"Sejauh apa pun langkah manusia, ada sebuah keluarga di mana ia berasal. Ada sebuah keluarga yang mungkin tak mudah dirindu, tapi tak pernah tak lekang dari ingatan." *** "Kira-kira ada apa, ya?" Jalanan jakarta sore itu terasa sesak. Menimbulkan potret lama yang tak pernah terganti meski tahun sudah melangkah maju dengan pasti. Walaupun demikian, orang-orang tetap memenuhi kota itu, memenuhi tiap sudutnya dengan segala aktivitas yang selalu penuh dengan cerita. Salah satunya adalah Biru, dan tentu saja Ava. Mereka adalah salah satu dari puluhan mobil yang berbaris di jalanan ibukota. Undangan makan malam keluarga dari Tarissa, membuat Biru, dan Ava mau tak mau segera berangkat. Biru tahu konsekuensinya bila ia tidak datang bersama istrinya. Ibunya itu sudah pasti akan merajuk, tak mau berbicara, atau akan berhenti bertanya bagaimana keadaan istrinya dan dirinya sendiri. Biru menggeleng, "saya enggak tahu, Va." "Sepertinya masalah yang penting banget deh," gumam Ava dengan suara
"Kejutan di dalam hidup manusia adalah pertanda bahwa Tuhan bisa mengubah sesuatu dengan mudah tanpa perlu susah payah." *** "Bukannya lo pernah bilang, kalau lo enggak ada keinginan untuk menikah. Mengapa sekarang jadi tiba-tiba mau menikah, sih? Mengapa tiba-tiba lo menyetujui sebuah perjodohan? Apa nih, yang membuat lo tiba-tiba berubah pikiran begini?" Cercaan dari Biru membuat Samudera hanya tersenyum tipis. Ia tahu keputusan yang diambilnya ini pasti akan membuat adiknya kaget. Samudera memang pernah melakukan deklarasi di hadapan sang Ibu, dan sang adik bahwa ia berniat untuk terus sendiri sepanjang hayatnya. Namun itu sebelum ia bertemu Asla, seseorang yang sebenarnya sudah lama ia nanti dalam hidupnya. Biru sendiri sebenarnya tak berhak berkata apa-apa, atau bertanya apa-apa. Kakaknya berhak melakukan apapun yang ia inginkan. Kakaknya berhak mendapakan segalanya, termasuk sebuah pernikahan. Ia sangat mendukung adanya sebuah kebahagiaan dalam hidup sang kakak. "Karena Asl
"Ketenangan bukan sesuatu yang mudah dipelajari, butuh waktu yang lama untuk terbiasa. Butuh waktu yang lama untuk mencobanya berkali-kali." *** "Seperti ada yang anda pikirkan. Apa anda khawatir soal acara ini, Mbak?" Pertanyaan Olivia terdengar jelas di telinga Ava. Gadis itu tengah bertopang dagu, sibuk dengan segala hal yang memenuhi isi kepalanya. Sebenarnya tak banyak yang ia pikirkan, hanya menyoal tentang Asta. Pria itu berhasil menyita pikirannya, membuatnya memikirkan segala spekulasi yang mungkin terjadi di acara penggalangan dana nanti. Ava menggeleng, ia lalu tersenyum tipis. "Liv, sekaya apa sebenarnya Garuda Group?" Olivia mengernyit. Tak pernah terpikirkan dalam kepalanya kalau Ava akan bertanya tentang Garuda Group. Gadis itu pikir Ava sedang mengkhawatirkan mengenai jalannya acara penggalangan dana, nyatanya ada hal lain yang memenuhi isi kepala bosnya. Sudah hampir dua bulan, tapi Olivia masih belum benar-benar bisa menebak isi kepala Ava. "Garuda Group adalah
"Mempersiapkan segala hal adalah cara paling sederhana dalam menghadapi sebuah pertempuran. Sebab, pertempuran tanpa persiapan sama saja dengan mati."***"Pak Hendro bilang ingin memusnahkan mantan menantunya? Apa yang dimaksud beliau adalah Asta Kamil Wardhana? Apa anda yakin, Pak?"Radjarta sangat tidak yakin, begitu pula dengan bosnya, Praba. Ia tentu saja tidak benar-benar bisa membantu Hendro jika lawan yang dihadapinya sekelas putra mahkota Garuda Group. Memusnahkan Asta tidak semudah membalikkan telapak tangannya. Memusnahkan Asta sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dalam kubangan lumpur yang Hendro buat.Permasalahan utama lainnya, Praba juga tak mungkin berpangku tangan saat Hendro sedang kesulitan. Bagai sebuah benalu, Praba tidak mungkin membuat indungnya mati. Bila Indungnya mati, maka Praba juga akan ikut mati. Jadi, bila Hendro meminta dirinya untuk membantu, mau tak mau Praba harus turun tangan untuk melakukan apa pun demi menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
"Manusia tercipta dengan beragam pikiran. Beribu spekulasi bisa muncul dalam satu detik, memenuhi tiap sel yang rasanya hampir buntu, namun kenyataannya selalu bergerak dengan baik tanpa hambatan."***"Kenapa sih, acara penggalangan dana saja harus jauh-jauh ke Bandung?"Mau tidak mau, suka tidak suka, Ava terkekeh dengan pertanyaan suaminya. Hal itulah yang juga Ava tanyakan pada Olivia, saat perempuan itu menyebutkan pilihan lokasi acara yang diusulkan ibu mertuanya. Ava heran awalnya, namun Olivia langsung menjelaskan bahwa hotel bintang empat yang menjadi tempat terselenggaranya acara adalah hotel baru milik tante Biru, yang tidak lain adalah adik dari Tarissa, ibu mertuanya.Ava pun paham, dan tentu saja menyetujui apa pun yang Ibu mertuanya usulkan. Lagipula usulan itu juga berhubungan dengan keluarga sang ibu mertua, jadi bagaimana mungkin Ava bisa menolak. Walau kini ia memegang tahta tertinggi sebuah keputusan, namun tak lantas ia mengabaikan fakta bahwa Yayasan Ibu Pertiwi
"Melihat satu sisi adalah bias. Melihat satu sisi artinya tidak sepadan. Melihat satu sisi maknanya sepihak. Jadi, lihatlah dari banyak sisi untuk tidak menjadi bias, seimbang, dan netral." *** "Terima kasih ya, Ava. Berkat keputusan kamu, Tante jadi enggak perlu repot-repot promosiin hotel ini ke banyak orang. Soalnya orang-orang super kaya pasti akan datang, dan memilih untuk tinggal di hotel ini. Tante jadi enggak perlu keluar uang, tapi uang dengan sendirinya masuk ke kantong Tante. Nanti kalau sudah beres acara, Tante janji akan traktir kamu makan siang, ok?" Semua ucapan Tante Tamara bukanlah sebuah formalitas belaka. Ia benar-benar tulus saat menyampaikan rasa terima kasihnya. Selain karena mendapat promosi besar-besaran secara gratis, Tante Tamara juga diuntungkan dengan pundi-pundi yang masuk lewat pemesanan kamar. Para orang super kaya itu pasti akan memilih menyewa satu kamar dibanding harus pulang ke Jakarta tengah malam. Ava yang tengah berdiri di samping Tante Tamara
"Mencoba untuk menebak adalah salah satu kemampuan manusia. Mencoba untuk menebak adalah salah satu cara untuk membuat hidup ini lebih menyenangkan. Mencoba untuk menebak adalah salah satu kebiasaan yang disenangi, tapi juga paling ditakuti."***"Ada apa ini sebenarnya Biru? Mengapa rekan-rekanmu membuat onar di acara orang? Lalu apa tadi? Jenderal Hendro dituduh melakukan penggelapan? Kenapa?"Cercaan pertanyaan dari Tarissa itu membuat Biru juga bingung untuk menjawab. Sebab ia pun tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Satu hal yang Biru tahu, memang ada surat pemanggilan yang dilayangkan pada Hendro tiga kali, dan pria tua itu tidak datang untuk memenuhinya. Jadi, seperti pada sipil yang lain, Hendro pun juga harus ditangkap.Biru akhirnya menjawab dengan gelengan. Tarissa tahu ini bukanlah ranah Biru untuk berbicara, jadi dia lebih memilih diam, dan tak memperpanjang masalah. Ia hampiri menantunya, dan ia peluk perempuan cantik itu dalam dekapannya. Tarissa tahu, ini adalah acara
"Selamat tinggal punya arti berakhir. Namun jika terus berulang datang, dan menyiksa, untuk apa ada ucapan selamat tinggal?"***"Sudah menghubungi suami kamu?"Tanpa basa-basi, Ava langsung menjawab dengan anggukan. Ia duduk di bangku kosong yang tersedia. Djati memang hanya mengambil tempat yang memiliki dua bangku, dan tersedia di pinggir jendela. Ava menduga bahwa pembicaraan keduanya akan berlangsung sangat intens, dan panjang.Berbarengan dengan Ava duduk, seorang pelayan membawakan dua cangkir kopi yang tampaknya telah dipesan oleh Djati. Ia menaruh kedua cangkir itu di atas meja, dan kemudian undur diri setelah melakukan tugasnya. Ava, dan Djati pun mengangguk berbarengan seraya mengucap terima kasih."Jadi, ada apa? Kamu mau ke mana? Kamu enggak mungkin bisa pergi jauh, karena punya dana di yayasan yang harus kamu cek terus perkembangannya. Siapa tahu kan, aku berlaku curang."Djati menggeleng. "Seperti aku percaya saja, kalau kamu bisa berlaku curang. Kamu itu adalah orang p