"Dalam sebuah kemenangan, dan kekalahan terdapat sebuah pertarungan. Tidak ada pertarungan yang menyenangkan. Baik yang menang, atau yang kalah akan merasakan pengorbanan, kehilangan, dan air mata."***"Mengawasi Marco, Pak? Untuk apa?"Tak ada perintah yang tak memiliki alasan. Sama halnya dengan perintah Biru. Pria itu pasti memiliki alasan. Entah baik, atau tidak, Althaf tetap harus bertanya. Ia harus tahu secara jelas alasan Biru memerintahnya, agar ia menjalankan dengan sebaik mungkin.Biru lalu memberikan ponselnya. Althaf meraihnya, dan membaca sebuah pesan di layar. Matanya menyipit, memperhatikan detil nomor yang sepertinya sudah tidak aktif. Altaf dapat menyimpulkan bahwa itu adalah sebuah pesan kaleng."Anda percaya dengan pesan kaleng ini? Bisa saja kan, ini adalah pesan asal yang iseng. Mungkin tujuannya untuk memecah konsenterasi Bapak terhadap semua kasus yang sedang Bapak kerjakan."Biru menggeleng. "Dia tahu kalau Purwanto mati. Hanya segelintir orang yang tahu, dan
"Cinta bukan sebuah pertanyaan. Cinta adalah rasa. Bukan dipikirkan, lalu ditemukan jawabannya. Cinta adalah sebuah kebiasaan. Kebiasaan bersama, kebiasaan berbagi, dan kebiasaan saling memahami."***"Jenderal Hendro Anggoro itu benar atasan kamu, ya? Kok kamu enggak pernah cerita kalau dia ini teman baiknya Praba?"Biru mendongak, beralih dari nasi di piringnya, ke wajah cantik Ava. Ia tengah asyik mengunyah. Nasi hangat dengan ayam suwir daun kemangi adalah paduan yang sangat sederhana, tapi istimewa. Biru begitu senang, Avanya tidak hanya menyuguhkan rupa yang cantik, tapi juga makanan yang tentu saja sangat enak.Ava menggoyangkan alisnya, menunggu jawaban Biru. Pria itu lalu mengangkat tangannya, dan kemudian mengambil gelas berisi air putih. Setelah air minumnya tandas seperempat, Biru memicing. Memandang Ava dengan kesal."Ini makanannya lagi enak banget, lho. Sayang kalau enggak nambah," gerutu Biru kesal. "Saya habiskan dulu yang ini, nanti saya jawab ya, pertanyaan kamu."A
"Dalam dunia, ada lapisan rahasia yang tertutupi, dan sulit untuk diungkap. Segala rahasia itu akan menjadi informasi penting di kemudian hari. Entah untuk alasan apa, namun sebuah rahasia tak selamanya mati. Ia akan terkuak pada waktunya."***"Saya minta maaf sebelumnya sama kamu. Tanpa sepengetahuan siapa pun, beberapa waktu lalu saya sudah menyelidiki latar belakang kamu. Dengan detil, dari kamu lahir hingga kamu duduk di samping Biru untuk menjadi istrinya."Ava tak heran. Ia, dan Biru sudah menduganya. Rasanya memang mustahil kalau sekelas Sasmito Jagad Adinegara hanya diam saja saat tahu cucunya menikahi seseorang yang tidak berasal dari kalangannya. Pria itu pasti mencari tahu.Sasmito mengambil satu file, lalu memberikannya pada Ava. File berwarna kuning muda itu bertuliskan namanya. Menggambarkan dengan jelas bahwa isinya pastilah segala hal mengenai dirinya."Lalu?" tanya Ava dengan nada rendah yang sebisa mungkin masih terdengar sopan. "Apa yang Kakek sampaikan sebenarnya?
"Bersama seseorang yang mencintaimu adalah anugerah. Bersama seseorang yang tidak mencintaimu, bukan berarti petaka. Segala hal bisa berubah. Seperti layaknya hari yang kita jalani tiap detiknya, berubah tak tentu arah."***"Hari ini ada yang menemui Marco, Pak. Namanya Radjarta. Menurut petugas Lapas, dia sudah lama bolak-balik menjenguk Marco. Katanya Radjarta ini adalah kakak tirinya."Biru menelisik lebih dalam orang dalam video cctv yang diperlihatkan Althaf. Seperti familiar, Biru mencoba mengingat siapa pria itu. Namun ingatannya buntu. Ia tak ada gambaran di mana pernah bertemu dengan pria bernama Radjarta ini.Biru hanya mengangguk, dan mengirimkan video yang Althaf berikan padanya ke ponselnya. Biru lalu mendongak, memberikan satu file yang sepertinya sangat penting. Sebab sejak empat puluh menit yang lalu, Biru telah terpekur bersama file itu."Terus awasi Marco. Kita bisa melihat hasilnya dalam sebulan." Biru lalu menunjuk file yang ia letakkan di meja. Lalu berkata, "ini
"Saat kita melihat orang lain dengan sebelah mata, maka mulai dari hari itu Tuhan akan memandang kita dengan cara yang sama."***"Selamat datang di kota Yogyakarta, Bapak Dewandaru, dan Ibu Ava. Saya Pak Hartanto dari Amanjiwo. Silahkan, lewat sini. Saya akan mengantarkan anda berdua ke resort."Biru mengangguk. Ia memberikan koper yang dibawanya kepada Pak Hartanto. Dengan lembut ia gandeng tangan istrinya ke mobil yang dipakai Pak Hartanto. Ava sendiri hanya mengikuti, sambil merangkul lengan suaminya dengan erat.Ini kali pertama Ava berpergian cukup jauh setelah segala kecelakaan yang ia alami. Ava masih trauma. Maka dari itu, ia meminta Biru menemaninya. Bukan orang lainnya, hanya pada Biru ia percayakan hidupnya."Kamu pesan resort ini?" tanya Ava berbisik di telinga Biru saat Pak Hartanto sudah fokus menyetir. Biru mengangguk santai. "Kan harganya bisa dua puluh juta sendiri semalam. Kamu tuh, semenjak menikah jadi boros tahu enggak!""Soalnya semenjak menikah, omset Inklusi na
"Tiap manusia yang Tuhan ciptakan memiliki sebuah masa lalu. Entah masa lalu itu bersifat baik, atau pun buruk. Tetap saja, masa lalu adalah bagian dari hidup manusia. Tidak dapat dihapuskan, dan menjadi pembelajaran di masa depan." *** Rumah itu terdiri dari satu lantai. Bergaya Jawa kuno yang sangat begitu menawan hati. Terdapat sebuah gebyok besar di bagian depan rumah yang begitu unik dengan ukirannya. Pintu besar terpampang lebar, mengajak siapa pun yang datang untuk masuk bertamu. Seorang wanita paruh baya dengan kebaya kutu baru bercorak bunga, berdiri di luar pintu, tampak menyambut kedatangan Ava, dan juga Biru. Ia tersenyum dengan begitu manis, memancarkan sebuah keanggunan yang dimiliki wanita Jawa. Ava takjub. Ini semua seperti mimpi, jika benar yang didatanginya itu adalah kediaman ibundanya dahulu sewaktu kanak-kanak. "Selamat datang, Mas Biru, dan Mbak Ava di kediaman Martadina. Perkenalkan nama saya, Ratna Sari Anggoro Tuwo. Saya adalah asisten rumah tangga senior d
"Jatuh cintalah seperti siang, dan malam. Mereka bersabar tiap harinya untuk saling memadu rindu dalam fajar, dan petang."***"Kamu bilang apa? Biru ke Amanjiwo? Sama Ava?"Pertanyaan itu dijawab 'ya' oleh Yeni. Tarissa yang berharap bisa mencicipi masakan rumahan menantunya yang lezat harus gigit jari, saat tahu kalau Ava justru pergi dengan Biru ke Yogyakarta. Alih-alih bersedih, Tarissa justru sangat bahagia. Setelah sekian lama memberondong putranya dengan liburan, akhirnya tanpa bicara mereka pergi juga berdua.Tarissa tersenyum sendiri. Ia sangat mengharapkan hadirnya bayi lucu, meskipun rasanya sulit bagi Tarissa untuk menimang, dan mengurus bayi itu seperti nenek-nenek lain di usia senjanya. Tarissa juga hanya berharap, ia tak ingin jadi mertua penuntut yang terus menerus meminta cucu. Ia hanya ingin Biru, dan Ava hidup dengan damai berdua, walaupun itu hanya untuk waktu yang sebentar."Berapa lama mereka pergi?"Yeni mengambil ponselnya, lalu melihat jadwal Ava minggu ini, d
"Saat sendiri bukan berarti tak bahagia. Namun saat berdua kamu mungkin punya pembeda. Bila sendiri tak ada intervesi, maka berdua penuh perdebatan. Bila sendiri mungkin bisa menemui sepi, maka berdua penuh emosi. Tak ada satu pun yang lebih baik. Semua saling melengkapi."***"Kayaknya kita harus benar-benar bangun deh, sebelum waktu Maghrib habis."Biru setuju. Ia mencium ubun-ubun Ava, lalu bangun dari tempat tidurnya. Ia pergi lebih dulu untuk membersihkan diri. Ava sendiri masih berbaring, menutup mata sejenak, istirahat setelah melakukan pergulatan yang cukup melelahkan.Ava tersenyum sendiri saat mengingat Biru bertanya tentang masa menstruasinya setelah mereka berhenti saling mencumbu. Ava pun jujur, dan hal itu membuat Biru bersemangat untuk mengangkatnya ke tempat tidur. Ia malu sendiri saat perjalanan yang singkat ini benar-benar berubah menjadi bulan madu."Ava, kamu tidur?"Ava mengerjapkan mata, lalu menggeleng. "Kamu sudah selesai? Saya bangun kalau begitu."Biru memberi