Ruang keluarga bernuansa klasik itu menjadi bukti amarah Frederick. "Aku menanggung biaya akomodasi kalian dari Jakarta sampai ke kota ini, bukan untuk cuma-cuma!" ujarnya dengan intonasi tinggi. "Aku ingin istrimu juga melihat bahwa dia turut andil dalam hancurnya kehidupan putriku!" imbuh Frederick. Aira terpaksa menutupi kedua telinga bayinya rapat-rapat agar tidak terkejut dengan teriakan Frederick. Dia juga memeluk Enzo erat-erat. "Oh, jadi itu alasan Om Frederick mengajak Aira kemari? Agar bisa mempermalukannya?" desis Manggala. "Itu pantas dia dapatkan!" balas Frederick tak terima. "Diam!" Suara Manggala menggelegar, menggema di tiap sudut ruangan megah itu. "Anda boleh menghina dan menginjak-injakku, tapi jangan istriku!" sentaknya. Membuat nyali Frederick menciut. "Aku tidak akan rela siapapun merendahkannya! Apapun kesalahanku pada Cynthia, jangan pernah limpahkan pada Aira! Istriku tak bersalah!" tegas Manggala. Sementara, Aira hanya bisa terdiam sambil terus m
Sudah semalam berlalu sejak pertemuan dengan Cynthia dan ayahnya. Aira merasa ada yang aneh dengan wanita itu. "Jadi, seperti itu ya keadaan orang depresi?" tanyanya. "Aku juga tidak mengira bahwa apa yang kulakukan padanya bisa berpengaruh sebesar ini pada Cynthia," jawab Manggala. Tatapannya kosong menerawang ke lantai apartemen. "Jadi, apa yang akan kita lakukan, Ngga? Apa kita tetap akan di sini sambil menunggu keputusan Tuan Larson?" Aira mulai was-was. Terus terang, dia merasa curiga dengan sikap Frederick yang tiba-tiba menyuruh dirinya dan Manggala untuk pulang. "Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh orang berpengaruh seperti keluarga Larson pada kita, Ngga?" tanya Aira lagi. "Bukan pada kita, Ra. Tapi aku, hanya kepadaku," ujar Manggala meluruskan. "Semua yang terjadi padamu, tentu akan berimbas padaku, Ngga. Kalau kamu merasakan sakit, maka aku juga ...." Kalimat Aira terhenti saat mendengar ketukan pelan di pintu apartemen. "Siapa?" desis Manggala lirih. Raut
"Kalian biarkan aku pergi, atau aku akan menyakiti Bos kalian ini!" ancam Manggala. "Kau serius, Nak?" Bukannya takut atau khawatir, Frederick malah terkekeh. "Aku bukanlah pria sembarangan. Kau tahu sendiri bahwa nama Larson sangat berpengaruh di negara ini. Uang dan kekuasaanku mampu membeli segalanya," ujarnya balik mengancam. Manggala sama sekali tak gentar. "Aku tak peduli. Apapun akan kulakukan supaya bisa membawa Aira dan putraku pergi dari sini." "Begitukah? Kau ingin mereka bisa keluar dari kota ini dengan selamat?" Manggala mengernyit menanggapi ucapan aneh Frederick. "Tentu saja!" sahutnya. "Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan," putus Frederick. Mendengar hal itu, Manggala malah semakin waspada. Setelah semua yang mereka lalui, tentu tak akan semudah itu Frederick melepaskannya. Namun, kenapa pria tua itu sekarang terkesan menyerah? "Apalagi yang Anda rencanakan, Om Frederick?" desis Manggala curiga. "Tidak ada," jawab Frederick dengan segera. "Kuras
Perlahan, kelopak mata Aira terbuka. Yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Aroma obat bercampur pewangi antiseptik terasa menusuk hidung. Lemah, Aira menoleh ke samping. Wajah sang ibu lah yang dilihatnya pertama kali. Mata Kartika tampak sembab, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Kemudian, Aira mengalihkan pandangan pada Sinta dan Imelda yang tengah menggendong Enzo. "Suster! Panggilkan dokter dan suster! Aira sudah sadar!" seru Sinta panik. Sedangkan Kartika langsung memencet tombol yang tersedia di atas kepala ranjang rumah sakit sambil terus menyeka air mata. Tak berselang lama, seorang dokter jaga bersama perawat datang memeriksa. "Silakan keluar dulu, Ibu-ibu," pinta dokter itu sopan. Tak bisa menolak, tiga wanita tersebut terpaksa meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang tunggu, sampai dokter menghampiri Kartika. "Tanda-tanda vital pasien normal. Responnya juga normal," ujar sang dokter. "Putri Ibu sudah melewati masa kritisnya."
Aira bersimpuh di samping pusara Manggala. Dia menangis tersedu sambil memeluk nisan berukir nama suaminya. Aira meluapkan segala kesedihan yang menumpuk selama beberapa hari terakhir. Kecelakaan dahsyat yang dia alami, serta kehilangan besar itu benar-benar menghantam jiwanya. Berbeda dari Aira. Mira yang saat itu turut mengantar dan menemani keponakannya, hanya berdiri terdiam, beberapa langkah di belakang Aira. Mira merasakan sesuatu yang janggal. Makam itu tampak baru. Gundukan tanah liatnya pun terlihat basah, seperti baru ditimbun. Padahal jika diperkirakan, kecelakaan itu terjadi dua minggu lalu. Entah pada siapa Mira harus mengutarakan kecurigaannya. Dia tak ingin menyinggung perasaan kedua orang tua Manggala. "Ra, cukup. Kita pulang, yuk," ajak Mira. "Kasihan Enzo, sudah kamu tinggal terlalu lama." Aira terkesiap untuk sesaat. "Enzo?" ulangnya. "Iya, Sayang. Dia buah hatimu bersama Manggala. Suamimu tentu tak ingin putranya terlantar. Bagaimanapun, Enzo adalah wa
"Kau tahu? Tuan Jati tak jadi bercerai dari istrinya. Dia menarik gugatan," jelas Catherine antusias. "Oh, ya? Syukurlah," ucap Aira. "Aku sempat merasa bersalah pada Jati karena sudah memanfaatkannya untuk kepentinganku sendiri," sesalnya. "Memangnya, kamu memanfaatkan apa, Ra?" sela Kartika penasaran. "Eh, itu ...." Aira meringis serba salah. Dia tahu ibunya tak suka kepada Jati. Bahkan ketidaksukaan Kartika pada Jati, jauh lebih besar dari ketidaksukaannya pada Manggala. "Aku pernah menyuruh Kak Jati untuk membantu mengurus dokumen-dokumen kelahiran Enzo. "Aku juga memintanya menjaga Enzo," beber Aira. "Astaga!" Kartika geleng-geleng kepala. Ada saja ulah putrinya yang membuatnya pening. "Dan Jati melakukannya dengan sukarela?" tanya Kartika setengah tak percaya. Sementara Aira hanya membalasnya dengan mengangkat bahu. "Dia mengejar-ngejarku hanya karena rasa bersalah, dan aku memanfaatkan rasa bersalah itu," ungkapnya. "Sekarang, Jati sudah kembali pada istrinya. Ta
Waktu berjalan begitu cepat. Satu tahun sudah Aira menjalani hidup tanpa Manggala. Selama itu pula, sosok Manggala masih tetap bertahta dalam benak dan hati Aira. "Mama ... mam!" celoteh Enzo. Di usia 1,5 tahun ini, bayi mungil Aira sudah banyak menguasai kosakata. "Tadi sudah mam. Nanti lagi." Aira menjauhkan sekeping biskuit dari tangan Enzo. "Mam!" pekik Enzo tak terima. "Nanti lagi, ya," bujuk Aira lembut. Enzo sudah hendak menangis. Akan tetapi, bunyi lonceng yang terpasang di atas pintu masuk berbunyi, tanda bahwa daun pintunya telah dibuka dari luar. "Selamat siang!" sambut Aira seraya buru-buru menggendong Enzo. "Selamat siang," balas seorang pria berwajah bule. "Jadi, ini kantor Enzo's Photography, ya?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan bernuansa etnis tersebut. "Betul sekali! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aira ramah. Pria itu tak langsung menjawab. Dia malah terus memperhatikan hasil-hasil jepretan Aira yang terpajang di dinding kantor
"Tante kenal sama dia?" tanya Aira penuh selidik. "Be-begitulah," jawab Mira gugup. "Dia siapa memangnya?" tanya Aira lagi. Mira sengaja tak langsung menjawab. Dia malah berjalan cepat menghampiri Alex, lalu menyalami pria matang yang terlihat menawan itu. "Apa kabarmu?" sapa Mira. "Beginilah, kau lihat sendiri," balaa Alex, dingin dan datar. Sesaat kemudian, pandangannya beralih pada Aira dan Enzo yang duduk tenang di stroller. "Selamat datang, Nona Aira. Mari ikut dengan saya. Klien kita sudah menunggu," ujar Alex, lembut dan sopan. Sungguh berbeda dengan saat dia berbicara dengan Mira. . Mira sendiri tampak kesal. Dia mendengkus pelan sambil menatap tajam ke arah Alex. Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukan. Alex malah mengarahkan Aira untuk mengikuti langkahnya sampai tiba di area parkir. Dia menunjuk ke sebuah mobil SUV hitam. "Ini kendaraan operasional kita selama di Bali," jelas Alex pada dua wanita beda usia tersebut. Setelah memastikan para penumpangnya
Manggala dan Aira pulang ke Jakarta, meninggalkan semua beban masalah dan masa lalu. Cynthia dibawa paksa oleh William untuk bertemu dengan putra semata wayang mereka. Entah bagaimana reaksi Cynthia saat bertemu pertama kali dengan Sammy. Aira hanya bisa mendoakan kebahagiaan bocah kecil itu. Sementara Helen sudah mengaku salah dan meminta maaf pada Aira. Wanita yang baru saja melepas masa lajangnya itu malah menegaskan untuk tidak mengusik hidup Aira lagi selamanya. "Kamu tahu, Ra. Frederick itu ada gila-gilanya," ucap Manggala tiba-tiba. Tak ada angin tak ada hujan, pria berambut gondrong itu tahu-tahu berkata demikian. "Kenapa begitu?" tanya Aira tanpa mengalihkan tatapannya dari jendela pesawat. Dia memperhatikan sekumpulan awan putih yang berarak, persis seperti kapas. "Dia pernah meretas ponsel William, menyebarkan data-data pribadi. Frederick juga sempat mengkloning nomor William, sehingga panggilan masuk apapun yang masuk ke dalam ponsel William, Frederick juga bisa
Aira terbangun ketika jam pada ponselnya menunjukkan pukul dua dini hari. Perlahan, dia memindahkan lengan Manggala yang melingkar di perut lalu beringsut turun dari ranjang. Tujuan Aira adalah mengambil air minum dari dalam kulkas mini yang terletak di sisi kabinet mini bar. Baru saja air yang diteguknya tersisa setengah, terdengar suara ketukan samar di balik pintu. "Malam-malam begini mau bertamu?" gumam Aira curiga. Sebab dirinya tak pernah merasa dekat atau berteman dengan kru di sini." Penuh rasa penasaran, Aira berjalan mengendap kemudian membuka pintunya. "Helen?" Aira terkejut luar biasa saat mendapati tamu tengah malam itu adalah wanita yang sudah dia abadikan pesta pernikahannya dalm foto-foto indah. "Mau apa ke sini?" Aira bersikap waspada pada wanita di hadapannya itu. Walau bagaimanapun, Helen pernah berbuat keji padanya. "Manggala ada di sini?" Helen balik bertanya. "Kenapa memangnya? Apa urusannya denganmu?" cecar Aira sedikit ketus. "Ah, itu ...." Helen t
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam saat Manggala dan Aira memasuki kamar yang khusus disediakan untuknya. Pasangan suami istri itu menyempatkan untuk melakukan panggilan video pada Kartika. Keduanya sama-sama merindukan Enzo dan ingin mengetahui keadaan putra semata wayang mereka. "Putramu sedang asyik bermain bersama sepupunya," ujar Kartika semringah. "Enzo baik-baik saja kan, Ma?" tanya Aira, sedangkan Manggala serius mendengarkan tanpa mengucapkan satu kata pun. Pria tampan itu malah menjauh agar sosoknya tak tertangkap kamera ponsel. "Dia makin pintar dan aktif, Ra. Mama gemas sekali melihatnya." Kartika tak dapat menyembunyikan rasa senangnya. "Tante Mira di mana?" tanya Aira lagi. "Sedang bermain bersama cucu-cucuku. Betah sekali dia," jawab Kartika seraya terkekeh. "Syukurlah." Aira mengembuskan napas lega. "Besok kami akan pulang, Ma. Penerbangan pagi." "Kami?" ulang Kartika. "Maksudnya bersama Alex?" "Bukan!" Aira langsung menggeleng. "Alex pulang ke Austr
Brandon mengajak Manggala dan Aira ke acara private party yang dia adakan khusus untuk orang-orang terdekat. Pesta itu diadakan di lantai atas villa yang disulap menjadi aula luas. Tampak beberapa pelayan berseragam menghampiri Brandon sesaat setelah melangkahkan kaki masuk ke dalam aula pesta. Sementara Manggala dan Aira patuh mengikuti langkah Brandon. "Selamat datang, Tuan. Nyonya Helen sudah menunggu," ucap salah seorang pelayan. "Hm ...." Brandon mengangguk, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. "Di mana istriku?" tanyanya. "Nyonya menunggu Anda di meja sebelah sana.." Pelayan itu mengulurkan tangan ke depan. "Oh, baiklah," ucap Brandon setelah menangkap sosok Helen di salah satu meja. Tak ada sorot bahagia atau berbinar saat menatap paras cantik Helen. Brandon menggerakkan tangan sebagai isyarat agar Manggala dan Aira mengikutinya. "Di mana putrimu, Brandon? Aku ingin berkenalan," celetuk Aira sambil mengekori Brandon. "Dia berada di Australia, tidak ikut terbang
"Kau bisa mengajak William. Pria itu yang menyembunyikan putramu di tempat aman," saran Aira.Cynthia terkesiap untuk sesaat, lalu menggeleng. "Aku tidak mau.""Kenapa?" "Aku takut dia membalas dendam padaku atas kesusahan yang telah ditimbulkan oleh ayah," elak Cynthia."Itu hanya prasangkamu saja. Aku bisa melihat betapa besarnya cinta yang masih William punya untukmu," bujuk Aira menenangkan. "A-apa menurutmu begitu?" Cynthia goyah. Dia terlihat gamang."Aku yakin begitu!" Aira mengangguk penuh percaya diri."Baiklah," putus Cynthia beberapa saat kemudian. Dia bangkit, berdiri menyambut uluran tangan Aira. Bersamaan dengan gedoran kencang dari arah pintu toilet."Cynthia! Jangan bertindak gila! Jangan sakiti istriku!" pekik sebuah suara di balik pintu. Kedua wanita itu yakin bahwa si pemilik suara itu adalah Manggala."Kau dengar, kan? Manggala sangat mengkhawatirkanmu." Cynthia tertawa getir. Sedangkan Aira hanya bisa terdiam. Tak tahu harus menjawab apa."Berbulan-bulan dia t
"Sadarlah, Cynthia!" Aira membuang serpihan kaca dan high heels ke sembarang arah, asalkan jauh dari jangkauan wanita yang mulai menggila itu. "Aku masih punya kedua tangan untuk menghancurkanmu!" Cynthia tak ingin menyerah. Dia menghambur ke arah Aira dan berniat mencekiknya. Akan tetapi, sebelum niat jahat itu terlaksana, Aira lebih dulu mencekal kedua pergelangan Cynthia. "Apa kau tidak ingin bertemu dengan anakmu, hah!" sentak Aira. "Anakku sudah mati!" elak Cynthia. "Dia tidak mati! Malah sebenarnya, dia ada di sini. Sammy berada di dekat sini." Kata-kata Aira mulai melunak. "Ayahmu berbohong tentang banyak hal padamu. Sejak mengetahui bahwa kau hamil anak William, Tuan Larson seolah berusaha menjauhkanmu darinya," tutur Aira perlahan. "William tak tahu kalau kau hamil saat dia meninggalkanmu. William melakukan itu bukan karena tak cinta. Namun, karena dia sangat kecewa pada ayahmu, sehingga William memutuskan untuk pergi," ungkap Aira. "Kau tahu darimana?" desis Cyn
Akhirnya pekerjaan Aira selesai juga, meskipun sulit bertahan dengan sikap profesionalnya di antara permasalahan Manggala dan Cynthia. Tadi, dirinya hampir hilang kendali ketika Cynthia seolah tak mau berpisah dari suaminya, padahal William sudah memaksa untuk mengikat wanita itu. Sayup-sayup Aira mendengar rengekan Cynthia saat hendak memasuki toilet wanita. Beberapa meter di depannya, tampak Cynthia tengah memohon-mohon pada seseorang melalui panggilan telepon. "Kau tidak bisa meninggalkanku sendiri di sini, Manggala. Kau tahu aku sudah tidak mencintai William lagi. Aku hanya mencintaimu," rengek wanita cantik yang kini tampak kacau itu. Cynthia baru menghentikan kata-katanya tatkala menyadari keberadaan Aira. "Kau ...," desisnya. Aira berusaha untuk tidak peduli. Dia membuka pintu kamar kecil dan melangkah masuk, seolah sosok Cynthia tak tertangkap oleh pandangannya. "Sedang apa kau di sini?" tanya Cynthia sinis. "Bekerja," jawab Aira singkat. Dia hendak memasuki salah satu
Aira menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia harus bisa mengenyahkan segala pikiran buruk. Mungkin itu semua adalah bagian dari rencana Manggala, batinnya. "Manggala tidak mungkin berkhianat. Tadi dia sudah meneleponku." Kalimat itu terus Aira ulang seperti mantra. "Sammy dan saya akan duduk di sebelah sana," pamit Alex dan ditanggapi dengan anggukan kepala oleh Aira. Sesaat kemudian, wanita cantik itu mengedarkan pandangan ke sekeliling lokasi pesta. Acara farewell party sekaligus first dance kedua mempelai diadakan di lahan kosong berupa padang rumput yang terletak di area selatan resort. Padang rumput tersebut berbatasan dengan tebing curam. Di bawah tebing, terdapat pemandangan indah berupa bibir pantai berbatu. Keindahan itu menjadi berkali lipat ketika di ujung horizon muncul semburat cahaya jingga yang menjadi penanda bahwa senja telah tiba. Tenda raksasa yang dilengkapi dengan dekorasi mewah nan elegan dan dihiasi ribuan bunga mawar putih, didirikan untuk m
"Aunty!" Teriakan Sammy membuat Aira terkejut. Konsentrasinya dalam mengambil foto-foto Cynthia pun buyar seketika. "Kenapa lagi, Nak?" tanyanya penuh kesabaran. "Ponselmu berbunyi," jawab Sammy seraya meraih sebuah telepon genggam dari dalam kopernya. "Ponsel siapa itu, Sammy?" Aira mengernyit waspada. "Itu bukan milikku " "Tapi, ayah tadi mengatakan jika ponsel ini berdering, maka aku harus memberikannya pada Aunty. Ayah tadi juga mengatakan kalau aku harus menunjukkan ponsel ini pada Aunty," jelas Sammy panjang lebar. Ragu-ragu, Aira mengulurkan tangan. Dia memutuskan untuk menerima ponsel yang disodorkan oleh Sammy. "Ha-halo?" sapa Aira terbata. "Sayang?" balas suara di seberang sana. Suara yang sudah sangat melekat dalam sanubari, bahkan alam bawah sadar Aira. "Ma-Manggala?" desisnya. "Iya, ini aku. Boleh aku minta tolong, Sayang?" tanya Manggala lembut. "Tentu! Ada apa, Ngga?" "Tolong kirim hasil foto-fotomu ke email yang akan kukirim sebentar lagi di nomor