"Jatuh cintalah seperti siang, dan malam. Mereka bersabar tiap harinya untuk saling memadu rindu dalam fajar, dan petang."***"Kamu bilang apa? Biru ke Amanjiwo? Sama Ava?"Pertanyaan itu dijawab 'ya' oleh Yeni. Tarissa yang berharap bisa mencicipi masakan rumahan menantunya yang lezat harus gigit jari, saat tahu kalau Ava justru pergi dengan Biru ke Yogyakarta. Alih-alih bersedih, Tarissa justru sangat bahagia. Setelah sekian lama memberondong putranya dengan liburan, akhirnya tanpa bicara mereka pergi juga berdua.Tarissa tersenyum sendiri. Ia sangat mengharapkan hadirnya bayi lucu, meskipun rasanya sulit bagi Tarissa untuk menimang, dan mengurus bayi itu seperti nenek-nenek lain di usia senjanya. Tarissa juga hanya berharap, ia tak ingin jadi mertua penuntut yang terus menerus meminta cucu. Ia hanya ingin Biru, dan Ava hidup dengan damai berdua, walaupun itu hanya untuk waktu yang sebentar."Berapa lama mereka pergi?"Yeni mengambil ponselnya, lalu melihat jadwal Ava minggu ini, d
"Saat sendiri bukan berarti tak bahagia. Namun saat berdua kamu mungkin punya pembeda. Bila sendiri tak ada intervesi, maka berdua penuh perdebatan. Bila sendiri mungkin bisa menemui sepi, maka berdua penuh emosi. Tak ada satu pun yang lebih baik. Semua saling melengkapi."***"Kayaknya kita harus benar-benar bangun deh, sebelum waktu Maghrib habis."Biru setuju. Ia mencium ubun-ubun Ava, lalu bangun dari tempat tidurnya. Ia pergi lebih dulu untuk membersihkan diri. Ava sendiri masih berbaring, menutup mata sejenak, istirahat setelah melakukan pergulatan yang cukup melelahkan.Ava tersenyum sendiri saat mengingat Biru bertanya tentang masa menstruasinya setelah mereka berhenti saling mencumbu. Ava pun jujur, dan hal itu membuat Biru bersemangat untuk mengangkatnya ke tempat tidur. Ia malu sendiri saat perjalanan yang singkat ini benar-benar berubah menjadi bulan madu."Ava, kamu tidur?"Ava mengerjapkan mata, lalu menggeleng. "Kamu sudah selesai? Saya bangun kalau begitu."Biru memberi
"Cinta adalah hal tabu yang penuh dengan misteri. Tak pernah ada gambaran bagaimana ke depannya akan berjalan, dan melangkah. Semua penuh dengan kejutan, namun terasa indah, dan menyenangkan." *** "Sebelum pulang, kamu mau ke mana? Saya akan menemani kamu ke mana pun, kamu mau pergi. Borobudur? Prambanan? atau Malioboro?" Pulang terasa seperti gambaran yang menakutkan sekarang di telinga Ava. Meskipun suaminya membayar mahal untuk tinggal semalam di sebuah resort, namun Ava puas. Di sini, ia seperti melupakan segala ketakutan, air mata, dan masa lalu kelam yang mengakar kuat di hati, serta ingatannya. Ava seperti diberi jeda untuk beristirahat dari lelah yang telah ditanggungnya sedari kecil. Biru menoleh, mencari jawaban dari pertanyaannya yang hanya mengambang di udara. Ia mendapati sang istri yang tengah melamun, mengabaikannya, dan asyik berselancar dengan segala pikiran yang Biru duga sangat sesak di dalam kepala Ava. Biru lalu mengganggunya dengan menarik gadis itu ke dalam
"Bagi seseorang yang tak pernah memiliki keluarga, kesendirian adalah sebuah kebiasaan. Maka dari itu, saat Tuhan mengirimkannya teman untuk dijadikan keluarga, ia akan mensyukurinya dengan sangat luar biasa."***"Selain Radjarta ada satu orang lagi yang terus menemui Marco dalam satu minggu ini. Namanya Jendra Leonard Utomo."Pulang dari bulan madu dadakannya, Biru langsung pergi ke kantor keesokan paginya. Jiwanya begitu bersemangat, meskipun lelah tak terkira rasanya. Ia senang, walau sampai di kantor polisi, ada banyak sekali pekerjaan menumpuk yang menantinya.Pagi itu membawa laporan tentang Marco. Dahinya mengernyit saat melihat pria bernama Jendra ini berseliweran di video CCTV yang diberikan Althaf. Selama seminggu itu, Jendra tampak rajin menyambangi Marco. Ia bahkan selalu membawakan sesuatu yang membuat Biru makin curiga akan sosok Jendra ini."Dia ini siapanya Marco? Apa hubungannya dengan Marco?""Teman, Pak. Jendra bekerja bersama Praba empat tahun lalu. Tetapi memilih
"Sejauh apa pun langkah manusia, ada sebuah keluarga di mana ia berasal. Ada sebuah keluarga yang mungkin tak mudah dirindu, tapi tak pernah tak lekang dari ingatan." *** "Kira-kira ada apa, ya?" Jalanan jakarta sore itu terasa sesak. Menimbulkan potret lama yang tak pernah terganti meski tahun sudah melangkah maju dengan pasti. Walaupun demikian, orang-orang tetap memenuhi kota itu, memenuhi tiap sudutnya dengan segala aktivitas yang selalu penuh dengan cerita. Salah satunya adalah Biru, dan tentu saja Ava. Mereka adalah salah satu dari puluhan mobil yang berbaris di jalanan ibukota. Undangan makan malam keluarga dari Tarissa, membuat Biru, dan Ava mau tak mau segera berangkat. Biru tahu konsekuensinya bila ia tidak datang bersama istrinya. Ibunya itu sudah pasti akan merajuk, tak mau berbicara, atau akan berhenti bertanya bagaimana keadaan istrinya dan dirinya sendiri. Biru menggeleng, "saya enggak tahu, Va." "Sepertinya masalah yang penting banget deh," gumam Ava dengan suara
"Kejutan di dalam hidup manusia adalah pertanda bahwa Tuhan bisa mengubah sesuatu dengan mudah tanpa perlu susah payah." *** "Bukannya lo pernah bilang, kalau lo enggak ada keinginan untuk menikah. Mengapa sekarang jadi tiba-tiba mau menikah, sih? Mengapa tiba-tiba lo menyetujui sebuah perjodohan? Apa nih, yang membuat lo tiba-tiba berubah pikiran begini?" Cercaan dari Biru membuat Samudera hanya tersenyum tipis. Ia tahu keputusan yang diambilnya ini pasti akan membuat adiknya kaget. Samudera memang pernah melakukan deklarasi di hadapan sang Ibu, dan sang adik bahwa ia berniat untuk terus sendiri sepanjang hayatnya. Namun itu sebelum ia bertemu Asla, seseorang yang sebenarnya sudah lama ia nanti dalam hidupnya. Biru sendiri sebenarnya tak berhak berkata apa-apa, atau bertanya apa-apa. Kakaknya berhak melakukan apapun yang ia inginkan. Kakaknya berhak mendapakan segalanya, termasuk sebuah pernikahan. Ia sangat mendukung adanya sebuah kebahagiaan dalam hidup sang kakak. "Karena Asl
"Ketenangan bukan sesuatu yang mudah dipelajari, butuh waktu yang lama untuk terbiasa. Butuh waktu yang lama untuk mencobanya berkali-kali." *** "Seperti ada yang anda pikirkan. Apa anda khawatir soal acara ini, Mbak?" Pertanyaan Olivia terdengar jelas di telinga Ava. Gadis itu tengah bertopang dagu, sibuk dengan segala hal yang memenuhi isi kepalanya. Sebenarnya tak banyak yang ia pikirkan, hanya menyoal tentang Asta. Pria itu berhasil menyita pikirannya, membuatnya memikirkan segala spekulasi yang mungkin terjadi di acara penggalangan dana nanti. Ava menggeleng, ia lalu tersenyum tipis. "Liv, sekaya apa sebenarnya Garuda Group?" Olivia mengernyit. Tak pernah terpikirkan dalam kepalanya kalau Ava akan bertanya tentang Garuda Group. Gadis itu pikir Ava sedang mengkhawatirkan mengenai jalannya acara penggalangan dana, nyatanya ada hal lain yang memenuhi isi kepala bosnya. Sudah hampir dua bulan, tapi Olivia masih belum benar-benar bisa menebak isi kepala Ava. "Garuda Group adalah
"Mempersiapkan segala hal adalah cara paling sederhana dalam menghadapi sebuah pertempuran. Sebab, pertempuran tanpa persiapan sama saja dengan mati."***"Pak Hendro bilang ingin memusnahkan mantan menantunya? Apa yang dimaksud beliau adalah Asta Kamil Wardhana? Apa anda yakin, Pak?"Radjarta sangat tidak yakin, begitu pula dengan bosnya, Praba. Ia tentu saja tidak benar-benar bisa membantu Hendro jika lawan yang dihadapinya sekelas putra mahkota Garuda Group. Memusnahkan Asta tidak semudah membalikkan telapak tangannya. Memusnahkan Asta sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dalam kubangan lumpur yang Hendro buat.Permasalahan utama lainnya, Praba juga tak mungkin berpangku tangan saat Hendro sedang kesulitan. Bagai sebuah benalu, Praba tidak mungkin membuat indungnya mati. Bila Indungnya mati, maka Praba juga akan ikut mati. Jadi, bila Hendro meminta dirinya untuk membantu, mau tak mau Praba harus turun tangan untuk melakukan apa pun demi menyelesaikan permasalahan yang terjadi.