Bunyi klakson terdengar tiga kali saat Aina masih berkutat dengan make up-nya. Dia memoleskan lipstik ke bibir sebagai sentuhan terakhir, sebelum menyemprotkan setting spray lalu merapikan jilbab yang dia kenakan. Sebelum meraih tasnya, Aina menyempatkan diri menyemprotkan parfum ke bagian leher dan pergelangan tangan. Setelah siap, dia bergegas menuju halaman, di mana Dipta tengah menunggu di mobil.
Siang ini jadwalnya konsultasi dengan psikiater baru. Ini memang bukanlah konsultasi pertama yang pernah dia lakukan, tetapi entah mengapa kali ini dirinya merasa gugup. Mungkin karena dokternya laki-laki? Atau karena dia harus mengunjungi psikiater bahkan di tempat baru ini? Entahlah.
Dipta tengah menyandarkan diri di kap mobil sambil menyilangkan kaki, mengamati jam di pergelangan tangan. Angin yang berembus menerbangkan dedaunan kering dari pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah, juga meriapkan bagian depan rambutnya. Lengan kemeja yang dia kenakan digulung sampai ke si
Dipta mengayunkan langkah dengan tergesa di sepanjang koridor. Kakinya semakin berayun cepat saat dirinya melirik jam di tangan dan dia tahu telah terlambat lima belas menit. Setelah melewati koridor ruang rawat inap, Dipta membelokkan langkah memasuki koridor bangsal anak dan berlari kecil menuju gedung kesehatan jiwa. Saat jaraknya dengan ruangannya hanya beberapa meter, dia mendengar suara seseorang yang memanggilnya."Dok!"Dipta menoleh. Ternyata Karin."Di mana pasiennya?" tanya Dipta saat Karin sudah berdiri di hadapannya."Di ruangan dokter.""Baiklah." Mereka kemudian melanjutkan langkah.Sepanjang perjalanan yang hanya beberapa meter itu, Dipta bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan pasien yang mendadak harus dia temui itu?Pintu terbuka. Seorang lelaki tua dengan uban yang menutupi seluruh kepalanya sedang duduk di sofa bersama gadis muda yang kira-kira masih SMA bertubuh kurus, menoleh serempak ke arahnya. Mere
Aina mengerjap saat pendengarannya menangkap suara alarm yang berdering dari ponsel yang berada di atas meja. Masih dengan setengah terpejam, jemarinya meraba-raba nakas untuk meraih benda yang mengeluarkan bunyi nyaring itu. Setelah dapat, dia segera mengusap layar ke atas untuk mematikan alarm.Dipta melenguh lalu membuka mata perlahan kala merasakan tubuh yang sedang didekapnya bergerak. Dia menguap panjang sebelum akhirnya membuka mata dengan sempurna."Jam berapa?" tanyanya dengan suara serak."Jam tiga, Mas. Bangun." Aina menyibak selimut dan bergegas bangkit dari tempat tidur.Dipta yang semalaman bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, seketika mendekap tubuh karena hawa dingin yang menyergap tanpa permisi. Dia meraih kaosnya dan segera mengenakannya, sementara Aina sudah keluar dari kamar.Sebelum beranjak dari tempat tidur, Dipta menyempatkan diri membuka ponsel. Kedua matanya dengan teliti memindai notifikasi yang berbaris
Belum genap dua minggu Aina menjalani terapi, namun perubahannya sudah terlihat. Setiap hari dia menjalani terapi relaksasi sendiri di rumah serta rutin melakukan yoga untuk menjaga kondisi mentalnya agar stabil. Dia juga semakin sering memutar musik klasik untuk menenangkan pikiran. Meski begitu, rasanya semakin lama semakin jenuh jika dia harus berada sendirian dalam rumah.Dipta selalu berangkat pagi dan pulang sore saat bekerja. Jadi, dia tidak mungkin bisa menemani Aina setiap saat. Meski setiap akhir pekan Dipta selalu mengajaknya berjalan-jalan di luar, tetap saja hari-hari lain berlalu dengan menjemukan.Pagi ini, Aina kembali membuka info-info lowongan pekerjaan. Pelan-pelan dia meraih ponsel lalu membalikkan badan dengan hati-hati supaya gerakannya tidak mengganggu Dipta yang masih terlelap. Lelaki itu baru tidur pukul dua pagi, satu jam yang lalu. Jadi, Aina tidak mungkin tega membangunkannya.Dalam posisi mem
Aina memulai paginya dengan bersemangat. Setelan yang selama beberapa minggu tergantung di lemari tak tersentuh, hari ini bisa dia kenakan kembali. Senyumnya mengembang tatkala dirinya mematut diri di depan cermin.Dipta yang sedang memakai dasi di belakang Aina melirik wanita itu dari pantulan cermin, dan ikut tersenyum melihat wanitanya. Dia tentu senang melihat Aina bahagia seperti itu. Semoga saja keputusan yang mereka ambil adalah keputusan yang tepat."Ayo, sarapan dulu," ajak Dipta setelah mengenakan jasnya.Aina melirik jam yang menggantung di dinding. Pukul enam lebih sepuluh. Astaga, sepagi ini mereka sudah rapi. Dia mengikuti langkah Dipta menuju dapur.Mereka tidak sarapan banyak. Hanya minum kopi dan teh seperti biasa, serta makan roti dengan selai saja. Aina tidak punya banyak waktu untuk masak terlebih dahulu karena harus menyetrika pakaiannya dan Dipta pagi-pagi. Setelah itu mereka bersiap-siap. Jadi, makan roti saja sudah cukup. Jam 06.25
Siang ini seharusnya Dipta makan siang bersama dengan Aina. Namun, sialnya, sampai jam segini dia justru masih terkurung di tempat ini. Ya, Dipta masih berada dalam ruangannya.Sebenarnya, setengah jam yang lalu, jadwalnya untuk siang hari selesai. Namun, tiba-tiba saja Cindy —gadis pengidap anoreksia yang tempo hari datang— kembali masuk ke rumah sakit dan bahkan harus menjalani opname karena pingsan lagi untuk kedua kalinya di sekolah. Jadi, Dipta harus memeriksanya lagi dan merelakan waktu makan siangnya bersama Aina.Dia baru saja kembali dari kamar rawat Cindy, dan sedang beristirahat sebentar di ruangannya. Dia meraih ponsel untuk mengecek pesan dari Aina. Sayangnya wanita itu bahkan belum membaca pesannya. Apakah Aina sedang sibuk? Atau justru marah?Dia ingin memeriksanya sendiri ke tempat kerja Aina, tetapi lima belas menit lagi dia ada jadwal konsultasi. Rasanya mustahil bisa bolak-balik dalam waktu kurang dari lima belas menit.
Gemuruh terdengar begitu riuh bersahut-sahutan, diiringi kilat yang menyambar-nyambar menciptakan rona terang di langit malam. Derasnya hujan yang mengguyur bumi disertai angin yang bertiup kencang menambah ngeri suasana malam ini.Sebuah mobil Fortuner hitam memasuki tempat pengisian bensin di ruas tol Semarang-Batang. Deru mesinnya tertelan habis oleh derasnya suara hujan. Seorang penumpang yang tengah terlelap di kursi belakang terbangun saat si pengemudi menghentikan mobilnya mendadak.Lelaki itu mengumpat pelan, tetapi matanya kembali terpejam sesaat kemudian. Si pengemudi yang mengenakan setelan serba hitam menarik napas panjang. Setelah mengisi bahan bakar untuk kendaraannya, dia segera meninggalkan tempat itu.Mobil berbelok memasuki halaman sebuah rumah kayu sederhana di pinggir hutan. Rumah yang lebih terlihat seperti gubuk itu dikelilingi pepohonan tinggi dan juga berada di bibir tebing. Tak ada rumah lain di
Seharian Aina mengurung diri di kamar. Selimut tebal mendekap tubuhnya dari ujung kaki hingga ke leher, padahal cuaca hari itu sedang panas-panasnya. Kantung matanya menghitam dan bengkak karena semalaman menangis. Dipta bahkan tidak tau lagi harus melakukan apa. Mau berangkat kerja juga tidak mungkin, Aina tidak bisa ditinggalkan dalam keadaan seperti ini.Berita tentang kaburnya Rizal benar-benar membuat Aina ketakutan. Masih begitu lekat dalam ingatannya, bagaimana lelaki itu mencabik-cabik harga dirinya. Juga seperti apa perlakuan mengerikan lelaki itu kepadanya. Aina takut, sangat takut. Dia tidak ingin hal seperti kemarin terulang lagi. Dan Dipta jelas mengerti hal itu. Terapi Aina bahkan belum selesai, tetapi wanita itu sudah harus terjatuh dalam depresi yang menyakitkan untuk yang kesekian kali.Perlahan Dipta bangkit dari tempat tidur dan beranjak ke dapur. Dia hendak mencari apa pun yang bisa dimakan. Sudah jam sebelas siang, tetap
Dipta mempercepat langkah menuju kamar rawat Cindy, diikuti Karin yang tergopoh-gopoh di belakang, kesulitan mensejajarkan langkah. Gadis yang masih duduk di kelas tiga SMA itu kembali drop. Padahal dua hari yang lalu, setelah Dipta meninggalkan Aina dan menyempatkan diri ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya, kondisi Cindy sudah membaik.Pintu kamar Cindy terbuka. Di dalam sudah ada perawat yang sedang membersihkan muntahan yang berceceran di lantai, sedangkan orang tuanya berdiri di samping ranjang Cindy, menatap putrinya dengan tatapan cemas.Dipta mendekat setelah sang perawat selesai membersihkan sisa-sisa muntahan di lantai. Dia menatap gadis itu iba. Tubuhnya masih kurus, namun tidak sepucat saat pertama kali masuk ke rumah sakit. Bibirnya kini membiru pecah-pecah dengan kulit yang mengelupas di beberapa tempat. Terlalu sering muntah pasti membuatnya dehidrasi."Kamu memuntahkan makanan lagi?" Dipta bertanya seraya mengecek roller clamp guna mem
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m
"Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.
Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran
Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar