"Bersama seseorang yang mencintaimu adalah anugerah. Bersama seseorang yang tidak mencintaimu, bukan berarti petaka. Segala hal bisa berubah. Seperti layaknya hari yang kita jalani tiap detiknya, berubah tak tentu arah."***"Hari ini ada yang menemui Marco, Pak. Namanya Radjarta. Menurut petugas Lapas, dia sudah lama bolak-balik menjenguk Marco. Katanya Radjarta ini adalah kakak tirinya."Biru menelisik lebih dalam orang dalam video cctv yang diperlihatkan Althaf. Seperti familiar, Biru mencoba mengingat siapa pria itu. Namun ingatannya buntu. Ia tak ada gambaran di mana pernah bertemu dengan pria bernama Radjarta ini.Biru hanya mengangguk, dan mengirimkan video yang Althaf berikan padanya ke ponselnya. Biru lalu mendongak, memberikan satu file yang sepertinya sangat penting. Sebab sejak empat puluh menit yang lalu, Biru telah terpekur bersama file itu."Terus awasi Marco. Kita bisa melihat hasilnya dalam sebulan." Biru lalu menunjuk file yang ia letakkan di meja. Lalu berkata, "ini
"Saat kita melihat orang lain dengan sebelah mata, maka mulai dari hari itu Tuhan akan memandang kita dengan cara yang sama."***"Selamat datang di kota Yogyakarta, Bapak Dewandaru, dan Ibu Ava. Saya Pak Hartanto dari Amanjiwo. Silahkan, lewat sini. Saya akan mengantarkan anda berdua ke resort."Biru mengangguk. Ia memberikan koper yang dibawanya kepada Pak Hartanto. Dengan lembut ia gandeng tangan istrinya ke mobil yang dipakai Pak Hartanto. Ava sendiri hanya mengikuti, sambil merangkul lengan suaminya dengan erat.Ini kali pertama Ava berpergian cukup jauh setelah segala kecelakaan yang ia alami. Ava masih trauma. Maka dari itu, ia meminta Biru menemaninya. Bukan orang lainnya, hanya pada Biru ia percayakan hidupnya."Kamu pesan resort ini?" tanya Ava berbisik di telinga Biru saat Pak Hartanto sudah fokus menyetir. Biru mengangguk santai. "Kan harganya bisa dua puluh juta sendiri semalam. Kamu tuh, semenjak menikah jadi boros tahu enggak!""Soalnya semenjak menikah, omset Inklusi na
"Tiap manusia yang Tuhan ciptakan memiliki sebuah masa lalu. Entah masa lalu itu bersifat baik, atau pun buruk. Tetap saja, masa lalu adalah bagian dari hidup manusia. Tidak dapat dihapuskan, dan menjadi pembelajaran di masa depan." *** Rumah itu terdiri dari satu lantai. Bergaya Jawa kuno yang sangat begitu menawan hati. Terdapat sebuah gebyok besar di bagian depan rumah yang begitu unik dengan ukirannya. Pintu besar terpampang lebar, mengajak siapa pun yang datang untuk masuk bertamu. Seorang wanita paruh baya dengan kebaya kutu baru bercorak bunga, berdiri di luar pintu, tampak menyambut kedatangan Ava, dan juga Biru. Ia tersenyum dengan begitu manis, memancarkan sebuah keanggunan yang dimiliki wanita Jawa. Ava takjub. Ini semua seperti mimpi, jika benar yang didatanginya itu adalah kediaman ibundanya dahulu sewaktu kanak-kanak. "Selamat datang, Mas Biru, dan Mbak Ava di kediaman Martadina. Perkenalkan nama saya, Ratna Sari Anggoro Tuwo. Saya adalah asisten rumah tangga senior d
"Jatuh cintalah seperti siang, dan malam. Mereka bersabar tiap harinya untuk saling memadu rindu dalam fajar, dan petang."***"Kamu bilang apa? Biru ke Amanjiwo? Sama Ava?"Pertanyaan itu dijawab 'ya' oleh Yeni. Tarissa yang berharap bisa mencicipi masakan rumahan menantunya yang lezat harus gigit jari, saat tahu kalau Ava justru pergi dengan Biru ke Yogyakarta. Alih-alih bersedih, Tarissa justru sangat bahagia. Setelah sekian lama memberondong putranya dengan liburan, akhirnya tanpa bicara mereka pergi juga berdua.Tarissa tersenyum sendiri. Ia sangat mengharapkan hadirnya bayi lucu, meskipun rasanya sulit bagi Tarissa untuk menimang, dan mengurus bayi itu seperti nenek-nenek lain di usia senjanya. Tarissa juga hanya berharap, ia tak ingin jadi mertua penuntut yang terus menerus meminta cucu. Ia hanya ingin Biru, dan Ava hidup dengan damai berdua, walaupun itu hanya untuk waktu yang sebentar."Berapa lama mereka pergi?"Yeni mengambil ponselnya, lalu melihat jadwal Ava minggu ini, d
"Saat sendiri bukan berarti tak bahagia. Namun saat berdua kamu mungkin punya pembeda. Bila sendiri tak ada intervesi, maka berdua penuh perdebatan. Bila sendiri mungkin bisa menemui sepi, maka berdua penuh emosi. Tak ada satu pun yang lebih baik. Semua saling melengkapi."***"Kayaknya kita harus benar-benar bangun deh, sebelum waktu Maghrib habis."Biru setuju. Ia mencium ubun-ubun Ava, lalu bangun dari tempat tidurnya. Ia pergi lebih dulu untuk membersihkan diri. Ava sendiri masih berbaring, menutup mata sejenak, istirahat setelah melakukan pergulatan yang cukup melelahkan.Ava tersenyum sendiri saat mengingat Biru bertanya tentang masa menstruasinya setelah mereka berhenti saling mencumbu. Ava pun jujur, dan hal itu membuat Biru bersemangat untuk mengangkatnya ke tempat tidur. Ia malu sendiri saat perjalanan yang singkat ini benar-benar berubah menjadi bulan madu."Ava, kamu tidur?"Ava mengerjapkan mata, lalu menggeleng. "Kamu sudah selesai? Saya bangun kalau begitu."Biru memberi
"Cinta adalah hal tabu yang penuh dengan misteri. Tak pernah ada gambaran bagaimana ke depannya akan berjalan, dan melangkah. Semua penuh dengan kejutan, namun terasa indah, dan menyenangkan." *** "Sebelum pulang, kamu mau ke mana? Saya akan menemani kamu ke mana pun, kamu mau pergi. Borobudur? Prambanan? atau Malioboro?" Pulang terasa seperti gambaran yang menakutkan sekarang di telinga Ava. Meskipun suaminya membayar mahal untuk tinggal semalam di sebuah resort, namun Ava puas. Di sini, ia seperti melupakan segala ketakutan, air mata, dan masa lalu kelam yang mengakar kuat di hati, serta ingatannya. Ava seperti diberi jeda untuk beristirahat dari lelah yang telah ditanggungnya sedari kecil. Biru menoleh, mencari jawaban dari pertanyaannya yang hanya mengambang di udara. Ia mendapati sang istri yang tengah melamun, mengabaikannya, dan asyik berselancar dengan segala pikiran yang Biru duga sangat sesak di dalam kepala Ava. Biru lalu mengganggunya dengan menarik gadis itu ke dalam
"Bagi seseorang yang tak pernah memiliki keluarga, kesendirian adalah sebuah kebiasaan. Maka dari itu, saat Tuhan mengirimkannya teman untuk dijadikan keluarga, ia akan mensyukurinya dengan sangat luar biasa."***"Selain Radjarta ada satu orang lagi yang terus menemui Marco dalam satu minggu ini. Namanya Jendra Leonard Utomo."Pulang dari bulan madu dadakannya, Biru langsung pergi ke kantor keesokan paginya. Jiwanya begitu bersemangat, meskipun lelah tak terkira rasanya. Ia senang, walau sampai di kantor polisi, ada banyak sekali pekerjaan menumpuk yang menantinya.Pagi itu membawa laporan tentang Marco. Dahinya mengernyit saat melihat pria bernama Jendra ini berseliweran di video CCTV yang diberikan Althaf. Selama seminggu itu, Jendra tampak rajin menyambangi Marco. Ia bahkan selalu membawakan sesuatu yang membuat Biru makin curiga akan sosok Jendra ini."Dia ini siapanya Marco? Apa hubungannya dengan Marco?""Teman, Pak. Jendra bekerja bersama Praba empat tahun lalu. Tetapi memilih
"Sejauh apa pun langkah manusia, ada sebuah keluarga di mana ia berasal. Ada sebuah keluarga yang mungkin tak mudah dirindu, tapi tak pernah tak lekang dari ingatan." *** "Kira-kira ada apa, ya?" Jalanan jakarta sore itu terasa sesak. Menimbulkan potret lama yang tak pernah terganti meski tahun sudah melangkah maju dengan pasti. Walaupun demikian, orang-orang tetap memenuhi kota itu, memenuhi tiap sudutnya dengan segala aktivitas yang selalu penuh dengan cerita. Salah satunya adalah Biru, dan tentu saja Ava. Mereka adalah salah satu dari puluhan mobil yang berbaris di jalanan ibukota. Undangan makan malam keluarga dari Tarissa, membuat Biru, dan Ava mau tak mau segera berangkat. Biru tahu konsekuensinya bila ia tidak datang bersama istrinya. Ibunya itu sudah pasti akan merajuk, tak mau berbicara, atau akan berhenti bertanya bagaimana keadaan istrinya dan dirinya sendiri. Biru menggeleng, "saya enggak tahu, Va." "Sepertinya masalah yang penting banget deh," gumam Ava dengan suara