Sepasang manusia berlainan jenis bergandengan melintasi sepanjang koridor dari bangsal perawatan VIP menuju ruang pemeriksaan di bagian depan rumah sakit. Beberapa pasang mata yang mengenal salah satu atau keduanya, menoleh sambil menyunggingkan senyum penuh arti. Sesekali Dipta menanggapi cuitan dan sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya dengan senyuman dan anggukan kepala.
Aina membelokkan langkah ke lorong menuju kafetaria. Katanya, dia ingin membeli pancake coklat seperti yang dibawakan Dipta waktu itu. Sesampainya di depan etalase makanan, Aina segera menunjuk pancake coklat yang hanya tersisa tiga buah.
"Semua, Bu," pesannya kepada penjaga kafetaria.
Wanita paruh baya dengan celemek terlilit di pinggangnya itu dengan sigap membungkus tiga buah pancake serta choco chips cookies ke dalam kotak snack. Aina menyerahkan selembar lima puluhan kepada wanita itu untuk membayar. Setelah menerima kembalian, mereka berbalik, berniat keluar dari kafetaria. Namun
Hari senantiasa berganti. Persiapan kepindahan Aina dan Dipta ke Jogja telah selesai. Surat pindah tugas untuk Dipta, serta berkas-berkas yang Aina siapkan untuk melamar pekerjaan di sana juga sudah siap.Pagi ini Aina sengaja bangun lebih awal, sebelum subuh. Selesai menunaikan shalat sunah, dia tidak kembali ke tempat tidur, melainkan mulai mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa ke Jogja.Aina dan Dipta memang berniat untuk tidak mengosongkan seluruh rumah, karena mereka tidak berniat menjual rumah yang di Semarang. Mau bagaimanapun, rumah itu adalah rumah pertama yang Dipta beli untuk pernikahan mereka. Terlalu banyak kenangan yang sangat sayang untuk ditinggalkan begitu saja. Maka dari itu, mereka hanya akan membawa baju-baju, perlengkapan pribadi, serta buku-buku yang memang perlu dibawa. Selebihnya, ditinggal.Suatu hari nanti, jika mereka rindu Semarang, mereka masih memiliki tempat untuk tinggal. Mungkin, mereka hanya perlu mempekerjakan orang unt
Mentari perlahan merangkak naik, semburat jingganya mengintip malu-malu dari balik punggung gunung. Cahayanya yang berpadu dengan langit pagi hari, menciptakan rona biru keemasan yang indah.Pagi pertama di Jogja. Aina menyibak selimut yang semalaman mendekap tubuh. Dia beranjak dari tempat tidur dan membuka tirai, dilanjutkan dengan membuka jendelanya, membiarkan udara segar pagi hari membelai wajah. Dia membalikkan badan saat terdengar pintu terbuka. Dipta masuk sambil menyampirkan sajadah di pundak, tersenyum manis kala netranya menemukan Aina sedang berdiri di depan jendela."Kamu sudah bangun?" tanyanya seraya meletakkan sajadah di atas meja, kemudian mendekati Aina."Hm. Baru saja. Mas dari masjid?" Aina melirik sajadah di meja, lalu menatap Dipta dari atas ke bawah.Sarung motif kotak-kotak, baju Koko hijau muda polos, serta peci hitam yang masih melekat di kepala. Dipta mengangguk.&nb
Dua jam Aina dan Dipta berkeliling supermarket, membeli berbagai barang dan bahan makanan untuk mengisi rumah dan kulkasnya yang masih luang. Pukul satu siang, mereka pulang.Terik matahari menyengat kulit. Angin yang bertiup mengantarkan dedaunan yang jatuh di pelataran rumah, mengurangi rasa panas yang mendera raga. Aina segera masuk membawa kantong belanja besar, sedangkan Dipta mengekorinya sambil mengangkat kardus berisi belanjaannya ke dalam rumah. Mereka segera menuju dapur, lalu meletakkan barang bawaan di atas meja.Dipta duduk di kursi meja makan sembari mengatur napas. Berbeda dengan Aina yang gegas mengeluarkan barang-barang yang dibelinya dari dalam kantong belanja, kemudian menatanya di dalam kulkas. Berbagai buah-buahan, sayuran, serta beragam makanan dan minuman olahan dengan cepat memenuhi tiap rak di dalam lemari pendingin itu. Setelah menata isi kulkas, Aina beralih membuka pintu bufet di bawah meja dapur. Dia bersimpuh di
Jam di pergelangan tangan Dipta telah menunjukkan pukul sembilan malam saat Dipta memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Aina turun terlebih dahulu lalu membuka pintu dengan kunci yang dibawanya. Dipta menyusulnya di belakang. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah bersama-sama.Aina segera menuju kamar. Sedangkan Dipta ke kamar mandi terlebih dahulu. Setelah mencuci tangan dan kaki serta membasuh wajah, dia kembali ke kamar untuk mengobati luka Aina.Dipta mengambil kotak P3K di atas lemari, lalu duduk di samping ranjang di sebelah Aina, meraih tangan wanita itu, kemudian membersihkan lukanya dengan alkohol sebelum diberikan antiseptik dan dibalut plaster.Dia menunduk sembari mengusap tangan Aina dengan ibu jarinya, membuat wanita itu mengernyit heran. Merasa tidak nyaman, Aina segera menarik tangannya dari genggaman Dipta."Tenang saja, Mas, ini cuma luka kecil."Dipta mengangka
Bunyi klakson terdengar tiga kali saat Aina masih berkutat dengan make up-nya. Dia memoleskan lipstik ke bibir sebagai sentuhan terakhir, sebelum menyemprotkan setting spray lalu merapikan jilbab yang dia kenakan. Sebelum meraih tasnya, Aina menyempatkan diri menyemprotkan parfum ke bagian leher dan pergelangan tangan. Setelah siap, dia bergegas menuju halaman, di mana Dipta tengah menunggu di mobil.Siang ini jadwalnya konsultasi dengan psikiater baru. Ini memang bukanlah konsultasi pertama yang pernah dia lakukan, tetapi entah mengapa kali ini dirinya merasa gugup. Mungkin karena dokternya laki-laki? Atau karena dia harus mengunjungi psikiater bahkan di tempat baru ini? Entahlah.Dipta tengah menyandarkan diri di kap mobil sambil menyilangkan kaki, mengamati jam di pergelangan tangan. Angin yang berembus menerbangkan dedaunan kering dari pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah, juga meriapkan bagian depan rambutnya. Lengan kemeja yang dia kenakan digulung sampai ke si
Dipta mengayunkan langkah dengan tergesa di sepanjang koridor. Kakinya semakin berayun cepat saat dirinya melirik jam di tangan dan dia tahu telah terlambat lima belas menit. Setelah melewati koridor ruang rawat inap, Dipta membelokkan langkah memasuki koridor bangsal anak dan berlari kecil menuju gedung kesehatan jiwa. Saat jaraknya dengan ruangannya hanya beberapa meter, dia mendengar suara seseorang yang memanggilnya."Dok!"Dipta menoleh. Ternyata Karin."Di mana pasiennya?" tanya Dipta saat Karin sudah berdiri di hadapannya."Di ruangan dokter.""Baiklah." Mereka kemudian melanjutkan langkah.Sepanjang perjalanan yang hanya beberapa meter itu, Dipta bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan pasien yang mendadak harus dia temui itu?Pintu terbuka. Seorang lelaki tua dengan uban yang menutupi seluruh kepalanya sedang duduk di sofa bersama gadis muda yang kira-kira masih SMA bertubuh kurus, menoleh serempak ke arahnya. Mere
Aina mengerjap saat pendengarannya menangkap suara alarm yang berdering dari ponsel yang berada di atas meja. Masih dengan setengah terpejam, jemarinya meraba-raba nakas untuk meraih benda yang mengeluarkan bunyi nyaring itu. Setelah dapat, dia segera mengusap layar ke atas untuk mematikan alarm.Dipta melenguh lalu membuka mata perlahan kala merasakan tubuh yang sedang didekapnya bergerak. Dia menguap panjang sebelum akhirnya membuka mata dengan sempurna."Jam berapa?" tanyanya dengan suara serak."Jam tiga, Mas. Bangun." Aina menyibak selimut dan bergegas bangkit dari tempat tidur.Dipta yang semalaman bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, seketika mendekap tubuh karena hawa dingin yang menyergap tanpa permisi. Dia meraih kaosnya dan segera mengenakannya, sementara Aina sudah keluar dari kamar.Sebelum beranjak dari tempat tidur, Dipta menyempatkan diri membuka ponsel. Kedua matanya dengan teliti memindai notifikasi yang berbaris
Belum genap dua minggu Aina menjalani terapi, namun perubahannya sudah terlihat. Setiap hari dia menjalani terapi relaksasi sendiri di rumah serta rutin melakukan yoga untuk menjaga kondisi mentalnya agar stabil. Dia juga semakin sering memutar musik klasik untuk menenangkan pikiran. Meski begitu, rasanya semakin lama semakin jenuh jika dia harus berada sendirian dalam rumah.Dipta selalu berangkat pagi dan pulang sore saat bekerja. Jadi, dia tidak mungkin bisa menemani Aina setiap saat. Meski setiap akhir pekan Dipta selalu mengajaknya berjalan-jalan di luar, tetap saja hari-hari lain berlalu dengan menjemukan.Pagi ini, Aina kembali membuka info-info lowongan pekerjaan. Pelan-pelan dia meraih ponsel lalu membalikkan badan dengan hati-hati supaya gerakannya tidak mengganggu Dipta yang masih terlelap. Lelaki itu baru tidur pukul dua pagi, satu jam yang lalu. Jadi, Aina tidak mungkin tega membangunkannya.Dalam posisi mem
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m
"Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.
Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran
Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar