“Mudah-mudahan kunci ada pada salah satu dari kalian.” “Gawat, ada penyusup. Cepat panggil yang lain dan lapor pad—” Belum selesai wanita itu bicara, sebilah belati menancap di uluhatinya. Ia pun tumbang. Tiga yang lain menoleh ke belakang. Mereka menarik pistol, tetapi Nuwa terlebih dahulu melempar tangan mereka dengan batu lalu melempar seutas tali hingga merampas senjata api tersebut, agar tidak timbul kegaduhan. Misi harus dijalankan setenang mungkin.“Bunuh dia!” Perintah yang pangkatnya paling tinggi. Fahmi yang mendengar keributan itu berusaha mengintip sebisa mungkin. Siluet bayangan tiga perempuan melawan satu orang terlihat jelas diterangi oleh cahaya api yang hidup. Fahmi membelalakkan mata ketika sebuah benda tajam menancap di perut dan ada yang menjerit. Begitu juga ketika terdengar suara patahan tulang lalu hening. Sisa satu lawan satu. Sebuah hantaman menyakitkan diarahkan di bagian tulang yang melindungi jantung. Cukup dua kali pukulan, Nuwa berhasil membuat yang t
Nuwa menarik kudanya ke tempat di mana keran air berada. Ia jadi bahan perhatian beberapa orang yang menunggu. Namun, wanita itu tidak peduli. Ia mencari ember, menghidupkan keran dan memberi minum kudanya yang haus. Sama, Nuwa juga haus sekali, tapi untuk minta air dengan siapa? “Kai, minum.” Wanita berusia 20 tahun itu menyodorkan seember penuh air. Kuda tersebut menghilangkan dahaganya sesegera mungkin. “Apakah aku harus minum air dalam ember ini juga?” tanya Nuwa pada desir pasir yang terus lewat. Air tersebut bersisa, Nuwa mengangkat embernya. Ia lihat sejenak, angkat dan tidak jadi diminum. Nuwa justru menyiram kepalanya yang panas di pagi hari dengan sisa air di dalam ember. “Segar sekali,” ucapnya sambil membersihkan matanya yang serasa terisi pasir. Nuwa tidak sadar dilihat oleh beberapa lelaki di sana. “Astaghfirullah,” ujar mereka bersamaan. Seperti melihat bidadari mandi di siang hari yang panas. Tak baik bagi mata lelaki. “Ayo cepat sana, datangi dia dan tanya apa ya
Fahmi dibawa ke ruang rawat ketika Maira sudah mengganti baju dan membersihkan tubuh suaminya. Ketika sadarkan diri, yang pertama Fahmi lihat yaitu Maira, mereka berdua di dalam satu ruangan. “Aku pikir kau tak akan kembali.” Maira memegang tangan suaminya. Ada salah satu jemari yang ia rasakan tak punya kekuatan lagi. Fahmi hanya menghela napas panjang saja. “Patah, mereka menyiksaku luar biasa. Cincin kawinku pun hilang.” “Ada di rumah, mereka mengirimnya kembali. Jangan risaukan hal itu, yang penting kau kembali hidup-hidup. Aku berpesan pada Nuwa tadi untuk membawamu hidup atau mati. Syukurlah dia membawamu tanpa kekurangan satu apa pun.” Maira mengecup tangan suaminya berkali-kali. Mata biru wanita itu melihat ke arah infus. Sudah dua kali ganti dan cepat sekali kosong. Ia pun memanggil perawat dan minta dipasangkan yang baru. “Dia kuat sekali dan sadis juga melawan musuh.” Fahmi mengingat kejadian beberapa jam lalu. Bagaimana Nuwa melubangi leher para tentara Xin Hua dengan
Maira dan Fahmi sama-sama menggunakan seragam kepolisian lengkap dengan pengaman di bagian-bagian tubuh yang vital. Wanita bermata biru itu membuka laci. Ia mencari pistolnya tetapi tidak ada. “Eh, tidak ada, ke mana ya?” Maira sampai mengeluarkan isi laci semuanya. Begitu juga dengan belatinya. Padahal dua benda itu ia berikan pada Nuwa. “Tidak ada waktu mencari. Pakai ini saja.” Fahmi memberikan senjata miliknya. “Terus, kau pakai apa?” “Ini, jauh lebih baik.” Fahmi mengeluarkan senapan laras panjangnya.Mereka berdua kemudian berangkat ketika orang-orang masih tidur. Anak ketiga yang masih kecil akan dijaga oleh dua orang kakak lelakinya. Maira yang menyetir lagi karena kaki Fahmi masih sakit. “Kau menghubungi siapa?” tanya Fahmi ketika melihat istrinya mengambil ponsel dan mendial satu nama. “Nuwa, yang menolongmu kemarin.” “Untuk apa? Biarkan dia beristirahat. Dia tidak boleh sebenarnya ikut urusan ini, dia bukan bagian dari kepolisian atau militer. Dia warga sipil yang ha
“Buka pintu penjaranya, Nui.” Sohwa menyerahkan kunci. Bawahan tersebut mengambil dan mulai membuka jeruji besi. “Bagaimana bisa ada mayat bergelimangan di penjara. Penyusupnya pasti benar-benar hebat.” Sohwa sampai tutup mulut mencium bau mayat yang mulai membusuk. Pintu penjara sudah dibuka dan anak-anak mulai ketakutan. “Eksekusi, Nui!” Sohwa memberikan jarum beracunnya. Nui mengambil tiga batang sekaligus. Lalu ia ingin tancapkan ke mata perempuan kejam itu. Sohwa menahan tangan Nui. “Nui, kau penyusupnya. Bedebah kau!” Sohwa kesulitan menahan tangan Nui yang bergerak cepat. Sedikit lagi matanaya akan tertusuk. “Nui sudah mati, yang ada hanya Nuwa. Wei Nuwa, Wei Nuwa. Kau harus ingat namaku sampai di neraka. Aku tidak pernah memaafkan orang-orang seperti kalian.” Nuwa menekan jarum itu lebih dekat. “Kau mengkhianati negaramu!” “Negara tidak pernah peduli padaku,” jawab Nuwa. Sorot mata besar itu sangat memancarkan dendam sangat mendalam atas kematian Kai. Bagi Nuwa semua ten
Nuwa memotong batang pohon kecil-kecil dan mulai membuat bonsai untuk diletakkan di dalam rumah. Hidup di sekeliling padang pasir, sawah dan pegunungan yang jauh membuatnya kekeringan. Sebenarnya ia juga suka merangkai bunga walau tak seindah tangan-tangan lemah lembut perempuan lain. Namun, di sini bunga segar sangat mahal harganya. Lebih baik uangnya ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari saja. Iya, dia menolak santunan pemerintah. Baginya harga diri jauh lebih penting. Bahkan di Xin Hua semiskin apa pun dia tak pernah mengemis, menahan lapar sering. Nuwa masih bisa bekerja menggunakan kedua tangan dan kakinya. Jika ditanyakan memang sejak kembali dari menyelamatkan anak-anak, namanya memang cukup dikenal. Akan tetapi, ia tak pernah memanfaatkan hal itu. Nuwa yang sederhana dari dulu sama saja tidak ada yang berubah dari dirinya. “Di sini tidak ada bunga lotus sama sekali. Padahal akan sangat indah kalau ada di ruang tamu. Bunga pasir saja banyaknya, mending juga bunga bank, ckc
“Ehm, ya sudahlah kalau lupa, jauh lebih baik. Intinya, mereka datang ke sini untuk berlatih bela diri apa namanya itu, wing wing?”“Wing chun.” Nuwa membenarkan ucapan Maira. “Nah itu dia, susah sekali namanya.” “Mereka bertiga?” Nuwa memastikan. “Besok akan datang lebih banyak lagi.” “Eh, jangan dulu. Aku bukanlah seorang guru sebenarnya. Yang guru besar suamiku. Jadi bisa dikatakan aku masih kaku mengajar orang.” “Jadi?” “Tiga ini saja dulu. Anggap saja mereka kelinci percobaanku.” Mata besar Nuwa memandang pemuda di depannya satu demi satu. Wajah khas Arab campuran Balrus, umur masih kecil sudah mulai tumbuh kumis. Besar sedikit brewoknya sudah dipelihara. “Berhentilah mengurus kuda. Untuk yang satu ini kau akan digaji pemerintah. Suamiku sedang mengurus pemberhentian kerjamu.” “Oh, tidak, nanti Kai tidak akan bersamaku.”“Sudah ditebus sekalian.” Maira meyakinkan. “Oh, enak juga hidupku di sini walau kekeringan.” “Kekeringan apa?” “Di sini tidak ada hujan. Padahal bias
“Ha ha ha, tertangkap kau juga akhirnya.” Tak susah bagi Nuwa menangkap Rizki sebab langkah anak itu tersendat karena sesak napas. Dengan membawa sebatang pedang dari kayu wanita Suku Mui itu melihat ketiga anak yang terlihat pasrah di depannya. “Besok, aku tak mau melihat ada kumis di wajah kalian, masih kecil sudah seperti orang tua saja. Bahkan suamiku tak punya kumis satu helai pun.” Nuwa tersenyum sendirian. Dirinya merasa senang bisa bersikap semena-mena pada anak-anak tak berdosa di depannya. Sengaja dia mengangkat pedang kayu dan tiga serangkai itu ketakutan. Sifat anak-anak Nuwa muncul lagi di tempat yang aman. Kalau di Xin Hua setiap hari hidupnya penuh dengan petualangan menyelamatkan diri. “Sebelum dimulai, Rizki, aku akan mencoba mengobati penyakitmu dulu. Ditusuk jarum tidak akan sakit,” ucap Nuwa, dan wajah Rizki langsung pucat. “Silakan duduk di kursi bundar yang aku sediakan,” tunjuk sang guru. Anak Sultan hanya diam saja. “Bawa saudara kalian, kalau tidak …” Terak