"Eunghh ...," lenguh Aina di sela-sela ciuman panas mereka.
Saat ini, mereka sudah kembali ke villa. Berada di kamar yang kini bertabur bunga. Salah satu servis yang diberikan oleh pihak pengelola villa, kamar untuk pasangan yang sedang berbulan madu setiap malamnya akan dihias layaknya kamar pengantin, supaya keintiman bulan madu mereka tetap terjaga.
Aina terbaring di ranjang, melingkarkan tangan ke leher Dipta yang berada di atasnya dengan bibir yang tak henti-hentinya saling melumat. Ciuman Dipta bergerak turun ke leher dan menghisapnya kuat-kuat di sana. Meninggalkan jejak berupa tanda merah di leher jenjang nan mulus Aina. Wanita itu mengerang tertahan. Digigitnya bibir bawahnya kuat-kuat, sementara matanya terpejam erat. Tangannya sibuk meremasi rambut Dipta, sesekali mencengkeram bahu lelaki itu kala desiran yang dirasakannya semakin kuat.
Bibir Dipta kembali bergerak naik memagut bibir Aina yang membengkak, seme
"Apa yang membuat pipimu merona sepagi ini, Aina?"Suara bariton Dipta membuat Aina tergagap. Dia tak menyadari bahwa sedari tadi lelaki itu sudah membuka mata dan sibuk menatap wajah cantik yang dihiasi senyum manis dan pipi memerah miliknya.Sejak alarm yang disetel pukul tiga pagi berdering lembut dari ponselnya, Aina memang sudah bangun. Dia tidak sadar bahwa gerakan halusnya yang meraih ponsel untuk mematikan alarm itu membuat Dipta terbangun juga."Ti-tidak. Aku tidak merona," jawab Aina sambil merangsek lebih dalam ke pelukan laki-laki yang sedang terkekeh itu.Dipta mengeratkan pelukan sebelum berkata, "Mengingat yang semalam, hum?""Mas, ah ...," rengek Aina manja. Semakin menenggelamkan wajah di dada Dipta untuk menutupi pipinya yang serupa kepiting rebus sekarang."Hentikan, Aina. Kamu membuatku ingin lagi," bisik Dipta di telinga Aina saat wanita
Aina mengerjapkan mata untuk menghalau cahaya matahari yang menerobos netranya. Dia melangkah keluar dari mobil sambil membawa dua tas, sedangkan Dipta mengikutinya dengan koper besar di tangan. Jam tiga sore, mereka sudah tiba di rumah setelah perjalanan panjang yang melelahkan dari Bali. Perjalanan yang rencananya hanya menjadi liburan biasa, tetapi berubah menjadi bulan madu seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bulan madu yang semoga menjadi pintu gerbang kehidupan rumah tangga mereka menjadi lebih baik. Aina membuka pintu kamar. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang beberapa hari dia tinggalkan, melangkah perlahan lalu mendudukkan diri di atas ranjang. Dipta menyusul beberapa saat kemudian. Meletakkan koper di samping meja rias, lalu ikut duduk di tepi ranjang, di samping istrinya. "Kamu lelah?" Dipta bertanya seraya merengkuh bahu Aina. Dia menyenderkan kepala wanita it
"Ri ... Rizal?" Bibir Aina bergetar saat mengucapkan nama laki-laki itu. Napasnya terasa tercekat kala melihat senyum licik di wajah Rizal. "Long time no see, Honey." Aina menelan ludah dengan susah payah. Rautnya berubah pias. Make up yang dia gunakan seakan tak mampu menutupi pucat wajahnya saat ini. Gemuruh di dada membuat napasnya memburu. Kaget, panik, bingung, dan ... marah. Itulah yang dirasakannya sekarang. Keterkejutan membuatnya terdiam. Lalu, detik selanjutnya dia mengibaskan tangan untuk melepaskannya dari cekalan Rizal dan segera pergi meninggalkan lelaki itu. Aina berlari keluar ruangan, dan terus berlari hingga keluar hotel. Aina mengayunkan langkah cepat menyusuri trotoar dengan air mata yang sudah mengalir deras membasahi pipi. Kakinya terus diayunkan dengan cepat, tanpa merasakan tumit dan jarinya yang terluka akibat berlari menggunakan sepatu hak tinggi. Aina bahkan lupa ka
Aina melenguh dengan mata masih setengah terpejam. Lalu detik berikutnya, dia meringis saat merasakan perih di sekujur tubuh. Pagi ini badannya terasa sakit semua. Terutama bagian kaki. Dari paha sampai telapak kaki terasa pegal sekali. Dia menguap untuk menghilangkan sisa kantuk yang masih menguasai. Sepersekian detik kemudian, dia terdiam. Ingatan tadi malam menjadi semacam peluru yang membombardir otaknya bertubi-tubi. Tiba-tiba, rasa takut kembali menyergap relung hatinya. Aina menggeleng pelan. Mengusir segala pikiran buruk yang menghinggap. Saat menoleh ke kanan, dia baru sadar bahwa wajah Dipta berjarak begitu dekat dengannya. Ternyata semalaman Dipta tidur sambil memeluknya. Rasa aneh tiba-tiba menjalar di seluruh tubuh. Aina menggigil, lalu refleks menarik tubuh menjauh dari Dipta. "Eugh ... Aina. Sudah bangun?" Dipta berucap sambil membuka mata. Gerakan tiba-tiba Aina ternyata tanpa
Dering telepon mengganggu kegiatan mengajar Aina. Ini sudah yang ketiga kali dalam dua jam terakhir, dan entah yang keberapa kali dalam tiga hari ini. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas dengan perasaan tidak nyaman. Baru saja diangkat dan Aina belum mengucapkan sepatah kata pun, panggilan itu sudah terlebih dahulu dimatikan. Aina menghela napas kasar. Dia membuka profil dari nomor yang baru saja menghubunginya. Tidak ada nama, tidak ada foto profil. Kosong. Asing. Ini adalah nomor asing kesekian yang menerornya dalam tiga hari terakhir. Setiap kali dia blokir, nomor baru akan masuk dan menerornya beberapa menit kemudian. Aina meremas ujung jilbabnya kuat-kuat hingga buku-buku tangannya memucat. Dia merasa ingin menangis sekarang. Tanpa diberi tahu pun, dia sudah tahu bahwa pelakunya pasti Rizal. Apa sebenarnya yang laki-laki itu inginkan? Untuk apa dia melakukan ini semua? Apa luka yang dia torehkan untuk Aina
Dipta terbangun oleh suara isakan yang terdengar samar. Dia mengerjap sesaat untuk mengumpulkan kesadaran sekaligus menajamkan pendengaran. Dia menoleh, mendapati bahu istrinya sedang terguncang. Dipta menggeser tubuh mendekat. Tangannya terulur untuk menyentuh bahu Aina yang sedang tidur membelakanginya."Aina, kamu kenapa? Bangunlah," ucapnya lirih. Jemarinya mengusap bahu dan lengan Aina lembut.Aina terhenyak. Perlahan membuka mata lalu menyentuh pipinya yang sudah basah."Ada apa? Kamu bermimpi buruk lagi?" Pertanyaan Dipta membuat Aina tersentak. Dia tidak sadar bahwa Dipta sedang berada tepat di belakang tubuhnya kini."A-aku ... tidak apa-apa." Aina menjawab seraya berusaha menjauhkan tubuh dari Dipta."Kamu kenapa? Mimpi buruk lagi?" tanya Dipta lagi.Aina menunduk. Pandangannya mengarah pada seprai abu-abu di bawahnya."Apa ini
"Katakan, apa maksudmu mengajakku bertemu di sini?" tanya Aina sesaat setelah pelayan pergi setelah mengantar pesanan mereka.Rizal mulai menyantap steaknya sambil menyunggingkan senyum remeh tanpa membalas pertanyaan Aina. Sedangkan Aina yang sedari tadi memang sudah jengah berada satu meja dengan mantannya itu, bangkit dari duduk. Berniat meninggalkan laki-laki menyebalkan di hadapannya."Kenapa buru-buru?"Pertanyaan Rizal membuat Aina menoleh. Kedua matanya memicing, menunjukkan keengganan."Setidaknya minum dulu sebelum pergi." Rizal meletakkan pisau dan garpunya lalu mengelap mulut dengan tisu."Aku tidak suka basa-basi, Zal.""Aku tidak sedang basa-basi. Duduklah."Aina menghela napas, kemudian kembali duduk dengan terpaksa."Apa yang kau inginkan?" Aina bertanya, untuk yang kesekian kalinya.
Aina sedang berjalan menuju ruang guru saat tiba-tiba seorang siswa muncul dan menghadang jalannya. Siswa tersebut mengulurkan sebuah amplop coklat ke arah Aina."Dari siapa?" tanya Aina dengan raut wajah heran.Siswa itu hanya menggeleng. Lalu, buru-buru pergi saat amplop itu sudah berpindah ke tangan Aina.Penasaran, Aina membuka amplop dan melihat isinya. Dan seketika, dia terbelalak setelah mengetahui isi amplop itu. Apa lagi kalau bukan foto-foto yang pernah Rizal kirimkan untuknya tempo hari.Aina meremas amplop beserta foto di dalamnya sambil menahan air mata.Rizal benar-benar kelewatan. Aina pikir, laki-laki itu sudah lelah mengancamnya karena beberapa hari terakhir tidak melakukan teror lagi padanya. Namun, dia seharusnya tau, jangan berharap banyak pada Rizal. Laki-laki itu benar-benar iblis.Aina memasukkan amplop yang telah diremasnya ke dalam ta