Aira mendorong Manggala pelan, saat dirinya tiba-tiba teringat pada video panas yang dilakoni suaminya bersama Cynthia itu. "Jangan," tolak Aira lirih. "Maaf, aku tidak bisa menahan diri," sesal Manggala. Tak seharusnya dia mencium Aira seenaknya, meskipun wanita di hadapannya itu masih sah menjadi istrinya. "Tidak apa-apa." Aira memaksakan senyum. "Selama di New York, kamu tinggal di mana, Ngga?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Di hotel dekat sini," jawab Manggala singkat dengan sorot yang tak lepas dari paras cantik Aira. "Siapa yang memberitahumu kalau aku berada di sini?" tanya Aira lagi, bagaikan detektif. "Brandon," beber Manggala apa adanya. "Astaga!" Aira berdecak kesal. Sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Brandon. Padahal Manggala adalah saingannya dalam merebut cinta Aira. Namun, kenapa Brandon malah membantu Manggala? "Ra ...." Manggala meraih kedua tangan Aira dan menggenggamnya erat. "Aku benar-benar bahagia dan lega bisa berhasil menemukanmu dan
"Kamu brengsek, Aira!" Tanpa aba-aba, Senja langsung maju dan menampar pipi Aira sekeras-kerasnya. "Hei!" Manggala terlambat mencegah. Dia langsung menarik mundur tubuh istrinya, menyembunyikan tubuh ramping itu di belakang badannya yang tinggi dan tegap. "Apa-apaan ini!" Sedikit kasar Manggala mendorong Senja, bersamaan dengan hadirnya Jati. Pria itu tampak berlari mendekat seraya terengah. "Jangan, Senja!" sergah Jati. Sementara Aira masih syok. Dia tak dapat berkata-kata dan hanya bisa memegangi pipi yang terasa kebas. Sudut bibirnya juga terasa perih. "Kamu sudah menghancurkan hidupku!" pekik Senja nyaring. Sontak hal itu menarik perhatian tetangga apartemen yang lain, termasuk kakek nenek Sammy. "Diam, Senja! Aira tak ada hubungannya dengan semua ini!" sentak Jati tak kalah nyaring. "Ada apa ini?" sela Catherine. Tergopoh-gopoh dirinya keluar dari kamar Enzo. "Siapa wanita ini?" tunjuknya ke arah Senja. "Gara-gara kamu, Mas Jati menceraikan aku!" pekik Senja. Tangan
Manggala melihat bocah laki-laki itu lekat-lekat. Baru sekali dia bertemu Sammy, tapi Manggala sudah merasakan keterikatan dengan bocah itu. "Sampai jumpa lagi, Sammy," ucap Manggala tulus. Dia memandang bocah itu sedikit lebih lama dan mematri wajah lucunya dalam ingatan, sebelum dia dan Aira meninggalkan gedung apartemen. "Ngga, kamu kalau lihat Sammy, mirip sama siapa?" celetuk Aira saat mereka sudah berada di dalam kabin pesawat. Sebentar lagi, pesawat akan tinggal landas. "Ehm, siapa, ya?" Manggala mengetuk-ngetukkan telunjuk di dagu, mencoba berpikir keras. "Masa kamu tidak tahu?" "Aku nyerah, Ra." Manggala menggeleng. "Mirip sama pacarmu," ujar Aira sedikit ketus. "Pacar?" Manggala mengernyit bingung. "Ah, Angga. Nggak usah pura-pura lupa. Pacarmu kan Cynthia!" Aira yang sewot, memukul pelan lengan suaminya, sampai Manggala meringis kesakitan. "Hah? Mana mungkin Sammy mirip Cynthia?" Manggala tergelak memandang raut merajuk Aira. Istrinya itu tampak begitu men
"Sudah, jangan bertengkar! Aira dan Enzo baru saja datang. Kasihan, mereka pasti lelah," lerai Kartika. "Biar Aira saja yang masuk, Ma. Manggala suruh pulang!" Kata-kata Sinta terdengar begitu keras di telinga. "Kak!" hardik Aira. "Tolong, hargai suamiku!" "Apa? Hargai kamu bilang?" geram Sinta. "Kamu boleh cinta, tapi jangan bodoh, Ra. Manggala sudah mengkhianatimu! Apa kamu lupa? Di saat kamu hancur, siapa yang mendampingimu? Tante Mira, dan kami, keluargamu!" sentaknya. Suara Sinta yang nyaring membuat putrinya yang baru berusia 6 bulan, menangis terkejut. "Tolong, berhentilah kalian!" tegur Kartika, berusaha untuk menengahi. "Kita masuk dulu, dan bicarakan baik-baik. Jangan seperti ini," tuturnya. "Pokoknya kalau sampai Aira ikut suaminya, aku akan sangat kecewa!" sela Sinta. Dia buru-buru masuk, selain karena marah dengan Aira, bayi Sinta juga menangis dan rewel. Kini, tinggallah tiga orang itu di teras. Bersama Enzo yang tengah asyik di gendongan Kartika. "Maaf ya,
"Selamat datang di kamarku, Sayang," ucap Manggala. "Selama kita pacaran, kamu tidak pernah mengajakku masuk ke kamarmu, Ngga," gumam Aira sambil menyapu pandangan ke setiap sudut ruangan. "Waktu itu, aku takut khilaf, Ra," gurau Manggala yang disambut dengan tawa Aira. Kamar Manggala cukup luas dan nyaman. Seluruh perabotnya berdesain simpel tapi cukup estetik. Di beberapa tempat, terdapat aksesoris ruangan berupa patung-patung kayu berukuran kecil. Dinding kamar juga dihiasi lukisan etnis dan topeng khas yang mencerminkan suku tertentu di Indonesia. "Ini kudapat dari tetua suku Badui Dalam." Manggala mengarahkan telunjuk ke badik yang terpajang di dinding, tepat di atas meja konsul yang terletak di sudut kamar. "Kamu benar-benar petualang sejati. Termasuk petualang wanita." Aira terkikik geli. Mendengar hal itu, sontak Manggala terdiam. Sorot matanya memancarkan penyesalan yang dalam. "Maaf, Ngga. Aku tidak bermaksud ...." "Tidak apa-apa, Sayang. Memang kenyataan
"Kapan kita pindah dari sini dan menyewa tempat sendiri?" Tak ada angin, tak ada hujan, Manggala tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu dari sang istri. "Kenapa, Sayang? Kamu tidak kerasan di sini?" Manggala balas bertanya. "Kurasa, aku lebih nyaman berdua denganmu saja," timpal Aira lirih. Manggala menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku punya apartemen pribadi. Tapi, kupikir-pikir lebih baik kamu di sini. Akan ada banyak orang yang membantumu merawat Enzo. Kalau di apartemen, kamu akan sendirian, Sayang. Selama beberapa minggu ke depan, aku akan lebih banyak berada di luar rumah," tuturnya lembut. "Tidak apa-apa. Itu lebih baik." Aira menunduk dan mulai terisak. "Lho, kok nangis?" Manggala yang terheran-heran melihat sikap Aira, segera mengangkat dagu sang istri tercinta sambil menatapnya lekat. "Ada apa? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" terkanya. Awalnya Aira menggeleng. Namun, setelah menimbang-nimbang dalam hati , dia pun mengangguk. "Papa Bayu memintak
"Itu tidak mungkin." Brandon terkekeh."Kenapa tidak?" desak Helen."Pertama, kau sudah menolak dan menghinaku dulu. Kedua, aku bukan pilihan terakhirmu saat pria yang kaucintai tidak memiliki perasaan yang sama. Dia bahkan mengusirmu agar menjauh," jelas Brandon."Tidak, bukan itu!" elak Helen. "Sudah lama aku memikirkan tentang kita!""Kau bahkan berpura-pura tak mengenalku saat dulu aku memasuki ruangan Manggala!""Itu karena ....""Ada Manggala di sana, dan kau tidak ingin kehilangan muka. Iya, kan? Kau selalu ingin tampil sempurna di depan pria itu. Namun, sayangnya, dia tak pernah melihat ke arahmu," potong Brandon.."Bisakah kita tidak membicarakan pria lain?" protes Helen. "Aku ingin kita fokus pada masalah kita.""Pria lain itu sekarang sudah menjadi temanku. Dan masalah pernikahan, kukira kita cukup berbagi hak asuh saja, tanpa perlu menikah," saran Brandon."Kenapa kau berubah? Apa yang membuatmu berubah?" Helen tampak begitu kecewa melihat sikap acuh tak acuh Brandon."Wak
"Maaf, Pa. Bukannya saya melawan, tapi saya tidak ingin pergi tanpa sepengetahuan Manggala. Saya tidak mau membuatnya terpuruk lagi. Kalau memang papa menghendaki saya keluar dari rumah ini, maka izinkan saya menunggu suami saya sampai dia pulang kerja untuk berpamitan padanya," tutur Aira panjang lebar. Bayu tak bisa berkata-kata. Jauh di lubuk hati, dia membenarkan alasan Aira. Bayu membayangkan betapa sakitnya Manggala jika sang putra tiba-tiba pulang dan tak mendapati Aira di rumah. Bisa saja Manggala kembali menggila seperti dulu. Namun, di sisi lain, Bayu belum bisa menerima Aira yang dulu pernah menyakiti Manggala. "Kamu pernah menghancurkan hidup putraku," gumam Bayu kesal. "Manggala juga pernah menghancurkan hidupku!" Batin Aira berteriak. Akan tetapi, dia tak kuasa mengungkapkannya pada Bayu. Baginya, itu adalah bagian dari aib suami yang harus dia tutupi. "Saya akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahan saya," tegas Aira tanpa ragu. "Apa saja?" Bayu menyering
"Tante kenal sama dia?" tanya Aira penuh selidik. "Be-begitulah," jawab Mira gugup. "Dia siapa memangnya?" tanya Aira lagi. Mira sengaja tak langsung menjawab. Dia malah berjalan cepat menghampiri Alex, lalu menyalami pria matang yang terlihat menawan itu. "Apa kabarmu?" sapa Mira. "Beginilah, kau lihat sendiri," balaa Alex, dingin dan datar. Sesaat kemudian, pandangannya beralih pada Aira dan Enzo yang duduk tenang di stroller. "Selamat datang, Nona Aira. Mari ikut dengan saya. Klien kita sudah menunggu," ujar Alex, lembut dan sopan. Sungguh berbeda dengan saat dia berbicara dengan Mira. . Mira sendiri tampak kesal. Dia mendengkus pelan sambil menatap tajam ke arah Alex. Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukan. Alex malah mengarahkan Aira untuk mengikuti langkahnya sampai tiba di area parkir. Dia menunjuk ke sebuah mobil SUV hitam. "Ini kendaraan operasional kita selama di Bali," jelas Alex pada dua wanita beda usia tersebut. Setelah memastikan para penumpangnya
Waktu berjalan begitu cepat. Satu tahun sudah Aira menjalani hidup tanpa Manggala. Selama itu pula, sosok Manggala masih tetap bertahta dalam benak dan hati Aira. "Mama ... mam!" celoteh Enzo. Di usia 1,5 tahun ini, bayi mungil Aira sudah banyak menguasai kosakata. "Tadi sudah mam. Nanti lagi." Aira menjauhkan sekeping biskuit dari tangan Enzo. "Mam!" pekik Enzo tak terima. "Nanti lagi, ya," bujuk Aira lembut. Enzo sudah hendak menangis. Akan tetapi, bunyi lonceng yang terpasang di atas pintu masuk berbunyi, tanda bahwa daun pintunya telah dibuka dari luar. "Selamat siang!" sambut Aira seraya buru-buru menggendong Enzo. "Selamat siang," balas seorang pria berwajah bule. "Jadi, ini kantor Enzo's Photography, ya?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan bernuansa etnis tersebut. "Betul sekali! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aira ramah. Pria itu tak langsung menjawab. Dia malah terus memperhatikan hasil-hasil jepretan Aira yang terpajang di dinding kantor
"Kau tahu? Tuan Jati tak jadi bercerai dari istrinya. Dia menarik gugatan," jelas Catherine antusias. "Oh, ya? Syukurlah," ucap Aira. "Aku sempat merasa bersalah pada Jati karena sudah memanfaatkannya untuk kepentinganku sendiri," sesalnya. "Memangnya, kamu memanfaatkan apa, Ra?" sela Kartika penasaran. "Eh, itu ...." Aira meringis serba salah. Dia tahu ibunya tak suka kepada Jati. Bahkan ketidaksukaan Kartika pada Jati, jauh lebih besar dari ketidaksukaannya pada Manggala. "Aku pernah menyuruh Kak Jati untuk membantu mengurus dokumen-dokumen kelahiran Enzo. "Aku juga memintanya menjaga Enzo," beber Aira. "Astaga!" Kartika geleng-geleng kepala. Ada saja ulah putrinya yang membuatnya pening. "Dan Jati melakukannya dengan sukarela?" tanya Kartika setengah tak percaya. Sementara Aira hanya membalasnya dengan mengangkat bahu. "Dia mengejar-ngejarku hanya karena rasa bersalah, dan aku memanfaatkan rasa bersalah itu," ungkapnya. "Sekarang, Jati sudah kembali pada istrinya. Ta
Aira bersimpuh di samping pusara Manggala. Dia menangis tersedu sambil memeluk nisan berukir nama suaminya. Aira meluapkan segala kesedihan yang menumpuk selama beberapa hari terakhir. Kecelakaan dahsyat yang dia alami, serta kehilangan besar itu benar-benar menghantam jiwanya. Berbeda dari Aira. Mira yang saat itu turut mengantar dan menemani keponakannya, hanya berdiri terdiam, beberapa langkah di belakang Aira. Mira merasakan sesuatu yang janggal. Makam itu tampak baru. Gundukan tanah liatnya pun terlihat basah, seperti baru ditimbun. Padahal jika diperkirakan, kecelakaan itu terjadi dua minggu lalu. Entah pada siapa Mira harus mengutarakan kecurigaannya. Dia tak ingin menyinggung perasaan kedua orang tua Manggala. "Ra, cukup. Kita pulang, yuk," ajak Mira. "Kasihan Enzo, sudah kamu tinggal terlalu lama." Aira terkesiap untuk sesaat. "Enzo?" ulangnya. "Iya, Sayang. Dia buah hatimu bersama Manggala. Suamimu tentu tak ingin putranya terlantar. Bagaimanapun, Enzo adalah wa
Perlahan, kelopak mata Aira terbuka. Yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Aroma obat bercampur pewangi antiseptik terasa menusuk hidung. Lemah, Aira menoleh ke samping. Wajah sang ibu lah yang dilihatnya pertama kali. Mata Kartika tampak sembab, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Kemudian, Aira mengalihkan pandangan pada Sinta dan Imelda yang tengah menggendong Enzo. "Suster! Panggilkan dokter dan suster! Aira sudah sadar!" seru Sinta panik. Sedangkan Kartika langsung memencet tombol yang tersedia di atas kepala ranjang rumah sakit sambil terus menyeka air mata. Tak berselang lama, seorang dokter jaga bersama perawat datang memeriksa. "Silakan keluar dulu, Ibu-ibu," pinta dokter itu sopan. Tak bisa menolak, tiga wanita tersebut terpaksa meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang tunggu, sampai dokter menghampiri Kartika. "Tanda-tanda vital pasien normal. Responnya juga normal," ujar sang dokter. "Putri Ibu sudah melewati masa kritisnya."
"Kalian biarkan aku pergi, atau aku akan menyakiti Bos kalian ini!" ancam Manggala. "Kau serius, Nak?" Bukannya takut atau khawatir, Frederick malah terkekeh. "Aku bukanlah pria sembarangan. Kau tahu sendiri bahwa nama Larson sangat berpengaruh di negara ini. Uang dan kekuasaanku mampu membeli segalanya," ujarnya balik mengancam. Manggala sama sekali tak gentar. "Aku tak peduli. Apapun akan kulakukan supaya bisa membawa Aira dan putraku pergi dari sini." "Begitukah? Kau ingin mereka bisa keluar dari kota ini dengan selamat?" Manggala mengernyit menanggapi ucapan aneh Frederick. "Tentu saja!" sahutnya. "Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan," putus Frederick. Mendengar hal itu, Manggala malah semakin waspada. Setelah semua yang mereka lalui, tentu tak akan semudah itu Frederick melepaskannya. Namun, kenapa pria tua itu sekarang terkesan menyerah? "Apalagi yang Anda rencanakan, Om Frederick?" desis Manggala curiga. "Tidak ada," jawab Frederick dengan segera. "Kuras
Sudah semalam berlalu sejak pertemuan dengan Cynthia dan ayahnya. Aira merasa ada yang aneh dengan wanita itu. "Jadi, seperti itu ya keadaan orang depresi?" tanyanya. "Aku juga tidak mengira bahwa apa yang kulakukan padanya bisa berpengaruh sebesar ini pada Cynthia," jawab Manggala. Tatapannya kosong menerawang ke lantai apartemen. "Jadi, apa yang akan kita lakukan, Ngga? Apa kita tetap akan di sini sambil menunggu keputusan Tuan Larson?" Aira mulai was-was. Terus terang, dia merasa curiga dengan sikap Frederick yang tiba-tiba menyuruh dirinya dan Manggala untuk pulang. "Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh orang berpengaruh seperti keluarga Larson pada kita, Ngga?" tanya Aira lagi. "Bukan pada kita, Ra. Tapi aku, hanya kepadaku," ujar Manggala meluruskan. "Semua yang terjadi padamu, tentu akan berimbas padaku, Ngga. Kalau kamu merasakan sakit, maka aku juga ...." Kalimat Aira terhenti saat mendengar ketukan pelan di pintu apartemen. "Siapa?" desis Manggala lirih. Raut
Ruang keluarga bernuansa klasik itu menjadi bukti amarah Frederick. "Aku menanggung biaya akomodasi kalian dari Jakarta sampai ke kota ini, bukan untuk cuma-cuma!" ujarnya dengan intonasi tinggi. "Aku ingin istrimu juga melihat bahwa dia turut andil dalam hancurnya kehidupan putriku!" imbuh Frederick. Aira terpaksa menutupi kedua telinga bayinya rapat-rapat agar tidak terkejut dengan teriakan Frederick. Dia juga memeluk Enzo erat-erat. "Oh, jadi itu alasan Om Frederick mengajak Aira kemari? Agar bisa mempermalukannya?" desis Manggala. "Itu pantas dia dapatkan!" balas Frederick tak terima. "Diam!" Suara Manggala menggelegar, menggema di tiap sudut ruangan megah itu. "Anda boleh menghina dan menginjak-injakku, tapi jangan istriku!" sentaknya. Membuat nyali Frederick menciut. "Aku tidak akan rela siapapun merendahkannya! Apapun kesalahanku pada Cynthia, jangan pernah limpahkan pada Aira! Istriku tak bersalah!" tegas Manggala. Sementara, Aira hanya bisa terdiam sambil terus m
Pesawat yang ditumpangi oleh keluarga kecil itu telah tiba di bandara Launceston, Tasmania. Berdebar hati Aira saat membayangkan apa yang mungkin akan dia alami ke depannya. Manggala dapat melihat dengan jelas ketakutan itu. Maka, dengan sigap dirinya meraih tangan Aira dan menggenggamnya lembut. "Kenapa Tuan Larson mengarahkan penerbangan kita ke kota ini?" tanya Aira bingung. "Karena Cynthia dirawat di tempat ini. Dia sengaja diasingkan oleh keluarga besarnya," jelas Manggala. Dia menceritakan sesuai dengan apa yang didengarnya dari Frederick melalui sambungan telepon semalam. "Nanti kita akan tinggal di mana, Ngga?" Aira tiba-tiba menghentikan langkah seraya mencengkeram erat pegangan kereta bayi Enzo. "Tenang, Sayang. Aku sudah menyewa apartemen untuk ditinggali sementara di sini," tutur Manggala lembut sambil melingkarkan tangan di pundak sang istri tercinta. "Jadi ... kita langsung ke apartemen sekarang?" tanya Aira ragu. "Pasti, dong. Lihat Enzo, dia kelelahan,"