"Hidup nyatanya penuh dengan teka-teki. Saat kamu mengharap A, maka ada B yang Tuhan berikan sebagai gantinya. Bukan tanpa sebab, tapi ada alasan pasti, dan sebuah hikmah dari teka-teki itu."***"Siapa bilang kalau saya belum mencintai kamu?"Pertanyaan itu nyatanya mampu membuat Biru tersentak. Ia melepas pelukannya, lalu memandangi Ava dengan intens. Ia cari kebenaran dalam setiap binar yang tergambar jelas. Di kedua tangan yang meraup lengan Ava dengan erat, terdapat sebuah kekuatan kecil yang memaksa gadis itu untuk tersenyum. Ava tahu Biru pasti terkejut."Maksud kamu apa?"Ava mengangkat tangannya, meraih wajah Biru, dan mengusapnya lembut. "Saya sudah pernah bilang kan, saya takut kehilangan kamu saat kamu tertembak? Itu mungkin bukan pernyataan cinta, tapi sebuah bentuk rasa yang sama dengan cinta. Kalau saya enggak punya rasa ke kamu, mungkin saya enggak akan membalas ciuman kamu. Saya mungkin akan mendorong kamu.""Jadi?" tanya Biru lagi dengan ekspresi yang begitu heran. "
"Hanya butuh waktu, segala hal bisa terwujud. Sayangnya manusia suka tidak sabar, lalu berusaha mengakhiri penantian dengan curang. Padahal menunggu sedikit lebih lama, akan membuatmu dua kali lipat lebih bahagia."***"Saya akan berdiri di belakang Anda."Biru tersenyum lega. Begitu pun dengan Althaf. Mereka bahkan memberi Purwanto hadiah. Padahal pria itu belum sama sekali memberi Biru dan Althaf informasi yang menguntungkan.Purwanto menerima amplop yang Biru berikan. Ia lalu membukanya, dan langsung tersenyum haru saat melihat kertas-kertas berisi foto keluarganya. Hati Biru menghangat. Ia bersyukur bahwa keluarga pria itu selamat, dan tidak kekurangan satu apa pun."Anda menjaga keluarga saya, kan? Mereka semua akan aman, kan?" cerca Purwanto pada Biru yang langsung menjawab dengan anggukan pasti. Ia akan berjanji, tentu saja. "Terima kasih, Pak.""Petugas saya menyamar, dan melindungi keluarga kamu dua puluh empat jam full. Saya menjamin keselamatan mereka 95%. Lima persen sisan
"Hidup manusia selalu berputar. Setelah badai, ada pelangi. Lalu kembali cerah, dan bertemu badai lagi. Seterusnya seperti itu hingga mati, tak bernyawa."***Setelah bangun tidur, hati Ava jauh lebih baik. Hari itu ia akan ke kantor polisi untuk memenuhi panggilan atas kasus rencana pembunuhannya. Biru kemarin sengaja datang ke kantor yayasan untuk memberi surat tersebut. Di luar perkiraannya, Biru justru sibuk menenangkan hatinya yang sedang gundah gulana."Kayaknya kamu mesti ganti baju deh," ujar Biru kepada Ava yang tengah menyisir rambutnya, dan kemudian mengikatnya setengah. Ava melirik suaminya dari balik cermin. Memberi kode lewat mata, mengapa ia perlu melakukan hal itu. "Kamu terlalu cantik, Ava. Bagaimana bisa kamu secantik itu hanya untuk datang ke kandang buaya?"Ava menggeleng. Ia berbalik, menghadap suaminya, dan memicing. "Jangan bercanda deh! Polwan sekarang bahkan secantik bidadari. Kamu nih, suka melebih-lebihkan sesuatu, tahu enggak."Biru tertawa. Ava benar, polwa
"Ada hal yang sudah terencana, tapi sudah mati-matian tidak terlaksana. Lalu ada hal yang tidak terencana, tapi dengan mulus terlaksana tanpa hambatan."***"Saya Ava Kinandhita, ketua Yayasan Ibu Pertiwi yang baru. Sekretaris saya, Olivia sudah membuat janji dengan Pak Djati hari ini. Bagaimana? Bisa saya bertemu beliau sekarang?"Sang resepsionis pun mengangguk. Ia menyuruh Ava untuk menunggu sebentar. Ava pun mengiyakan, dia duduk di bangku yang tersedia di lobi, dan kembali memeriksa ponselnya. Biru belum menghubunginya juga.Ava sudah sangat cemas saat mendengar kabar kalau Purwanto tewas, karena bunuh diri. Ia sudah membayangkan wajah kecewa Biru. Ia ingin menemui suaminya, tapi pria itu sudah pergi ke TKP. Ava harap Biru baik-baik saja saat ini."Mbak Ava, kok di sini?" tanya seorang perempuan yang Ava tahu sebagai sekretaris Djati, Ningsih. Gadis berparas manis itu mendekati Ava, dan merangkul bahunya untuk berdiri. Tampaknya Ningsih belum tahu kalau Ava sudah menikah dengan p
"Segala hal tentang orang yang kita cintai memang terasa menyenangkan. Entah bagian buruk, dan baiknya. Semua terasa indah bila dilalui bersama."***"Kali ini mau ada yang ketuk pintu, atau badai sekali pun, abaikan saja. Jangan ditanggapi!"Ava terkekeh, lalu mengangguk. Kulitnya yang cantik sudah merah, karena gairah. Biru sangat menyukainya. Avanya terlihat sangat cantik, membuatnya begitu sumringah melihatnya.Dengan lembut, ia cium kening Ava. Ciumannya merambah ke bagian wajahnya yang lain, seperti hidung, pipi, pelipis, dagu, hingga yang paling akhir bibir. Ia lumat dengan penuh perasaan, menorehkan segala cinta yang pria itu punya.Ava pun membalasnya. Dengan segenap rasa yang mulai tumbuh di hatinya, ia dekap Biru dengan erat. Ia biarkan pria itu menerima haknya. Ia terima segala kecupan di setiap lekuk wajahnya."Biru," lirih Ava saat Biru mulai menciumi lehernya. Pria itu bahkan sudah mulai berdiri. Menggendong Ava dengan mudah menuju tempat tidur."Ava, maaf." Ucapan itu t
"Tak ada kejahatan yang bertahan. Segalanya akan berubah manis untuk orang-orang yang mencintai kebaikan."***"Semuanya sudah beres. Semua bukti sudah kita musnahkan. Tak akan ada jejak, Pak. Purwanto akan divonis bunuh diri."Praba mengangguk. Ia bersyukur karena dirinya selangkah lebih cepat dibanding Biru. Saat Marco mengirim info bahwa Purwanto setuju bekerja sama dengan Biru, Praba sempat kalang kabut. Ia langsung meminta Radja untuk membereskan Purwanto tanpa meninggalkan jejak satu pun.Selain Purwanto, Praba juga dipusingkan dengan masalah pendanaan klub malam barunya. Hampir dari setengah koleganya sedang dalam penyelidikan KPK. Imbas dari enam terdakwa yang terbukti bersalah, segala hal jadi merembet kemana-mana. Kini ia hanya dapat mengandalkan Djati sekarang."Bagaimana dengan Djati? Bisnisnya aman, kan?"Radja mengangguk. "Aman. Tapi, jauh lebih sepi. Sekarang polisi sangat ketat dalam mengamankan perdagangan narkoba. Bila kemarin mereka tidak melakukan penyisiran, dan ju
"Saat menjalani pernikahan, rumah baru sesungguhnya adalah pasangan kita. Orang yang akan jadi tempat kita pulang, dan merebahkan lelah."***"Bagaimana menurut Mbak Ava? Sudah cukup atau belum? Apa ada yang perlu diganti?"Ava menggeleng. Tangannya meraba sofa putih gading yang terletak cantik di ruang keluarganya. Bukan rumah sebenarnya, tapi Padma akan menyebutnya sebagai penthouse. Penthouse seharga enam miliar.Theara, desainer interior penthouse baru Ava, dan Biru tersenyum. Ava mengamati tiap sudut. Memperhatikan segala aspek yang kira-kira terlewat. Gadis itu lalu menoleh pada Padma yang tak jauh darinya, dan sahabatnya itu membalas dengan memberi jempol dua."Saya rasa sudah cukup, Mbak Theara."Theara mengangguk, dan kemudian membereskan barangnya. Ia mengulurkan tangan seraya berterima kasih karena telah menggunakan jasanya. Pekerjaannya memang telah usai, dan semua yang ia lakukan cocok dengan permintaan Ava, dan Biru sebagai klien. Pasangan pengantin baru itu tinggal mene
"Jangan remehkan diamnya seseorang. Sebab bisa saja dalam kesunyiannya, dia telah bekerja lebih banyak dari orang lain."***"Seperti yang anda duga, Pak. Purwanto dibunuh oleh Pak Praba lewat anak buah Marco. Saya sudah menyuap orang tersebut, dan kita sudah mendapatkan pengakuannya."Djati mengernyit, tampak tak puas dengan laporan Bernardio. Ia lalu berpikir, namun belum menemukan satu pun rencana yang bisa benar-benar valid untuk memenjarakan Praba. Jika keluarga Purwanto setuju melakukan otopsi mungkin permasalahan ini akan selesai dengan mudah.Entah berapa banyak uang yang Praba keluarkan untuk menyenangkan mertua Purwanto. Perempuan tua itu benar-benar mata duitan. Kasihan sekali anak dan istri Purwanto yang menanggung duka, dan ketidakadilan atas keserakahan yang dilakukan perempuan gila itu."Mungkin Biru bisa membantu," gumam Djati dengan suara yang begitu pelan. Ia lalu mendongak, menatap Dio yang tengah sigap menerima perintah apa pun dari bosnya. "Kamu kirim pesan kaleng
"Lepasin tangan gue! Lo tuh, sudah punya istri. Mau apa lagi sih?"Padma memaksa Travis untuk melepas tangannya. Tapi, pria itu seperti menolak permintaannya. Padahal Travis sudah menjadi suami Ayunda, tapi mengapa masih saja mengemis untuk menjelaskan hal yang sudah berlalu. Padma tak segila itu untuk mendengarkan, dan membuang waktunya hanya untuk pria itu.Travis masih kencang memeganginya, padahal tangan Padma sudah merah karena terus dipaksa. Padma ingin berteriak, tapi di tangga darurat itu tak ada siapa pun. Pria itu sengaja menariknya ke sini untuk menyudutkannya, dan melakukan apa pun yang pria itu ingin lakukan. Namun Padma jelas tak akan membiarkannya."Dia minta dilepasin, lo enggak dengar memangnya? Apa karena lo bule, makanya harus pakai bahasa Inggris? Cepat lepasin, sebelum gue terpaksa mematahkan tangan itu."Padma, dan Travis kaget. Ternyata ada orang lain di koridor tersebut. Ia sedang duduk tak jauh dari kami, dan sepertinya sudah memperhatikan kami sejak tadi. Tra
"Maaf, anda siapa ya?"Istri dari Radjarta bertanya, saat Bernardio berdiri di depan rumahnya. Ia sengaja langsung bertemu sang pemilik untuk memberikan aset yang sedianya dititipkan Praba padanya kepada keluarga Radjarta. Karena amanat, Bernardio pun langsung melakukannya, dan menjalankan tugasnya secepat ia bisa."Maaf, kalau saya mengganggu." Bernardio pun menyodorkan tangannya, dan istri Radjarta langsung menjabatnya. "Saya Bernardio. Saya tangan kanannya Pak Djati, anaknya Pak Praba. Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Praba untuk anda.""Oh, ya, silahkan masuk."Bernardio pun masuk, dan diminta duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Karena saya tidak tahu nomor rekening Ibu, atau pun Pak Radja. Jadi, saya memberikannya dalam bentuk cek. Jadi, nanti anda bisa datang ke bank terdekat, dan meminta untuk mentransfernya ke rekening yang Ibu miliki.""Aduh, maaf Mas Bernard, tapi ini tuh, maksudnya apa ya? Bisa bicaranya pelan-pelan. Saya ini
"Anda tahu kan, kesempatan anda sempit untuk tidak mendapat hukuman seumur hidup. Meskipun kita ajukan banding sekali pun, pastinya akan sulit untuk menang. Kesalahan anda terlalu banyak, dan itu tidak bisa ditukar hanya dengan kerja sama dengan pihak kepolisian sekali pun."Praba mengangguk, ia mengerti segala konsekuensi yang ia harus hadapi kedepannya. Semenjak Djati dinyatakan meninggal, dan Ava sudah mau menemuinya, segala keputusan yang diberikan padanya akan diterimanya dengan ikhlas. Praba tak akan pernah menuntut apa-apa. Apa pun yang diterimanya adalah ganjaran dari seluruh perbuatannya di masa lalu."Saya sudah bilang tidak apa-apa kan, Jeremy? Jadi, jangan tanya lagi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim, saya akan menerimanya.""Tidak ada akan menyesal?"Praba menggeleng. "Jika saya takut menyesal, maka saya tidak akan melakukan semua kejahatan di masa lalu, Jeremy. Apa pun yang terjadi ke depannya, saya akan terima. Kamu tidak perlu takut. Kamu juga patutnya berubah. Pilih
"Ada permulaan, dan ada akhir. Ada pertemuan, dan juga perpisahan. Jadi, jangan pernah sesali apapun."***"Mama bahagia deh! Ava mau melahirkan, dan Asla dinyatakan hamil. Nah sat set begini dong. Dalam waktu yang enggak lama keluarga kita akan ramai dengan tangisan bayi. Ya Tuhan, terima kasih!"Ava tertawa sambil merangkul bahu mertuanya yang terlihat sangat bahagia. Kini, meskipun tantangan di hadapannya akan lebih berat, namun Tarissa lebih bahagia. Tidak hanya sebagai nenek, Tarissa akan menyandang status baru, yakni menjadi ibu negara. Perhitungan cepat dilakukan, dan untuk sementara hasil akhir menentukan kalau ayah mertuanya, Berdaya Adinegara unggul dengan enam puluh satu persen. Jauh mengungguli pesaingnya.Walaupun demikian, Tarissa tak peduli. Kebahagiaan anak-anaknya sekarang adalah hal utama. Ia sangatlah senang melihat kalau kedua putranya tak lama lagi akan menjadi ayah. Menjalani pernikahan yang bahagia bersama istri-istri mereka. Masalah negara, itu urusan nanti."K
"Tak ada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk manusia yang tiap hari, jam, menit, dan detik bisa berubah pikiran, serta sikap."***"Wah, sudah berapa bulan, Mbak kehamilannya?"Seorang ibu yang mengantar putrinya cek kandungan bertanya, dan Ava hanya menjawab sekadarnya sambil tersenyum. Ia lalu menceritakan kalau putrinya juga hamil tak jauh dari usia kandungan Ava. Sayangnya tak sebahagia Ava yang bisa diantar kemana-mana oleh sang suami. Ava sebenarnya enggan mendengarkan masalah rumah tangga orang lain, tapi karena Biru tak juga kembali dari toilet membuat Ava akhirnya terpekur mendengar kisah cinta orang lain.Baru setengah jalan Ibu itu bercerita, terdapat keributan di ujung lorong lantai rumah sakit tempat Ava duduk menunggu untuk diperiksa dokter kandungan. Ava, dan sang ibu menoleh. Mereka mendapati seorang perempuan tengah berteriak, dan membentak si laki-laki dengan caci maki yang begitu keras. Awalnya Ava tak peduli, ia melengos, dan kembali melemparkan pandangan ke korid
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora
"Kata orang-orang, saat mencintai pria, standar pertama bagi seorang perempuan adalah ayahnya. Lalu bagaimana jika figur ayah tak pernah muncul dalam diri seorang perempuan?"***Ava meringis saat melihat ayah kandungnya sendiri. Lama tak melihat Praba, membuatnya lupa akan sosok itu. Sosok yang dahulu pernah sangat ia benci sedemikian rupa, sekarang terkurung menyedihkan di dalam jeruji besi yang dingin. Inilah yang Ava inginkan, meskipun kini rasa iba itu muncul, menyeruak memenuhi seluruh hatinya."Apakabar Pak Praba?" tanya Ava memulai pembicaraan. Ava menunggu, tapi Praba tak juga memulai pembicaraan, jadi ia mendahuluinya dengan suara bergetar. "Ini pertemuan pertama kita, setelah segala permasalahan dan plot twist yang tersaji di hidup kita."Praba diam, tapi ia tak mungkin duduk di situ, dan tak memulai apa pun. "Walau saya tak suka tempat ini, tapi saya baik-baik saja. Tempat ini tak seburuk pikiran saya. Kemungkinan saya mulai merasa nyaman di sini.""Ini serius, atau hanya
"Terkadang dalam hidup banyak hal yang tak terduga. Termasuk sebuah keinginan yang tak terwujud, tapi digantikan dengan hal lain yang lebih besar oleh Tuhan."***"Kalian bertengkar?"Biru melirik istrinya dari balik kertas-kertas berisi laporan keuangan perusahaannya. Biru benar-benar banyak sekali pekerjaan, selepas platform permainannya viral, dan brand pakaiannya mengalami peningkatan penjualan yang sangat drastis. Mengalahkan pekerjaannya sebagai seorang polisi, Biru hampir saja menghabiskan sisa dua puluh empat jam hanya untuk pekerjaan sampingannya. Belum lagi, kini ia harus membagi waktunya yang sudah sempit untuk istri, dan calon bayi mereka.Ava yang baru selesai mandi, dan tengah mengeringkan rambutnya tersebut juga hanya menghela napas. Ia tahu akan percuma membagi kisah ini pada suaminya, tapi selain Biru, Ava tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Jadi, meskipun Biru tak memahami alasannya marah pada Padma, ia tetap menjelaskan kronologi pertengkarannya dengan sahabat
"Tak ada yang sempurna dalam hidup, termasuk sebuah pernikahan. Pasti ada pasang surut yang membuat sebagian orang pasangan akhirnya berpisah, dan memilih jalan lain sendiri-sendiri."***"Selamat ya, Mas Samudera, dan Mbak Asla. Semoga kalian langgeng terus hingga maut memisahkan. Benar-benar deh, kalian berdua cocok banget!"Celetukan Irvin membuat beberapa keluarga tertawa saat mendengarnya. Namun apa yang dikatakan Irvin benar adanya. Samudera yang tampan sangat cocok bersanding dengan Asla yang sangat manis, dan cantik. Samudera yang hanya memakai kemeja putih, dan Asla yang memakai gaun putih selutut sangatlah padu bersama.Belum lagi dengan latar belakang pantai Anyer di Novus Jiva Villa, membuat suasana yang terasa begitu intim, serta indah. Dengan dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai, pernikahan Samudera, dan Asla terasa sangat berkesan. Keduanya seperti larut dalam bahagia bersama orang-orang yang mereka kenal dekat sejak kecil."Peenikahan yang indah, ya?" tanya Asta