Share

Continue

Penulis: Hanna Aisha
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-24 10:42:09

Aina sedang berjalan menuju ruang guru saat tiba-tiba seorang siswa muncul dan menghadang jalannya. Siswa tersebut mengulurkan sebuah amplop coklat ke arah Aina.

"Dari siapa?" tanya Aina dengan raut wajah heran.

Siswa itu hanya menggeleng. Lalu, buru-buru pergi saat amplop itu sudah berpindah ke tangan Aina.

Penasaran, Aina membuka amplop dan melihat isinya. Dan seketika, dia terbelalak setelah mengetahui isi amplop itu. Apa lagi kalau bukan foto-foto yang pernah Rizal kirimkan untuknya tempo hari.

Aina meremas amplop beserta foto di dalamnya sambil menahan air mata.

Rizal benar-benar kelewatan. Aina pikir, laki-laki itu sudah lelah mengancamnya karena beberapa hari terakhir tidak melakukan teror lagi padanya. Namun, dia seharusnya tau, jangan berharap banyak pada Rizal. Laki-laki itu benar-benar iblis.

Aina memasukkan amplop yang telah diremasnya ke dalam ta

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Bad Plan

    Malam sudah larut saat Aina dan Dipta tiba di rumah setelah makan malam mereka yang berakhir canggung. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai di rumah pun Aina masuk terlebih dahulu tanpa menunggu Dipta. Wanita itu langsung masuk ke kamar dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, dia bergegas membaringkan diri di tempat tidur.Dipta menyusul dengan tanpa bersuara. Langkah kakinya gontai, pandangan matanya menerawang. Jika Aina memilih untuk langsung masuk ke kamar, Dipta justru memilih singgah ke ruang kerjanya.Dia mengetuk-ngetukkan ujung atas ponselnya ke meja dengan alis bertaut, terlihat berpikir. Lalu, setelah pertimbangan matang, dia meraih ponselnya dan menekan tombol panggil pada salah satu kontak."Hallo, Pak," sapa suara bariton di seberang sana."Sudah dapat informasi yang saya minta?" Dipta menjawab dengan pertanya

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Kidnapped

    Minggu pagi yang cerah. Sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamar lewat kaca jendela yang kordennya telah terbuka sepenuhnya. Kicau burung sesekali terdengar dari arah pepohonan belakang rumah, dekat lapangan. Udara dingin dari AC tak membuat wanita pemilik iris kecoklatan nan indah itu enggan untuk beranjak dari tempat tidur.Meskipun hari ini Hari Minggu, Aina tetap melakukan rutinitas paginya seperti biasa—rutinitas yang baru beberapa minggu dia lakukan, sebenarnya. Setelah sholat subuh berjamaah dengan suaminya, dia bergegas turun dan melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Jemarinya dengan lincah meracik berbagai bumbu untuk membuat nasi goreng. Sederhana memang. Karena baru itu masakan yang bisa dia buat tanpa melihat resep. Yah, itu pun terkadang masih keasinan.Dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya telah tersaji di meja makan. Dia melanjutkan membuat secangkir kopi hitam untuk suaminya, dan teh beraroma vanilla untuk dirinya sen

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-20
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Flashback

    -Aina's POV-Kami telah menjalin hubungan selama satu tahun, sejak aku duduk di kelas 2 SMA. Dulu dia adalah kakak kelasku, umurnya 3 tahun lebih tua dariku. Saat kami masih berada di SMA, setiap hari kami selalu bersama. Dia selalu ingin menghabiskan waktu denganku. Entah di kantin, di taman belakang sekolah, bahkan saat aku ke perpustakaan pun dia menemani.Bagiku, memilikinya terasa seperti mimpi. Bagaimana tidak? Dia anak dari keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya seorang pejabat daerah sementara ibunya seorang dosen di universitas yang nantinya menjadi kampus tempatnya melanjutkan studi. Wajahnya juga tampan, bahkan sangat tampan. Dia juga pemain inti di tim sepak bola sekolahku. Satu-satunya kekurangannya adalah kenakalannya. Dia terkenal sering membolos pelajaran dan suka tawuran. Tapi terlepas dari segala kekurangannya, bagiku dia tetaplah pangeran.Aku kadang heran kenapa dia mau berpacaran dengan perempuan sepertiku. Aku hanyalah gadis seder

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-21
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Looking For

    Dipta menginjak rem dan menghentikan mobil di titik koordinat yang ditunjukkan Aina sebelumnya. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Aina di situ. Baru saja dia melepas seatbelt dan bersiap untuk turun dari mobil, ponselnya tiba-tiba berdering.Dia mengerutkan dahi saat melihat nama si penelepon. Padahal dia pikir itu Aina, ternyata bukan."Hallo ....""Pak, Bu Aina diculik."Deg! Dunia Dipta serasa berputar seratus delapan puluh derajat mendengar penuturan orang suruhannya itu. Seperti dihantam godam besar tepat di dada, napasnya terasa begitu sesak."Bagaimana bisa? Aina di mana sekarang?" Nada suaranya terdengar cemas. Dia kembali menyalakan mesin mobil dan memutar kemudi."Kami sedang mengikuti mobilnya. Sepertinya mereka akan keluar dari Semarang."Dipta mengendarai mobilnya dengan satu tangan menempelkan ponsel ke telinga. "Baik. Ikuti terus. Saya akan segera menyusul."Setelah mematikan panggilan, Dipta memacu m

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-22
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Hostage

    Dipta mengendarai mobilnya melewati perkebunan teh yang luas. Diliriknya rute di layar ponsel. GPS Aina telah berhenti berjalan. Berarti mereka telah sampai di tempat Aina akan disandera.Jalan terjal dan berbatu menghambat laju kendaraan yang dikemudikannya. Selain medan yang lumayan susah, jarak pandangnya yang terbatas karena malam semakin larut juga menjadi alasan dia tak bisa melajukan mobilnya lebih cepat.Di sejauh mata memandang, hanya ada gelap yang begitu mencekam. Tak ada lampu penerangan jalan di sini. Hamparan kebun teh yang luas juga terlihat seperti bayangan hitam tak bertepi. Begitu gelap. Purnama pun seperti enggan menerangi jalan Dipta saat ini. Yang bisa dia andalkan hanyalah lampu dari kendaraannya sendiri.Jalanan yang terus menanjak dengan bebatuan terjal yang menjadi alasnya benar-benar menguras habis tenaga. Deru mesin mobil semakin meraung keras seiring medan yang dilaluinya semakin sulit.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-25
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Psycho

    Tujuh tahun yang lalu ...Hotel Paradise : 03.45 WIBSuasana kamar 433 begitu mencekam. Pecahan kaca dari botol alkohol berserakan di lantai, bercampur dengan pakaian dari penghuninya yang tersebar berantakan. Seprai yang semula putih, kini ternoda oleh bercak darah serta lelehan cairan putih pekat yang kental. Suara pendingin ruangan yang menderu pelan hilang tertelan jerit pesakitan dari pemilik tubuh polos yang meringkuk di atas ranjang.Di depannya berdiri seseorang yang tengah menyeringai dengan sabuk di tangannya. Sabuk itulah yang meninggalkan jejak memar di sekujur tubuh si wanita."Kamu tau, Sayang, aku lebih suka mendengar jeritan alih-alih desahan. Jadi, menjeritlah untukku."Sekali lagi, suara lecutan terdengar keras saat laki-laki itu mencambukkan sabuknya ke paha sang gadis, yang membuatnya menjerit kesakitan."Sakit, Zal ... ampun. Hentik

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-25
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Safe

    Suara sirene mobil polisi terdengar nyaring memecah kesunyian malam. Lampu dari mobil-mobil yang merangkak bergantian melewati jalan setapak di tengah perkebunan teh itu terlihat berkilauan. Cahayanya bergerak-gerak mengikuti gerakan mobil yang mesinnya semakin menderu karena tanjakan.Dipta membuka pintu dan keluar mobil. Saat lampu depan mobil Yudi menyorotnya, dia segera melambaikan tangan."Di mana, Bro?" Yudi bertanya setelah turun dari mobil dan mendekat ke arah Dipta.Dipta menunjuk satu-satunya bangunan yang ada di tempat itu. "Pasti di sana. Aku yakin.""Oke. Kita ke sana."Mereka kemudian kembali masuk ke mobil masing-masing lalu mengendarainya menuju rumah besar di tengah perkebunan teh itu.Salah satu mobil polisi bergerak lebih dulu. Mereka akan memastikan berapa banyak lawan mereka dan apa senjata yang digunakannya. Jika memang mereka memiliki s

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-27
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Falling Down

    Aina terbaring di brankar rumah sakit dalam ruang rawat inap bernuansa putih cokelat. Ruangan empat kali empat meter itu terasa begitu mencekam untuk Dipta. Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuh dari pendingin ruangan yang terpasang di dinding.Suasana kamar itu begitu hening dan tenang. Hanya ada suara AC yang menderu pelan, suara pengharum ruangan yang per satu menit sekali berbunyi, juga sesekali terdengar langkah kaki para perawat yang mondar-mandir di koridor rumah sakit.Hal yang membuat ruangan ini terasa mencekam untuk Dipta adalah karena wanita yang dia cintai tengah terbaring tak sadarkan diri di atas brankar kamar itu. Selang infus terpasang di tangan kanannya, sementara selang oksigen membelit hidung. Matanya terpejam dengan bibir biru dan wajah pucat. Rambut hitam panjangnya tergerai berantakan di atas bantal putih yang menjadi penyangga kepala.Dipta membelai rambut Aina dengan lembut, lalu tang

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-28

Bab terbaru

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : A Little Family

    Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : Happily Ever After

    Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Triumph

    Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Homewards

    Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Try Again

    Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Repair

    Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Hanker

    "Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Confess

    Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Surrogate

    Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar

DMCA.com Protection Status