"Hanya butuh waktu, segala hal bisa terwujud. Sayangnya manusia suka tidak sabar, lalu berusaha mengakhiri penantian dengan curang. Padahal menunggu sedikit lebih lama, akan membuatmu dua kali lipat lebih bahagia."***"Saya akan berdiri di belakang Anda."Biru tersenyum lega. Begitu pun dengan Althaf. Mereka bahkan memberi Purwanto hadiah. Padahal pria itu belum sama sekali memberi Biru dan Althaf informasi yang menguntungkan.Purwanto menerima amplop yang Biru berikan. Ia lalu membukanya, dan langsung tersenyum haru saat melihat kertas-kertas berisi foto keluarganya. Hati Biru menghangat. Ia bersyukur bahwa keluarga pria itu selamat, dan tidak kekurangan satu apa pun."Anda menjaga keluarga saya, kan? Mereka semua akan aman, kan?" cerca Purwanto pada Biru yang langsung menjawab dengan anggukan pasti. Ia akan berjanji, tentu saja. "Terima kasih, Pak.""Petugas saya menyamar, dan melindungi keluarga kamu dua puluh empat jam full. Saya menjamin keselamatan mereka 95%. Lima persen sisan
"Hidup manusia selalu berputar. Setelah badai, ada pelangi. Lalu kembali cerah, dan bertemu badai lagi. Seterusnya seperti itu hingga mati, tak bernyawa."***Setelah bangun tidur, hati Ava jauh lebih baik. Hari itu ia akan ke kantor polisi untuk memenuhi panggilan atas kasus rencana pembunuhannya. Biru kemarin sengaja datang ke kantor yayasan untuk memberi surat tersebut. Di luar perkiraannya, Biru justru sibuk menenangkan hatinya yang sedang gundah gulana."Kayaknya kamu mesti ganti baju deh," ujar Biru kepada Ava yang tengah menyisir rambutnya, dan kemudian mengikatnya setengah. Ava melirik suaminya dari balik cermin. Memberi kode lewat mata, mengapa ia perlu melakukan hal itu. "Kamu terlalu cantik, Ava. Bagaimana bisa kamu secantik itu hanya untuk datang ke kandang buaya?"Ava menggeleng. Ia berbalik, menghadap suaminya, dan memicing. "Jangan bercanda deh! Polwan sekarang bahkan secantik bidadari. Kamu nih, suka melebih-lebihkan sesuatu, tahu enggak."Biru tertawa. Ava benar, polwa
"Ada hal yang sudah terencana, tapi sudah mati-matian tidak terlaksana. Lalu ada hal yang tidak terencana, tapi dengan mulus terlaksana tanpa hambatan."***"Saya Ava Kinandhita, ketua Yayasan Ibu Pertiwi yang baru. Sekretaris saya, Olivia sudah membuat janji dengan Pak Djati hari ini. Bagaimana? Bisa saya bertemu beliau sekarang?"Sang resepsionis pun mengangguk. Ia menyuruh Ava untuk menunggu sebentar. Ava pun mengiyakan, dia duduk di bangku yang tersedia di lobi, dan kembali memeriksa ponselnya. Biru belum menghubunginya juga.Ava sudah sangat cemas saat mendengar kabar kalau Purwanto tewas, karena bunuh diri. Ia sudah membayangkan wajah kecewa Biru. Ia ingin menemui suaminya, tapi pria itu sudah pergi ke TKP. Ava harap Biru baik-baik saja saat ini."Mbak Ava, kok di sini?" tanya seorang perempuan yang Ava tahu sebagai sekretaris Djati, Ningsih. Gadis berparas manis itu mendekati Ava, dan merangkul bahunya untuk berdiri. Tampaknya Ningsih belum tahu kalau Ava sudah menikah dengan p
"Segala hal tentang orang yang kita cintai memang terasa menyenangkan. Entah bagian buruk, dan baiknya. Semua terasa indah bila dilalui bersama."***"Kali ini mau ada yang ketuk pintu, atau badai sekali pun, abaikan saja. Jangan ditanggapi!"Ava terkekeh, lalu mengangguk. Kulitnya yang cantik sudah merah, karena gairah. Biru sangat menyukainya. Avanya terlihat sangat cantik, membuatnya begitu sumringah melihatnya.Dengan lembut, ia cium kening Ava. Ciumannya merambah ke bagian wajahnya yang lain, seperti hidung, pipi, pelipis, dagu, hingga yang paling akhir bibir. Ia lumat dengan penuh perasaan, menorehkan segala cinta yang pria itu punya.Ava pun membalasnya. Dengan segenap rasa yang mulai tumbuh di hatinya, ia dekap Biru dengan erat. Ia biarkan pria itu menerima haknya. Ia terima segala kecupan di setiap lekuk wajahnya."Biru," lirih Ava saat Biru mulai menciumi lehernya. Pria itu bahkan sudah mulai berdiri. Menggendong Ava dengan mudah menuju tempat tidur."Ava, maaf." Ucapan itu t
"Tak ada kejahatan yang bertahan. Segalanya akan berubah manis untuk orang-orang yang mencintai kebaikan."***"Semuanya sudah beres. Semua bukti sudah kita musnahkan. Tak akan ada jejak, Pak. Purwanto akan divonis bunuh diri."Praba mengangguk. Ia bersyukur karena dirinya selangkah lebih cepat dibanding Biru. Saat Marco mengirim info bahwa Purwanto setuju bekerja sama dengan Biru, Praba sempat kalang kabut. Ia langsung meminta Radja untuk membereskan Purwanto tanpa meninggalkan jejak satu pun.Selain Purwanto, Praba juga dipusingkan dengan masalah pendanaan klub malam barunya. Hampir dari setengah koleganya sedang dalam penyelidikan KPK. Imbas dari enam terdakwa yang terbukti bersalah, segala hal jadi merembet kemana-mana. Kini ia hanya dapat mengandalkan Djati sekarang."Bagaimana dengan Djati? Bisnisnya aman, kan?"Radja mengangguk. "Aman. Tapi, jauh lebih sepi. Sekarang polisi sangat ketat dalam mengamankan perdagangan narkoba. Bila kemarin mereka tidak melakukan penyisiran, dan ju
"Saat menjalani pernikahan, rumah baru sesungguhnya adalah pasangan kita. Orang yang akan jadi tempat kita pulang, dan merebahkan lelah."***"Bagaimana menurut Mbak Ava? Sudah cukup atau belum? Apa ada yang perlu diganti?"Ava menggeleng. Tangannya meraba sofa putih gading yang terletak cantik di ruang keluarganya. Bukan rumah sebenarnya, tapi Padma akan menyebutnya sebagai penthouse. Penthouse seharga enam miliar.Theara, desainer interior penthouse baru Ava, dan Biru tersenyum. Ava mengamati tiap sudut. Memperhatikan segala aspek yang kira-kira terlewat. Gadis itu lalu menoleh pada Padma yang tak jauh darinya, dan sahabatnya itu membalas dengan memberi jempol dua."Saya rasa sudah cukup, Mbak Theara."Theara mengangguk, dan kemudian membereskan barangnya. Ia mengulurkan tangan seraya berterima kasih karena telah menggunakan jasanya. Pekerjaannya memang telah usai, dan semua yang ia lakukan cocok dengan permintaan Ava, dan Biru sebagai klien. Pasangan pengantin baru itu tinggal mene
"Jangan remehkan diamnya seseorang. Sebab bisa saja dalam kesunyiannya, dia telah bekerja lebih banyak dari orang lain."***"Seperti yang anda duga, Pak. Purwanto dibunuh oleh Pak Praba lewat anak buah Marco. Saya sudah menyuap orang tersebut, dan kita sudah mendapatkan pengakuannya."Djati mengernyit, tampak tak puas dengan laporan Bernardio. Ia lalu berpikir, namun belum menemukan satu pun rencana yang bisa benar-benar valid untuk memenjarakan Praba. Jika keluarga Purwanto setuju melakukan otopsi mungkin permasalahan ini akan selesai dengan mudah.Entah berapa banyak uang yang Praba keluarkan untuk menyenangkan mertua Purwanto. Perempuan tua itu benar-benar mata duitan. Kasihan sekali anak dan istri Purwanto yang menanggung duka, dan ketidakadilan atas keserakahan yang dilakukan perempuan gila itu."Mungkin Biru bisa membantu," gumam Djati dengan suara yang begitu pelan. Ia lalu mendongak, menatap Dio yang tengah sigap menerima perintah apa pun dari bosnya. "Kamu kirim pesan kaleng
"Dalam sebuah kemenangan, dan kekalahan terdapat sebuah pertarungan. Tidak ada pertarungan yang menyenangkan. Baik yang menang, atau yang kalah akan merasakan pengorbanan, kehilangan, dan air mata."***"Mengawasi Marco, Pak? Untuk apa?"Tak ada perintah yang tak memiliki alasan. Sama halnya dengan perintah Biru. Pria itu pasti memiliki alasan. Entah baik, atau tidak, Althaf tetap harus bertanya. Ia harus tahu secara jelas alasan Biru memerintahnya, agar ia menjalankan dengan sebaik mungkin.Biru lalu memberikan ponselnya. Althaf meraihnya, dan membaca sebuah pesan di layar. Matanya menyipit, memperhatikan detil nomor yang sepertinya sudah tidak aktif. Altaf dapat menyimpulkan bahwa itu adalah sebuah pesan kaleng."Anda percaya dengan pesan kaleng ini? Bisa saja kan, ini adalah pesan asal yang iseng. Mungkin tujuannya untuk memecah konsenterasi Bapak terhadap semua kasus yang sedang Bapak kerjakan."Biru menggeleng. "Dia tahu kalau Purwanto mati. Hanya segelintir orang yang tahu, dan