"Ini kamu yang menyiapkan semuanya?" Aina bertanya seraya menatap sekeliling dengan wajah berseri.
Mereka berada di sebuah dermaga kecil yang sudah dihias sedemikian rupa dengan satu set meja makan di tengah, bertabur bunga dan lilin-lilin kecil sehingga terlihat begitu indah, apalagi saat malam hari.
(Dihiasnya begini, tapi dermaganya kaya yang di mulmed, ya)
Candle light dinner. Salah satu kejutan yang Dipta siapkan jauh-jauh hari untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Dipta memang tipe lelaki romantis. Dia suka hal-hal manis seperti ini.
"Kebetulan sekali, malam ini bulan purnama," sambung Aina sambil menunjuk bulan yang menggantung rendah di langit temaram. Cahayanya menyirami air laut yang beriak pelan dan memantul menciptakan pendar keemasan yang begitu indah. Berpadu dengan sinar redup dari lilin-lilin yang berjajar rapi di tepi dermaga.
"Lihat, Mas, bulannya canti
"Eunghh ...," lenguh Aina di sela-sela ciuman panas mereka.Saat ini, mereka sudah kembali ke villa. Berada di kamar yang kini bertabur bunga. Salah satu servis yang diberikan oleh pihak pengelola villa, kamar untuk pasangan yang sedang berbulan madu setiap malamnya akan dihias layaknya kamar pengantin, supaya keintiman bulan madu mereka tetap terjaga.Aina terbaring di ranjang, melingkarkan tangan ke leher Dipta yang berada di atasnya dengan bibir yang tak henti-hentinya saling melumat. Ciuman Dipta bergerak turun ke leher dan menghisapnya kuat-kuat di sana. Meninggalkan jejak berupa tanda merah di leher jenjang nan mulus Aina. Wanita itu mengerang tertahan. Digigitnya bibir bawahnya kuat-kuat, sementara matanya terpejam erat. Tangannya sibuk meremasi rambut Dipta, sesekali mencengkeram bahu lelaki itu kala desiran yang dirasakannya semakin kuat.Bibir Dipta kembali bergerak naik memagut bibir Aina yang membengkak, seme
"Apa yang membuat pipimu merona sepagi ini, Aina?"Suara bariton Dipta membuat Aina tergagap. Dia tak menyadari bahwa sedari tadi lelaki itu sudah membuka mata dan sibuk menatap wajah cantik yang dihiasi senyum manis dan pipi memerah miliknya.Sejak alarm yang disetel pukul tiga pagi berdering lembut dari ponselnya, Aina memang sudah bangun. Dia tidak sadar bahwa gerakan halusnya yang meraih ponsel untuk mematikan alarm itu membuat Dipta terbangun juga."Ti-tidak. Aku tidak merona," jawab Aina sambil merangsek lebih dalam ke pelukan laki-laki yang sedang terkekeh itu.Dipta mengeratkan pelukan sebelum berkata, "Mengingat yang semalam, hum?""Mas, ah ...," rengek Aina manja. Semakin menenggelamkan wajah di dada Dipta untuk menutupi pipinya yang serupa kepiting rebus sekarang."Hentikan, Aina. Kamu membuatku ingin lagi," bisik Dipta di telinga Aina saat wanita
Aina mengerjapkan mata untuk menghalau cahaya matahari yang menerobos netranya. Dia melangkah keluar dari mobil sambil membawa dua tas, sedangkan Dipta mengikutinya dengan koper besar di tangan. Jam tiga sore, mereka sudah tiba di rumah setelah perjalanan panjang yang melelahkan dari Bali. Perjalanan yang rencananya hanya menjadi liburan biasa, tetapi berubah menjadi bulan madu seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bulan madu yang semoga menjadi pintu gerbang kehidupan rumah tangga mereka menjadi lebih baik. Aina membuka pintu kamar. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang beberapa hari dia tinggalkan, melangkah perlahan lalu mendudukkan diri di atas ranjang. Dipta menyusul beberapa saat kemudian. Meletakkan koper di samping meja rias, lalu ikut duduk di tepi ranjang, di samping istrinya. "Kamu lelah?" Dipta bertanya seraya merengkuh bahu Aina. Dia menyenderkan kepala wanita it
"Ri ... Rizal?" Bibir Aina bergetar saat mengucapkan nama laki-laki itu. Napasnya terasa tercekat kala melihat senyum licik di wajah Rizal. "Long time no see, Honey." Aina menelan ludah dengan susah payah. Rautnya berubah pias. Make up yang dia gunakan seakan tak mampu menutupi pucat wajahnya saat ini. Gemuruh di dada membuat napasnya memburu. Kaget, panik, bingung, dan ... marah. Itulah yang dirasakannya sekarang. Keterkejutan membuatnya terdiam. Lalu, detik selanjutnya dia mengibaskan tangan untuk melepaskannya dari cekalan Rizal dan segera pergi meninggalkan lelaki itu. Aina berlari keluar ruangan, dan terus berlari hingga keluar hotel. Aina mengayunkan langkah cepat menyusuri trotoar dengan air mata yang sudah mengalir deras membasahi pipi. Kakinya terus diayunkan dengan cepat, tanpa merasakan tumit dan jarinya yang terluka akibat berlari menggunakan sepatu hak tinggi. Aina bahkan lupa ka
Aina melenguh dengan mata masih setengah terpejam. Lalu detik berikutnya, dia meringis saat merasakan perih di sekujur tubuh. Pagi ini badannya terasa sakit semua. Terutama bagian kaki. Dari paha sampai telapak kaki terasa pegal sekali. Dia menguap untuk menghilangkan sisa kantuk yang masih menguasai. Sepersekian detik kemudian, dia terdiam. Ingatan tadi malam menjadi semacam peluru yang membombardir otaknya bertubi-tubi. Tiba-tiba, rasa takut kembali menyergap relung hatinya. Aina menggeleng pelan. Mengusir segala pikiran buruk yang menghinggap. Saat menoleh ke kanan, dia baru sadar bahwa wajah Dipta berjarak begitu dekat dengannya. Ternyata semalaman Dipta tidur sambil memeluknya. Rasa aneh tiba-tiba menjalar di seluruh tubuh. Aina menggigil, lalu refleks menarik tubuh menjauh dari Dipta. "Eugh ... Aina. Sudah bangun?" Dipta berucap sambil membuka mata. Gerakan tiba-tiba Aina ternyata tanpa
Dering telepon mengganggu kegiatan mengajar Aina. Ini sudah yang ketiga kali dalam dua jam terakhir, dan entah yang keberapa kali dalam tiga hari ini. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas dengan perasaan tidak nyaman. Baru saja diangkat dan Aina belum mengucapkan sepatah kata pun, panggilan itu sudah terlebih dahulu dimatikan. Aina menghela napas kasar. Dia membuka profil dari nomor yang baru saja menghubunginya. Tidak ada nama, tidak ada foto profil. Kosong. Asing. Ini adalah nomor asing kesekian yang menerornya dalam tiga hari terakhir. Setiap kali dia blokir, nomor baru akan masuk dan menerornya beberapa menit kemudian. Aina meremas ujung jilbabnya kuat-kuat hingga buku-buku tangannya memucat. Dia merasa ingin menangis sekarang. Tanpa diberi tahu pun, dia sudah tahu bahwa pelakunya pasti Rizal. Apa sebenarnya yang laki-laki itu inginkan? Untuk apa dia melakukan ini semua? Apa luka yang dia torehkan untuk Aina
Dipta terbangun oleh suara isakan yang terdengar samar. Dia mengerjap sesaat untuk mengumpulkan kesadaran sekaligus menajamkan pendengaran. Dia menoleh, mendapati bahu istrinya sedang terguncang. Dipta menggeser tubuh mendekat. Tangannya terulur untuk menyentuh bahu Aina yang sedang tidur membelakanginya."Aina, kamu kenapa? Bangunlah," ucapnya lirih. Jemarinya mengusap bahu dan lengan Aina lembut.Aina terhenyak. Perlahan membuka mata lalu menyentuh pipinya yang sudah basah."Ada apa? Kamu bermimpi buruk lagi?" Pertanyaan Dipta membuat Aina tersentak. Dia tidak sadar bahwa Dipta sedang berada tepat di belakang tubuhnya kini."A-aku ... tidak apa-apa." Aina menjawab seraya berusaha menjauhkan tubuh dari Dipta."Kamu kenapa? Mimpi buruk lagi?" tanya Dipta lagi.Aina menunduk. Pandangannya mengarah pada seprai abu-abu di bawahnya."Apa ini
"Katakan, apa maksudmu mengajakku bertemu di sini?" tanya Aina sesaat setelah pelayan pergi setelah mengantar pesanan mereka.Rizal mulai menyantap steaknya sambil menyunggingkan senyum remeh tanpa membalas pertanyaan Aina. Sedangkan Aina yang sedari tadi memang sudah jengah berada satu meja dengan mantannya itu, bangkit dari duduk. Berniat meninggalkan laki-laki menyebalkan di hadapannya."Kenapa buru-buru?"Pertanyaan Rizal membuat Aina menoleh. Kedua matanya memicing, menunjukkan keengganan."Setidaknya minum dulu sebelum pergi." Rizal meletakkan pisau dan garpunya lalu mengelap mulut dengan tisu."Aku tidak suka basa-basi, Zal.""Aku tidak sedang basa-basi. Duduklah."Aina menghela napas, kemudian kembali duduk dengan terpaksa."Apa yang kau inginkan?" Aina bertanya, untuk yang kesekian kalinya.
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m
"Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.
Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran
Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar