Aina sedang menata dua piring nasi goreng di atas meja makan saat Dipta turun dari tangga mengenakan pakaian rapi lalu menghampirinya dengan alis bertaut.
"Kamu yang membuat ini?" tanya Dipta heran melihat nasi goreng di meja makan.
Aina mendengkus. "Menurutmu siapa lagi?"
"Kamu bilang tidak bisa masak?" tanya Dipta terkejut.
"Aku tidak bisa memasak makanan dengan bumbu yang terlalu kompleks seperti semur atau lodeh. Namun jika hanya sepiring nasi goreng, siapa yang tidak bisa membuatnya?" Aina membalas sarkas. Dipta hanya mengangguk singkat.
"Lalu, kenapa kamu membuatnya hari ini?" tanya Dipta lagi. Penasaran.
Deg!
Aina terpaku sesaat. Benar juga. Selama beberapa minggu mereka menikah, Aina sama sekali tidak pernah menyentuh kompor. Lalu, mengapa pagi ini dia membuat sarapan?
Segera dinetralkan ekspresi wajahnya kemu
Pagi harinya Aina tersentak kaget saat bangun dalam pelukan Dipta. Matanya bengkak dengan kantung yang menghitam serta jejak air mata yang masih membekas samar di kedua pipinya. Aina termenung sesaat.Aneh sekali. Dia sangat ingat kejadian mengerikan yang terjadi tadi malam sebelum tidur. Dipta dengan lancang menciumnya dan hampir saja memperkosanya. Namun, anehnya dia justru tidak bermimpi buruk. Dia tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dekapan lengan kekar Dipta terasa begitu hangat dan nyaman baginya.Aina tersadar dari lamunan saat merasakan pergerakan dari tangan yang mendekapnya."Aina...," panggil Dipta dengan suara serak khas bangun tidur. Aina tidak menjawab. Segera didorongnya tubuh Dipta agar pelukannya terurai, lalu bangkit dari ranjang dan mengunci diri di kamar mandi.Aina merasa kesal--lebih kepada diri sendiri. Dia ingin sekali menangis, namun sayang air matanya tak mampu keluar. Mungkin
Dipta memasuki satu persatu ruang rawat inap di bangsal Psikosomatik dengan senyum ramah dan tatapan hangat, ditemani beberapa dokter koas yang mengikutinya dengan buku kecil dan pena di tangan masing-masing. Sesekali dia anggukkan kepala untuk merespon beberapa orang yang menyapanya. Dia berjalan tegap dengan tangan dimasukkan ke saku jubah putih yang bagian bawahnya melambai mengikuti gerakan langkahnya.Hari ini jadwalnya visit, memeriksa perkembangan kondisi pasien-pasiennya pengidap gangguan psikosomatik.Gangguan psikosomatik adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Biasanya pemicunya adalah faktor psikis seperti kecemasan, stress, takut ataupun depresi. Gangguan psikosomatik juga bisa berupa memburuknya penyakit fisik yang sudah ada akibat pengaruh kondisi psikis, emosi, atau pikiran.Sebagian besar pasiennya memang
Dipta sedang termenung di kafetaria rumah sakit dengan tangan memainkan sendok di piring saat seseorang duduk di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Yudi."Kenapa ngelamun, Bro? Ada masalah lagi?" tanyanya seraya meletakkan piring di meja. Tangannya meraih sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulut.Dipta diam, terlihat berpikir. Menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan masalahnya kepada Yudi atau tidak."Yud," panggilnya setelah hening beberapa saat. Yudi menggumam karena mulutnya masih penuh dengan makanan.Dipta meletakkan sendok, melipat tangan di meja lalu berucap, "Apa yang kau lakukan jika bertemu dengan wanita korban perkosaan?"Seketika aktivitas Yudi terhenti. Tangannya melayang dengan sendok tepat di depan mulut yang menganga. Dia berdeham pelan. Diletakkannya kembali sendok itu sebelum menjawab dengan ekspresi serius."Kenapa tanya sama gu
Aina mengamati bangunan megah serba putih di depannya dengan takjub. Cahaya matahari memantul dari mobil-mobil yang berjejer rapi di halaman parkir berpaving hexagonal yang diinjaknya. Daun kering berguguran dari pohon di pinggir jalan dan jatuh terhempas di area parkir. Beberapa tumbuhan hias dengan pot gerabah coklat besar diletakkan di sudut-sudut teras, memberi kesan asri dan nyaman.Hiruk pikuk orang berlalu lalang silih berganti di pintu masuk. Ada yang lewat pintu UGD di pojok kiri, namun lebih banyak yang melewati pintu kaca besar yang terbuka lebar di bagian tengah. Suasana di dalam begitu ramai. Penuh dengan orang-orang yang datang untuk berikhtiar, mengharap kesembuhan dari macam-macam penyakit yang diidapnya. Seperti Aina.Hari ini adalah hari pertamanya melakukan terapi. Meskipun dokternya adalah suaminya sendiri, namun itu sama sekali tidak mengurangi kegugupannya saat ini. Aina segera melangkah menuju ruang praktik suami
Aina sedang berada di kamar, duduk bersandar kepala ranjang dengan laptop di pangkuan. Sesekali diraihnya cangkir putih di atas nakas lalu disesapnya teh beraroma vanila kesukaannya. Jari-jari lentiknya menari di atas keyboard, menciptakan bunyi ketik yang cepat. Musik klasik mengalun merdu dari ponsel yang ditaruhnya di samping badan, di atas ranjang. Langit mendung di luar jendela dan udara dingin dari AC yang menderu pelan menjadi pelengkap syahdunya suasana pagi.Hari ini hari minggu, sekitar jam 9. Jadwal mengajarnya libur, jadi dia gunakan waktunya untuk menulis.Tadi mama mertuanya menelepon lagi, mengabarkan bahwa beliau sudah dalam perjalanan ke Semarang. Mama bilang akan menyelesaikan pekerjaannya dulu sebelum mampir ke rumah. Jadi, Aina memutuskan untuk memasak agak siang.Dipta seharusnya juga libur hari ini. Hanya saja, dia harus mengisi seminar psikologi di sebuah Perguruan Tinggi, jadi sekarang Aina
Sudah hampir satu bulan Aina menjalani terapi. Dan sejauh ini hasil yang didapat begitu baik. Tak ada lagi sikap dingin dan skeptis yang ditunjukkan kepada lawan jenis. Tak ada lagi raut wajah penuh ketakutan saat dia berhadapan dengan laki-laki. Dan yang terpenting adalah aura kebahagiaannya semakin terpancar sekarang.Dia terlihat lebih ceria dalam menjalani hari. Maksudnya, biasanya Aina juga ceria. Namun, dulu cerianya hanyalah untuk menutupi tekanan yang dihadapi hatinya. Sedangkan sekarang, Aina benar-benar ceria dengan raut bahagia.Langit sudah menggelap saat Aina sampai di rumah. Dia baru saja selesai mengawasi ekstrakurikuler anak didiknya, dan tiba di rumah saat senja. Dia masuk, lalu menyalakan lampu untuk menerangi rumahnya yang gulita. Setelah mandi dan mengganti pakaian, dia segera turun ke dapur menyiapkan makan malam.Sebelumnya Aina memang sudah mengatakan pada Dipta untuk tidak membeli maka
Waktu terus bergulir. Setiap detik terangkai menjadi menit, jam, kemudian membentuk hari. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa sudah satu tahun pernikahan ini berjalan. Tentu tidak baik-baik saja seperti pernikahan pada umumnya. Namun setidaknya, kini sudah jauh lebih baik dibandingkan awalnya.Di siang hari yang terik, Aina berjalan di koridor kelas-kelas setelah bel berakhirnya ujian berbunyi beberapa menit lalu. Kedua lengannya mendekap amplop coklat besar berisi soal beserta lembar jawabnya, sementara mata menatap lurus ke depan. Sesekali membalas sapaan beberapa murid dengan menganggukkan kepala dan mengulas senyum manis. Angin sepoi siang hari menerbangkan jilbab cokelat muda yang ia kenakan. Membuatnya melambai mengikuti langkah kaki, lalu berhenti saat si empunya sudah sampai di meja kerja.Dia meletakkan buku-buku di meja sebelum merogoh saku bajunya sebelah kanan, mengambil ponsel yang telah berkedip tanda ada pe
"Ini kamu yang menyiapkan semuanya?" Aina bertanya seraya menatap sekeliling dengan wajah berseri.Mereka berada di sebuah dermaga kecil yang sudah dihias sedemikian rupa dengan satu set meja makan di tengah, bertabur bunga dan lilin-lilin kecil sehingga terlihat begitu indah, apalagi saat malam hari.(Dihiasnya begini, tapi dermaganya kaya yang di mulmed, ya)Candle light dinner. Salah satu kejutan yang Dipta siapkan jauh-jauh hari untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Dipta memang tipe lelaki romantis. Dia suka hal-hal manis seperti ini."Kebetulan sekali, malam ini bulan purnama," sambung Aina sambil menunjuk bulan yang menggantung rendah di langit temaram. Cahayanya menyirami air laut yang beriak pelan dan memantul menciptakan pendar keemasan yang begitu indah. Berpadu dengan sinar redup dari lilin-lilin yang berjajar rapi di tepi dermaga."Lihat, Mas, bulannya canti
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m
"Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.
Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran
Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar