Share

Freedom

Penulis: Hanna Aisha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-27 04:15:42

Gemuruh terdengar begitu riuh bersahut-sahutan, diiringi kilat yang menyambar-nyambar menciptakan rona terang di langit malam. Derasnya hujan yang mengguyur bumi disertai angin yang bertiup kencang menambah ngeri suasana malam ini.

Sebuah mobil Fortuner hitam memasuki tempat pengisian bensin di ruas tol Semarang-Batang. Deru mesinnya tertelan habis oleh derasnya suara hujan. Seorang penumpang yang tengah terlelap di kursi belakang terbangun saat si pengemudi menghentikan mobilnya mendadak.

Lelaki itu mengumpat pelan, tetapi matanya kembali terpejam sesaat kemudian. Si pengemudi yang mengenakan setelan serba hitam menarik napas panjang. Setelah mengisi bahan bakar untuk kendaraannya, dia segera meninggalkan tempat itu.

Mobil berbelok memasuki halaman sebuah rumah kayu sederhana di pinggir hutan. Rumah yang lebih terlihat seperti gubuk itu dikelilingi pepohonan tinggi dan juga berada di bibir tebing. Tak ada rumah lain di

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Die

    Seharian Aina mengurung diri di kamar. Selimut tebal mendekap tubuhnya dari ujung kaki hingga ke leher, padahal cuaca hari itu sedang panas-panasnya. Kantung matanya menghitam dan bengkak karena semalaman menangis. Dipta bahkan tidak tau lagi harus melakukan apa. Mau berangkat kerja juga tidak mungkin, Aina tidak bisa ditinggalkan dalam keadaan seperti ini.Berita tentang kaburnya Rizal benar-benar membuat Aina ketakutan. Masih begitu lekat dalam ingatannya, bagaimana lelaki itu mencabik-cabik harga dirinya. Juga seperti apa perlakuan mengerikan lelaki itu kepadanya. Aina takut, sangat takut. Dia tidak ingin hal seperti kemarin terulang lagi. Dan Dipta jelas mengerti hal itu. Terapi Aina bahkan belum selesai, tetapi wanita itu sudah harus terjatuh dalam depresi yang menyakitkan untuk yang kesekian kali.Perlahan Dipta bangkit dari tempat tidur dan beranjak ke dapur. Dia hendak mencari apa pun yang bisa dimakan. Sudah jam sebelas siang, tetap

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-28
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Mesmerized

    Dipta mempercepat langkah menuju kamar rawat Cindy, diikuti Karin yang tergopoh-gopoh di belakang, kesulitan mensejajarkan langkah. Gadis yang masih duduk di kelas tiga SMA itu kembali drop. Padahal dua hari yang lalu, setelah Dipta meninggalkan Aina dan menyempatkan diri ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya, kondisi Cindy sudah membaik.Pintu kamar Cindy terbuka. Di dalam sudah ada perawat yang sedang membersihkan muntahan yang berceceran di lantai, sedangkan orang tuanya berdiri di samping ranjang Cindy, menatap putrinya dengan tatapan cemas.Dipta mendekat setelah sang perawat selesai membersihkan sisa-sisa muntahan di lantai. Dia menatap gadis itu iba. Tubuhnya masih kurus, namun tidak sepucat saat pertama kali masuk ke rumah sakit. Bibirnya kini membiru pecah-pecah dengan kulit yang mengelupas di beberapa tempat. Terlalu sering muntah pasti membuatnya dehidrasi."Kamu memuntahkan makanan lagi?" Dipta bertanya seraya mengecek roller clamp guna mem

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-28
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Equals

    Aina menghentak-hentakkan kakinya kesal ketika melangkah menuju warung makan di seberang jalan. Bel istirahat baru berbunyi beberapa saat yang lalu. Sebelumnya, Aina berniat makan di kantin saja. Namun, tempat itu begitu penuh, bahkan bisa dibilang sesak. Aina menjadi kesal karenanya.Hari ini suasana hatinya sedang sangat berantakan. Sepertinya semua hal yang terjadi hari ini selalu membuatnya kesal. Anak muridnya yang ngeyel saat dinasehati, rekan gurunya yang berisik saat Aina sedang mengoreksi ulangan siswanya di kantor, juga kejadian tadi. Saat dia hendak makan dan kantin malah penuh. Menyebalkan.Sejak pagi hari dia sudah uring-uringan. Masih teringat jelas bagaimana Dipta bercerita dengan entengnya semalam, bahwa dia menyuapi perempuan lain makan, bahkan tanpa rasa bersalah lelaki itu masih berani memeluknya! Apa dia tidak tau kalau Aina sedang marah? Dipta selalu saja begitu.Sudah bukan rahasia lagi bahwa Dipta selalu bersikap kelewat baik kepada siapa

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-28
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Grace

    Sesuai dengan yang dijanjikan Dipta tempo hari, akhir pekan ini dia mengajak Aina untuk ke mall bersama Yudi dan istri serta anaknya. Mereka janjian bertemu di tempat parkir salah satu mall terkenal di Jogja pukul sepuluh pagi. Nantinya mereka akan mencari makan terlebih dahulu sebelum berkeliling pusat perbelanjaan itu.Pukul sembilan pagi Aina sudah menyajikan kopi di meja suaminya. Dipta baru saja masuk kamar setelah selesai mandi saat indera penciumannya menangkap aroma nikmat dari atas meja kerja. Masih dengan melilitkan handuk di pinggang, Dipta meraih cangkir keramik putih itu dan menyesap kopinya. Sedangkan Aina sudah kembali ke dapur untuk membersihkan tempat itu. Dia juga menyempatkan diri membuat teh untuk dirinya sendiri.Selesai membersihkan dapur serta membuang sampah ke tong sampah besar di pinggir jalan depan rumah, Aina beralih menyapu ruang tv sampai ke ruang tamu. Sebenarnya ruangan-ruangan itu tidak terlalu kotor, karena

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-05
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Pregnancy

    Aina dan Dipta pulang ke rumah. Begitu memarkirkan kendaraan di halaman, Dipta langsung membantu Aina turun dan segera membawanya masuk ke kamar. Setelah memastikan Aina rebahan dengan nyaman, dia bergegas ke dapur untuk membuatkan teh hangat dan juga menyiapkan makanan.Di dalam kamar, Aina terpekur. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Perkataan ibu-ibu tadi masih terngiang di telinga. Hamil? Benarkah? Ucapan ibu itu membuatnya ingat kalau tanggal menstruasinya sudah lewat beberapa minggu. Namun, selama ini dia berpikir bahwa itu adalah efek samping dari obat-obatan yang dia konsumsi.Aina menggelengkan kepala kuat-kuat. Jangan berharap lebih, dia mengingatkan dirinya sendiri. Pasti dia terlambat datang bulan karena obat-obatan yang dia konsumsi mempengaruhi keseimbangan hormon dalam tubuhnya. Ya, pasti karena itu.Dipta masuk membawa nampan berisi teh hangat dan juga semangkuk bakso yang tadi mereka beli. Aina menegakkan punggung begitu Dipta dudu

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-06
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Come

    Keesokan harinya—tepatnya Kamis pagi, Aina sudah bersiap-siap untuk ke dokter kandungan. Sehari sebelumnya, dia telah membuat janji dengan seorang dokter spesialis di rumah sakit tempat Dipta bekerja. Namun, karena janji temunya pukul sembilan, sementara Dipta berangkat kerja pukul tujuh, mereka tidak bisa berangkat bersama. Nantinya mereka akan bertemu di rumah sakit dan Dipta akan menemani Aina memeriksakan kandungannya.Aina berangkat ke rumah sakit dari sekolah tempatnya mengajar. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri meninggalkan tugas untuk anak didiknya di kelas dan meminta izin kepada guru piket untuk meninggalkan jamnya karena dia akan memeriksakan kandungan."Bu Aina hamil?" tanya Bu Rohayati dengan suara nyaring."Sssttt! Jangan keras-keras, Bu. Nanti yang lain mendengar." Aina mengedarkan pandangan was-was. "Saya baru mau periksa.""Alhamdulillah ...," ucap Bu Rohayati. "Ya sudah

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Temptation

    Dipta duduk dengan tidak tenang di meja kerjanya. Ruangan empat kali empat meter bernuansa putih itu tak lagi terasa nyaman untuk dia tempati. Jemarinya mengetuk-ngetukkan ujung bolpoin ke dagu. Kertas-kertas berserakan di atas meja, sementara dirinya sendiri sedang termenung. Pikirannya melayang jauh ke rumah, tempat istrinya sedang terbaring sendirian.Sejak tadi pagi, Dipta sudah tidak fokus bekerja. Dia harus meninggalkan Aina untuk bed rest, tetapi wanita sendirian di rumah. Sebelumnya, Dipta sudah meminta izin kepada kepala sekolah di tempat Aina mengajar agar Aina diizinkan libur karena dia sedang hamil muda. Dan syukurlah, Pak Yusuf memberikan cuti satu minggu untuk Aina. Namun, sekarang yang jadi masalahnya adalah Aina sendirian di rumah. Dipta merasa khawatir.Awalnya dia ingin meminta tolong istri Yudi untuk datang ke rumah dan menemani Aina. Namun, niat itu dia urungkan karena takut justru nanti Aina tidak bisa istirahat karena h

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Four Months

    Berita tentang kehamilan Aina sudah menyebar ke mana-mana. Setelah memastikan bahwa Aina hamil dan kandungannya sehat, Dipta memberitahu kabar bahagia itu kepada orang rumah. Keluarganya, pun keluarga Aina menyambut gembira berita itu. Mamanya bahkan datang jauh-jauh ke Jogja untuk menemui menantu kesayangannya itu.Sementara keluarga Aina belum ada yang bisa datang. Semuanya masih sibuk. Ayah dan bundanya, adik-adiknya, mereka semua masih dibelenggu pekerjaan masing-masing. Namun, bundanya sudah berjanji akan datang bulan depan, saat acara empat bulanan Aina.Mama sudah tinggal di rumah mereka hampir seminggu. Beliau yang sudah berhenti bekerja, kini bisa leluasa bolak-balik ke Jogja untuk menemani Aina. Dipta juga senang karena mamanya bisa menjadi teman Aina saat dirinya harus lembur di rumah sakit.Memang, pagi sampai sore Aina masih mengajar. Namun, jika Dipta lembur sampai malam, Aina harus sendirian di rumah malam hari. Karena sekarang ada Mama, Ain

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09

Bab terbaru

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : A Little Family

    Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : Happily Ever After

    Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Triumph

    Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Homewards

    Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Try Again

    Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Repair

    Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Hanker

    "Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Confess

    Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Surrogate

    Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar

DMCA.com Protection Status