Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan mengiringi sang surya yang perlahan menerangi cakrawala, bersama adzan subuh yang berlomba meramaikan suasana pagi.
Alarm di ponsel Aina sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Sedangkan si empunya masih bergelung di alam mimpi.
Bukan, bukan karena Aina tidak mendengar. Namun, karena alarm itu sudah terlebih dahulu dimatikan oleh Dipta. Laki-laki itu tahu bahwa semalam Aina habis begadang, jadi dia ingin supaya Aina tidur lebih lama. Toh perempuan itu sedang berhalangan. Dia tidak perlu bangun untuk sholat subuh.
Seusai sholat subuh, Dipta membuka lemari dan mengambil kemeja serta celana bahan yang akan digunakannya untuk bekerja. Dia ingin menyetrika pakaiannya terlebih dahulu. Setelah selesai, dia segera turun ke dapur. Membuat roti bakar untuk sarapan sepertinya mudah.
Roti bakar dengan selai kacang untuk Aina dan keju untuk dirinya sendiri sudah terhidang di meja makan. Dipta mengayunkan langkah ke kamar mandi yang berada dalam kamar mereka untuk mandi dan bersiap berangkat kerja. Setelan kemeja biru langit polos dan celana bahan hitam sudah melekat di tubuh atletisnya saat dia melangkah mendekati Aina. Disentuhnya bahu wanita itu pelan untuk membangunkannya.
"Aina, sudah jam 6. Bangun."
Aina hanya melenguh, lalu membalikkan tubuh membelakangi Dipta.
"Aina, bangun. Aku akan berangkat kerja. Sarapannya ada di bawah," ucap Dipta lagi masih dengan menggoncang bahu Aina pelan.
"Ck! Aku sudah bangun. Sana berangkat saja," keluh Aina sambil menepis tangan Dipta.
Dipta hanya menggumam samar sebelum meninggalkan kamar.
Aina mengerjapkan mata lalu memandang pintu yang baru saja tertutup. Diraihnya ponsel dari atas nakas untuk memeriksa jadwalnya sepanjang hari ini. Sepertinya hari ini jadwalnya akan padat lagi. Maklum saja, Hari Senin.
Diseretnya langkah kaki dengan setengah tidak ikhlas ke kamar mandi. Setelah urusan mandinya selesai, dia menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya.
Jarinya menyentuh permukaan meja setrika.
Hangat. Berarti mas Dipta baru saja menyetrika. Gumamnya dalam hati.
Selesai mengenakan pakaian kerjanya, Aina turun ke meja makan dan menemukan roti bakar dan segelas susu di atas meja.
Hatinya sedikit tidak nyaman melihat itu. Mengapa Dipta masih memperlakukan dia begitu baik? Padahal sikapnya saja sedingin es pada laki-laki itu.
Mungkin lain kali aku akan membuatkan sarapan juga untuknya. Batinnya.
Aina menyantap sarapannya sambil membuka aplikasi W******p di ponselnya. Setelah segelas susu ditandaskannya, Aina beranjak ke garasi dan mengeluarkan motor matic yang selalu digunakannya untuk berangkat ke sekolah.
//
Suara ketukan dari sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer putih mengiringi langkah Dipta menyusuri lorong-lorong bangunan serba putih yang menjadi tempatnya bekerja. Bagian bawah jubah putih yang dia kenakan melambai mengikuti gerakan saat berbelok memasuki ruang praktiknya. Di depan pintu ruangannya terdapat papan bertuliskan dr. Alvin Pradipta, Sp.PD-KPsi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Psikosomatik.
Dipta sedang membuka beberapa berkas pasien di meja saat pintu ruangannya tiba-tiba terbuka, memunculkan sosok pria tampan seusianya dengan jubah dokter seperti yang dia dikenakan.
"Selamat pagi, pengantin baru," sapa laki-laki itu seraya mendudukkan diri di kursi kosong depan Dipta. Senyum miring terbesit dari wajah tampannya.
Dipta menanggapi dengan enggan. "Mau apa kau kesini, Yudi?" tanyanya dengan wajah datar tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di tangan.
"Oho, ada apa, brother? Apa malam pertamanya nggak berjalan lancar? Ini bukan wajah yang biasa diperlihatkan pria yang baru menikah." Laki-laki yang dipanggil Yudi itu bertanya sambil menelungkupkan tangan di atas meja.
Dipta masih membalas dengan nada datar tanpa menatap rekan sejawat sekaligus sahabatnya itu. "Bukan urusanmu. Pergilah. Pasienmu sedang menunggu."
Mengabaikan perintah Dipta, laki-laki itu kembali bertanya, "Apa dia masih bersikap dingin sama lo?"
Kali ini Dipta mengangkat wajah. Sorot matanya begitu dingin dengan ekspresi datar, namun ada kilatan amarah yang terusik mendengar pertanyaan itu.
Bukannya takut, Yudi justru tergelak melihat ekspresi Dipta. Tanpa Dipta berkata pun Yudi sudah tau jawabannya. "Ayolah, brother. Lo kan dokter idola di rumah sakit ini. Masa menaklukkan hati seorang Aina aja lo nggak bisa? Apa gue harus turun tangan?" tanya Yudi dengan senyum lebar dan alis yang naik turun.
Memang Dipta sudah menceritakan semuanya kepada laki-laki dihadapannya itu. Sejak awal dia dijodohkan dengan Aina, lalu saat bertemu Aina dan akhirnya jatuh cinta pada wanita itu, sampai pernikahan dingin mereka. Semuanya sudah Dipta ceritakan pada Yudi.
"Sudah, Yudi. Pergilah. Aku sedang tidak ingin diganggu. Pekerjaanku masih banyak." Yudi terkekeh pelan.
"Oke, oke, gue pergi. Takut ganggu singa yang nggak dikasih jatah malam pertama," ucap Yudi sambil melangkah keluar diiringi tawa yang terdengar bahkan saat dia sudah di luar.
//
Aina baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi saat deru mesin mobil milik Dipta memasuki halaman. Dia melangkah ke pintu masuk lalu merogoh kunci dalam tas untuk membukanya.
"Kamu baru pulang? Tumben sampai malam?" tanya Dipta yang sudah berada di samping Aina yang sedang membuka pintu.
Aina hanya bungkam dan melenggang masuk begitu saja tanpa berniat menjawab pertanyaan Dipta. Setelah berada di kamar, dia segera mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sedangkan Dipta baru saja memasuki kamar saat Aina keluar dari kamar mandi. Karena dia menaruh beberapa jurnal kedokteran di ruang kerjanya terlebih dahulu sebelum memasuki kamar.
"Kalau kamu sudah lapar makanlah dulu." Dipta berucap saat melihat Aina membuka pintu.
Lagi-lagi wanita itu hanya diam. Namun tetap melangkahkan kaki ke ruang makan. Menata nasi dan lauk pauk yang sudah dibeli Dipta untuk makan malam mereka.
Setelah mandi, sholat, dan membaca Al-Qur'an sebentar, Dipta menyusul Aina ke ruang makan. Ternyata perempuan itu belum memulai makan malamnya. Saat ekor mata Aina melihat Dipta yang berjalan menuruni tangga, barulah dia mengambil sendok dan mulai menyantap makanan di depannya.
"Kamu kenapa pulang sampai malam?" tanya Dipta seraya menarik kursi di depan Aina dan mendudukinya.
Aina melirik sekilas. "Kenapa bertanya?"
"Aku hanya khawatir kamu ada apa-apa tadi." Dipta menjawab sebelum menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Aku ada les privat tadi, sepulang mengajar. Mungkin sampai seminggu ke depan," jawab Aina malas. Wajahnya datar dan nada bicaranya begitu dingin. Seperti biasa.
Dipta menatap lekat wajah wanita di hadapannya sebelum bertanya, "Mau kuantar jemput saja? Aku khawatir kalau kamu membawa motor sendiri malam-malam."
Aina mengangkat sebelah alis. "Memang kamu pikir aku sudah tua sampai tidak bisa mengendarai motor sendiri saat malam hari? Tak perlu berlebihan. Kerjakan saja pekerjaanmu sendiri."
"Tapi mengantar jemput istri termasuk kewajiban suami," sanggah Dipta.
Seketika Aina mengangkat wajah. Menatap tajam laki-laki yang sedang membalas tatapannya.
"Aku tidak pernah menganggap diriku sebagai istrimu. Jadi tidak perlu berlebihan. Urus saja urusanmu sendiri," tegas Aina dengan sorot mata menusuk, sebelum mengalihkan perhatian ke piringnya lagi.
Dipta menghela nafas berat. Melanjutkan makan malamnya dengan tidak berselera.
Padahal aku hanya ingin membuatmu nyaman, gumamnya dalam hati.
***
"Gimana kehidupan rumah tangga lo sama Aina?" Yudi bertanya di sela-sela makan siang mereka.Dipta meneguk air putih dalam gelasnya sebelum menjawab, "Masih sama.""Astaga, Brother, lo nggak ada usaha sama sekali buat naklukin hati istri lo itu?" geram Yudi. Dia merasa kesal melihat pernikahan sahabatnya yang tidak jelas itu."Memang apa yang bisa kulakukan, Yudi? Aina itu terlalu keras. Dia seperti tebing kokoh yang sangat sulit ditaklukkan."Yudi menggeleng dramatis. "Nggak ada perempuan kaya gitu buat gue."Laki-laki tampan yang dijuluki buaya rumah sakit itu menyeruput kopi hitamnya sebentar sebelum melanjutkan. "Yang namanya perempuan itu hatinya lembut. Gampang dibikin jatuh cinta. Lu aja yang kurang usaha.""Tapi Aina berbeda," potong Dipta.Yudi mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri di depan wajah Dipta.
Aina baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap hal yang tidak biasa di halaman rumah. Sebuah pot guci kecil berwarna putih berisi pohon mawar yang bunga-bunganya tengah bermekaran dengan sempurna.Kepalanya menggeleng pelan. Tanpa bertanya pun dia tau, ini pasti kelakuan suaminya. Ada-ada saja laki-laki itu.Aina hanya melangkahkan kaki memasuki rumah yang sudah tidak dikunci tanpa menyentuh bunga itu sedikit pun. Sesampainya di kamar, dia mendapati Dipta baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk tersampir di pundak."Kamu baru pulang?" Dipta bertanya, berusaha memulai percakapan. Sayangnya hanya dibalas gumaman lirih oleh Aina."Kamu mau makan apa malam ini? Nanti kubelikan." Lagi. Dipta kembali mengajukan pertanyaan.Masih bungkam, Aina melepas kerudung dan duduk di depan meja rias. Menghapus sisa make
Aina sedang menata dua piring nasi goreng di atas meja makan saat Dipta turun dari tangga mengenakan pakaian rapi lalu menghampirinya dengan alis bertaut."Kamu yang membuat ini?" tanya Dipta heran melihat nasi goreng di meja makan.Aina mendengkus. "Menurutmu siapa lagi?""Kamu bilang tidak bisa masak?" tanya Dipta terkejut."Aku tidak bisa memasak makanan dengan bumbu yang terlalu kompleks seperti semur atau lodeh. Namun jika hanya sepiring nasi goreng, siapa yang tidak bisa membuatnya?" Aina membalas sarkas. Dipta hanya mengangguk singkat."Lalu, kenapa kamu membuatnya hari ini?" tanya Dipta lagi. Penasaran.Deg!Aina terpaku sesaat. Benar juga. Selama beberapa minggu mereka menikah, Aina sama sekali tidak pernah menyentuh kompor. Lalu, mengapa pagi ini dia membuat sarapan?Segera dinetralkan ekspresi wajahnya kemu
Pagi harinya Aina tersentak kaget saat bangun dalam pelukan Dipta. Matanya bengkak dengan kantung yang menghitam serta jejak air mata yang masih membekas samar di kedua pipinya. Aina termenung sesaat.Aneh sekali. Dia sangat ingat kejadian mengerikan yang terjadi tadi malam sebelum tidur. Dipta dengan lancang menciumnya dan hampir saja memperkosanya. Namun, anehnya dia justru tidak bermimpi buruk. Dia tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dekapan lengan kekar Dipta terasa begitu hangat dan nyaman baginya.Aina tersadar dari lamunan saat merasakan pergerakan dari tangan yang mendekapnya."Aina...," panggil Dipta dengan suara serak khas bangun tidur. Aina tidak menjawab. Segera didorongnya tubuh Dipta agar pelukannya terurai, lalu bangkit dari ranjang dan mengunci diri di kamar mandi.Aina merasa kesal--lebih kepada diri sendiri. Dia ingin sekali menangis, namun sayang air matanya tak mampu keluar. Mungkin
Dipta memasuki satu persatu ruang rawat inap di bangsal Psikosomatik dengan senyum ramah dan tatapan hangat, ditemani beberapa dokter koas yang mengikutinya dengan buku kecil dan pena di tangan masing-masing. Sesekali dia anggukkan kepala untuk merespon beberapa orang yang menyapanya. Dia berjalan tegap dengan tangan dimasukkan ke saku jubah putih yang bagian bawahnya melambai mengikuti gerakan langkahnya.Hari ini jadwalnya visit, memeriksa perkembangan kondisi pasien-pasiennya pengidap gangguan psikosomatik.Gangguan psikosomatik adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Biasanya pemicunya adalah faktor psikis seperti kecemasan, stress, takut ataupun depresi. Gangguan psikosomatik juga bisa berupa memburuknya penyakit fisik yang sudah ada akibat pengaruh kondisi psikis, emosi, atau pikiran.Sebagian besar pasiennya memang
Dipta sedang termenung di kafetaria rumah sakit dengan tangan memainkan sendok di piring saat seseorang duduk di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Yudi."Kenapa ngelamun, Bro? Ada masalah lagi?" tanyanya seraya meletakkan piring di meja. Tangannya meraih sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulut.Dipta diam, terlihat berpikir. Menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan masalahnya kepada Yudi atau tidak."Yud," panggilnya setelah hening beberapa saat. Yudi menggumam karena mulutnya masih penuh dengan makanan.Dipta meletakkan sendok, melipat tangan di meja lalu berucap, "Apa yang kau lakukan jika bertemu dengan wanita korban perkosaan?"Seketika aktivitas Yudi terhenti. Tangannya melayang dengan sendok tepat di depan mulut yang menganga. Dia berdeham pelan. Diletakkannya kembali sendok itu sebelum menjawab dengan ekspresi serius."Kenapa tanya sama gu
Aina mengamati bangunan megah serba putih di depannya dengan takjub. Cahaya matahari memantul dari mobil-mobil yang berjejer rapi di halaman parkir berpaving hexagonal yang diinjaknya. Daun kering berguguran dari pohon di pinggir jalan dan jatuh terhempas di area parkir. Beberapa tumbuhan hias dengan pot gerabah coklat besar diletakkan di sudut-sudut teras, memberi kesan asri dan nyaman.Hiruk pikuk orang berlalu lalang silih berganti di pintu masuk. Ada yang lewat pintu UGD di pojok kiri, namun lebih banyak yang melewati pintu kaca besar yang terbuka lebar di bagian tengah. Suasana di dalam begitu ramai. Penuh dengan orang-orang yang datang untuk berikhtiar, mengharap kesembuhan dari macam-macam penyakit yang diidapnya. Seperti Aina.Hari ini adalah hari pertamanya melakukan terapi. Meskipun dokternya adalah suaminya sendiri, namun itu sama sekali tidak mengurangi kegugupannya saat ini. Aina segera melangkah menuju ruang praktik suami
Aina sedang berada di kamar, duduk bersandar kepala ranjang dengan laptop di pangkuan. Sesekali diraihnya cangkir putih di atas nakas lalu disesapnya teh beraroma vanila kesukaannya. Jari-jari lentiknya menari di atas keyboard, menciptakan bunyi ketik yang cepat. Musik klasik mengalun merdu dari ponsel yang ditaruhnya di samping badan, di atas ranjang. Langit mendung di luar jendela dan udara dingin dari AC yang menderu pelan menjadi pelengkap syahdunya suasana pagi.Hari ini hari minggu, sekitar jam 9. Jadwal mengajarnya libur, jadi dia gunakan waktunya untuk menulis.Tadi mama mertuanya menelepon lagi, mengabarkan bahwa beliau sudah dalam perjalanan ke Semarang. Mama bilang akan menyelesaikan pekerjaannya dulu sebelum mampir ke rumah. Jadi, Aina memutuskan untuk memasak agak siang.Dipta seharusnya juga libur hari ini. Hanya saja, dia harus mengisi seminar psikologi di sebuah Perguruan Tinggi, jadi sekarang Aina
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m
"Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.
Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran
Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar