“Oooh, kau, aku kikis kepala botakmu baru kau tahu.” Aku ingin maju, tapi Kai menahanku. “Jangan marah-marah Nuwa. Anggap saja tong kosong nyaring bunyinya.” “Tong sampah masih lebih baik daripada dia. Benci sekali aku melihat si tua ini.”“Sudah, lebih baik kita mandikan kuda-kuda ini. Siang nanti kita pulang.” Kai memang selalu bisa menenangkanku. Waktu berjalan terus dengan hanya kami berdua saja. Perlahan-lahan aku bisa menunggang dan membawa kuda berlari kencang. Terkadang demi menghindari keributan dengan tentara Xin Hua kami pulang pergi lewat hutan, cari jalan aman. Hidup berdua dalam himpitan ekonomi yang kadang Tuan Wong jika tidak senang hati, akan membayar gaji kami berdua sangat sedikit. Sering pula kami mencari sayuran liar ketika di pekarangan belakang sudah habis. Apa saja asal kami masih bersama. Latihan yang diberikan Kai memberikan hasil luar biasa pada tubuhku. Pernah Kai minta maaf padaku. Aku pikir kenapa, rupanya dia ingin menguji daya tahan otot di perutku
Bagian terbaik dalam hidupku di sini adalah, ketika menyelamatkan anak-anak itu dari penjara bedebah sialan anak buah Xia He. Karena setelahnya aku merasa hidupku jadi berbeda. Orang-orang mulai mengenalku, tapi aku tidak mengenal banyak orang. Kendala bahasa menjadi penyebab. Juga cara bicara orang di sini sangat keras, seperti marah-marah setiap hari. Hei, menurutku pribadi itu seperti menakut-nakuti orang. Sudahlah yang lelakinya di sini badannya besar-besar. Khalid si pegulat itu salah satunya. Eh, tapi dia kalah denganku yang kecil, kurus, kerempeng, dan seperti kekurangan gizi ini.“Hah, dia mengalahkan pegulat. Kenapa aku tidak tahu berita ini? Luar biasa. Apa yang kau makan setiap hari. Makan batu atau kayu?” gumam Dayyan melanjutkan baca cerita salah satu muridnya. Aku masih mengurus kandang kuda. Ya, aku tidak mahir urusan lain, karena dari dulu sudah putus sekolah. Sampai akhirnya Kak Maira datang dan membawa tiga orang anak lelaki yang masih kecil tapi sudah kelihatan ba
Ternyata tidak hanya di dunia nyata orangnya aneh, tapi di dalam mimpi pun sama juga. Pernah Nuwa datang sebagai panglima pasukan perang yang anak buahnya wortel semua. Sebagai bentuk Dayyan menghargai kegigihan Nuwa dalam menulis olehnya diberi nilai C, daripada D. Besok paginya. Dayyan membagikan buku satu demi satu kepada mereka. Sudah diberi nilai dan Nuwa bersorak sendirian. “Waahh, tinggi nilaiku C. Akhirnyaaaa.” Senang sekali wanita itu dapat vitamin C. “Yang tinggi itu nilai A dan B, bukan C. Kau paham?” tanya Dayyan. “Tidak. Yang penting dinilai. Selesai.” “Baik, sebelum kelas dimulai, ada beberapa kata yang harus aku sampaikan pada kalian, sebuah nasehat untuk kita semua sebenarnya.” Dayyan menghela napas sejenak. “Dalam hidup ini setiap yang bernyawa pasti akan mati. Wajar sebagai manusia kita bersedih, menangis pun boleh, yang tidak boleh itu meratap sampai menyalahkan takdir. Allah lebih tahu apa yang terbaik buat hamba-hambanya.” “Apakah dia sedang berkata tenta
Xia He—pasca dikalahkan oleh Kai saat duel setahun lalu, terus melatih ketangkasan dirinya. Ia menjadi lebih cepat, gesit, dan lentur. Hanya sekali dia boleh dikalahkan selebihnya tidak akan pernah ada peristiwa yang sama. Sore itu sang mayor berlatih dengan menggunakan dua pedang besi yang tajam dan mematikan. Ia berayun, melompat, menebas kayu hingga terpotong jadi dua. Sampai keringat menetes di seluruh tubuhnya, dan bawahan Xia He datang menghadap. “Nona, tapi bukankah kita sudah terlalu lama berdiam diri setelah kekalahan Letnan Sohwa. Sudah saatnya kita kembali ke Syam, bukan?” tanya bawahan Xia He. “Aku tidak diam. Mata-mataku terus bergerak. Adikku, di mana dia, aku harus menemuinya langsung.”Xia He memakai mantel bulu untuk mengusir rasa dingin akibat angin yang bertiup sangat kencang. Dengan cekatan bawahannya mengendarai mobil menuju tempat para assasin berlatih. Mereka terdiri dari perempuan-perempuan dengan kemampuan yang berbeda. Tugas mereka hanya satu, yaitu membun
Sore itu anak-anak dijemput dengan Sultan dan Naima. Nuwa tak ingat siapa Sultan, dengan Naima juga agak lupa. “Wortel, besok pagi aku akan beli wortel banyak-banyak. Rasakanlah kau pembalasanku.” Wanita Suku Mui itu masuk ke dalam rumah. Namun, ia sempat menoleh sejenak. Entah mengapa rasa hati tidak tenang seperti ada yang memperhatikannya dari jauh. “Mungkin hanya perasaanku saja,” ujar guru wing chun tersebut dan ia lekas menutup pintu rapat-rapat.Malam itu cuaca dingin sekali. Tak nyenyak tidur Nuwa, ia merasa diawasi dari segala arah. Wanita tersebut sampai membuka jendela dan pasir berterbangan mengenai mata besarnya. Sekilas ia seperti melihat sekelebat bayangan hitam yang melintas di dekat rumahnya. Bahkan Kai pun mulai meringkik. Nuwa berdiri, meraih khimar, jaket, dan langsung ke luar kamar. “Kau lihat sesuau, Kai?” tanya Nuwa. Insting binatang tidak pernah salah menyangkut bahaya di depan mata. “Tidak ada siapa-siapa di sini. Perasaanku saja atau jangan-jangan tentar
Dayyan baru saja kembali dari perbatasan tempat dia menemukan Nuwa dulu. Mantan tentara itu mendapat berita tentang rumah muridnya yang diterobos masuk oleh tiga perempuan tak dikenal, dan berbahasa sama dengan Nuwa. Atas saran ayah Bhani, tempat dulu di mana Maira dan Fahmi menangkap kumpulan penjahat itu diperiksa ulang. Beberapa orang bergerak dengan senjata lengkap dan tidak ada apa-apa sama sekali di sana. Hanya rumput liar yang tumbuh seperti biasa. “Kalau mereka di sana, pasti mereka cari mati. Periksa juga tempat yang lain. Bahkan kalau perlu minta koordinasi dengan Maira dan Fahmi, bisa jadi mereka menginap di kota atau di rumah penduduk. Menyamar menjadi muslimah, atau menyandera penduduk tapi warga tidak berani meminta tolong. Minta petugas perempuan untuk mendata setiap pendatang baru dan jika ada yang mencurigakan Kak Maira pasti akan segera bergerak. Berlakukan lagi jam malam untuk anak-anak dan perempuan,” saran dari Dayyan. “Dan satu lagi. Jaga rumah perempuan itu da
Kelas yang terlambat karena kesalahan Dayyan digeser jam pulangnya. Nuwa menarik napas panjang, dia kira nanti akan pulang seperti biasa. Padahal wantia bermata besar dan bulat itu ingin belanja kebutuhan dapur yang hancur tercerai berai di lantai. “Yang terlambat dia, kita disuruh menanggungnya,” gumam wanita Suku Mui itu perlahan. “Ada yang tidak senang?” tanya Dayyan. “La, Syeikh, laaa,” jawab semuanya termasuk Nuwa. Killer memang Dayyan, tapi demi siswi di dalam kelas cepat bisa bahasa Arab, terutama Nuwa yang perkembangannya agak lambat. Dayyan meminta semua membuka buku dan mencari halaman selanjutnya. Ada sebuah cerita yang cukup panjang dengan tingkat kesulitan yang mampu mengasah kemampuan berbahasa jadi lebih baik. “Karena sulit, silakan bentuk kelompok sendiri, satu kelompok empat orang, kerjakan dengan tenang, jangan ada ghibah atau dihukum. Mengerti sampai di sini, ukhti-ukhti semuanya?” tanya Dayyan dari mejanya. “Na’am, Syeikh,” jawab semuanya serempak seperti an
“Masak?” Nuwa tak sadar. “Coba kau ucapkan, ulang lagi sendirian.” Padma ikut-ikutan. “Xie xie, Syeikh, xie xie, Syeikh, xie xie Syeikh.” Begitu terus diulang-ulang oleh Nuwa sampai tiga temannya ikutan tertawa. Kelompok paling ribut di antara yang lain. “Kerjakan dengan tenang di meja atau berdiri di depan kelas!” teguran datang lagi dari Dayyan. “Kerjakan dengan tenang, Syeikh, afwan.” Fani minta maaf. Jangan harap Nuwa mau melakukannya. Suasana kelas kembali hening seperti semula. Dayyan bisa fokus membaca berita. Tik tok tik tok tik tok, hanya suara detak arloji yang terdengar di dalam kelas. Dayyan izin keluar sebentar karena harus menelepon seseorang. Pesannya kerjakan dengan baik dan benar atau jam belajar akan dikali dua, tugas dikali tiga. “Akhirnya dia keluar juga.” Wanita bermata besar itu mengembuskan napas lega. Waktu terasa lama berjalan padahal perutnya sudah lapar lagi. “Nuwa, kau benar menonton film India?” Pertanyaan Anjali tadi yang tertunda. “Hmm, daripada