Share

Hostage

Penulis: Hanna Aisha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-25 09:05:11

Dipta mengendarai mobilnya melewati perkebunan teh yang luas. Diliriknya rute di layar ponsel. GPS Aina telah berhenti berjalan. Berarti mereka telah sampai di tempat Aina akan disandera.

Jalan terjal dan berbatu menghambat laju kendaraan yang dikemudikannya. Selain medan yang lumayan susah, jarak pandangnya yang terbatas karena malam semakin larut juga menjadi alasan dia tak bisa melajukan mobilnya lebih cepat. 

Di sejauh mata memandang, hanya ada gelap yang begitu mencekam. Tak ada lampu penerangan jalan di sini. Hamparan kebun teh yang luas juga terlihat seperti bayangan hitam tak bertepi. Begitu gelap. Purnama pun seperti enggan menerangi jalan Dipta saat ini. Yang bisa dia andalkan hanyalah lampu dari kendaraannya sendiri.

Jalanan yang terus menanjak dengan bebatuan terjal yang menjadi alasnya benar-benar menguras habis tenaga. Deru mesin mobil semakin meraung keras seiring medan yang dilaluinya semakin sulit.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Psycho

    Tujuh tahun yang lalu ...Hotel Paradise : 03.45 WIBSuasana kamar 433 begitu mencekam. Pecahan kaca dari botol alkohol berserakan di lantai, bercampur dengan pakaian dari penghuninya yang tersebar berantakan. Seprai yang semula putih, kini ternoda oleh bercak darah serta lelehan cairan putih pekat yang kental. Suara pendingin ruangan yang menderu pelan hilang tertelan jerit pesakitan dari pemilik tubuh polos yang meringkuk di atas ranjang.Di depannya berdiri seseorang yang tengah menyeringai dengan sabuk di tangannya. Sabuk itulah yang meninggalkan jejak memar di sekujur tubuh si wanita."Kamu tau, Sayang, aku lebih suka mendengar jeritan alih-alih desahan. Jadi, menjeritlah untukku."Sekali lagi, suara lecutan terdengar keras saat laki-laki itu mencambukkan sabuknya ke paha sang gadis, yang membuatnya menjerit kesakitan."Sakit, Zal ... ampun. Hentik

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-25
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Safe

    Suara sirene mobil polisi terdengar nyaring memecah kesunyian malam. Lampu dari mobil-mobil yang merangkak bergantian melewati jalan setapak di tengah perkebunan teh itu terlihat berkilauan. Cahayanya bergerak-gerak mengikuti gerakan mobil yang mesinnya semakin menderu karena tanjakan.Dipta membuka pintu dan keluar mobil. Saat lampu depan mobil Yudi menyorotnya, dia segera melambaikan tangan."Di mana, Bro?" Yudi bertanya setelah turun dari mobil dan mendekat ke arah Dipta.Dipta menunjuk satu-satunya bangunan yang ada di tempat itu. "Pasti di sana. Aku yakin.""Oke. Kita ke sana."Mereka kemudian kembali masuk ke mobil masing-masing lalu mengendarainya menuju rumah besar di tengah perkebunan teh itu.Salah satu mobil polisi bergerak lebih dulu. Mereka akan memastikan berapa banyak lawan mereka dan apa senjata yang digunakannya. Jika memang mereka memiliki s

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-27
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Falling Down

    Aina terbaring di brankar rumah sakit dalam ruang rawat inap bernuansa putih cokelat. Ruangan empat kali empat meter itu terasa begitu mencekam untuk Dipta. Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuh dari pendingin ruangan yang terpasang di dinding.Suasana kamar itu begitu hening dan tenang. Hanya ada suara AC yang menderu pelan, suara pengharum ruangan yang per satu menit sekali berbunyi, juga sesekali terdengar langkah kaki para perawat yang mondar-mandir di koridor rumah sakit.Hal yang membuat ruangan ini terasa mencekam untuk Dipta adalah karena wanita yang dia cintai tengah terbaring tak sadarkan diri di atas brankar kamar itu. Selang infus terpasang di tangan kanannya, sementara selang oksigen membelit hidung. Matanya terpejam dengan bibir biru dan wajah pucat. Rambut hitam panjangnya tergerai berantakan di atas bantal putih yang menjadi penyangga kepala.Dipta membelai rambut Aina dengan lembut, lalu tang

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-28
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Rise

    Sudah lima hari Aina dirawat di rumah sakit. Selama lima hari itu, dia tidak hanya mendapatkan perawatan fisik, tetapi juga perawatan secara psikis oleh psikiater untuk mengobati trauma yang kembali muncul akibat perbuatan Rizal. Aina bahkan harus meminum obat anti-depresan untuk membantunya tenang supaya bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk lagi.Selama lima hari itu pula, Dipta selalu menjaga Aina. Dia bisa memantau kondisi Aina setiap hari karena wanita itu telah dipindahkan ke rumah sakit tempatnya bekerja. Sesekali Sarah menggantikan Dipta menjaga Aina saat lelaki itu sedang bekerja, dan Sarah sedang tidak bekerja. Begitu pula Yudi yang sesekali menjenguk ke kamar rawat Aina, hanya untuk memastikan bahwa istri sahabatnya itu baik-baik saja.Hari ini Aina sudah boleh pulang. Namun, mungkin setelah ini dia harus menjalani beberapa konsultasi dengan psikiaternya demi memastikan bahwa trauma yang dideritanya tidak memburuk. Dipta juga akan

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-29
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Isn't Fair

    "Kamu yakin mau mulai masuk kerja lagi hari ini?" tanya Dipta sambil memandangi istrinya yang sedang duduk di meja rias.Pagi-pagi sekali Aina sudah bangun. Setelah sholat subuh bersamanya, dia pikir Aina akan tidur lagi atau paling tidak membuat teh seperti biasa. Namun, wanita itu justru merapikan kamar dan menyetrika baju. Bukan hanya bajunya, tetapi juga baju kerja milik wanita itu sendiri. Dia akan berangkat kerja lagi.Padahal Dipta pikir, kondisi Aina masih belum stabil. Terkadang emosinya masih naik-turun dengan drastis. Sesaat tertawa, detik selanjutnya terlihat murung. Dipta takut saat Aina harus bertemu dengan banyak orang di luar sana, kondisinya akan memburuk.Aina mengoleskan lipstik nude ke bibirnya terlebih dahulu sebelum menjawab, "Ya."Dia mengatupkan bibirnya beberapa kali untuk meratakan lipstik yang dipakainya."Kamu kan harus istirahat dulu."

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-01
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   The Hell of Life

    Bangku panjang di sudut kafetaria menjadi tempat ternyaman untuk Dipta menikmati kopi hitamnya. Uap yang mengepul dari cangkir yang tengah dipegangnya mengantarkan aroma nikmat dari minuman kesukaannya itu. Dihirupnya pelan aroma menenangkan dari kopi panas itu sebelum disesapnya perlahan.Suasana kafetaria siang ini begitu ramai. Lalu lalang orang terlihat begitu padat. Ada yang sibuk mencari tempat duduk, ada yang berdiri lama di depan etalase makanan karena bingung memilih menu, ada pula yang mondar-mandir entah untuk mencari apa.Yudi mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan sahabatnya tengah duduk di pojok ruangan sembari menyeruput kopinya pelan dengan pandangan yang menerawang. Dia segera melangkah menuju meja tempat Dipta sedang melamun lalu duduk di hadapannya."Ngelamun mulu, Bro!" Yudi bertanya sembari meletakkan piring dan gelas yang dibawanya.Dipta hanya melirik dari sudut mata, tanpa mengalihkan pandangan dari kaca jendela ya

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-04
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Hopeless

    Waktu masih menunjukkan pukul dua siang, tetapi entah mengapa Dipta merasa dia harus pulang. Hatinya tidak tenang membiarkan Aina berangkat bekerja. Dia tidak tau apa yang akan terjadi di luar sana, bagaimana penilaian orang-orang terhadap Aina setelah kejadian itu, bagaimana sikap mereka kepadanya. Dipta tidak tau. Maka dari itu dia merasa begitu cemas sekarang.Syukurlah, dua pasien yang dijadwalkan akan terapi sore nanti mengalihkan jadwalnya ke hari lain, jadi sekarang pekerjaannya sudah selesai. Dia bisa pulang cepat. Dengan cekatan tangannya memasukkan beberapa berkas yang perlu dibawa pulang ke dalam tas kerjanya, kemudian berlalu meninggalkan ruangan bernuansa serba putih itu. Tangannya merogoh saku jas untuk mengambil ponsel karena benda itu tiba-tiba berdering.Dahinya mengernyit melihat nama di layar. Sarah. Ada apa dia menelepon jam segini? Apakah terjadi sesuatu dengan Aina?"Assalamualaikum, Mbak Sarah," sapanya ramah."Waalaikumussalaam, Do

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-05
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Sick

    Seorang dokter paruh baya berkacamata tebal keluar dari ruang IGD tempat Aina terbaring lemah. Dia berjalan dengan tenang sambil melepas sarung tangan latex yang dia gunakan dari kedua tangan. Dia berhenti di depan tempat sampah khusus sampah medis, kemudian membuang sarung tangannya ke sana sebelum melanjutkan langkah menghampiri Dipta yang sudah berdiri menunggunya.Setibanya di hadapan Dipta, dia menurunkan masker medis yang digunakannya hingga ke dagu sebelum membuka suara."Kondisi istrimu sudah stabil. Pendarahannya sudah berhasil dihentikan dan sekarang dia sedang menerima transfusi."Dipta mengembuskan napas lega. "Terima kasih, Dok."Dokter Irsyad menarik tangan Dipta untuk duduk di bangku panjang depan IGD. "Memangnya istrimu itu kenapa? Kok sampai masuk rumah sakit lagi? Bukannya baru kemarin dia keluar?"Dipta menunduk. "Dia punya masalah dengan kesehatan mentalnya, Dok.""Benarkah?" Dokter Irsyad terlihat berpikir. "Lalu,

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06

Bab terbaru

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : A Little Family

    Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : Happily Ever After

    Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Triumph

    Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Homewards

    Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Try Again

    Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Repair

    Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Hanker

    "Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Confess

    Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Surrogate

    Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar

DMCA.com Protection Status