"Mempersiapkan segala hal adalah cara paling sederhana dalam menghadapi sebuah pertempuran. Sebab, pertempuran tanpa persiapan sama saja dengan mati."***"Pak Hendro bilang ingin memusnahkan mantan menantunya? Apa yang dimaksud beliau adalah Asta Kamil Wardhana? Apa anda yakin, Pak?"Radjarta sangat tidak yakin, begitu pula dengan bosnya, Praba. Ia tentu saja tidak benar-benar bisa membantu Hendro jika lawan yang dihadapinya sekelas putra mahkota Garuda Group. Memusnahkan Asta tidak semudah membalikkan telapak tangannya. Memusnahkan Asta sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dalam kubangan lumpur yang Hendro buat.Permasalahan utama lainnya, Praba juga tak mungkin berpangku tangan saat Hendro sedang kesulitan. Bagai sebuah benalu, Praba tidak mungkin membuat indungnya mati. Bila Indungnya mati, maka Praba juga akan ikut mati. Jadi, bila Hendro meminta dirinya untuk membantu, mau tak mau Praba harus turun tangan untuk melakukan apa pun demi menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
"Manusia tercipta dengan beragam pikiran. Beribu spekulasi bisa muncul dalam satu detik, memenuhi tiap sel yang rasanya hampir buntu, namun kenyataannya selalu bergerak dengan baik tanpa hambatan."***"Kenapa sih, acara penggalangan dana saja harus jauh-jauh ke Bandung?"Mau tidak mau, suka tidak suka, Ava terkekeh dengan pertanyaan suaminya. Hal itulah yang juga Ava tanyakan pada Olivia, saat perempuan itu menyebutkan pilihan lokasi acara yang diusulkan ibu mertuanya. Ava heran awalnya, namun Olivia langsung menjelaskan bahwa hotel bintang empat yang menjadi tempat terselenggaranya acara adalah hotel baru milik tante Biru, yang tidak lain adalah adik dari Tarissa, ibu mertuanya.Ava pun paham, dan tentu saja menyetujui apa pun yang Ibu mertuanya usulkan. Lagipula usulan itu juga berhubungan dengan keluarga sang ibu mertua, jadi bagaimana mungkin Ava bisa menolak. Walau kini ia memegang tahta tertinggi sebuah keputusan, namun tak lantas ia mengabaikan fakta bahwa Yayasan Ibu Pertiwi
"Melihat satu sisi adalah bias. Melihat satu sisi artinya tidak sepadan. Melihat satu sisi maknanya sepihak. Jadi, lihatlah dari banyak sisi untuk tidak menjadi bias, seimbang, dan netral." *** "Terima kasih ya, Ava. Berkat keputusan kamu, Tante jadi enggak perlu repot-repot promosiin hotel ini ke banyak orang. Soalnya orang-orang super kaya pasti akan datang, dan memilih untuk tinggal di hotel ini. Tante jadi enggak perlu keluar uang, tapi uang dengan sendirinya masuk ke kantong Tante. Nanti kalau sudah beres acara, Tante janji akan traktir kamu makan siang, ok?" Semua ucapan Tante Tamara bukanlah sebuah formalitas belaka. Ia benar-benar tulus saat menyampaikan rasa terima kasihnya. Selain karena mendapat promosi besar-besaran secara gratis, Tante Tamara juga diuntungkan dengan pundi-pundi yang masuk lewat pemesanan kamar. Para orang super kaya itu pasti akan memilih menyewa satu kamar dibanding harus pulang ke Jakarta tengah malam. Ava yang tengah berdiri di samping Tante Tamara
"Mencoba untuk menebak adalah salah satu kemampuan manusia. Mencoba untuk menebak adalah salah satu cara untuk membuat hidup ini lebih menyenangkan. Mencoba untuk menebak adalah salah satu kebiasaan yang disenangi, tapi juga paling ditakuti."***"Ada apa ini sebenarnya Biru? Mengapa rekan-rekanmu membuat onar di acara orang? Lalu apa tadi? Jenderal Hendro dituduh melakukan penggelapan? Kenapa?"Cercaan pertanyaan dari Tarissa itu membuat Biru juga bingung untuk menjawab. Sebab ia pun tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Satu hal yang Biru tahu, memang ada surat pemanggilan yang dilayangkan pada Hendro tiga kali, dan pria tua itu tidak datang untuk memenuhinya. Jadi, seperti pada sipil yang lain, Hendro pun juga harus ditangkap.Biru akhirnya menjawab dengan gelengan. Tarissa tahu ini bukanlah ranah Biru untuk berbicara, jadi dia lebih memilih diam, dan tak memperpanjang masalah. Ia hampiri menantunya, dan ia peluk perempuan cantik itu dalam dekapannya. Tarissa tahu, ini adalah acara
"Selamat tinggal punya arti berakhir. Namun jika terus berulang datang, dan menyiksa, untuk apa ada ucapan selamat tinggal?"***"Sudah menghubungi suami kamu?"Tanpa basa-basi, Ava langsung menjawab dengan anggukan. Ia duduk di bangku kosong yang tersedia. Djati memang hanya mengambil tempat yang memiliki dua bangku, dan tersedia di pinggir jendela. Ava menduga bahwa pembicaraan keduanya akan berlangsung sangat intens, dan panjang.Berbarengan dengan Ava duduk, seorang pelayan membawakan dua cangkir kopi yang tampaknya telah dipesan oleh Djati. Ia menaruh kedua cangkir itu di atas meja, dan kemudian undur diri setelah melakukan tugasnya. Ava, dan Djati pun mengangguk berbarengan seraya mengucap terima kasih."Jadi, ada apa? Kamu mau ke mana? Kamu enggak mungkin bisa pergi jauh, karena punya dana di yayasan yang harus kamu cek terus perkembangannya. Siapa tahu kan, aku berlaku curang."Djati menggeleng. "Seperti aku percaya saja, kalau kamu bisa berlaku curang. Kamu itu adalah orang p
"Setiap ikatan akan tumbuh rasa memiliki. Rasa memiliki menumbuhkan asa. Asa untuk bersama selamanya."***"Saya harus segera kembali."Pernyataan itu tampak sangat tenang, sekaligus mencekam dalam satu keadaan. Tak ada yang menyangkal, namun ekspresi marah tampak begitu jelas tercetak di wajah tampan Biru. Alih-alih kembali menyimak, fokusnya telah hilang sejak menerima telepon istrinya. Ia hanya ingin pulang, itu saja.Semua orang yang berada di ruangan hanya mengangguk. Mereka membiarkan Biru untuk melakukan apa saja yang ingin ia lakukan. Toh, kasus Hendro Anggoro bukanlah tanggung jawabnya, meskipun di dalamnya terdapat kasus narkoba yang hukumannya bisa sangat berat bagi seorang penegak hukum.Irjen Kamaru Joshua yang menangani kasus ini bersalaman dengan Biru, mengizinkannya kembali ke hotel bila memang ia mau. "Pulanglah, kamu bisa percayakan kasus ini pada saya. Oh, ya, sampaikan permintaan maaf saya pada istri kamu. Maaf, karena saya telah mengganggu acaranya yang sangat pen
"Suka atau tidak, sekuat apapun cinta yang dirasa, pasti ada sebuah perpisahan menghadang. Entah dipisahkan oleh keadaan, atau dipisahkan oleh maut, keduanya sama-sama menyakitkan."***"Lho, kamu sudah pulang? Saya pikir kamu akan pulang larut banget. Ternyata kamu sudah pulang jam segini. Kamu mau mandi dulu?"Pertanyaan itu tak dijawab. Biru hanya diam, lalu melangkah maju meraup Ava dalam pelukannya. Ava tentu saja kaget. Setelah berendam, dan memakai berbagai perawatan kulit, Ava beranjak naik ke tempat tidur.Baru saja ingin menyelimuti tubuhnya, ia dengar suara ketukan di pintu kamar. Saat Ava mengintip dari lubang, ternyata sang suami yang melakukannya. Ava tentu saja membuka pintu itu, membiarkan Biru masuk, dan ia pun menutup pintunya hingga terkunci. Kini di dekatnya, Biru mendekap, merasakan tiap inchi lekuk tubuhnya yang menempel begitu erat padanya."Ada apa, sih?"Biru menggeleng, "saya cuma mau peluk kamu. Sebentar saja kok. Saya lega ternyata kamu ada di sini bersama
"Ada banyak ketakutan dalam diri manusia. Ketakutan itu bisa jadi mengacau, saat tak diimbangi oleh rasa percaya bahwa segalanya bisa dihalau."***"Selamat siang, AKBP Dewandaru Angkasa Biru. Mohon maaf membuat anda menunggu. Ada laporan yang harus saya urus. Mari, silahkan duduk!"Setelah beberapa saat lalu meminta bertemu, Biru akhirnya punya waktu untuk mengabulkan keinginan AKBP Indrawan. Namun hari itu, AKBP Indrawan tampak sibuk rapat, jadi Biru mengalah, dan memilih untuk menunggu. Sungguh, ia penasaran akan apa yang ingin dibicarakan oleh rekan sejawatnya itu. Biru bisa menebak bahwa hal ini akan ada hubungannya dengan Pramudya Arian.AKBP Indrawan pun senang, saat Biru repot-repot datang menemuinya, padahal dirinya sendiri yang meminta bertemu. Pria yang usianya hanya berbeda tujuh tahun dari Biru itu jadi merasa tak enak. Apalagi Biru harus menunggunya, makin saja membuatnya rasa canggung datang, tak terbantahkan."Maaf ya, Biru. Seharusnya saya yang menemui kamu di kantorm