pun dulu.” Kenyataan yang ada diungkit lagi. “Alhamdulillah, Ukhti, apa boleh aku bertemu dengan suamimu sekalian,” ucap siswi asal India itu, mata besar Nuwa semakin melebar. “Untuk apa, ha? Suamiku sudah dikubur, kau masuklah sana dalam kuburannya sekalian. Dari tadi kau tanya-tanya tentang dia.” Nuwa maju dan siswi asal India itu ketakutan. Priiiiit. Dayyan membunyikan pluit. Sakit kepalanya melihat perangai istimewa Nuwa seperti anak tak bisa diatur. “Dialognya baca dengan benar, Nuwa!” Kesal Dayyan. Nuwa menarik napas panjang, serasa habis olahraga menuruni pegunungan yang sangat tinggi. “Iya, Ukhti, tunggu sebentar lagi dia akan pulang dari masjid, atau kau mau makan pagi bersamaku dulu.” Jemari tangan Nuwa terkepal erat, mana
“Wooaah, mimpi apa aku barusan, menyebalkan sekali, bisa-bisanya aku dikejar naga.” Nuwa bangun dari tidur dengan napas tersengal-sengal. Sebelum tidur tadi dia mencoba membaca buku yang betul-betul bertuliskan bahasa full arab tanpa translate sama sekali, tanpa petunjuk tanpa harakat. Tugas dari Syeikh Dayyan, untuk besok diceritakan kembali. Namun, imajinasi Nuwa malah melayang bebas. Buku tak terbaca, ia pun mengkhayal menjadi dewi yang memimpin perang sambil terbang ke sana sini, melawan naga. Tak menang, dia yang hampir ditelan oleh naga. Wanita itu tak bisa tidur lagi. Matanya kemudian memandang kalender di depan mata. Teringat Nuwa perpisahannya dengan Kai sudah satu tahun jika menggunakan kalender masehi. Satu tahun sudah pula ia kehilangan bayi dalam kandungannya. Namun, sampai sekarang ia belum berminat sama sekali untuk membentuk sebuah keluarga baru. Padahal banyak pinangan datang dan pergi. “Satu tahun lalu, Kai. Kau dulu pernah bilang bahwa tujuh tahun waktu yang dibu
Kai, dia yang menjagaku sejak aku kehilangan orang tua juga dua kakakku. Di usia tujuh tahun tepatnya aku menjadi yatim piatu. Aku dipaksa menyaksikan eksekusi mati keluargaku dengan cara ditembak mati. Tentu saja atas tuduhan pemberontakan yang tak pernah kami lakukan. Hanya aku yang disisakan hidup. Kata tentara biadab itu, karena mataku indah dan suatu hari nanti aku pasti akan jadi gadis yang cantik. Aku tak paham apa maknanya, dan ternyata dia ingin menjadikanku pelacurnya. Sejak saat itulah aku kerap menangis. Aku lapar dan haus, lalu Kai muncul dan memberikanku jatah makannya, dibagi dua denganku. Selalu seperti itu. Suku kami tidak ada yang kaya lagi, semuanya miskin, bahasa menyedihkannya kami adalah orang yang layak diberikan sedekah dan zakat. Perlahan-lahan kesedihanku memudar. Aku harus bangkit.Aku berniat tidak boleh terus-menerus menyusahkan Kai, di mana waktu itu dia sudah menjadi pelatih wing chun. Yang aku dengar, dia orang hebat dan kuat. Sejak saat itu aku menc