Mereka kembali ke rumah keluarga Aina keesokan harinya, setelah menginap semalam di hotel tempat digelarnya resepsi sebelum pindah ke rumah mereka sendiri di Semarang siang nanti. Rumah yang sengaja di beli Dipta untuk ditempati bersama Aina. Rumah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari SMA tempat wanita itu mengajar.
Dipta pikir jika tinggal di apartemennya, akan terlalu jauh bagi Aina untuk berangkat bekerja. Jadi, dia membeli rumah baru yang lebih dekat dengan tempat kerja istrinya. Meski itu berarti dialah yang akan lebih jauh dari rumah sakit. Tak apa, demi Aina.
Selesai sarapan di restoran hotel, mereka segera menaiki mobil yang khusus dipersiapkan untuk pulang. Dipta duduk di balik kemudi sedangkan Aina memilih duduk di kursi belakang, membuat Dipta terlihat seperti seorang supir.
Diliriknya Aina lewat kaca mobil, "Kamu benar-benar mau duduk disitu?"
Aina tidak menjawab, malah melemparkan pandangan ke luar jendela. Membuang muka. Dipta hanya menghela nafas, mencoba bersabar menghadapi istrinya. Bukankah dari awal dia sudah tahu bahwa Aina memang selalu begitu? Setidaknya, di depannya. Karena jika di hadapan orang lain Aina akan berubah menjadi wanita lembut yang ramah dan murah senyum.
Kembali dialihkannya pandangan ke depan, menyalakan mesin, lalu perlahan mobil pun bergerak meninggalkan tempat parkir hotel. Tak sampai setengah jam mobil sudah terparkir di halaman. Jelas saja, kedatangan mereka disambut suka cita seluruh penghuni rumah.
Mereka segera masuk lalu menyalami orang rumah satu persatu, kemudian Dipta diajak berbincang oleh ayah mertuanya di teras depan, sedangkan Aina meneruskan langkah menuju kamar, merapikan barang-barang yang akan dibawanya pulang ke Semarang. Di raihnya sebuah koper besar dari atas lemari lalu mulai mengemasi barang-barangnya.
Di tengah-tengah acara mengemas barang, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Menampakkan sosok bidadari cantik yang menjelma sebagai manusia, Bunda.
"Mau dibawa semua, Nak?" tanya Bunda yang masih berdiri di depan pintu saat melihat Aina mengosongkan isi lemari. Aina hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah bunda.
"Aina, Bunda ingin bicara." Suara lembut itu membuat Aina menghentikan kegiatan dan memutar wajah menghadap sang bunda.
"Iya, Bun," jawabnya dengan tatapan penuh tanya.
"Kamu sudah menjadi seorang istri. Jadi, mulai sekarang surgamu tidak lagi terletak pada bunda maupun ayah, melainkan pada suamimu." Aina masih diam mendengarkan wejangan sang Bunda.
"Oleh karena itu, taatilah suamimu seperti halnya kamu berbakti kepada ayah dan bunda selama ini. Bunda mengerti apa yang kamu rasakan. Mungkin sekarang kamu belum bisa mencintai Dipta, tak apa. Yang penting jangan keraskan hatimu. Jangan menutup mata terhadap segala kebaikan yang dia lakukan. Dari caranya memperlakukanmu, bunda yakin Dipta adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab." Senyum bersahaja menghiasi wajah sang Bunda, dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang.
Aina mengalihkan pandangan membalas tatapan bundanya dengan mata berkaca-kaca, lalu memeluk bunda erat saat kristal bening itu perlahan luruh.
"Aku akan merindukan Bunda," ucapnya di tengah isakan."Apa yang kau katakan? Seperti baru pertama kali jauh dari Bunda saja." Bunda tertawa lirih mendengar ucapan anaknya, sambil berusaha menahan air mata.
"Lanjutkanlah mengemas barangnya. Dipta sudah menunggu," sambungnya seraya mengurai pelukan mereka.
//
Mobil terparkir di halaman rumah di kawasan salah satu perumahan elit di Semarang. Rumah minimalis dengan desain modern berwarna abu-abu hitam putih itu terlihat begitu elegan. Terdapat hamparan rumput yang memisahkan jalan dengan paving depan, sementara di halaman belakang berbatasan langsung dengan lapangan. Pohon-pohon yang menjulang di sekeliling rumah, sepasang pohon palem di sisi kanan dan kiri halaman, serta beberapa tanaman hias menambah kesan asri bangunan berlantai dua itu.
Iris kecoklatan Aina melebar, menatap puas rumah yang begitu sesuai dengan keinginannya. Sebelumnya, Dipta memang sempat menanyakan rumah seperti apa yang diinginkan Aina. Lalu dia pun menyebutkan kriterianya. Siapa sangka, Dipta bisa menemukan rumah seperti yang ia impikan.
Dipta berjalan ke arah pintu masuk. Tangan kirinya menyeret koper sedang tangan kanan menenteng tas besar. Aina mengekor di belakang sambil membawa kardus berisi buku-buku. Sampai di dalam, Aina termangu di ruang tamu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Sementara Dipta langsung naik menuju kamar mereka. Meletakkan koper dan tas Aina, lalu turun lagi meraih kardus di tangan Aina, berniat membawanya ke kamar.
"Kamu tidak ingin melihat kamar kita?" tanya Dipta saat melihat Aina mematung di depan pintu masuk.
Wanita itu mengernyitkan dahi, "Kamar kita?" Dipta mengangguk.
"Kenapa kita satu kamar?" Tanyanya lagi dengan nada suara yang meninggi.
Dipta mengedikkan bahu, "Karena kita suami istri," jawabnya santai sambil mengerling nakal lalu melenggang menaiki tangga, masuk ke kamar.
Aina terperangah tak percaya. Dengan kaki dihentak dia menyusul Dipta ke kamar mereka. "Hei, yang benar saja! Saya tidak mau sekamar dengan anda! Kita kan sudah jauh dari orang tua, kenapa masih satu kamar?" protesnya.
Dipta menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan sebelum bertanya, "Mama pasti akan sering ke sini. Kamu mau jawab apa saat Mama bertanya kenapa kita pisah kamar?"
Aina menggigit bibir. Memutar otak mencari alasan yang tepat. Namun, sampai hening beberapa saat dia tetap tidak menemukan alasan apapun. Alhasil, dengan terpaksa dibukanya koper hitam itu lalu memasukkan isinya ke dalam lemari, di kamar mereka.
***
Jam tujuh malam Dipta memarkirkan mobil di garasi, memasuki rumah dengan kantong plastik berisi makanan di tangan. Diletakkannya kantong plastik itu di meja makan lalu segera menaiki tangga menuju kamar, mencari sang istri.Selama satu minggu mereka menikah, mereka seolah orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Berangkat masing-masing, pulang juga masing-masing. Khusus untuk makan, Dipta memang selalu membeli dari luar untuk mereka berdua. Itu karena Aina tidak bisa memasak, dan Dipta belum sempat mencari orang untuk dipekerjakan di rumahnya.Dipta mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk."Makan malamnya ada di bawah. Kamu turun dulu, aku mau ganti baju," ujarnya kepada Aina yang duduk di ranjang dengan laptop di pangkuan.Aina mengangguk singkat lalu menutup laptop dan beranjak turun dari ranjang. Setelah mengganti baju dengan pakaian yang lebih santai, dia menyusul Aina yang sudah lebih dulu berada di ruan
Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan mengiringi sang surya yang perlahan menerangi cakrawala, bersama adzan subuh yang berlomba meramaikan suasana pagi.Alarm di ponsel Aina sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Sedangkan si empunya masih bergelung di alam mimpi.Bukan, bukan karena Aina tidak mendengar. Namun, karena alarm itu sudah terlebih dahulu dimatikan oleh Dipta. Laki-laki itu tahu bahwa semalam Aina habis begadang, jadi dia ingin supaya Aina tidur lebih lama. Toh perempuan itu sedang berhalangan. Dia tidak perlu bangun untuk sholat subuh.Seusai sholat subuh, Dipta membuka lemari dan mengambil kemeja serta celana bahan yang akan digunakannya untuk bekerja. Dia ingin menyetrika pakaiannya terlebih dahulu. Setelah selesai, dia segera turun ke dapur. Membuat roti bakar untuk sarapan sepertinya mudah.Roti bakar dengan selai kacang untuk Aina dan keju untuk dirinya sendiri sudah terhidang di
"Gimana kehidupan rumah tangga lo sama Aina?" Yudi bertanya di sela-sela makan siang mereka.Dipta meneguk air putih dalam gelasnya sebelum menjawab, "Masih sama.""Astaga, Brother, lo nggak ada usaha sama sekali buat naklukin hati istri lo itu?" geram Yudi. Dia merasa kesal melihat pernikahan sahabatnya yang tidak jelas itu."Memang apa yang bisa kulakukan, Yudi? Aina itu terlalu keras. Dia seperti tebing kokoh yang sangat sulit ditaklukkan."Yudi menggeleng dramatis. "Nggak ada perempuan kaya gitu buat gue."Laki-laki tampan yang dijuluki buaya rumah sakit itu menyeruput kopi hitamnya sebentar sebelum melanjutkan. "Yang namanya perempuan itu hatinya lembut. Gampang dibikin jatuh cinta. Lu aja yang kurang usaha.""Tapi Aina berbeda," potong Dipta.Yudi mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri di depan wajah Dipta.
Aina baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap hal yang tidak biasa di halaman rumah. Sebuah pot guci kecil berwarna putih berisi pohon mawar yang bunga-bunganya tengah bermekaran dengan sempurna.Kepalanya menggeleng pelan. Tanpa bertanya pun dia tau, ini pasti kelakuan suaminya. Ada-ada saja laki-laki itu.Aina hanya melangkahkan kaki memasuki rumah yang sudah tidak dikunci tanpa menyentuh bunga itu sedikit pun. Sesampainya di kamar, dia mendapati Dipta baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk tersampir di pundak."Kamu baru pulang?" Dipta bertanya, berusaha memulai percakapan. Sayangnya hanya dibalas gumaman lirih oleh Aina."Kamu mau makan apa malam ini? Nanti kubelikan." Lagi. Dipta kembali mengajukan pertanyaan.Masih bungkam, Aina melepas kerudung dan duduk di depan meja rias. Menghapus sisa make
Aina sedang menata dua piring nasi goreng di atas meja makan saat Dipta turun dari tangga mengenakan pakaian rapi lalu menghampirinya dengan alis bertaut."Kamu yang membuat ini?" tanya Dipta heran melihat nasi goreng di meja makan.Aina mendengkus. "Menurutmu siapa lagi?""Kamu bilang tidak bisa masak?" tanya Dipta terkejut."Aku tidak bisa memasak makanan dengan bumbu yang terlalu kompleks seperti semur atau lodeh. Namun jika hanya sepiring nasi goreng, siapa yang tidak bisa membuatnya?" Aina membalas sarkas. Dipta hanya mengangguk singkat."Lalu, kenapa kamu membuatnya hari ini?" tanya Dipta lagi. Penasaran.Deg!Aina terpaku sesaat. Benar juga. Selama beberapa minggu mereka menikah, Aina sama sekali tidak pernah menyentuh kompor. Lalu, mengapa pagi ini dia membuat sarapan?Segera dinetralkan ekspresi wajahnya kemu
Pagi harinya Aina tersentak kaget saat bangun dalam pelukan Dipta. Matanya bengkak dengan kantung yang menghitam serta jejak air mata yang masih membekas samar di kedua pipinya. Aina termenung sesaat.Aneh sekali. Dia sangat ingat kejadian mengerikan yang terjadi tadi malam sebelum tidur. Dipta dengan lancang menciumnya dan hampir saja memperkosanya. Namun, anehnya dia justru tidak bermimpi buruk. Dia tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dekapan lengan kekar Dipta terasa begitu hangat dan nyaman baginya.Aina tersadar dari lamunan saat merasakan pergerakan dari tangan yang mendekapnya."Aina...," panggil Dipta dengan suara serak khas bangun tidur. Aina tidak menjawab. Segera didorongnya tubuh Dipta agar pelukannya terurai, lalu bangkit dari ranjang dan mengunci diri di kamar mandi.Aina merasa kesal--lebih kepada diri sendiri. Dia ingin sekali menangis, namun sayang air matanya tak mampu keluar. Mungkin
Dipta memasuki satu persatu ruang rawat inap di bangsal Psikosomatik dengan senyum ramah dan tatapan hangat, ditemani beberapa dokter koas yang mengikutinya dengan buku kecil dan pena di tangan masing-masing. Sesekali dia anggukkan kepala untuk merespon beberapa orang yang menyapanya. Dia berjalan tegap dengan tangan dimasukkan ke saku jubah putih yang bagian bawahnya melambai mengikuti gerakan langkahnya.Hari ini jadwalnya visit, memeriksa perkembangan kondisi pasien-pasiennya pengidap gangguan psikosomatik.Gangguan psikosomatik adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Biasanya pemicunya adalah faktor psikis seperti kecemasan, stress, takut ataupun depresi. Gangguan psikosomatik juga bisa berupa memburuknya penyakit fisik yang sudah ada akibat pengaruh kondisi psikis, emosi, atau pikiran.Sebagian besar pasiennya memang
Dipta sedang termenung di kafetaria rumah sakit dengan tangan memainkan sendok di piring saat seseorang duduk di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Yudi."Kenapa ngelamun, Bro? Ada masalah lagi?" tanyanya seraya meletakkan piring di meja. Tangannya meraih sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulut.Dipta diam, terlihat berpikir. Menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan masalahnya kepada Yudi atau tidak."Yud," panggilnya setelah hening beberapa saat. Yudi menggumam karena mulutnya masih penuh dengan makanan.Dipta meletakkan sendok, melipat tangan di meja lalu berucap, "Apa yang kau lakukan jika bertemu dengan wanita korban perkosaan?"Seketika aktivitas Yudi terhenti. Tangannya melayang dengan sendok tepat di depan mulut yang menganga. Dia berdeham pelan. Diletakkannya kembali sendok itu sebelum menjawab dengan ekspresi serius."Kenapa tanya sama gu
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m
"Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.
Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran
Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar