"Segala sesuatunya bisa jadi lancar, karena sebuah usaha yang keras. Tanpa usaha hanya ada harapan kosong yang tak menghasilkan."***"Bagaimana, Radja? Kamu melakukannya dengan rapi, kan?"Radja tentu saja mengangguk dengan bersemangat. Ia membawa map berisi informasi tentang segala rencana yang mereka telah susun. Praba yang langsung melihat laporan Radja, langsung tersenyum sumringah. Ia mengucap terima kasih, karena anak buahnya itu bekerja dengan sangat baik.Praba harap rencananya kali ini berhasil Bila kemarin Praba gagal menghancurkan Asta Kamil Wardhana, maka kali ini ia harus bisa memusnahkan sang mantan mertua. Sejauh ini kinerja Radja sangatlah baik. Tinggal tunggu saja tanggal mainnya. Praba yakin kali ini ia akan berhasil, meskipun tingkat kesuksesannya hanya berkisar enam puluh persen."Saya yakin bila memang ada yang akan dicurigai, orang itu pastilah Pak Omar Wahyudi. Hanya Pak Omar yang keluar masuk sel tahanan untuk bertemu dengan Pak Hendro Anggoro. Semua dugaan aka
"Tuhan menyayangi manusia yang terus berusaha. Karena itu bila Tuhan memberikan beribu masalah, maka berbahagialah. Itu artinya Tuhan menginkanmu menjadi manusia yang lebih baik di matanya."***"Bagaimana ini bisa terjadi, Pak?"Biru tak habis pikir. Ia tidak pernah mengira bahwa hambatan akan datang kembali ke hidupnya. Ia pikir dengan tertangkapnya Jenderal Hendro Anggoro akan jadi pembuka untuk kasus-kasus lainnya, terutama kasus yang berhubungan dengan Praba Bhanu Winnata. Biru ingin kasus ini mengerucut, dan membongkar semua kejahatan yang saling bertaut satu sama lain di tangan sang Jenderal.Sayangnya Tuhan berkata lain, lagi-lagi Biru harus dihadapkan dengan persoalan yang lebih rumit. Tidak hanya Biru yang tampak terguncang, seniornya pun juga. Irjen Kamaru Joshua juga tampak terpukul melihat Hendro Anggoro dalam kondisi terkapar tak berdaya. Padahal pagi tadi, sang Jenderal masih dengan santai menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan penyidik, meskipun nyatanya banyak keb
"Ketika manusia sudah berusaha, maka sisanya hanya tinggal pasrah, dan berdo'a. Agar Tuhan mau memberi yang terbaik menurut versinya." *** "Lho anda kan, calon istri kakak saya, kan? Asla Wardhana, bukan?" Perempuan itu tampak serius, terlihat cantik dengan rambut yang digelung ke belakang. Wajahnya tanpa polesan, namun terlihat begitu mulus, dan bersih persis seperti istrinya. Ia terlihat begitu lelah, tapi profesional dengan jaket putih dokternya yang khas. Jarinya yang lentik memegang sebuah pulpen, menuliskan sesuatu di buku agendanya ketika Biru datang menghampiri. Asla Kamilia Wardhana mengangguk. Lalu berdiri, dan tersenyum begitu profesional pada Biru. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabatan. Biru pun segera meraih uluran itu, dan menjabatnya sebentar. "Silahkan duduk," ucap Asla pada Biru yang langsung mengambil satu kursi untuk ia duduki. Asla kemudian menyerahkan menu di kafe rumah sakit itu, dan menawarkannya pada Biru. Ia kemudian bertanya basa-basi, "mau minum ses
"Dalam setiap kesempatan, akan ada banyak cara yang bisa digunakan oleh manusia. Bila gagal, maka ulangi. Terus begitu sampai Tuhan benar-benar melihatnya, dan memberikan apa yang diinginkan tanpa perlu susah payah." *** "Sejak semalam seperti ada yang kamu pikirkan? Ada apa sih, sebenarnya? Kenapa suamiku ini lebih banyak diam? Ayo cerita!"Lipatan seragam Biru memang sudah rapi, namun Ava sengaja membetulkannya kembali untuk melakukan sesi tanya jawab. Setelah menjelaskan segala permasalahan yang Ava rasakan, Biru diam saja. Ava tak dapat bertanya, karena ia sudah sangat lelah, dan berakhir memejamkan mata tanpa menunggu suaminya. Pagi ini saat ia selesai menyiapkan sarapan, Ava kembali melihat suaminya terpaku di depan lemari, membuatnya yakin bahwa ada banyak pikiran tersita di sana. Biru hanya tersenyum, tak langsung menjawab. Ia lalu membawa Ava ke dalam pelukannya, dan berharap mendapat segala kekuatan dari kegiatan itu. Sungguh, Biru sudah hampir gila. Kewarasannya akhir-ak
"Tiap kata yang timbul akan memiliki sebab, dan diikuti dengan segala akibat yang ada. Maka dari itu lakukanlah segala hal dengan penyebab yang positif, karena segala akibat yang diterima juga sudah pasti positif."***"Tidak ada informasi apapun, Pak. Hendro Anggoro seperti disembunyikan dengan rapi. Kami tidak bisa mengorek berita apa-apa. Irjen Pol. Kamaru Joshua benar-benar menangani kasus ini dengan sangat baik."Praba melengos. Memilih memukul bola golf dengan tidak sabaran. Hari-harinya mulai terasa menegangkan, dan berjalan lebih lambat dari biasanya. Ia seperti menunggu masa tenangnya habis, dan berganti dengan segala huru-hara yang akan membuatnya akan mati.Praba tak bisa menyalahkan siapa pun. Semua kejadian seperti sebuah hubungan sebab akibat. Bila bukan lewat Ava, mungkin suatu saat nanti akan terkuak juga lewat Asta Kamil Wardhana. Segalanya yang ia tuai, akan menimbulkan prahara juga pada waktunya. Meski begitu, Praba tak ingin mengakhiri segala kedigdayaannya."Saya
"Kadang ekspektasi yang sudah di luar logika, masih kalah dengan apa yang sebenarnya terjadi di dalam kenyataan."***"Eh, Non Ava bukan? Saya pangling nih, makin cantik saja. Sudah lama enggak ke sini, ke mana saja, Non? Sehat, kan?"Pak Darjiman kaget. Awalnya ia tak menyangka kalau yang dilihatnya adalah Ava. Namun, perempuan itu dengan ramah menyapanya, dan menanyakan kabarnya. Membuatnya makin yakin kalau ia memang salah satu orang yang selalu mengiriminya uang tiap bulan untuk mengurusi makam ibunya.Ava tersenyum, dan kemudian berjabatan tangan dengan Pak Darjiman. Tadinya ia ingin sekali langsung pulang, tapi saat kuburan ibunya terisi oleh bunga tulip putih kesayangannya, Ava jelas berubah pikiran. Dari bau, dan rupanya, bunga itu masih sangat segar. Itu artinya orang yang mengunjungi ibundanya belumlah lama pergi dari pemakaman itu."Siapa? Apa ayah kandungku, Ma? Apa yang datang ke sini adalah ayah kandungku? Kakek tidak mungkin sampai sini, kan? Apa Tante Namira? Tapi, unt
"Mau selama apapun sebuah kebenaran terpendam, lambat laun akan muncul juga ke permukaan pada akhirnya." *** "Pak Biru, terima kasih karena sudah mau bertemu saya." Biru tersenyum, mengangguk, dan kemudian mempersilahkan istri Purwanto untuk duduk di ruangannya. Althaf segera mengambil alih bayi berusia sembilan belas bulan yang digendong Sulis. Sulis pun berterima kasih sekilas pada Althaf. Althaf hanya mengangguk, dan membawa bayi tersebut keluar ruangan agar tidak mengganggu pembicaraan antara sang Ibu, dan atasannya. Untungnya bayi tersebut dalam keadaan tidur, jadi Althaf dengan mudah membawanya tanpa harus membuatnya menangis. Sulis sendiri merasa lega, karena bayinya tak terganggu, meskipun harus berpindah tangan kepada orang lain. Perempuan itu lalu beralih pada Biru yang telah memandanginya dengan serius. Ia tahu ini menjadi sangat canggung, karena terakhir kali mereka bertemu, Sulis dengan berani menghardiknya dengan keras. "Ada apa, Ibu Sulis?" Sulistiawati menarik na
"Berkali-kali manusia mencoba, dan kemudian gagal, bukan karena Tuhan tak sayang. Namun Tuhan sedang menguji manusia tersebut untuk jadi lebih hebat dari yang ia bisa tahu."***"Lho, Nona Ava Kinandhita? Ada apa? Apa saya lupa ada janji dengan anda?"Bernardio jelas bingung. Djati tidak memberinya informasi kalau Ava akan datang ke kantor. Di dalam agenda yang diberikan Ningsih hari ini, juga tidak ada pertemuan dengan orang-orang dari Yayasan Ibu Pertiwi. Namun, bila ditelisik dari bagaimana ekspresi Ava, Bernardio yakin ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh perempuan itu.Ava sendiri langsung menghampiri Bernardio saat pria itu datang delapan menit kemudian. Ava tahu, Dio pasti sangat penasaran dengan kedatangannya yang tiba-tiba di kantor Biru. Pasalnya, ia memang tidak membuat janji temu dengan Djati, atau pun Bernardio. Ia datang ke kantor itu memang dengan harapan besar bahwa Djati, atau pun Bernardio bisa menjawab pertanyaan yang melekat erat dibenaknya saat ini."Saya t
"Lepasin tangan gue! Lo tuh, sudah punya istri. Mau apa lagi sih?"Padma memaksa Travis untuk melepas tangannya. Tapi, pria itu seperti menolak permintaannya. Padahal Travis sudah menjadi suami Ayunda, tapi mengapa masih saja mengemis untuk menjelaskan hal yang sudah berlalu. Padma tak segila itu untuk mendengarkan, dan membuang waktunya hanya untuk pria itu.Travis masih kencang memeganginya, padahal tangan Padma sudah merah karena terus dipaksa. Padma ingin berteriak, tapi di tangga darurat itu tak ada siapa pun. Pria itu sengaja menariknya ke sini untuk menyudutkannya, dan melakukan apa pun yang pria itu ingin lakukan. Namun Padma jelas tak akan membiarkannya."Dia minta dilepasin, lo enggak dengar memangnya? Apa karena lo bule, makanya harus pakai bahasa Inggris? Cepat lepasin, sebelum gue terpaksa mematahkan tangan itu."Padma, dan Travis kaget. Ternyata ada orang lain di koridor tersebut. Ia sedang duduk tak jauh dari kami, dan sepertinya sudah memperhatikan kami sejak tadi. Tra
"Maaf, anda siapa ya?"Istri dari Radjarta bertanya, saat Bernardio berdiri di depan rumahnya. Ia sengaja langsung bertemu sang pemilik untuk memberikan aset yang sedianya dititipkan Praba padanya kepada keluarga Radjarta. Karena amanat, Bernardio pun langsung melakukannya, dan menjalankan tugasnya secepat ia bisa."Maaf, kalau saya mengganggu." Bernardio pun menyodorkan tangannya, dan istri Radjarta langsung menjabatnya. "Saya Bernardio. Saya tangan kanannya Pak Djati, anaknya Pak Praba. Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Praba untuk anda.""Oh, ya, silahkan masuk."Bernardio pun masuk, dan diminta duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Karena saya tidak tahu nomor rekening Ibu, atau pun Pak Radja. Jadi, saya memberikannya dalam bentuk cek. Jadi, nanti anda bisa datang ke bank terdekat, dan meminta untuk mentransfernya ke rekening yang Ibu miliki.""Aduh, maaf Mas Bernard, tapi ini tuh, maksudnya apa ya? Bisa bicaranya pelan-pelan. Saya ini
"Anda tahu kan, kesempatan anda sempit untuk tidak mendapat hukuman seumur hidup. Meskipun kita ajukan banding sekali pun, pastinya akan sulit untuk menang. Kesalahan anda terlalu banyak, dan itu tidak bisa ditukar hanya dengan kerja sama dengan pihak kepolisian sekali pun."Praba mengangguk, ia mengerti segala konsekuensi yang ia harus hadapi kedepannya. Semenjak Djati dinyatakan meninggal, dan Ava sudah mau menemuinya, segala keputusan yang diberikan padanya akan diterimanya dengan ikhlas. Praba tak akan pernah menuntut apa-apa. Apa pun yang diterimanya adalah ganjaran dari seluruh perbuatannya di masa lalu."Saya sudah bilang tidak apa-apa kan, Jeremy? Jadi, jangan tanya lagi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim, saya akan menerimanya.""Tidak ada akan menyesal?"Praba menggeleng. "Jika saya takut menyesal, maka saya tidak akan melakukan semua kejahatan di masa lalu, Jeremy. Apa pun yang terjadi ke depannya, saya akan terima. Kamu tidak perlu takut. Kamu juga patutnya berubah. Pilih
"Ada permulaan, dan ada akhir. Ada pertemuan, dan juga perpisahan. Jadi, jangan pernah sesali apapun."***"Mama bahagia deh! Ava mau melahirkan, dan Asla dinyatakan hamil. Nah sat set begini dong. Dalam waktu yang enggak lama keluarga kita akan ramai dengan tangisan bayi. Ya Tuhan, terima kasih!"Ava tertawa sambil merangkul bahu mertuanya yang terlihat sangat bahagia. Kini, meskipun tantangan di hadapannya akan lebih berat, namun Tarissa lebih bahagia. Tidak hanya sebagai nenek, Tarissa akan menyandang status baru, yakni menjadi ibu negara. Perhitungan cepat dilakukan, dan untuk sementara hasil akhir menentukan kalau ayah mertuanya, Berdaya Adinegara unggul dengan enam puluh satu persen. Jauh mengungguli pesaingnya.Walaupun demikian, Tarissa tak peduli. Kebahagiaan anak-anaknya sekarang adalah hal utama. Ia sangatlah senang melihat kalau kedua putranya tak lama lagi akan menjadi ayah. Menjalani pernikahan yang bahagia bersama istri-istri mereka. Masalah negara, itu urusan nanti."K
"Tak ada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk manusia yang tiap hari, jam, menit, dan detik bisa berubah pikiran, serta sikap."***"Wah, sudah berapa bulan, Mbak kehamilannya?"Seorang ibu yang mengantar putrinya cek kandungan bertanya, dan Ava hanya menjawab sekadarnya sambil tersenyum. Ia lalu menceritakan kalau putrinya juga hamil tak jauh dari usia kandungan Ava. Sayangnya tak sebahagia Ava yang bisa diantar kemana-mana oleh sang suami. Ava sebenarnya enggan mendengarkan masalah rumah tangga orang lain, tapi karena Biru tak juga kembali dari toilet membuat Ava akhirnya terpekur mendengar kisah cinta orang lain.Baru setengah jalan Ibu itu bercerita, terdapat keributan di ujung lorong lantai rumah sakit tempat Ava duduk menunggu untuk diperiksa dokter kandungan. Ava, dan sang ibu menoleh. Mereka mendapati seorang perempuan tengah berteriak, dan membentak si laki-laki dengan caci maki yang begitu keras. Awalnya Ava tak peduli, ia melengos, dan kembali melemparkan pandangan ke korid
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora
"Kata orang-orang, saat mencintai pria, standar pertama bagi seorang perempuan adalah ayahnya. Lalu bagaimana jika figur ayah tak pernah muncul dalam diri seorang perempuan?"***Ava meringis saat melihat ayah kandungnya sendiri. Lama tak melihat Praba, membuatnya lupa akan sosok itu. Sosok yang dahulu pernah sangat ia benci sedemikian rupa, sekarang terkurung menyedihkan di dalam jeruji besi yang dingin. Inilah yang Ava inginkan, meskipun kini rasa iba itu muncul, menyeruak memenuhi seluruh hatinya."Apakabar Pak Praba?" tanya Ava memulai pembicaraan. Ava menunggu, tapi Praba tak juga memulai pembicaraan, jadi ia mendahuluinya dengan suara bergetar. "Ini pertemuan pertama kita, setelah segala permasalahan dan plot twist yang tersaji di hidup kita."Praba diam, tapi ia tak mungkin duduk di situ, dan tak memulai apa pun. "Walau saya tak suka tempat ini, tapi saya baik-baik saja. Tempat ini tak seburuk pikiran saya. Kemungkinan saya mulai merasa nyaman di sini.""Ini serius, atau hanya
"Terkadang dalam hidup banyak hal yang tak terduga. Termasuk sebuah keinginan yang tak terwujud, tapi digantikan dengan hal lain yang lebih besar oleh Tuhan."***"Kalian bertengkar?"Biru melirik istrinya dari balik kertas-kertas berisi laporan keuangan perusahaannya. Biru benar-benar banyak sekali pekerjaan, selepas platform permainannya viral, dan brand pakaiannya mengalami peningkatan penjualan yang sangat drastis. Mengalahkan pekerjaannya sebagai seorang polisi, Biru hampir saja menghabiskan sisa dua puluh empat jam hanya untuk pekerjaan sampingannya. Belum lagi, kini ia harus membagi waktunya yang sudah sempit untuk istri, dan calon bayi mereka.Ava yang baru selesai mandi, dan tengah mengeringkan rambutnya tersebut juga hanya menghela napas. Ia tahu akan percuma membagi kisah ini pada suaminya, tapi selain Biru, Ava tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Jadi, meskipun Biru tak memahami alasannya marah pada Padma, ia tetap menjelaskan kronologi pertengkarannya dengan sahabat
"Tak ada yang sempurna dalam hidup, termasuk sebuah pernikahan. Pasti ada pasang surut yang membuat sebagian orang pasangan akhirnya berpisah, dan memilih jalan lain sendiri-sendiri."***"Selamat ya, Mas Samudera, dan Mbak Asla. Semoga kalian langgeng terus hingga maut memisahkan. Benar-benar deh, kalian berdua cocok banget!"Celetukan Irvin membuat beberapa keluarga tertawa saat mendengarnya. Namun apa yang dikatakan Irvin benar adanya. Samudera yang tampan sangat cocok bersanding dengan Asla yang sangat manis, dan cantik. Samudera yang hanya memakai kemeja putih, dan Asla yang memakai gaun putih selutut sangatlah padu bersama.Belum lagi dengan latar belakang pantai Anyer di Novus Jiva Villa, membuat suasana yang terasa begitu intim, serta indah. Dengan dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai, pernikahan Samudera, dan Asla terasa sangat berkesan. Keduanya seperti larut dalam bahagia bersama orang-orang yang mereka kenal dekat sejak kecil."Peenikahan yang indah, ya?" tanya Asta