"Kapan kita pindah dari sini dan menyewa tempat sendiri?" Tak ada angin, tak ada hujan, Manggala tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu dari sang istri. "Kenapa, Sayang? Kamu tidak kerasan di sini?" Manggala balas bertanya. "Kurasa, aku lebih nyaman berdua denganmu saja," timpal Aira lirih. Manggala menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku punya apartemen pribadi. Tapi, kupikir-pikir lebih baik kamu di sini. Akan ada banyak orang yang membantumu merawat Enzo. Kalau di apartemen, kamu akan sendirian, Sayang. Selama beberapa minggu ke depan, aku akan lebih banyak berada di luar rumah," tuturnya lembut. "Tidak apa-apa. Itu lebih baik." Aira menunduk dan mulai terisak. "Lho, kok nangis?" Manggala yang terheran-heran melihat sikap Aira, segera mengangkat dagu sang istri tercinta sambil menatapnya lekat. "Ada apa? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" terkanya. Awalnya Aira menggeleng. Namun, setelah menimbang-nimbang dalam hati , dia pun mengangguk. "Papa Bayu memintak
"Itu tidak mungkin." Brandon terkekeh."Kenapa tidak?" desak Helen."Pertama, kau sudah menolak dan menghinaku dulu. Kedua, aku bukan pilihan terakhirmu saat pria yang kaucintai tidak memiliki perasaan yang sama. Dia bahkan mengusirmu agar menjauh," jelas Brandon."Tidak, bukan itu!" elak Helen. "Sudah lama aku memikirkan tentang kita!""Kau bahkan berpura-pura tak mengenalku saat dulu aku memasuki ruangan Manggala!""Itu karena ....""Ada Manggala di sana, dan kau tidak ingin kehilangan muka. Iya, kan? Kau selalu ingin tampil sempurna di depan pria itu. Namun, sayangnya, dia tak pernah melihat ke arahmu," potong Brandon.."Bisakah kita tidak membicarakan pria lain?" protes Helen. "Aku ingin kita fokus pada masalah kita.""Pria lain itu sekarang sudah menjadi temanku. Dan masalah pernikahan, kukira kita cukup berbagi hak asuh saja, tanpa perlu menikah," saran Brandon."Kenapa kau berubah? Apa yang membuatmu berubah?" Helen tampak begitu kecewa melihat sikap acuh tak acuh Brandon."Wak
"Maaf, Pa. Bukannya saya melawan, tapi saya tidak ingin pergi tanpa sepengetahuan Manggala. Saya tidak mau membuatnya terpuruk lagi. Kalau memang papa menghendaki saya keluar dari rumah ini, maka izinkan saya menunggu suami saya sampai dia pulang kerja untuk berpamitan padanya," tutur Aira panjang lebar. Bayu tak bisa berkata-kata. Jauh di lubuk hati, dia membenarkan alasan Aira. Bayu membayangkan betapa sakitnya Manggala jika sang putra tiba-tiba pulang dan tak mendapati Aira di rumah. Bisa saja Manggala kembali menggila seperti dulu. Namun, di sisi lain, Bayu belum bisa menerima Aira yang dulu pernah menyakiti Manggala. "Kamu pernah menghancurkan hidup putraku," gumam Bayu kesal. "Manggala juga pernah menghancurkan hidupku!" Batin Aira berteriak. Akan tetapi, dia tak kuasa mengungkapkannya pada Bayu. Baginya, itu adalah bagian dari aib suami yang harus dia tutupi. "Saya akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahan saya," tegas Aira tanpa ragu. "Apa saja?" Bayu menyering
Kedua adik ipar Aira berlari mendekati sang ayah yang tak berdaya dengan tubuh menegang di lantai. "Ada apa ini? Apa yang terjadi?" seru Aira panik. "Ayah punya riwayat penyakit jantung," jawab Arka dengan wajah pias. "Ya, Tuhan!" Aira menutup mulut saking terkejutnya. Namun, sesaat kemudian, akal sehatnya kembali berfungsi. Buru-buru dia menghubungi layanan darurat dan ambulans. "Ayah tidak bernapas!" pekik adik bungsu Manggala. "Apa?" Tanpa sadar, Aira melempar ponsel begitu saja. Dia mencoba untuk membantu sang ayah mertua dengan pengetahuan yang pernah dia dapatkan, yaitu memakai teknik CPR. Aira melonggarkan pakaian Bayu dengan cara membuka kancing depan polo shirtnya. Setelah itu, sekuat tenaga dirinya menekan dada kiri Bayu menggunakan kedua tangan sampai berkali-kali. "Apa tidak sakit, Kak?" gumam Arka tak tega, melihat sang ayah ditekan sekuat tenaga di bagian dada. "Tenang saja, aku sudah ikut pelatihan resusitasi jantung dan paru berkali-kali," sahut Aira jum
Semenjak kedatangan tamu tak diundang, Aira terus mengurung diri dalam kamar. Meskipun demikian, dia tetap memantau kondisi Bayu sambil menimang Enzo. Lewat video call, Aira dapat melihat secara jelas sang mertua yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, ditemani oleh Imelda. "Papa Bayumu sudah siuman, Ra. Dia juga sudah kuat memegang tangan Bunda," tutur Imelda. Aira tersenyum penuh haru. Sempat disekanya sebulir air bening yang jatuh di sudut mata. Dia teringat awal mula memanggil nama ayah Manggala itu dengan sebutan Papa Bayu. Aira tak punya sosok seorang ayah. Dia kehilangan figur itu sejak SMP. Ayah kandung Aira meninggal dunia karena sakit. Hingga saat duduk di bangku kuliah dan menjalin kisah cinta bersama Manggala, kekasihnya itu memperkenalkan Aira pada Bayu. Gadis cantik itu mendapatkan sosok ayah pada Bayu. Setiap kali memandang raut teduh pria yang berwajah mirip Manggala itu, Aira selalu teringat pada papa kandungnya. "Apa boleh, saya memanggil om deng
"Aku tidak setuju dengan rencanamu itu, Ra!" tegas Manggala. Aira bermaksud untuk menimpali. Akan tetapi, celotehan dan teriakan Enzo lebih dulu menyela pembicaraan itu. "Sebentar, aku harus memeriksa Enzo. Kamu mandilah dulu," suruh Aira. Manggala tak membantah. Dengan hati kesal, dia menenggelamkan tubuh ke dalam bathup. Kembali terngiang dalam kepalanya, permintaan gila dari istrinya tersebut. Manggala sudah bersusah payah mendapatkan Aira. Mereka bahkan sempat terpisah selama satu tahun lamanya akibat kecelakaan yang dialami oleh Manggala. Tak akan semudah itu dirinya melepaskan Aira. Setengah jam berlalu, Manggala sudah merapikan diri. Dia keluar dari walk in closet dan langsung menghampiri boks Enzo. Sempat Manggala bertanya-tanya, kenapa boks Enzo dipindahkan dari kamar bayi ke kamarnya. Namun, melihat raut murung Aira, dirinya jadi tak mempermasalahkan. "Apa nanti malam Enzo akan tidur di sini?" tanya Manggala basa-basi. "Iya, aku ingin memanfaatkan waktu kita bertiga seba
Pesawat yang ditumpangi oleh keluarga kecil itu telah tiba di bandara Launceston, Tasmania. Berdebar hati Aira saat membayangkan apa yang mungkin akan dia alami ke depannya. Manggala dapat melihat dengan jelas ketakutan itu. Maka, dengan sigap dirinya meraih tangan Aira dan menggenggamnya lembut. "Kenapa Tuan Larson mengarahkan penerbangan kita ke kota ini?" tanya Aira bingung. "Karena Cynthia dirawat di tempat ini. Dia sengaja diasingkan oleh keluarga besarnya," jelas Manggala. Dia menceritakan sesuai dengan apa yang didengarnya dari Frederick melalui sambungan telepon semalam. "Nanti kita akan tinggal di mana, Ngga?" Aira tiba-tiba menghentikan langkah seraya mencengkeram erat pegangan kereta bayi Enzo. "Tenang, Sayang. Aku sudah menyewa apartemen untuk ditinggali sementara di sini," tutur Manggala lembut sambil melingkarkan tangan di pundak sang istri tercinta. "Jadi ... kita langsung ke apartemen sekarang?" tanya Aira ragu. "Pasti, dong. Lihat Enzo, dia kelelahan,"
Ruang keluarga bernuansa klasik itu menjadi bukti amarah Frederick. "Aku menanggung biaya akomodasi kalian dari Jakarta sampai ke kota ini, bukan untuk cuma-cuma!" ujarnya dengan intonasi tinggi. "Aku ingin istrimu juga melihat bahwa dia turut andil dalam hancurnya kehidupan putriku!" imbuh Frederick. Aira terpaksa menutupi kedua telinga bayinya rapat-rapat agar tidak terkejut dengan teriakan Frederick. Dia juga memeluk Enzo erat-erat. "Oh, jadi itu alasan Om Frederick mengajak Aira kemari? Agar bisa mempermalukannya?" desis Manggala. "Itu pantas dia dapatkan!" balas Frederick tak terima. "Diam!" Suara Manggala menggelegar, menggema di tiap sudut ruangan megah itu. "Anda boleh menghina dan menginjak-injakku, tapi jangan istriku!" sentaknya. Membuat nyali Frederick menciut. "Aku tidak akan rela siapapun merendahkannya! Apapun kesalahanku pada Cynthia, jangan pernah limpahkan pada Aira! Istriku tak bersalah!" tegas Manggala. Sementara, Aira hanya bisa terdiam sambil terus m
"Tante kenal sama dia?" tanya Aira penuh selidik. "Be-begitulah," jawab Mira gugup. "Dia siapa memangnya?" tanya Aira lagi. Mira sengaja tak langsung menjawab. Dia malah berjalan cepat menghampiri Alex, lalu menyalami pria matang yang terlihat menawan itu. "Apa kabarmu?" sapa Mira. "Beginilah, kau lihat sendiri," balaa Alex, dingin dan datar. Sesaat kemudian, pandangannya beralih pada Aira dan Enzo yang duduk tenang di stroller. "Selamat datang, Nona Aira. Mari ikut dengan saya. Klien kita sudah menunggu," ujar Alex, lembut dan sopan. Sungguh berbeda dengan saat dia berbicara dengan Mira. . Mira sendiri tampak kesal. Dia mendengkus pelan sambil menatap tajam ke arah Alex. Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukan. Alex malah mengarahkan Aira untuk mengikuti langkahnya sampai tiba di area parkir. Dia menunjuk ke sebuah mobil SUV hitam. "Ini kendaraan operasional kita selama di Bali," jelas Alex pada dua wanita beda usia tersebut. Setelah memastikan para penumpangnya
Waktu berjalan begitu cepat. Satu tahun sudah Aira menjalani hidup tanpa Manggala. Selama itu pula, sosok Manggala masih tetap bertahta dalam benak dan hati Aira. "Mama ... mam!" celoteh Enzo. Di usia 1,5 tahun ini, bayi mungil Aira sudah banyak menguasai kosakata. "Tadi sudah mam. Nanti lagi." Aira menjauhkan sekeping biskuit dari tangan Enzo. "Mam!" pekik Enzo tak terima. "Nanti lagi, ya," bujuk Aira lembut. Enzo sudah hendak menangis. Akan tetapi, bunyi lonceng yang terpasang di atas pintu masuk berbunyi, tanda bahwa daun pintunya telah dibuka dari luar. "Selamat siang!" sambut Aira seraya buru-buru menggendong Enzo. "Selamat siang," balas seorang pria berwajah bule. "Jadi, ini kantor Enzo's Photography, ya?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan bernuansa etnis tersebut. "Betul sekali! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aira ramah. Pria itu tak langsung menjawab. Dia malah terus memperhatikan hasil-hasil jepretan Aira yang terpajang di dinding kantor
"Kau tahu? Tuan Jati tak jadi bercerai dari istrinya. Dia menarik gugatan," jelas Catherine antusias. "Oh, ya? Syukurlah," ucap Aira. "Aku sempat merasa bersalah pada Jati karena sudah memanfaatkannya untuk kepentinganku sendiri," sesalnya. "Memangnya, kamu memanfaatkan apa, Ra?" sela Kartika penasaran. "Eh, itu ...." Aira meringis serba salah. Dia tahu ibunya tak suka kepada Jati. Bahkan ketidaksukaan Kartika pada Jati, jauh lebih besar dari ketidaksukaannya pada Manggala. "Aku pernah menyuruh Kak Jati untuk membantu mengurus dokumen-dokumen kelahiran Enzo. "Aku juga memintanya menjaga Enzo," beber Aira. "Astaga!" Kartika geleng-geleng kepala. Ada saja ulah putrinya yang membuatnya pening. "Dan Jati melakukannya dengan sukarela?" tanya Kartika setengah tak percaya. Sementara Aira hanya membalasnya dengan mengangkat bahu. "Dia mengejar-ngejarku hanya karena rasa bersalah, dan aku memanfaatkan rasa bersalah itu," ungkapnya. "Sekarang, Jati sudah kembali pada istrinya. Ta
Aira bersimpuh di samping pusara Manggala. Dia menangis tersedu sambil memeluk nisan berukir nama suaminya. Aira meluapkan segala kesedihan yang menumpuk selama beberapa hari terakhir. Kecelakaan dahsyat yang dia alami, serta kehilangan besar itu benar-benar menghantam jiwanya. Berbeda dari Aira. Mira yang saat itu turut mengantar dan menemani keponakannya, hanya berdiri terdiam, beberapa langkah di belakang Aira. Mira merasakan sesuatu yang janggal. Makam itu tampak baru. Gundukan tanah liatnya pun terlihat basah, seperti baru ditimbun. Padahal jika diperkirakan, kecelakaan itu terjadi dua minggu lalu. Entah pada siapa Mira harus mengutarakan kecurigaannya. Dia tak ingin menyinggung perasaan kedua orang tua Manggala. "Ra, cukup. Kita pulang, yuk," ajak Mira. "Kasihan Enzo, sudah kamu tinggal terlalu lama." Aira terkesiap untuk sesaat. "Enzo?" ulangnya. "Iya, Sayang. Dia buah hatimu bersama Manggala. Suamimu tentu tak ingin putranya terlantar. Bagaimanapun, Enzo adalah wa
Perlahan, kelopak mata Aira terbuka. Yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Aroma obat bercampur pewangi antiseptik terasa menusuk hidung. Lemah, Aira menoleh ke samping. Wajah sang ibu lah yang dilihatnya pertama kali. Mata Kartika tampak sembab, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Kemudian, Aira mengalihkan pandangan pada Sinta dan Imelda yang tengah menggendong Enzo. "Suster! Panggilkan dokter dan suster! Aira sudah sadar!" seru Sinta panik. Sedangkan Kartika langsung memencet tombol yang tersedia di atas kepala ranjang rumah sakit sambil terus menyeka air mata. Tak berselang lama, seorang dokter jaga bersama perawat datang memeriksa. "Silakan keluar dulu, Ibu-ibu," pinta dokter itu sopan. Tak bisa menolak, tiga wanita tersebut terpaksa meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang tunggu, sampai dokter menghampiri Kartika. "Tanda-tanda vital pasien normal. Responnya juga normal," ujar sang dokter. "Putri Ibu sudah melewati masa kritisnya."
"Kalian biarkan aku pergi, atau aku akan menyakiti Bos kalian ini!" ancam Manggala. "Kau serius, Nak?" Bukannya takut atau khawatir, Frederick malah terkekeh. "Aku bukanlah pria sembarangan. Kau tahu sendiri bahwa nama Larson sangat berpengaruh di negara ini. Uang dan kekuasaanku mampu membeli segalanya," ujarnya balik mengancam. Manggala sama sekali tak gentar. "Aku tak peduli. Apapun akan kulakukan supaya bisa membawa Aira dan putraku pergi dari sini." "Begitukah? Kau ingin mereka bisa keluar dari kota ini dengan selamat?" Manggala mengernyit menanggapi ucapan aneh Frederick. "Tentu saja!" sahutnya. "Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan," putus Frederick. Mendengar hal itu, Manggala malah semakin waspada. Setelah semua yang mereka lalui, tentu tak akan semudah itu Frederick melepaskannya. Namun, kenapa pria tua itu sekarang terkesan menyerah? "Apalagi yang Anda rencanakan, Om Frederick?" desis Manggala curiga. "Tidak ada," jawab Frederick dengan segera. "Kuras
Sudah semalam berlalu sejak pertemuan dengan Cynthia dan ayahnya. Aira merasa ada yang aneh dengan wanita itu. "Jadi, seperti itu ya keadaan orang depresi?" tanyanya. "Aku juga tidak mengira bahwa apa yang kulakukan padanya bisa berpengaruh sebesar ini pada Cynthia," jawab Manggala. Tatapannya kosong menerawang ke lantai apartemen. "Jadi, apa yang akan kita lakukan, Ngga? Apa kita tetap akan di sini sambil menunggu keputusan Tuan Larson?" Aira mulai was-was. Terus terang, dia merasa curiga dengan sikap Frederick yang tiba-tiba menyuruh dirinya dan Manggala untuk pulang. "Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh orang berpengaruh seperti keluarga Larson pada kita, Ngga?" tanya Aira lagi. "Bukan pada kita, Ra. Tapi aku, hanya kepadaku," ujar Manggala meluruskan. "Semua yang terjadi padamu, tentu akan berimbas padaku, Ngga. Kalau kamu merasakan sakit, maka aku juga ...." Kalimat Aira terhenti saat mendengar ketukan pelan di pintu apartemen. "Siapa?" desis Manggala lirih. Raut
Ruang keluarga bernuansa klasik itu menjadi bukti amarah Frederick. "Aku menanggung biaya akomodasi kalian dari Jakarta sampai ke kota ini, bukan untuk cuma-cuma!" ujarnya dengan intonasi tinggi. "Aku ingin istrimu juga melihat bahwa dia turut andil dalam hancurnya kehidupan putriku!" imbuh Frederick. Aira terpaksa menutupi kedua telinga bayinya rapat-rapat agar tidak terkejut dengan teriakan Frederick. Dia juga memeluk Enzo erat-erat. "Oh, jadi itu alasan Om Frederick mengajak Aira kemari? Agar bisa mempermalukannya?" desis Manggala. "Itu pantas dia dapatkan!" balas Frederick tak terima. "Diam!" Suara Manggala menggelegar, menggema di tiap sudut ruangan megah itu. "Anda boleh menghina dan menginjak-injakku, tapi jangan istriku!" sentaknya. Membuat nyali Frederick menciut. "Aku tidak akan rela siapapun merendahkannya! Apapun kesalahanku pada Cynthia, jangan pernah limpahkan pada Aira! Istriku tak bersalah!" tegas Manggala. Sementara, Aira hanya bisa terdiam sambil terus m
Pesawat yang ditumpangi oleh keluarga kecil itu telah tiba di bandara Launceston, Tasmania. Berdebar hati Aira saat membayangkan apa yang mungkin akan dia alami ke depannya. Manggala dapat melihat dengan jelas ketakutan itu. Maka, dengan sigap dirinya meraih tangan Aira dan menggenggamnya lembut. "Kenapa Tuan Larson mengarahkan penerbangan kita ke kota ini?" tanya Aira bingung. "Karena Cynthia dirawat di tempat ini. Dia sengaja diasingkan oleh keluarga besarnya," jelas Manggala. Dia menceritakan sesuai dengan apa yang didengarnya dari Frederick melalui sambungan telepon semalam. "Nanti kita akan tinggal di mana, Ngga?" Aira tiba-tiba menghentikan langkah seraya mencengkeram erat pegangan kereta bayi Enzo. "Tenang, Sayang. Aku sudah menyewa apartemen untuk ditinggali sementara di sini," tutur Manggala lembut sambil melingkarkan tangan di pundak sang istri tercinta. "Jadi ... kita langsung ke apartemen sekarang?" tanya Aira ragu. "Pasti, dong. Lihat Enzo, dia kelelahan,"