Share

Wedding

Author: Hanna Aisha
last update Last Updated: 2021-09-27 13:57:28

Dipta membaca dengan seksama isi dari surat perjanjian pranikah di tangannya. Saat ini dia sedang duduk di ruang tamu rumah orang tua Aina bersama keluarga mereka. Seperti yang sudah mereka sepakati kemarin, Aina akan membuat surat perjanjian pranikah dan keesokan harinya Dipta beserta keluarganya bisa kembali ke rumah Aina untuk memutuskan akan melanjutkan perjodohan ini atau menghentikannya. 

Dipta tersenyum sebelum mengambil bolpoin di atas meja dan tanpa ragu menandatangani surat perjanjian itu. 

Sontak itu membuat Aina terkejut. Dipta bahkan sama sekali tidak mendiskusikan keputusannya dengan orang tuanya dan langsung menandatangani surat itu tanpa berpikir. 

Tangan Aina mengepal kuat. Dia merasa sangat kesal dengan laki-laki dihadapannya itu.

"Kenapa anda langsung menandatanganinya? Anda bisa membawanya pulang dan memikirkannya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan," Protes Aina yang tidak ditanggapi oleh lelaki itu.

Setelah selesai menandatanganinya dan disaksikan oleh semua yang hadir disitu, Dipta meletakkan surat beserta bolpoin di tangannya ke atas meja.

"Jadi, kapan kita bisa menikah?" Tanya Dipta disertai senyuman miring dari bibirnya.

Aina hanya membuang muka melihat senyum menyebalkan di wajah Dipta, lalu menjawab dengan malas, "Anda bisa bicarakan itu dengan ayahku."

Sial! Aku membuat surat perjanjian itu supaya dia tidak jadi menikahiku. Kenapa malah dia tanda tangani tanpa berpikir? Gerutunya dalam hati. Merasa kecewa dan kesal karena rencananya tak sesuai dengan kenyataan.

//

Tak perlu menunggu sampai berbulan-bulan karena hanya tiga minggu kemudian pernikahan itu diselenggarakan. Akad nikahnya dilakukan di sebuah masjid besar masih di kawasan rumah Aina, sedangkan resepsinya akan dilakukan di sebuah hotel yang cukup ternama di daerah itu.

Aina duduk di salah satu ruangan di lantai dua masjid mengenakan kebaya pengantin mewah berwarna putih dengan hiasan mutiara cantik di bagian dada serta bordiran berbentuk bunga mawar di bagian bawah. Bagian belakang kebayanya menjuntai panjang hingga hampir menyentuh lantai.

Aina duduk dengan gelisah di dalam ruangan ditemani beberapa saudaranya. Tangan yang dihias hena putih itu saling meremas menyalurkan kegugupan.

"Mbak, tenang. Tidak perlu takut. Semua pasti akan berjalan lancar," Ucap Iva berusaha menenangkan mbaknya dengan memberikan sentuhan halus di bahu Aina.

Justru aku berharap semua tidak akan berjalan lancar! Aina bersungut dalam hati. Dia masih berharap pernikahan ini bisa digagalkan.

Sebenarnya, dia bisa saja kabur dari sini atau membuat keributan karena akad nikah belum dimulai. Namun, setelah mengedarkan pandangan dan menemukan senyum bahagia dari wajah orang-orang yang dicintainya, tidak! Aina tidak tega melakukan itu.

Hatinya semakin gelisah saat terdengar suara ayahnya menggema di seluruh masjid mengucapkan ijab dalam bahasa Arab.

"Qobiltu nikakhaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan," seru Dipta lantang tanpa keraguan.

Hati Aina mencelos. Semua sudah berakhir. Kata 'sah' yang diserukan para saksi menjadi tanda bahwa mulai saat ini dia telah resmi menjadi seorang istri.

Iva memeluk kakaknya dengan haru, diikuti pelukan dari sepupunya yang lain. Mereka bersorak mengucapkan selamat kepada Aina dengan suara berbisik. Takut suara mereka terdengar sampai ke bawah. Iva dan Ayu--sepupunya, bangkit dari duduk dan menggandeng Aina untuk turun ke bawah, menemui suaminya. Iva, berdiri di samping kanan Aina, sedangkan Ayu yang mengenakan kebaya peach cerah seperti Iva berdiri di samping kirinya. Mereka berjalan perlahan menuruni tangga diiringi tatapan mata dari orang-orang yang menunggu mereka di bawah. Atau lebih tepatnya, menunggu Aina.

//

Beberapa prosesi adat telah selesai dilakukan. Kini, Aina sedang berada dalam ruangan khusus yang digunakan sebagai kamar ganti. Hari sudah mulai beranjak siang, saat dia mengganti kebaya tradisional yang dikenakannya dengan gaun pernikahan modern mewah berwarna putih bertabur permata dan hiasan payet cantik di bagian dada dan bawah gaunnya.

Dipta pun tak kalah menawan dengan setelan Tuxedo putih formal yang mewah. Sangat serasi dengan Aina. Mereka seperti raja dan ratu saat berjalan beriringan melewati red carpet menuju pelaminan dengan lengan saling terpaut. Mereka lalu menempati singgasana yang sudah dipersiapkan, kemudian mulai menyalami satu persatu tamu yang hadir yang sebagian besar adalah teman lama, kenalan dan rekan kerja mereka.

Memang, berita pernikahan Aina ini cukup membuat kaget banyak orang. Terutama teman-teman yang tau seberapa gigihnya Aina untuk menolak menikah. Bahkan teman-teman yang reuni tahun lalu saja kaget saat menerima undangan pernikahan Aina. Mereka masih ingat seberapa keukeuhnya Aina saat berkata dia tidak akan menikah, lalu di tahun berikutnya mereka menerima undangan pernikahan.

Memang takdir bisa sangat tak terduga. Semisterius itu. Hanya Tuhan yang tau apa saja yang akan terjadi di kemudian hari. Termasuk nasib pernikahan ini, hanya Tuhan juga yang tau.

//

"Kenapa semua orang begitu ingin menikah? Padahal menikah sangat melelahkan," keluh Aina saat merebahkan diri di atas tempat tidur king size dalam kamar pengantin mereka.

Pesta telah berakhir beberapa jam yang lalu. Kini, saatnya mereka mengistirahatkan tubuh yang begitu penat setelah seharian berdiri menjaga senyum di depan ribuan pasang mata.

Dipta menarik sudut bibir mendengar penuturan Aina. Sampai saat ini dia masih heran kenapa Aina benci sekali dengan pernikahan.

"Menikah memang melelahkan, tapi juga menyenangkan." Dia menghadapkan wajah ke arah Aina yang terbaring di sampingnya.

"Menyenangkan jika kau menikah dengan orang yang kau inginkan." Jawaban Aina membuat Dipta tertegun. Tanpa disadari, ada sedikit denyut nyeri yang terasa di hatinya mendengar perkataan istrinya itu. 

"Saya ingin tidur sekarang. Anda jangan macam-macam dan jangan melewati batas ini." Aina menunjuk bantal yang melintang di antara mereka, lalu berbalik membelakangi suaminya.

Lagi-lagi Dipta hanya bisa tersenyum. "Tidurlah. Saya juga sangat lelah hingga tak sempat berfikir untuk mengganggumu," ucapnya kemudian membaringkan tubuh menghadap punggung Aina.

Cukup dengan menatap punggung sang istri dia bisa tertidur lelap malam ini.

***

Related chapters

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   New House

    Mereka kembali ke rumah keluarga Aina keesokan harinya, setelah menginap semalam di hotel tempat digelarnya resepsi sebelum pindah ke rumah mereka sendiri di Semarang siang nanti. Rumah yang sengaja di beli Dipta untuk ditempati bersama Aina. Rumah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari SMA tempat wanita itu mengajar.Dipta pikir jika tinggal di apartemennya, akan terlalu jauh bagi Aina untuk berangkat bekerja. Jadi, dia membeli rumah baru yang lebih dekat dengan tempat kerja istrinya. Meski itu berarti dialah yang akan lebih jauh dari rumah sakit. Tak apa, demi Aina.Selesai sarapan di restoran hotel, mereka segera menaiki mobil yang khusus dipersiapkan untuk pulang. Dipta duduk di balik kemudi sedangkan Aina memilih duduk di kursi belakang, membuat Dipta terlihat seperti seorang supir.Diliriknya Aina lewat kaca mobil, "Kamu benar-benar mau duduk disitu?"Aina tidak menjawab, mala

    Last Updated : 2021-09-27
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Aina's Nightmare

    Jam tujuh malam Dipta memarkirkan mobil di garasi, memasuki rumah dengan kantong plastik berisi makanan di tangan. Diletakkannya kantong plastik itu di meja makan lalu segera menaiki tangga menuju kamar, mencari sang istri.Selama satu minggu mereka menikah, mereka seolah orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Berangkat masing-masing, pulang juga masing-masing. Khusus untuk makan, Dipta memang selalu membeli dari luar untuk mereka berdua. Itu karena Aina tidak bisa memasak, dan Dipta belum sempat mencari orang untuk dipekerjakan di rumahnya.Dipta mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk."Makan malamnya ada di bawah. Kamu turun dulu, aku mau ganti baju," ujarnya kepada Aina yang duduk di ranjang dengan laptop di pangkuan.Aina mengangguk singkat lalu menutup laptop dan beranjak turun dari ranjang. Setelah mengganti baju dengan pakaian yang lebih santai, dia menyusul Aina yang sudah lebih dulu berada di ruan

    Last Updated : 2021-09-27
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Unreachable

    Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan mengiringi sang surya yang perlahan menerangi cakrawala, bersama adzan subuh yang berlomba meramaikan suasana pagi.Alarm di ponsel Aina sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Sedangkan si empunya masih bergelung di alam mimpi.Bukan, bukan karena Aina tidak mendengar. Namun, karena alarm itu sudah terlebih dahulu dimatikan oleh Dipta. Laki-laki itu tahu bahwa semalam Aina habis begadang, jadi dia ingin supaya Aina tidur lebih lama. Toh perempuan itu sedang berhalangan. Dia tidak perlu bangun untuk sholat subuh.Seusai sholat subuh, Dipta membuka lemari dan mengambil kemeja serta celana bahan yang akan digunakannya untuk bekerja. Dia ingin menyetrika pakaiannya terlebih dahulu. Setelah selesai, dia segera turun ke dapur. Membuat roti bakar untuk sarapan sepertinya mudah.Roti bakar dengan selai kacang untuk Aina dan keju untuk dirinya sendiri sudah terhidang di

    Last Updated : 2021-10-12
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Attempt

    "Gimana kehidupan rumah tangga lo sama Aina?" Yudi bertanya di sela-sela makan siang mereka.Dipta meneguk air putih dalam gelasnya sebelum menjawab, "Masih sama.""Astaga, Brother, lo nggak ada usaha sama sekali buat naklukin hati istri lo itu?" geram Yudi. Dia merasa kesal melihat pernikahan sahabatnya yang tidak jelas itu."Memang apa yang bisa kulakukan, Yudi? Aina itu terlalu keras. Dia seperti tebing kokoh yang sangat sulit ditaklukkan."Yudi menggeleng dramatis. "Nggak ada perempuan kaya gitu buat gue."Laki-laki tampan yang dijuluki buaya rumah sakit itu menyeruput kopi hitamnya sebentar sebelum melanjutkan. "Yang namanya perempuan itu hatinya lembut. Gampang dibikin jatuh cinta. Lu aja yang kurang usaha.""Tapi Aina berbeda," potong Dipta.Yudi mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri di depan wajah Dipta.

    Last Updated : 2021-10-18
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Give Up or Lose?

    Aina baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap hal yang tidak biasa di halaman rumah. Sebuah pot guci kecil berwarna putih berisi pohon mawar yang bunga-bunganya tengah bermekaran dengan sempurna.Kepalanya menggeleng pelan. Tanpa bertanya pun dia tau, ini pasti kelakuan suaminya. Ada-ada saja laki-laki itu.Aina hanya melangkahkan kaki memasuki rumah yang sudah tidak dikunci tanpa menyentuh bunga itu sedikit pun. Sesampainya di kamar, dia mendapati Dipta baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk tersampir di pundak."Kamu baru pulang?" Dipta bertanya, berusaha memulai percakapan. Sayangnya hanya dibalas gumaman lirih oleh Aina."Kamu mau makan apa malam ini? Nanti kubelikan." Lagi. Dipta kembali mengajukan pertanyaan.Masih bungkam, Aina melepas kerudung dan duduk di depan meja rias. Menghapus sisa make

    Last Updated : 2021-10-18
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Gift From Korea

    Aina sedang menata dua piring nasi goreng di atas meja makan saat Dipta turun dari tangga mengenakan pakaian rapi lalu menghampirinya dengan alis bertaut."Kamu yang membuat ini?" tanya Dipta heran melihat nasi goreng di meja makan.Aina mendengkus. "Menurutmu siapa lagi?""Kamu bilang tidak bisa masak?" tanya Dipta terkejut."Aku tidak bisa memasak makanan dengan bumbu yang terlalu kompleks seperti semur atau lodeh. Namun jika hanya sepiring nasi goreng, siapa yang tidak bisa membuatnya?" Aina membalas sarkas. Dipta hanya mengangguk singkat."Lalu, kenapa kamu membuatnya hari ini?" tanya Dipta lagi. Penasaran.Deg!Aina terpaku sesaat. Benar juga. Selama beberapa minggu mereka menikah, Aina sama sekali tidak pernah menyentuh kompor. Lalu, mengapa pagi ini dia membuat sarapan?Segera dinetralkan ekspresi wajahnya kemu

    Last Updated : 2021-10-18
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Apology

    Pagi harinya Aina tersentak kaget saat bangun dalam pelukan Dipta. Matanya bengkak dengan kantung yang menghitam serta jejak air mata yang masih membekas samar di kedua pipinya. Aina termenung sesaat.Aneh sekali. Dia sangat ingat kejadian mengerikan yang terjadi tadi malam sebelum tidur. Dipta dengan lancang menciumnya dan hampir saja memperkosanya. Namun, anehnya dia justru tidak bermimpi buruk. Dia tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dekapan lengan kekar Dipta terasa begitu hangat dan nyaman baginya.Aina tersadar dari lamunan saat merasakan pergerakan dari tangan yang mendekapnya."Aina...," panggil Dipta dengan suara serak khas bangun tidur. Aina tidak menjawab. Segera didorongnya tubuh Dipta agar pelukannya terurai, lalu bangkit dari ranjang dan mengunci diri di kamar mandi.Aina merasa kesal--lebih kepada diri sendiri. Dia ingin sekali menangis, namun sayang air matanya tak mampu keluar. Mungkin

    Last Updated : 2021-10-18
  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   The Reason

    Dipta memasuki satu persatu ruang rawat inap di bangsal Psikosomatik dengan senyum ramah dan tatapan hangat, ditemani beberapa dokter koas yang mengikutinya dengan buku kecil dan pena di tangan masing-masing. Sesekali dia anggukkan kepala untuk merespon beberapa orang yang menyapanya. Dia berjalan tegap dengan tangan dimasukkan ke saku jubah putih yang bagian bawahnya melambai mengikuti gerakan langkahnya.Hari ini jadwalnya visit, memeriksa perkembangan kondisi pasien-pasiennya pengidap gangguan psikosomatik.Gangguan psikosomatik adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Biasanya pemicunya adalah faktor psikis seperti kecemasan, stress, takut ataupun depresi. Gangguan psikosomatik juga bisa berupa memburuknya penyakit fisik yang sudah ada akibat pengaruh kondisi psikis, emosi, atau pikiran.Sebagian besar pasiennya memang

    Last Updated : 2021-10-18

Latest chapter

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : A Little Family

    Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : Happily Ever After

    Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Triumph

    Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Homewards

    Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Try Again

    Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Repair

    Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Hanker

    "Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Confess

    Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Surrogate

    Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status