Di sebuah apartemen di Upper Bukit Timah, Singapura.
Arthur Jefford tidak pernah bermaksud menyiksanya.
Itulah yang selalu dikatakannya berulang kali kepada Trisha Geraldyn.
Terkadang Arthur akan merengek dan menangis setelah itu, memohon-mohon agar Trisha memaafkannya dan memberinya kesempatan lagi untuk memperbaiki diri. Dia bahkan kerap bersumpah bahwa dia akan berubah, menjanjikan hubungan mereka akan lebih baik lagi.
Namun kejadian yang sama terulang lagi malam itu.
Arthur sudah tiba di apartemennya pukul tujuh malam, letih sepulang bekerja seharian ketika Trisha muncul di depan pintu apartemennya.
Trisha belum sempat masuk, ketika Arthur memekik padanya, “Aku lapar! Kamu bawa makanan, nggak!?”
Trisha menggeleng lemah. Dalam hatinya, dia berdoa semoga amarah Arthur tidak meledak. Jangan lagi kali ini.
Pria itu memekik dengan berang, “Aku udah letih sepulang kerja, tapi kamu sama sekali nggak pengertian! Untuk apa datang ke sini cuma bawa badan aja? Aku butuh makan!”
Trisha terpana dan tidak berani berkata apa-apa.
“Pokoknya aku ingin makan malam siap dalam satu jam. Jangan lupa, aku butuh camilan untuk nonton TV sebelum tidur.”
“Maaf Arthur, sisa uang terakhirku baru saja habis untuk beli keperluan kerjaku besok.”
Mendengar itu, Arthur seketika mengamuk, menerjang maju, dan meninju wajah Trisha.
Selama dua tahun berhubungan dengan Arthur, walaupun Trisha mencintainya, sebagian dari dirinya membenci pria kekanak-kanakan itu dengan kebencian tak terlukiskan yang tidak dapat dia kendalikan.
Arthur adalah seorang pria yang keras kepala dan bodoh, sekalipun ketampanannya pernah membuat Trisha mabuk kepayang dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Ketampanannya juga yang memberi Arthur pembelaan atas banyak kesalahan yang terus dilakukannya—kesalahan yang sama dan terus berulang-ulang.
Selama dia berhubungan dengan Arthur, bahkan dengan tekad bulat untuk tetap bersamanya selama masa keterpurukan pria itu, mereka melawan banyak aturan. Trisha mengabaikan nasihat teman-teman, orang tua, dan keluarganya, pelajaran budi pekerti yang diterima selama sekolah, norma masyarakat, aturan hukum, dan bahkan akal sehatnya sendiri.
Arthur sudah berubah menjadi monster kejam. Dia ingin juga menarik Trisha menjadi budak di bawah kendalinya.
Mengapa Trisha tidak bertindak?
Bagaimana mungkin dia masih mencintai seseorang yang berulang kali mencoba menghancurkannya?
Sekarang, Trisha berdiri di kamar mandi, tangannya gemetar saat menempelkan handuk dingin ke pipi dan lengan kanannya.
Dia sudah mengompresnya beberapa kali, berharap bekas pukulan ini tidak menyisakan luka memar dan lebam. Jika bekas lebam ini tidak bisa ditutupi dengan riasan wajah, dia harus mengarang alasan sakit pada atasannya supaya bisa tinggal di rumah selama beberapa hari.
Setidaknya saat ini Arthur telah keluar, pergi ke restoran di seberang dengan beberapa peser uang terakhirnya. Semoga pria itu sudah tenang saat pulang nanti.
Trisha berpaling dari cermin dan enggan melihat wajahnya sendiri yang terlihat orang tolol seperti kata Arthur, bukan ucapannya sendiri.
Dengan terseok-seok, dia berjalan menuju dapur.
Kemudian pintu depan terbanting keras dan dia berbalik menghadap Arthur lagi. Pria itu berdiri di ambang pintu, bersandar pada kusen dengan kedua tangan terselip ke sakunya.
Mata pria itu beralih ke pipi Trisha yang bengkak memerah, tetapi Trisha bisa melihat bahwa pria itu tidak akan minta maaf kali ini. Dia menguatkan dirinya untuk mengulum senyuman.
"Gimana?" kata Trisha.
Arthur tidak menjawab, hanya memperhatikan Trisha yang melangkah ke arahnya. Saat Trisha berhenti, tangannya terkulai lemah tanpa tahu harus berbuat apa.
Arthur menyeringai. "Aku ketemu temanmu saat keluar tadi."
Trisha menjilat bibirnya yang kering, curiga dengan ucapannya yang menjebak. “Benarkah? Siapa?”
“Janice Mirelle.” Arthur memperhatikan wajahnya, dan Trisha berusaha menahan diri agar ekspresinya tidak berubah, supaya pria ini tidak mencari-cari masalah lagi. Tidak kali ini.
“Ya? Gimana kabarnya?”
“Bagus. Tampaknya baik-baik saja. Kamu tahu, ‘kan?” Senyumnya melebar, dan dia mengeluarkan tangannya dari saku, lalu melipat tangannya di dada. “Dia bilang dia baru saja ketemu denganmu.”
Trisha menelan ludah. Nah, ini lagi. "Ya, aku bertemu dengannya di mal tempo hari."
"Kamu nggak pernah bilang."
“Aku ...” Ucapannya terputus ketika dia hendak mengatakan, ‘aku tidak perlu melaporkan apa pun kepadamu setiap kali ke luar rumah.’ Namun dia mengurungkan niatnya, tidak akan berani, tetapi Arthur menebak apa yang dia pikirkan. Wajah pria itu menjadi masam.
"Siapa lagi yang kamu jumpai?” Dia menuntut.
“Apa? Nggak ada lagi.”
“Nggak ada? Kamu pergi kerja setiap hari dan nggak ketemu siapa pun?”
“Kamu tahu maksudku. Nggak ada orang yang kuajak bicara.”
Arthur mengerutkan bibirnya, memiringkan kepalanya, menerka-nerka apa yang Trisha pikirkan. “Yakin? Tapi Janice bilang lain. Katanya dia melihatmu mengobrol dengan seorang pria teman kuliahmu dulu yang sepertinya sangat ramah denganmu. Siapa namanya? Jason Wong?”
Trisha menelan ludah, memperhatikan tangan pria itu. "Ya, aku menyapanya, tapi itu saja."
"Dia bilang apa padamu?"
“Nggak ada, sumpah. Hanya bertanya bagaimana kabarku, apa pekerjaanku sekarang. Hanya mencoba bersikap ramah.”
“Ramah?”
Lalu dalam sekejap tiba-tiba Arthur bergerak di samping Trisha, menjambak rambut panjangnya yang indah dengan tangan terkepal. Dia menyentakkan kepala gadis itu ke belakang, dan Trisha berjuang supaya tidak menitikkan air mata. Jangan, katanya pada dirinya sendiri. Jangan membuat keadaan menjadi lebih buruk.
“Kamu pikir aku nggak akan tahu?” Mulutnya berada di dekat telinga Trisha, air liurnya menyembur ke pipi Trisha saat dia berteriak padanya. “Jangan bicara dengan siapa pun, oke? Mulai sekarang, jangan ke mana-mana setelah pulang kerja, paham?”
Arthur merenggutnya, lalu mendorongnya sehingga gadis itu terlempar ke lantai.
“Sialan! Mengobrol ramah dengan pria lain, mengolok-olok aku di belakang punggungku. Kamu pikir kamu siapa?”
Trisha meringkuk di lantai, mengusap matanya. Pergilah, katanya pada dirinya sendiri. Cari ponselmu. Ponselnya ada di dalam laci. Dia menguatkan dirinya untuk bangkit berdiri, mengangkat tangannya di depannya seraya mundur beberapa langkah.
“Bukan seperti itu kejadiannya, sumpah. Aku bicara dengannya sambil lalu, tapi itu saja. Kamu harus percaya padaku.”
Lubang hidung Arthur melebar saat dia menerjang ke arahnya, meraih lengan bawah gadis itu. “Begitukah? Sekarang kamu mendikte apa yang harus kulakukan?”
“Nggak, tentu saja nggak, aku ... ” Dengan satu tangannya yang bebas, Trisha mengacak-acak laci dapur, menemukan ponselnya dan mengangkatnya, berusaha mengatur napasnya. “Lepaskan aku, atau aku akan menelepon polisi.”
Arthur menatapnya, lalu tertawa. “Polisi? Ya, tentu saja kamu akan melakukannya.”
Trisha mengangkat dagunya, mengatupkan bibirnya yang gemetar. “Siksa aku, bunuh aku bila perlu, dan mereka akan menyeretmu pergi.”
“Menyeretku? Kamulah yang akan pergi, dasar perempuan sialan.” Dia menyambar ponsel dari tangan Trisha dan menghantamkannya pada dinding, lalu melemparkan pecahannya ke lantai. “Siapa yang akan kamu telepon sekarang?”
Trisha memekik, matanya nanar, tangannya masih mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Akhirnya tangannya menangkap sebuah gagang pisau dapur di atas meja dapur.
Arthur menghampirinya lagi, dia membeku ketika melihat apa yang ada di tangan Trisha.
“Sekarang, apa yang kamu lakukan dengan pisau itu?” Dia mengangkat tangannya dan merentangkannya.
Mencoba bersikap lunak, Arthur berkata, “Baiklah, maafkan aku, ya? Kemarilah, kita bicara baik-baik. Kita akan menonton film, berpelukan di sofa. Letakkan itu, jangan sampai ada yang terluka.”
Trisha tidak bisa mendengarkannya, tatapannya tertuju pada pisau di tangannya. Arthur melangkah mundur, kedua tangannya terangkat sebagai isyarat menyerah.
Dia menghampiri Arthur, dengan pisau di tangannya.
"Kamu ingin bicara?" desisnya. "Ingin aku mematuhimu?"
Pria itu mundur selangkah. “Tentu saja. Aku mencintaimu.”
"Cinta?" Trisha tertawa sinis.
"Ya, sungguh!"
Arthur memperhatikan kebimbangan yang berpendar di mata Trisha, lalu menatap pisau di tangan gadis itu, dan menerjang cepat ke arahnya.
Dalam sekejap pisau itu berpindah tangan. Kilatannya menyilaukan mata Trisha yang menatap dengan penuh kengerian.
Dear readers, ini adalah novel pertamaku yang terkontrak dari sekian banyak novel lain yang masih menunggu kontrak. Senang rasanya tentu saja. Kali ini saya mengusung tema tentang hubungan 'toxic' yang diderita oleh Trisha, gadis Indonesia yang kuliah dan bekerja di Singapura. Kehidupannya penuh liku-liku hingga akhirnya dia menemukan jati dirinya dan pertemuan dengan Desmond mengubah kehidupannya. Silakan dukung karyaku ya. Thanks... love... love
Trisha tersentak bangun dan mendapati dirinya terbaring di lantai, didera siksaan rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Nyeri kepalanya berdenyut-denyut hebat seperti baru saja dihantam palu godam raksasa. Hatinya remuk redam, keadaannya sama seperti barang-barang yang hancur di sekitarnya. Ada pecahan meja kaca, kotak kayu yang hancur, beberapa CD yang pecah, buku-buku yang robek, sobekan foto Arthur dan dirinya. Dia merasa keadaan batinnya pasti terlihat seperti itu, semua koyak, retak, dan sulit dikenali. Matanya bengkak dan sangat nyeri sehingga terasa berat membuka. Bibirnya perih dan dia mengecap rasa anyir darah yang menodai lengan bajunya setiap kali dia menyeka mulutnya. Lengan dan lehernya juga mengucurkan darah. Dadanya terasa nyeri, hampa dan kosong, seolah-olah sudah menganga lebar dan jantungnya seolah-olah sudah tercabut dari rongganya. Yang dia rasakan hanyalah rasa sakit, gelombang besar penderitaan yang menerjangnya bertubi-tubi, tanpa henti. Dia bersand
Saat tersadar dari mimpinya yang panjang, Trisha merasakan tangan kanannya mencengkeram seprai, memelintirnya sampai buku-buku jarinya terasa sakit. Dia merasa terlepas dari pikirannya sendiri. Terperangkap tak berdaya dalam tubuhnya sendiri. Dengan tubuh menggigil, Trisha membuka matanya yang masih bengkak. Napasnya memburu cepat. Jantungnya berpacu. Dia menatap nanar keadaan sekelilingnya yang tampak putih dan buram. Dia masih berada di rumah sakit, bersama wanita tua itu lagi. "Akhirnya kamu sadar juga. Kamu mengalami mimpi buruk, ya?" Trisha menelan ludah yang terasa pahit. Dia memberi isyarat untuk minta minum dengan tangannya yang lemah. Wanita itu langsung menyodorkan segelas air putih. Dengan suara parau, Trisha menguatkan diri bertanya pada wanita itu. "Siapa Anda, Nyonya? Bagaimana saya bisa berada di sini?" Wanita itu tersenyum dan berkata, "Namaku Greta Florence. Kamu lupa apa yang terjadi padamu?" Trisha mengangguk lemah. "Malam itu, kebetulan aku pulang larut mala
Keesokan harinya, tepatnya pagi pertama di apartemen barunya, Trisha duduk meringkuk di sofa tunggal minimalis yang tebal dan empuk sembari menyeruput secangkir coklat hangat dan mengunyah sandwich tuna.Diam-diam dia mengutuki kegilaan pesta pora semalam dari ruangan sebelah. Gara-gara mereka, pagi ini dia bangun kesiangan dengan kepala pusing berat. Dia belum begitu sepenuhnya terjaga seperti yang diharapkan untuk mulai membongkar barang-barangnya.Mengembuskan napas kuat-kuat, Trisha memandang ke luar jendela ke arah lautan biru di kejauhan. Kapal-kapal besar dan kecil tampak seperti titik-titik semut putih yang merayap di permukaan laut. Tampak pula pelabuhan feri terminal Harbour Front yang luas dan megah, kapal pesiar terbesar yang masih berlabuh, juga Sentosa Island dengan Universal Studio dan berbagai wahananya yang menarik.Dia menikmati momen kedamaian ini. Entah sudah berapa lama dia merasa kehilangan saat-saat seperti ini, ketika dia bisa menikmati kesendiriannya dengan be
Trisha menatap hasil sentuhan akhirnya dengan rasa puas. Dia berdecak kagum saat memandangi beberapa pigura dengan berbagai ukuran yang ditatanya menurut komposisi yang harmonis. Janice telah membantu menata lemari dan raknya dengan sangat rapi dan efisien sehingga yang tersisa untuk Trisha kerjakan hanyalah menggantung pigura dan mengatur beberapa pernak-pernik lainnya. Dia sengaja melepas pigura dari atas tempat tidur dan memindahkannya ke ruang tamu. Demi keamanan, dia tidak mau mengambil risiko tertimpa pigura lagi malam ini.Trisha memandangi foto-foto keluarga dan ketiga sahabatnya dalam pigura. Ada fotonya bersama mendiang ayah, ibu dan adiknya Roy yang sedang bermain di pantai Bunaken; dia dan ketiga sahabatnya saat berpose dengan latar belakang Gardens by The Bay, dan banyak foto kenangan menarik lainnya.Tiba-tiba dia merindukan ibunya dan adiknya semata wayang, Roy. Bagaimana kabar mereka sekarang? Sepertinya sudah lama dia tidak mendengar suara mereka lewat telepon. Memi
Jari Desmond Zachery menelusuri seluruh tubuh Gracie Walsh. Tanpa disadari dia membelai seluruh tubuh wanita itu, mengagumi lekuk likunya yang indah, dan rambut pirangnya yang berkilauan tergerai di bantal. Dia melirik sekilas pada jam dinding dan dengan enggan bangkit dari tempat tidur. Ada janji temu dengan pengacaranya, George Fang, dalam waktu satu jam. Walaupun Desmond jarang peduli pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, dia tetap menghormati si tua George dan menganggapnya sebagai sahabat. Dia tidak ingin membuat pria itu meragukan dirinya. Membungkuk pada wanita yang sedang meringkuk dengan puas di tempat tidurnya, Desmond memberikan ciuman hangat di pipi wanita itu. "Waktunya pergi, Sayang." Gracie bergerak dan kepalanya terangkat dari bantal. Rambut pirangnya menutupi dadanya yang tampak menggoda. "Belum waktunya. Ini masih pagi. Kurasa kita masih punya sisa waktu pagi ini." Desmond menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Maaf, nggak kali ini." Dia memain-mainkan seikat
Setelah empat malam berturut-turut menjadi saksi bisu gempa bumi lokal dengan Skala Richter level maksimum yang sudah memangkas jam tidurnya, dia memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Minggu malam, ketika ruangan sebelah terdengar sepi, Trisha memutuskan untuk menulis selembar surat. Bukan surat cinta tentunya. Peringatan resmi ini akan ditujukan kepada Desmond. Semoga pria itu mau menghargai niat baiknya. Surat itu berbunyi begini: "Tuan Desmond yang terhormat. Mohon waktu dan kesediaannya sebentar untuk membaca surat ini. Terus terang saya merasa terganggu dengan aktivitas Anda tiap malam. Alangkah baiknya kalau Anda sedikit berempati dengan lingkungan sekitar sehingga tidak ada yang akan merasa terganggu dan dirugikan karenanya. Mohon perhatian dan kerjasamanya. Terima kasih. Dari tetangga sebelah." Trisha sengaja tidak membubuhkan namanya supaya tidak terlalu mengungkap banyak tentang dirinya. Dia membaca ulang surat itu sekali lagi. Sete
Trisha menarik ponsel itu dari telinganya dan menatapnya. Itu saja? Nggak ada detail lain? Nggak ada petunjuk mengapa ibunya menelepon? Ini tidak seperti ibunya yang biasanya impulsif. Nggak! Hei, Trish, jangan khawatir; ini bukan berita buruk, hiburnya dalam hati. Pesan suara singkat itu menyebabkan otot-otot bahunya menegang, membuatnya tidak punya pilihan lain selain menelepon balik. Dia mengangkat ponselnya, memencet nomor ibunya, sambil tangannya yang lain memain-mainkan tutup cangkir kopinya yang tinggal separuh. Tanpa sengaja tangannya malah menyenggol cangkir itu hingga membuatnya terguling, menumpahkan cairan hangat di atas meja dan membasahi sketsanya. Menghela napas kuat-kuat, dia menegakkan cangkir kembali dan mengangkat mapnya. Dia merobek segumpal tisu dari kotak di dekat komputernya dan mengusap kertas yang terkena tumpahan kopi. Itu tidak ada gunanya. Kopi yang tumpah telah mengubah halaman putih bersih menjadi belang-belang cokelat dan basah. “Trish? Itu kamu?
Sepulang bekerja malam itu, Trisha duduk di sofa seraya menikmati pemandangan kota yang indah di malam hari dari kaca jendelanya. Namun, suasana indah di luar sana tidak sanggup meredakan hatinya yang carut-marut berkecamuk hebat. Mungkin dia berhasil lari dan menyembunyikan diri dari Arthur Jefford, tetapi dia tidak menyadari bayang-bayang masa lalu masih terus memburunya bagai hantu dalam berbagai wujud. Sampai kapan ini berakhir? Dia mengeluh dan batinnya menangis pedih.Setelah menguatkan hati, dia memenuhi janjinya untuk menghubungi ibunya lagi. Begitu telepon tersambung, terdengar suara gelisah ibunya di seberang."Oh, Sayang. Akhirnya kamu menelepon lagi. Ibu sudah menunggumu sejak siang tadi.""Ibu tahu kalau aku harus bekerja.""Mereka baru saja menelepon lagi.""Siapa, Bu? Para penagih utang?" sahut Trisha dengan resah."Ya, tentu saja! Sebaiknya jangan terus mengulur waktu untuk membayar utangmu. Mereka mengancam akan menyebarkan semua data pribadimu dan mempermalukanmu ke
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Suatu saat dua saudara sepupu Trisha, Jimmy dan Lisa, menginap di rumahnya. Saat semua orang sedang terlelap, Trisha terbangun di tengah malam karena suara Roy yang merintih dalam tidurnya. Saat dia melingkarkan lengannya ke tubuh adiknya, getaran aneh bergerak di bawah tangannya, jauh di bawah kulitnya. Sesuatu di dalam perut adiknya membusuk. Dia hendak membangunkan Roy ketika adiknya terbangun dan muntah di seluruh tempat tidur."Tetaplah disini!" kata Trisha.Roy meraung di belakangnya saat Trisha berlari terbirit-birit ke kamar orang tuanya, nyaris terjungkal karena tersandung langkahnya sendiri. Dia mengguncang lengan ayahnya dengan sangat keras untuk membangunkannya."Roy muntah," ujar Trisha.Ibu beringsut dengan gerakan lambat, tetapi ayah membuka selimut dan menarik jubah flanelnya. Sesampainya di kamar, Jimmy sedang duduk di tempat tidur Roy dengan baju tidur putihnya. Lisa berkeliaran di belakang ayah dan Trisha."Ugh!" ujar Lisa, memegangi hidungnya, yang membuat Roy mera
Trisha sangat mencintai ayahnya, tetapi sepertinya ayah tidak mencintainya dengan cara yang sama sebesar cintanya pada ayah. Sepertinya ayah mencintai Trisha hanya karena berutang pengabdian dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bukan semata-mata karena Trisha layak mendapatkannya. Dia sering berpikir mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia hanyalah momok baginya, terutama sejak kematian Tristan. Trisha berpikir tidak ada orang di keluarga ini yang tahu betapa kesepiannya dia kadang-kadang. Sering kali dia berharap ayah akan menatapnya dengan pancaran yang sama di matanya seperti yang dia tunjukkan kepada adiknya Roy. Ibu mengatakan bagaimana Trisha sejak lahir hingga tumbuh besar, pikirannya berpacu lebih cepat daripada apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Menurut ibunya, Trisha terlahir ke dunia lebih dahulu sebelum Tristan dengan berteriak sekencang mungkin seolah-olah mencoba membangkitkan orang mati. Kemudian Trisha mendapat pandangan jauh ke depan yang terasa seolah-
Sejak mengetahui kemampuan istimewanya, Trisha rela memberikan apa pun untuk menjadi orang normal seperti adiknya Roy. Dia tidak tahu kapan pertama kali menyadari bahwa dia memiliki apa yang disebut banyak orang sebagai Mata Ketiga, Kekuatan Pikiran, Intuisi, Kepekaan Batin, Indra Keenam, Mata Batin atau apa pun istilah lainnya. Dia tidak akan dapat memperkirakan kapan semuanya berawal. Beberapa orang juga percaya bahwa setiap orang dapat memiliki kemampuan psikis yang dapat diaktifkan atau ditingkatkan melalui studi dan praktek berbagai disiplin ilmu dan teknik seperti meditasi dan ramalan, dengan sejumlah buku dan situs yang ditujukan untuk instruksi dalam metode ini. Keyakinan populer lainnya adalah bahwa kemampuan psikis bersifat turun temurun, dengan orang tua mewariskan kemampuan istimewa itu kepada anak-anak mereka. Kemampuan yang dimiliki Trisha dimulai seperti biji benih kecil yang kemudian tumbuh sedikit demi sedikit, cukup lambat sehingga dia bahkan tidak menyadarinya. Me
Manusia tidak pernah tahu kapan kematian akan tiba. Beberapa orang berada dalam keadaan sakit, yang memberikan suatu pertanda, seperti mendung pekat disertai angin kencang yang menandakan badai akan tiba. Akhir kehidupan mereka sudah dekat. Namun banyak lagi yang lainnya mengalami kematian tanpa peringatan sama sekali, dalam momen tak terduga yang membelah dunia menjadi dua batas dalam sekejap, memisahkan antara yang hidup dari yang mati. Dia pernah mencicipi kematian. Ya, dia pernah mati. Padahal usianya pun belum menginjak tujuh belas tahun tetapi Malaikat Maut telah menjemputnya. Namun dia berhasil menipu kematian. Beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas, semuanya berubah. Dia dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans dalam keadaan tak sadarkan diri. Untunglah dia sampai di sana tepat waktu. Waktu itu tubuhnya sudah dingin dan kaku. Dia mengalami hipotermia karena suhu tubuh yang menurun drastis hingga mengancam nyawanya. Semua ini terjadi karena kecelakaan yan
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. Dia tidak berani memperhatikan sekelilingnya lagi, khawatir akan menyaksikan wajah-wajah mengerikan lainnya. Akhirnya dia lebih memilih untuk menundukkan kepala atau menatap ponselnya sampai MRT membawanya ke tempat tujuan. Detak jantung Trisha melonjak kaget saat seorang wanita tua di sebelah kiri tiba-tiba menyentuh pundaknya. Mungkin karena terhanyut dalam pikirannya sehingga dia tidak menyadari ketika wanita itu duduk di sebelahnya. "Ada apa, Nona? Sepertinya terjadi sesuatu padamu." Trisha hanya menggelengkan kepalanya dan mengibaskan tangannya dengan pelan. "I'm good. Thank you (Aku baik-baik saja. Terima kasih)." Kepala Trisha dipenuhi dengan banyak pertanyaan campur aduk yang membuatnya bingung. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mengapa dia menyaksikan penglihatan aneh ini. Dia bahkan tidak tahu apa yang dia lihat. Otot-otot di tubuhnya benar-benar menegang. Dia tidak ingin wanita asing itu menyentuhnya. Namun apa boleh bu