Waktu masih menunjukkan pukul dua siang, tetapi entah mengapa Dipta merasa dia harus pulang. Hatinya tidak tenang membiarkan Aina berangkat bekerja. Dia tidak tau apa yang akan terjadi di luar sana, bagaimana penilaian orang-orang terhadap Aina setelah kejadian itu, bagaimana sikap mereka kepadanya. Dipta tidak tau. Maka dari itu dia merasa begitu cemas sekarang.
Syukurlah, dua pasien yang dijadwalkan akan terapi sore nanti mengalihkan jadwalnya ke hari lain, jadi sekarang pekerjaannya sudah selesai. Dia bisa pulang cepat. Dengan cekatan tangannya memasukkan beberapa berkas yang perlu dibawa pulang ke dalam tas kerjanya, kemudian berlalu meninggalkan ruangan bernuansa serba putih itu. Tangannya merogoh saku jas untuk mengambil ponsel karena benda itu tiba-tiba berdering.
Dahinya mengernyit melihat nama di layar. Sarah. Ada apa dia menelepon jam segini? Apakah terjadi sesuatu dengan Aina?
"Assalamualaikum, Mbak Sarah," sapanya ramah.
"Waalaikumussalaam, Do
Seorang dokter paruh baya berkacamata tebal keluar dari ruang IGD tempat Aina terbaring lemah. Dia berjalan dengan tenang sambil melepas sarung tangan latex yang dia gunakan dari kedua tangan. Dia berhenti di depan tempat sampah khusus sampah medis, kemudian membuang sarung tangannya ke sana sebelum melanjutkan langkah menghampiri Dipta yang sudah berdiri menunggunya.Setibanya di hadapan Dipta, dia menurunkan masker medis yang digunakannya hingga ke dagu sebelum membuka suara."Kondisi istrimu sudah stabil. Pendarahannya sudah berhasil dihentikan dan sekarang dia sedang menerima transfusi."Dipta mengembuskan napas lega. "Terima kasih, Dok."Dokter Irsyad menarik tangan Dipta untuk duduk di bangku panjang depan IGD. "Memangnya istrimu itu kenapa? Kok sampai masuk rumah sakit lagi? Bukannya baru kemarin dia keluar?"Dipta menunduk. "Dia punya masalah dengan kesehatan mentalnya, Dok.""Benarkah?" Dokter Irsyad terlihat berpikir. "Lalu,
Hujan turun dengan derasnya membasahi pelataran rumah sakit beserta segala yang tak ternaungi apa pun di luar sana. Aina menatap sendu ke luar kaca jendela yang mulai memburam. Bayangan tetes air yang semakin menderas bak tirai yang menutupinya. Udara terasa semakin dingin, Aina mendekap tubuhnya sendiri dengan kedua tangan.Dipta yang baru saja selesai memeriksa pasien masuk ke kamar Aina, masih dengan mengenakan jas dokternya. Dia masuk, lalu duduk di kursi samping tempat tidur Aina. Wanita itu sontak tersentak kaget karena dia masih terlena dalam lamunan saat lelaki yang tengah tersenyum ke arahnya itu memasuki kamar."Kamu pasti sedang melamun." Dipta membelai lembut kepala Aina yang tertutup jilbab."Kamu yang masuk tidak mengucapkan salam," sanggah Aina, membuang muka.Dipta terkekeh. "Iya, maafkan aku. Assalamualaikum.""Waalaikumussalaam," ketusnya. Membuat tawa Dipta semakin keras.Aina mengalihkan pandang ke arah suaminya. Mengamat
Malam semakin larut. Hawa dingin dari sisa hujan kemarin semakin terasa menggigit. Dalam keremangan kamarnya, Aina menatap Dipta yang baru saja masuk. Lelaki itu baru pulang sebentar untuk mandi dan berganti baju, setelah itu, dia mencari makan sebentar karena sejak pagi perutnya hanya diisi roti lapis dan segelas kopi."Kamu belum tidur?" tanyanya sembari mendekat, setelah menutup pintu di belakangnya."Aku menunggumu."Dipta memicing. "Benarkah?" Dia duduk di samping tempat tidur Aina. Mengusap rambut hitam wanitanya yang tergerai panjang."Kamu sudah makan?" Aina balik bertanya.Dipta mengangguk. "Baru saja." Dia menarik selimut untuk Aina hingga menutupi dada. "Tidurlah. Sudah jam sepuluh."Dia bangkit dan berniat melangkah ke sofa untuk merebahkan diri di sana, tetapi tangannya dengan cepat dicekal Aina."Mas mau ke mana?" Aina mendongak, menatap wajah Dipta yang sedang berdiri."Ke sofa. Kamu tidurlah."Tanpa melep
Sepasang manusia berlainan jenis bergandengan melintasi sepanjang koridor dari bangsal perawatan VIP menuju ruang pemeriksaan di bagian depan rumah sakit. Beberapa pasang mata yang mengenal salah satu atau keduanya, menoleh sambil menyunggingkan senyum penuh arti. Sesekali Dipta menanggapi cuitan dan sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya dengan senyuman dan anggukan kepala.Aina membelokkan langkah ke lorong menuju kafetaria. Katanya, dia ingin membeli pancake coklat seperti yang dibawakan Dipta waktu itu. Sesampainya di depan etalase makanan, Aina segera menunjuk pancake coklat yang hanya tersisa tiga buah."Semua, Bu," pesannya kepada penjaga kafetaria.Wanita paruh baya dengan celemek terlilit di pinggangnya itu dengan sigap membungkus tiga buah pancake serta choco chips cookies ke dalam kotak snack. Aina menyerahkan selembar lima puluhan kepada wanita itu untuk membayar. Setelah menerima kembalian, mereka berbalik, berniat keluar dari kafetaria. Namun
Hari senantiasa berganti. Persiapan kepindahan Aina dan Dipta ke Jogja telah selesai. Surat pindah tugas untuk Dipta, serta berkas-berkas yang Aina siapkan untuk melamar pekerjaan di sana juga sudah siap.Pagi ini Aina sengaja bangun lebih awal, sebelum subuh. Selesai menunaikan shalat sunah, dia tidak kembali ke tempat tidur, melainkan mulai mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa ke Jogja.Aina dan Dipta memang berniat untuk tidak mengosongkan seluruh rumah, karena mereka tidak berniat menjual rumah yang di Semarang. Mau bagaimanapun, rumah itu adalah rumah pertama yang Dipta beli untuk pernikahan mereka. Terlalu banyak kenangan yang sangat sayang untuk ditinggalkan begitu saja. Maka dari itu, mereka hanya akan membawa baju-baju, perlengkapan pribadi, serta buku-buku yang memang perlu dibawa. Selebihnya, ditinggal.Suatu hari nanti, jika mereka rindu Semarang, mereka masih memiliki tempat untuk tinggal. Mungkin, mereka hanya perlu mempekerjakan orang unt
Mentari perlahan merangkak naik, semburat jingganya mengintip malu-malu dari balik punggung gunung. Cahayanya yang berpadu dengan langit pagi hari, menciptakan rona biru keemasan yang indah.Pagi pertama di Jogja. Aina menyibak selimut yang semalaman mendekap tubuh. Dia beranjak dari tempat tidur dan membuka tirai, dilanjutkan dengan membuka jendelanya, membiarkan udara segar pagi hari membelai wajah. Dia membalikkan badan saat terdengar pintu terbuka. Dipta masuk sambil menyampirkan sajadah di pundak, tersenyum manis kala netranya menemukan Aina sedang berdiri di depan jendela."Kamu sudah bangun?" tanyanya seraya meletakkan sajadah di atas meja, kemudian mendekati Aina."Hm. Baru saja. Mas dari masjid?" Aina melirik sajadah di meja, lalu menatap Dipta dari atas ke bawah.Sarung motif kotak-kotak, baju Koko hijau muda polos, serta peci hitam yang masih melekat di kepala. Dipta mengangguk.&nb
Dua jam Aina dan Dipta berkeliling supermarket, membeli berbagai barang dan bahan makanan untuk mengisi rumah dan kulkasnya yang masih luang. Pukul satu siang, mereka pulang.Terik matahari menyengat kulit. Angin yang bertiup mengantarkan dedaunan yang jatuh di pelataran rumah, mengurangi rasa panas yang mendera raga. Aina segera masuk membawa kantong belanja besar, sedangkan Dipta mengekorinya sambil mengangkat kardus berisi belanjaannya ke dalam rumah. Mereka segera menuju dapur, lalu meletakkan barang bawaan di atas meja.Dipta duduk di kursi meja makan sembari mengatur napas. Berbeda dengan Aina yang gegas mengeluarkan barang-barang yang dibelinya dari dalam kantong belanja, kemudian menatanya di dalam kulkas. Berbagai buah-buahan, sayuran, serta beragam makanan dan minuman olahan dengan cepat memenuhi tiap rak di dalam lemari pendingin itu. Setelah menata isi kulkas, Aina beralih membuka pintu bufet di bawah meja dapur. Dia bersimpuh di
Jam di pergelangan tangan Dipta telah menunjukkan pukul sembilan malam saat Dipta memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Aina turun terlebih dahulu lalu membuka pintu dengan kunci yang dibawanya. Dipta menyusulnya di belakang. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah bersama-sama.Aina segera menuju kamar. Sedangkan Dipta ke kamar mandi terlebih dahulu. Setelah mencuci tangan dan kaki serta membasuh wajah, dia kembali ke kamar untuk mengobati luka Aina.Dipta mengambil kotak P3K di atas lemari, lalu duduk di samping ranjang di sebelah Aina, meraih tangan wanita itu, kemudian membersihkan lukanya dengan alkohol sebelum diberikan antiseptik dan dibalut plaster.Dia menunduk sembari mengusap tangan Aina dengan ibu jarinya, membuat wanita itu mengernyit heran. Merasa tidak nyaman, Aina segera menarik tangannya dari genggaman Dipta."Tenang saja, Mas, ini cuma luka kecil."Dipta mengangka
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m
"Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.
Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran
Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar