-Aina's POV-
Kami telah menjalin hubungan selama satu tahun, sejak aku duduk di kelas 2 SMA. Dulu dia adalah kakak kelasku, umurnya 3 tahun lebih tua dariku. Saat kami masih berada di SMA, setiap hari kami selalu bersama. Dia selalu ingin menghabiskan waktu denganku. Entah di kantin, di taman belakang sekolah, bahkan saat aku ke perpustakaan pun dia menemani.
Bagiku, memilikinya terasa seperti mimpi. Bagaimana tidak? Dia anak dari keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya seorang pejabat daerah sementara ibunya seorang dosen di universitas yang nantinya menjadi kampus tempatnya melanjutkan studi. Wajahnya juga tampan, bahkan sangat tampan. Dia juga pemain inti di tim sepak bola sekolahku. Satu-satunya kekurangannya adalah kenakalannya. Dia terkenal sering membolos pelajaran dan suka tawuran. Tapi terlepas dari segala kekurangannya, bagiku dia tetaplah pangeran.
Aku kadang heran kenapa dia mau berpacaran dengan perempuan sepertiku. Aku hanyalah gadis seder
Dipta menginjak rem dan menghentikan mobil di titik koordinat yang ditunjukkan Aina sebelumnya. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Aina di situ. Baru saja dia melepas seatbelt dan bersiap untuk turun dari mobil, ponselnya tiba-tiba berdering.Dia mengerutkan dahi saat melihat nama si penelepon. Padahal dia pikir itu Aina, ternyata bukan."Hallo ....""Pak, Bu Aina diculik."Deg! Dunia Dipta serasa berputar seratus delapan puluh derajat mendengar penuturan orang suruhannya itu. Seperti dihantam godam besar tepat di dada, napasnya terasa begitu sesak."Bagaimana bisa? Aina di mana sekarang?" Nada suaranya terdengar cemas. Dia kembali menyalakan mesin mobil dan memutar kemudi."Kami sedang mengikuti mobilnya. Sepertinya mereka akan keluar dari Semarang."Dipta mengendarai mobilnya dengan satu tangan menempelkan ponsel ke telinga. "Baik. Ikuti terus. Saya akan segera menyusul."Setelah mematikan panggilan, Dipta memacu m
Dipta mengendarai mobilnya melewati perkebunan teh yang luas. Diliriknya rute di layar ponsel. GPS Aina telah berhenti berjalan. Berarti mereka telah sampai di tempat Aina akan disandera.Jalan terjal dan berbatu menghambat laju kendaraan yang dikemudikannya. Selain medan yang lumayan susah, jarak pandangnya yang terbatas karena malam semakin larut juga menjadi alasan dia tak bisa melajukan mobilnya lebih cepat.Di sejauh mata memandang, hanya ada gelap yang begitu mencekam. Tak ada lampu penerangan jalan di sini. Hamparan kebun teh yang luas juga terlihat seperti bayangan hitam tak bertepi. Begitu gelap. Purnama pun seperti enggan menerangi jalan Dipta saat ini. Yang bisa dia andalkan hanyalah lampu dari kendaraannya sendiri.Jalanan yang terus menanjak dengan bebatuan terjal yang menjadi alasnya benar-benar menguras habis tenaga. Deru mesin mobil semakin meraung keras seiring medan yang dilaluinya semakin sulit.
Tujuh tahun yang lalu ...Hotel Paradise : 03.45 WIBSuasana kamar 433 begitu mencekam. Pecahan kaca dari botol alkohol berserakan di lantai, bercampur dengan pakaian dari penghuninya yang tersebar berantakan. Seprai yang semula putih, kini ternoda oleh bercak darah serta lelehan cairan putih pekat yang kental. Suara pendingin ruangan yang menderu pelan hilang tertelan jerit pesakitan dari pemilik tubuh polos yang meringkuk di atas ranjang.Di depannya berdiri seseorang yang tengah menyeringai dengan sabuk di tangannya. Sabuk itulah yang meninggalkan jejak memar di sekujur tubuh si wanita."Kamu tau, Sayang, aku lebih suka mendengar jeritan alih-alih desahan. Jadi, menjeritlah untukku."Sekali lagi, suara lecutan terdengar keras saat laki-laki itu mencambukkan sabuknya ke paha sang gadis, yang membuatnya menjerit kesakitan."Sakit, Zal ... ampun. Hentik
Suara sirene mobil polisi terdengar nyaring memecah kesunyian malam. Lampu dari mobil-mobil yang merangkak bergantian melewati jalan setapak di tengah perkebunan teh itu terlihat berkilauan. Cahayanya bergerak-gerak mengikuti gerakan mobil yang mesinnya semakin menderu karena tanjakan.Dipta membuka pintu dan keluar mobil. Saat lampu depan mobil Yudi menyorotnya, dia segera melambaikan tangan."Di mana, Bro?" Yudi bertanya setelah turun dari mobil dan mendekat ke arah Dipta.Dipta menunjuk satu-satunya bangunan yang ada di tempat itu. "Pasti di sana. Aku yakin.""Oke. Kita ke sana."Mereka kemudian kembali masuk ke mobil masing-masing lalu mengendarainya menuju rumah besar di tengah perkebunan teh itu.Salah satu mobil polisi bergerak lebih dulu. Mereka akan memastikan berapa banyak lawan mereka dan apa senjata yang digunakannya. Jika memang mereka memiliki s
Aina terbaring di brankar rumah sakit dalam ruang rawat inap bernuansa putih cokelat. Ruangan empat kali empat meter itu terasa begitu mencekam untuk Dipta. Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuh dari pendingin ruangan yang terpasang di dinding.Suasana kamar itu begitu hening dan tenang. Hanya ada suara AC yang menderu pelan, suara pengharum ruangan yang per satu menit sekali berbunyi, juga sesekali terdengar langkah kaki para perawat yang mondar-mandir di koridor rumah sakit.Hal yang membuat ruangan ini terasa mencekam untuk Dipta adalah karena wanita yang dia cintai tengah terbaring tak sadarkan diri di atas brankar kamar itu. Selang infus terpasang di tangan kanannya, sementara selang oksigen membelit hidung. Matanya terpejam dengan bibir biru dan wajah pucat. Rambut hitam panjangnya tergerai berantakan di atas bantal putih yang menjadi penyangga kepala.Dipta membelai rambut Aina dengan lembut, lalu tang
Sudah lima hari Aina dirawat di rumah sakit. Selama lima hari itu, dia tidak hanya mendapatkan perawatan fisik, tetapi juga perawatan secara psikis oleh psikiater untuk mengobati trauma yang kembali muncul akibat perbuatan Rizal. Aina bahkan harus meminum obat anti-depresan untuk membantunya tenang supaya bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk lagi.Selama lima hari itu pula, Dipta selalu menjaga Aina. Dia bisa memantau kondisi Aina setiap hari karena wanita itu telah dipindahkan ke rumah sakit tempatnya bekerja. Sesekali Sarah menggantikan Dipta menjaga Aina saat lelaki itu sedang bekerja, dan Sarah sedang tidak bekerja. Begitu pula Yudi yang sesekali menjenguk ke kamar rawat Aina, hanya untuk memastikan bahwa istri sahabatnya itu baik-baik saja.Hari ini Aina sudah boleh pulang. Namun, mungkin setelah ini dia harus menjalani beberapa konsultasi dengan psikiaternya demi memastikan bahwa trauma yang dideritanya tidak memburuk. Dipta juga akan
"Kamu yakin mau mulai masuk kerja lagi hari ini?" tanya Dipta sambil memandangi istrinya yang sedang duduk di meja rias.Pagi-pagi sekali Aina sudah bangun. Setelah sholat subuh bersamanya, dia pikir Aina akan tidur lagi atau paling tidak membuat teh seperti biasa. Namun, wanita itu justru merapikan kamar dan menyetrika baju. Bukan hanya bajunya, tetapi juga baju kerja milik wanita itu sendiri. Dia akan berangkat kerja lagi.Padahal Dipta pikir, kondisi Aina masih belum stabil. Terkadang emosinya masih naik-turun dengan drastis. Sesaat tertawa, detik selanjutnya terlihat murung. Dipta takut saat Aina harus bertemu dengan banyak orang di luar sana, kondisinya akan memburuk.Aina mengoleskan lipstik nude ke bibirnya terlebih dahulu sebelum menjawab, "Ya."Dia mengatupkan bibirnya beberapa kali untuk meratakan lipstik yang dipakainya."Kamu kan harus istirahat dulu."
Bangku panjang di sudut kafetaria menjadi tempat ternyaman untuk Dipta menikmati kopi hitamnya. Uap yang mengepul dari cangkir yang tengah dipegangnya mengantarkan aroma nikmat dari minuman kesukaannya itu. Dihirupnya pelan aroma menenangkan dari kopi panas itu sebelum disesapnya perlahan.Suasana kafetaria siang ini begitu ramai. Lalu lalang orang terlihat begitu padat. Ada yang sibuk mencari tempat duduk, ada yang berdiri lama di depan etalase makanan karena bingung memilih menu, ada pula yang mondar-mandir entah untuk mencari apa.Yudi mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan sahabatnya tengah duduk di pojok ruangan sembari menyeruput kopinya pelan dengan pandangan yang menerawang. Dia segera melangkah menuju meja tempat Dipta sedang melamun lalu duduk di hadapannya."Ngelamun mulu, Bro!" Yudi bertanya sembari meletakkan piring dan gelas yang dibawanya.Dipta hanya melirik dari sudut mata, tanpa mengalihkan pandangan dari kaca jendela ya