Manggala melihat bocah laki-laki itu lekat-lekat. Baru sekali dia bertemu Sammy, tapi Manggala sudah merasakan keterikatan dengan bocah itu. "Sampai jumpa lagi, Sammy," ucap Manggala tulus. Dia memandang bocah itu sedikit lebih lama dan mematri wajah lucunya dalam ingatan, sebelum dia dan Aira meninggalkan gedung apartemen. "Ngga, kamu kalau lihat Sammy, mirip sama siapa?" celetuk Aira saat mereka sudah berada di dalam kabin pesawat. Sebentar lagi, pesawat akan tinggal landas. "Ehm, siapa, ya?" Manggala mengetuk-ngetukkan telunjuk di dagu, mencoba berpikir keras. "Masa kamu tidak tahu?" "Aku nyerah, Ra." Manggala menggeleng. "Mirip sama pacarmu," ujar Aira sedikit ketus. "Pacar?" Manggala mengernyit bingung. "Ah, Angga. Nggak usah pura-pura lupa. Pacarmu kan Cynthia!" Aira yang sewot, memukul pelan lengan suaminya, sampai Manggala meringis kesakitan. "Hah? Mana mungkin Sammy mirip Cynthia?" Manggala tergelak memandang raut merajuk Aira. Istrinya itu tampak begitu men
"Sudah, jangan bertengkar! Aira dan Enzo baru saja datang. Kasihan, mereka pasti lelah," lerai Kartika. "Biar Aira saja yang masuk, Ma. Manggala suruh pulang!" Kata-kata Sinta terdengar begitu keras di telinga. "Kak!" hardik Aira. "Tolong, hargai suamiku!" "Apa? Hargai kamu bilang?" geram Sinta. "Kamu boleh cinta, tapi jangan bodoh, Ra. Manggala sudah mengkhianatimu! Apa kamu lupa? Di saat kamu hancur, siapa yang mendampingimu? Tante Mira, dan kami, keluargamu!" sentaknya. Suara Sinta yang nyaring membuat putrinya yang baru berusia 6 bulan, menangis terkejut. "Tolong, berhentilah kalian!" tegur Kartika, berusaha untuk menengahi. "Kita masuk dulu, dan bicarakan baik-baik. Jangan seperti ini," tuturnya. "Pokoknya kalau sampai Aira ikut suaminya, aku akan sangat kecewa!" sela Sinta. Dia buru-buru masuk, selain karena marah dengan Aira, bayi Sinta juga menangis dan rewel. Kini, tinggallah tiga orang itu di teras. Bersama Enzo yang tengah asyik di gendongan Kartika. "Maaf ya,
"Selamat datang di kamarku, Sayang," ucap Manggala. "Selama kita pacaran, kamu tidak pernah mengajakku masuk ke kamarmu, Ngga," gumam Aira sambil menyapu pandangan ke setiap sudut ruangan. "Waktu itu, aku takut khilaf, Ra," gurau Manggala yang disambut dengan tawa Aira. Kamar Manggala cukup luas dan nyaman. Seluruh perabotnya berdesain simpel tapi cukup estetik. Di beberapa tempat, terdapat aksesoris ruangan berupa patung-patung kayu berukuran kecil. Dinding kamar juga dihiasi lukisan etnis dan topeng khas yang mencerminkan suku tertentu di Indonesia. "Ini kudapat dari tetua suku Badui Dalam." Manggala mengarahkan telunjuk ke badik yang terpajang di dinding, tepat di atas meja konsul yang terletak di sudut kamar. "Kamu benar-benar petualang sejati. Termasuk petualang wanita." Aira terkikik geli. Mendengar hal itu, sontak Manggala terdiam. Sorot matanya memancarkan penyesalan yang dalam. "Maaf, Ngga. Aku tidak bermaksud ...." "Tidak apa-apa, Sayang. Memang kenyataan
"Kapan kita pindah dari sini dan menyewa tempat sendiri?" Tak ada angin, tak ada hujan, Manggala tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu dari sang istri. "Kenapa, Sayang? Kamu tidak kerasan di sini?" Manggala balas bertanya. "Kurasa, aku lebih nyaman berdua denganmu saja," timpal Aira lirih. Manggala menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku punya apartemen pribadi. Tapi, kupikir-pikir lebih baik kamu di sini. Akan ada banyak orang yang membantumu merawat Enzo. Kalau di apartemen, kamu akan sendirian, Sayang. Selama beberapa minggu ke depan, aku akan lebih banyak berada di luar rumah," tuturnya lembut. "Tidak apa-apa. Itu lebih baik." Aira menunduk dan mulai terisak. "Lho, kok nangis?" Manggala yang terheran-heran melihat sikap Aira, segera mengangkat dagu sang istri tercinta sambil menatapnya lekat. "Ada apa? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" terkanya. Awalnya Aira menggeleng. Namun, setelah menimbang-nimbang dalam hati , dia pun mengangguk. "Papa Bayu memintak
"Itu tidak mungkin." Brandon terkekeh."Kenapa tidak?" desak Helen."Pertama, kau sudah menolak dan menghinaku dulu. Kedua, aku bukan pilihan terakhirmu saat pria yang kaucintai tidak memiliki perasaan yang sama. Dia bahkan mengusirmu agar menjauh," jelas Brandon."Tidak, bukan itu!" elak Helen. "Sudah lama aku memikirkan tentang kita!""Kau bahkan berpura-pura tak mengenalku saat dulu aku memasuki ruangan Manggala!""Itu karena ....""Ada Manggala di sana, dan kau tidak ingin kehilangan muka. Iya, kan? Kau selalu ingin tampil sempurna di depan pria itu. Namun, sayangnya, dia tak pernah melihat ke arahmu," potong Brandon.."Bisakah kita tidak membicarakan pria lain?" protes Helen. "Aku ingin kita fokus pada masalah kita.""Pria lain itu sekarang sudah menjadi temanku. Dan masalah pernikahan, kukira kita cukup berbagi hak asuh saja, tanpa perlu menikah," saran Brandon."Kenapa kau berubah? Apa yang membuatmu berubah?" Helen tampak begitu kecewa melihat sikap acuh tak acuh Brandon."Wak
"Maaf, Pa. Bukannya saya melawan, tapi saya tidak ingin pergi tanpa sepengetahuan Manggala. Saya tidak mau membuatnya terpuruk lagi. Kalau memang papa menghendaki saya keluar dari rumah ini, maka izinkan saya menunggu suami saya sampai dia pulang kerja untuk berpamitan padanya," tutur Aira panjang lebar. Bayu tak bisa berkata-kata. Jauh di lubuk hati, dia membenarkan alasan Aira. Bayu membayangkan betapa sakitnya Manggala jika sang putra tiba-tiba pulang dan tak mendapati Aira di rumah. Bisa saja Manggala kembali menggila seperti dulu. Namun, di sisi lain, Bayu belum bisa menerima Aira yang dulu pernah menyakiti Manggala. "Kamu pernah menghancurkan hidup putraku," gumam Bayu kesal. "Manggala juga pernah menghancurkan hidupku!" Batin Aira berteriak. Akan tetapi, dia tak kuasa mengungkapkannya pada Bayu. Baginya, itu adalah bagian dari aib suami yang harus dia tutupi. "Saya akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahan saya," tegas Aira tanpa ragu. "Apa saja?" Bayu menyeringa
Kedua adik ipar Aira berlari mendekati sang ayah yang tak berdaya dengan tubuh menegang di lantai. "Ada apa ini? Apa yang terjadi?" seru Aira panik. "Ayah punya riwayat penyakit jantung," jawab Arka dengan wajah pias. "Ya, Tuhan!" Aira menutup mulut saking terkejutnya. Namun, sesaat kemudian, akal sehatnya kembali berfungsi. Buru-buru dia menghubungi layanan darurat dan ambulans. "Ayah tidak bernapas!" pekik adik bungsu Manggala. "Apa?" Tanpa sadar, Aira melempar ponsel begitu saja. Dia mencoba untuk membantu sang ayah mertua dengan pengetahuan yang pernah dia dapatkan, yaitu memakai teknik CPR. Aira melonggarkan pakaian Bayu dengan cara membuka kancing depan polo shirtnya. Setelah itu, sekuat tenaga dirinya menekan dada kiri Bayu menggunakan kedua tangan sampai berkali-kali. "Apa tidak sakit, Kak?" gumam Arka tak tega, melihat sang ayah ditekan sekuat tenaga di bagian dada. "Tenang saja, aku sudah ikut pelatihan resusitasi jantung dan paru berkali-kali," sahut Aira jum
Semenjak kedatangan tamu tak diundang, Aira terus mengurung diri dalam kamar. Meskipun demikian, dia tetap memantau kondisi Bayu sambil menimang Enzo. Lewat video call, Aira dapat melihat secara jelas sang mertua yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, ditemani oleh Imelda. "Papa Bayumu sudah siuman, Ra. Dia juga sudah kuat memegang tangan Bunda," tutur Imelda. Aira tersenyum penuh haru. Sempat disekanya sebulir air bening yang jatuh di sudut mata. Dia teringat awal mula memanggil nama ayah Manggala itu dengan sebutan Papa Bayu. Aira tak punya sosok seorang ayah. Dia kehilangan figur itu sejak SMP. Ayah kandung Aira meninggal dunia karena sakit. Hingga saat duduk di bangku kuliah dan menjalin kisah cinta bersama Manggala, kekasihnya itu memperkenalkan Aira pada Bayu. Gadis cantik itu mendapatkan sosok ayah pada Bayu. Setiap kali memandang raut teduh pria yang berwajah mirip Manggala itu, Aira selalu teringat pada papa kandungnya. "Apa boleh, saya memanggil om deng
"Hei, Manggala. Kau datang?" sapa Cynthia dengan suara yang sengaja dibuat manja dan menggoda. "Ya, bersama Aira. Dia sedang ke toilet." Manggala mundur beberapa langkah, berusaha menjaga jarak dari wanita yang sampai detik itu masih menyimpan rasa cinta untuknya. "Hm, anakmu tampan," sanjung Cynthia sambil iseng menyentuh pipi gembul Enzo. "Terima kasih," ucap Manggala singkat. "Di mana William dan Sammy?" tanyanya mengalihkan perhatian Cynthia. "Sedang bersiap bersama kru event organizer," jawab Cynthia dengan tatapan tak lepas dari wajah tampan Manggala. "Kalau begitu, aku permisi hendak menyusul Aira ke toilet," pamit Manggala. Sejak awal, dia merasa tak nyaman dengan interaksi Cynthia. Sebisa mungkin, Manggala akan berusaha mati-matian untuk menjauh dari ibunda Sammy itu. "Minggu depan adalah sidang pertama ayahku!" seru Cynthia, mencegah langkah Manggala agar tak buru-buru menjauh. "Baguslah!" sahut Manggala singkat. "Banyak saksi baru yang memberatkan ayahku. Ditambah m
Aira mengajak Catherine ke ruang tamu. Untuk menuju ke sana, mereka harus melewati taman belakang. Masih ada Ibra dan Arka yang betah nongkrong di bangku taman. "Kak," sapa Arka dengan sorot penuh arti. Aira yang memahami maksud adik iparnya, langsung tersenyum lebar. "Cat, kenalkan, mereka adik-adikku yang tampan!" Merasa dirinya dipanggil, Catherine yang awalnya berjalan dengan tatapan lurus ke depan sambil menggendong Enzo, segera menoleh. Sementara Ratri yang berada di gendongan Aira, mulai rewel. Bayi cantik itu merengek ingin bersama ibunya. "Ibra, Arka. Kalian berdua mengobrol dulu saja dengan Catherine. Aku mau mengantar Ratri ke ibunya," pamit Aira. Dia langsung pergi tanpa menunggu tanggapan ketiga orang itu. Beberapa langkah menjauh, Aira bisa mendengar gelak tawa dan obrolan ringan yang berasal dari Catherine beserta dua adik iparnya. Sesekali, Enzo ikut berceloteh. Aira pun tersenyum lega. Ternyata, tak sulit bagi mereka bertiga untuk saling mengakrabkan di
"Hah, menikah?" Aira terkejut luar biasa. "Bukankah Tante Mira memutuskan untuk melajang seumur hidup?" serunya.Teringat oleh Aira, dulu sang tante mengikrarkan bahwa dirinya tidak akan menikah. Alasannya hanya satu, yaitu ribet. Namun, siapa sangka jika hari ini, prinsip itu roboh."Coba tebak, siapa calonnya?" sela Kartika tak kalah antusias."Alex!" sahut Manggala enteng. "Lho, kok tahu?" Kartika melongo."Kapan hari kami melihat Tante Mira dilamar oleh Alex," beber Manggala sambil tersenyum geli."Ya, ampun!" Aira menepuk dahi."Jadi, kedatangan kami kemari adalah mengundang keluarga Manggala untuk hadir dalam resepsi sederhana yang akan diadakan di rumah," tutur Kartika."Tentu, Jeng. Dengan senang hati, kami akan hadir!" balas Imelda tak kalah antusias."Syukurlah!" Kartika berdiri memeluk Imelda, kemudian menyalami Bayu yang lebih banyak diam dan hanya senyum-senyum saja."Eh, tunggu! Enzo dan Ratri ke mana?" Saking hebohnya, Aira sampai melupakan keberadaan putra semata waya
Manggala menahan napas. Menelan ludah pun terasa sulit. Tak disangka Aira bersedia menuruti keinginan gilanya. "Ra, sudah, Ra. Kamu menang," desis Manggala saat Aira terus meliukkan tubuh yang kini hanya terbalut pakaian dalam. "Nanggung, Sayang." Rupanya Aira terbawa permainan sendiri. Dia begitu menghayati hingga tanpa sadar kini hanya tersisa segitiga hitam berenda yang menutupi inti tubuhnya. "Oke, stop!" Manggala bangkit dari ranjang dan menerjang Aira. Dicumbuinya sang istri dengan sedikit kasar. Manggala lalu mendudukkan Aira di sofa, mengungkung dan menyerangnya dengan ciuman. Ketika Manggala hendak melepas segitiga berenda itu, Aira tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan suaminya. "Tunggu!" pinta Aira. "Lepas, Ra," geram Manggala yang sudah tak dapat menahan gairah. "Kamu masih marah, kan? Masih cemburu?" cecar Aira. Manggala menggeleng lemah. "Aku memaafkanmu, Sayang. Sekarang, ayo kita lanjut!" Manggala mendorong lembut tubuh Aira hingga berbaring di sofa. Dia l
"Sayang, kamu marah, ya?" Aira menarik-narik ujung lengan T-shirt yang dikenakan Manggala. "Sungguh aku tidak tahu kalau Hilda akan mengajakku ke rumah itu," beber Aira membela diri. Manggala masih diam, meskipun jemari Aira sudah menggerayangi bagian-bagian sensitif di tubuh tegapnya. "Sayang, please. Jangan diamkan aku. Aku tak kuat," rayu Aira tak putus asa. Kini, dia mengalungkan tangan di leher Manggala, lalu menariknya pelan. Dikecupnya leher kokoh itu berkali-kali. "Aira, geli!" hardik Manggala kesal. Dia jadi tidak bisa berkonsentrasi mengendarai mobil. Namun, Aira seakan tak menghiraukan protes suaminya. Dia malah meninggalkan bekas merah keunguan di leher bawah Manggala. "Astaga!" Manggala menyerah. Dia tak mau membahayakan istrinya akibat tidak bisa konsentrasi saat mengemudi. Dengan penuh emosi, Manggala membelokkan kemudi di sebuah hotel yang kebetulan dia lintasi. "Lho, Ngga? Kok belok ke hotel? Mau ngapain?" cecar Aira grogi. "Menurutmu?" sahut Man
"Tadi rencananya Tante mau mengajak kamu makan pagi menjelang siang bersama-sama, tapi Hilda buru-buru berpamitan pulang," ujar Andini. "Oh, iya, Bu. Kebetulan suami saya juga barusan menelepon. Saya harus cepat-cepat kembali ke kantor," pamit Aira. "Iya, tentu! Tapi, sebelum kamu pulang, tolong bawa ini untuk makan siang kalian. Ini untuk Hilda dan suaminya juga." Andini menyodorkan lima kotak makanan pada Aira. "Banyak banget, Tante?" Sambil berkata demikian, Hilda langsung meraih kotak-kotak makanan yang ditata dalam paperbag itu. "Biasanya para pria porsi makannya lebih banyak," timpal Andini seraya tertawa. "Ah, Tante memang yang terbaik!" sanjung Hilda. Dipeluknya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tak lupa ciuman pipi kanan dan kiri. Begitu pula Aira. Dia memeluk Andini cukup lama. Ada rasa haru terselip di dada. Bagaimanapun, sejak menjadi menantu, ibunda Jati itu selalu bersikap baik dan lembut padanya. "Sering-sering main ke sini ya, Nak," pinta
Aira berkata sejujurnya. Dia sudah melepaskan masa lalu. Tak ada lagi alasan baginya untuk melihat ke belakang. Dia sudah sangat bahagia bersama Manggala, terlepas dari permasalahan besar yang pernah menimpa sang suami dan dirinya. Jati pun sepertinya tak perlu tahu tentang hal itu. Apalagi Manggala berhasil menyembunyikan insiden besar kecelakaan mereka. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi dalam kemelut rumah tangga mereka selain keluarga dekat Aira dan Manggala. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Ra," ucap Jati dengan bibir bergetar. "Aku mendapat hukumanku bertahun-tahun lamanya." "Apa?" Aira mengernyit tak mengerti. "Seperti yang kubilang tadi, kukira aku bahagia dengan pilihanku, yaitu Senja. Namun, nyatanya, setelah aku melihat wajah sedihmu di hari perceraian kita, aku merasa gamang," ungkap Jati. "Sejak hari itu, aku merasa ada sudut hatiku yang kosong, ikut terbawa pergi bersamamu. Hal itu mempengaruhi kehidupan rumah tanggaku bersama Senja. Semua jadi terasa ... hambar.
"Eh, ada Aira?" Jati terkesiap menangkap sosok sang mantan istri yang berjarak beberapa meter dari hadapannya itu. "Halo, apa kabar?" Aira melambaikan tangan, berusaha menyamarkan sikap canggung yang tak biasa. "Kok, kamu bisa ada di sini, Ra?" tanya Jati terheran-heran. Dia seolah tak percaya melihat penampakan Aira di rumah yang pernah mereka tinggali bersama itu. "Aku yang mengajaknya ke sini, Mas. Kebetulan, suami Mbak Aira berteman dekat dengan Mas Gading," jelas Hilda. "Oh, begitu." Jati tersenyum kaku sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eh, Ibu sampai lupa!" Andini menepuk pelan dahinya. "Bisa-bisanya sedari tadi Ibu mengajak kalian bicara, tanpa suguhan apa-apa!" "Eh, tidak usah, Bu. Sebentar lagi, kami juga harus kembali ke kantor. Iya kan, Hil?" Aira mengerjapkan mata berkali-kali sebagai isyarat agar Hilda mengiyakan kalimatnya. Namun, sayang. Wanita cantik berambut pendek itu sama sekali tak paham sinyal rahasia yang dikirimkan oleh Aira kepadanya.
Ada rasa yang tak bisa Aira artikan saat memasuki rumah yang pernah dia huni selama menikah dengan Jati itu. Setiap sudut mengingatkannya akan kenangan buruk pernikahannya bersama suami pertamanya itu. Air mata Aira sudah mengambang di pelupuk ketika terdengar langkah kaki yang berasal dari ruang tengah. Spontan Aira dan Hilda menoleh ke arah suara. "Tante! Lihat siapa yang kuajak kemari!" seru Hilda antusias. Sosok yang baru memasuki ruang tamu itu berdiri terpaku sembari menatap nanar Aira. "Hai, Tante Andini. Apa kabar?" sapa Aira kikuk. Buliran air bening yang sedari tadi dia tahan, kini lolos sudah. Hati Aira seakan tercubit saat melihat wanita yang pernah menjadi mertuanya itu. Andini tampak lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. Walau memang kecantikannya tak pernah pudar. Sikap anggun wanita paruh baya itu juga tetap melekat dalam setiap lakunya. "Kamu Aira? Benar-benar Aira, kan?" tanya Andini dengan bibir bergetar. "Iya, Tante." Ragu-ragu Aira hendak