"Mencoba untuk menebak adalah salah satu kemampuan manusia. Mencoba untuk menebak adalah salah satu cara untuk membuat hidup ini lebih menyenangkan. Mencoba untuk menebak adalah salah satu kebiasaan yang disenangi, tapi juga paling ditakuti."***"Ada apa ini sebenarnya Biru? Mengapa rekan-rekanmu membuat onar di acara orang? Lalu apa tadi? Jenderal Hendro dituduh melakukan penggelapan? Kenapa?"Cercaan pertanyaan dari Tarissa itu membuat Biru juga bingung untuk menjawab. Sebab ia pun tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Satu hal yang Biru tahu, memang ada surat pemanggilan yang dilayangkan pada Hendro tiga kali, dan pria tua itu tidak datang untuk memenuhinya. Jadi, seperti pada sipil yang lain, Hendro pun juga harus ditangkap.Biru akhirnya menjawab dengan gelengan. Tarissa tahu ini bukanlah ranah Biru untuk berbicara, jadi dia lebih memilih diam, dan tak memperpanjang masalah. Ia hampiri menantunya, dan ia peluk perempuan cantik itu dalam dekapannya. Tarissa tahu, ini adalah acara
"Selamat tinggal punya arti berakhir. Namun jika terus berulang datang, dan menyiksa, untuk apa ada ucapan selamat tinggal?"***"Sudah menghubungi suami kamu?"Tanpa basa-basi, Ava langsung menjawab dengan anggukan. Ia duduk di bangku kosong yang tersedia. Djati memang hanya mengambil tempat yang memiliki dua bangku, dan tersedia di pinggir jendela. Ava menduga bahwa pembicaraan keduanya akan berlangsung sangat intens, dan panjang.Berbarengan dengan Ava duduk, seorang pelayan membawakan dua cangkir kopi yang tampaknya telah dipesan oleh Djati. Ia menaruh kedua cangkir itu di atas meja, dan kemudian undur diri setelah melakukan tugasnya. Ava, dan Djati pun mengangguk berbarengan seraya mengucap terima kasih."Jadi, ada apa? Kamu mau ke mana? Kamu enggak mungkin bisa pergi jauh, karena punya dana di yayasan yang harus kamu cek terus perkembangannya. Siapa tahu kan, aku berlaku curang."Djati menggeleng. "Seperti aku percaya saja, kalau kamu bisa berlaku curang. Kamu itu adalah orang p
"Setiap ikatan akan tumbuh rasa memiliki. Rasa memiliki menumbuhkan asa. Asa untuk bersama selamanya."***"Saya harus segera kembali."Pernyataan itu tampak sangat tenang, sekaligus mencekam dalam satu keadaan. Tak ada yang menyangkal, namun ekspresi marah tampak begitu jelas tercetak di wajah tampan Biru. Alih-alih kembali menyimak, fokusnya telah hilang sejak menerima telepon istrinya. Ia hanya ingin pulang, itu saja.Semua orang yang berada di ruangan hanya mengangguk. Mereka membiarkan Biru untuk melakukan apa saja yang ingin ia lakukan. Toh, kasus Hendro Anggoro bukanlah tanggung jawabnya, meskipun di dalamnya terdapat kasus narkoba yang hukumannya bisa sangat berat bagi seorang penegak hukum.Irjen Kamaru Joshua yang menangani kasus ini bersalaman dengan Biru, mengizinkannya kembali ke hotel bila memang ia mau. "Pulanglah, kamu bisa percayakan kasus ini pada saya. Oh, ya, sampaikan permintaan maaf saya pada istri kamu. Maaf, karena saya telah mengganggu acaranya yang sangat pen
"Suka atau tidak, sekuat apapun cinta yang dirasa, pasti ada sebuah perpisahan menghadang. Entah dipisahkan oleh keadaan, atau dipisahkan oleh maut, keduanya sama-sama menyakitkan."***"Lho, kamu sudah pulang? Saya pikir kamu akan pulang larut banget. Ternyata kamu sudah pulang jam segini. Kamu mau mandi dulu?"Pertanyaan itu tak dijawab. Biru hanya diam, lalu melangkah maju meraup Ava dalam pelukannya. Ava tentu saja kaget. Setelah berendam, dan memakai berbagai perawatan kulit, Ava beranjak naik ke tempat tidur.Baru saja ingin menyelimuti tubuhnya, ia dengar suara ketukan di pintu kamar. Saat Ava mengintip dari lubang, ternyata sang suami yang melakukannya. Ava tentu saja membuka pintu itu, membiarkan Biru masuk, dan ia pun menutup pintunya hingga terkunci. Kini di dekatnya, Biru mendekap, merasakan tiap inchi lekuk tubuhnya yang menempel begitu erat padanya."Ada apa, sih?"Biru menggeleng, "saya cuma mau peluk kamu. Sebentar saja kok. Saya lega ternyata kamu ada di sini bersama
"Ada banyak ketakutan dalam diri manusia. Ketakutan itu bisa jadi mengacau, saat tak diimbangi oleh rasa percaya bahwa segalanya bisa dihalau."***"Selamat siang, AKBP Dewandaru Angkasa Biru. Mohon maaf membuat anda menunggu. Ada laporan yang harus saya urus. Mari, silahkan duduk!"Setelah beberapa saat lalu meminta bertemu, Biru akhirnya punya waktu untuk mengabulkan keinginan AKBP Indrawan. Namun hari itu, AKBP Indrawan tampak sibuk rapat, jadi Biru mengalah, dan memilih untuk menunggu. Sungguh, ia penasaran akan apa yang ingin dibicarakan oleh rekan sejawatnya itu. Biru bisa menebak bahwa hal ini akan ada hubungannya dengan Pramudya Arian.AKBP Indrawan pun senang, saat Biru repot-repot datang menemuinya, padahal dirinya sendiri yang meminta bertemu. Pria yang usianya hanya berbeda tujuh tahun dari Biru itu jadi merasa tak enak. Apalagi Biru harus menunggunya, makin saja membuatnya rasa canggung datang, tak terbantahkan."Maaf ya, Biru. Seharusnya saya yang menemui kamu di kantorm
"Segala sesuatunya bisa jadi lancar, karena sebuah usaha yang keras. Tanpa usaha hanya ada harapan kosong yang tak menghasilkan."***"Bagaimana, Radja? Kamu melakukannya dengan rapi, kan?"Radja tentu saja mengangguk dengan bersemangat. Ia membawa map berisi informasi tentang segala rencana yang mereka telah susun. Praba yang langsung melihat laporan Radja, langsung tersenyum sumringah. Ia mengucap terima kasih, karena anak buahnya itu bekerja dengan sangat baik.Praba harap rencananya kali ini berhasil Bila kemarin Praba gagal menghancurkan Asta Kamil Wardhana, maka kali ini ia harus bisa memusnahkan sang mantan mertua. Sejauh ini kinerja Radja sangatlah baik. Tinggal tunggu saja tanggal mainnya. Praba yakin kali ini ia akan berhasil, meskipun tingkat kesuksesannya hanya berkisar enam puluh persen."Saya yakin bila memang ada yang akan dicurigai, orang itu pastilah Pak Omar Wahyudi. Hanya Pak Omar yang keluar masuk sel tahanan untuk bertemu dengan Pak Hendro Anggoro. Semua dugaan aka
"Tuhan menyayangi manusia yang terus berusaha. Karena itu bila Tuhan memberikan beribu masalah, maka berbahagialah. Itu artinya Tuhan menginkanmu menjadi manusia yang lebih baik di matanya."***"Bagaimana ini bisa terjadi, Pak?"Biru tak habis pikir. Ia tidak pernah mengira bahwa hambatan akan datang kembali ke hidupnya. Ia pikir dengan tertangkapnya Jenderal Hendro Anggoro akan jadi pembuka untuk kasus-kasus lainnya, terutama kasus yang berhubungan dengan Praba Bhanu Winnata. Biru ingin kasus ini mengerucut, dan membongkar semua kejahatan yang saling bertaut satu sama lain di tangan sang Jenderal.Sayangnya Tuhan berkata lain, lagi-lagi Biru harus dihadapkan dengan persoalan yang lebih rumit. Tidak hanya Biru yang tampak terguncang, seniornya pun juga. Irjen Kamaru Joshua juga tampak terpukul melihat Hendro Anggoro dalam kondisi terkapar tak berdaya. Padahal pagi tadi, sang Jenderal masih dengan santai menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan penyidik, meskipun nyatanya banyak keb
"Ketika manusia sudah berusaha, maka sisanya hanya tinggal pasrah, dan berdo'a. Agar Tuhan mau memberi yang terbaik menurut versinya." *** "Lho anda kan, calon istri kakak saya, kan? Asla Wardhana, bukan?" Perempuan itu tampak serius, terlihat cantik dengan rambut yang digelung ke belakang. Wajahnya tanpa polesan, namun terlihat begitu mulus, dan bersih persis seperti istrinya. Ia terlihat begitu lelah, tapi profesional dengan jaket putih dokternya yang khas. Jarinya yang lentik memegang sebuah pulpen, menuliskan sesuatu di buku agendanya ketika Biru datang menghampiri. Asla Kamilia Wardhana mengangguk. Lalu berdiri, dan tersenyum begitu profesional pada Biru. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabatan. Biru pun segera meraih uluran itu, dan menjabatnya sebentar. "Silahkan duduk," ucap Asla pada Biru yang langsung mengambil satu kursi untuk ia duduki. Asla kemudian menyerahkan menu di kafe rumah sakit itu, dan menawarkannya pada Biru. Ia kemudian bertanya basa-basi, "mau minum ses