Tidak terasa Dita sudah bekerja selama 3 bulan di Super store. Dita membawa banyak hal baik. Karena kesungguhannya dalam bekerja.
Dika duduk di ruangannya, terfokus pada layar komputer yang menampilkan hasil penjualan bulan ini. Senyumnya mengembang, penuh kepuasan. Sejak kedatangan Dita ke perusahaan, tampaknya ada perubahan positif yang terjadi, terutama dalam pencapaian penjualan.
Penghasilan bulan ini menunjukkan peningkatan yang signifikan, dan Dika tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Dia merasa bangga atas kontribusi Dita dan tim marketing dalam mencapai pencapaian tersebut.Dari sanalah Dika memutuskan untuk berbicara langsung dengan Dita, seakan tak bisa menahan hasratnya untuk memberi apresiasi. Tanpa ragu, dia meninggalkan ruangannya dan menuju ke lokasi supermarket. Semua karyawan terkejut melihatnya, tetapi Dika dengan tegas mengatakan bahwa dia hanya ingin berbicara dengan Dita pada saat ini.Bertemu di tengah ruangan, Dika melihat Dita."Tolong, ikut aku sebentar," ucap Dika dengan suara berat. Dika memilih untuk berbicara secara pribadi dengan Dita. Maria tanpa sengaja melihat Dita pergi bersama Dika dari sudut ruangan.
Sebuah kilatan tak nyaman menyapu wajahnya ketika melihat Dika dan Dita berbicara hanya berdua saja. Liza juga jarang sekali bekerja dengan Dita walaupun berada di tim yang sama. Pandangan Liza, langsung berubah menjadi tidak suka saat melihat Dika tampak senang bersama Dita.
Liza memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut, penasaran tentang apa yang mereka bicarakan. Dengan langkah cepat, dia mencoba mengikuti mereka, berusaha untuk menguping pembicaraan mereka yang berlangsung di sudut supermarket. Namun, usahanya digagalkan oleh beberapa orang yang menghalanginya. Beberapa karyawan sibuk dengan tugas masing-masing, menghalangi langkah Liza untuk mendekati tempat Dita dan Dika berbicara. Dia terpaksa menyimpan rasa penasaran dan kekesalannya sendiri, tanpa dapat mengetahui apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh Dita dan Dika.***
Di antara rak-rak yang dipenuhi barang-barang di supermarket, Liza duduk di meja kerjanya dengan pandangan yang penuh kebencian. Di dalam benaknya, dia merencanakan cara-cara licik untuk mencemarkan nama baik Dita, membuat hidupnya penuh penderitaan, dan pada akhirnya, mencoba menjatuhkannya dari posisinya di supermarket ini.
Kecantikan Dita memang selalu menjadi pemicu iri hatinya sejak awal. Dia bersusah payah berselingkuh dengan Rizal, mantan suami Dita, hanya untuk membuat hidup Dita menjadi penuh kepahitan. Namun, sekarang, dia harus kembali menghadapi keberadaan Dita yang ternyata mendapatkan perhatian dari bos mereka.Dan dia menemukan ide dalam sekejap. Hari itu, dia mulai menyebarkan hal apa pun yang berkaitan dengan Dita. Sama seperti yang dilakukan oleh para tetangga Dita di kampung, sekarang Maria yang menyebarkan gosip buruk itu kepada rekan kerjanya."Kamu tahu kan, Dita dulu itu perempuan kampung, gagal jadi istri," bisik Liza kepada teman-temannya di kantin.
"Serius? Kenapa ya?" tanya seorang teman, mata mereka membelalak menahan rasa ingin tahu."Diceraikan suaminya, katanya. Bahkan suaminya nggak mau menyentuh Dita itu. Pantas aja, lihat saja wajahnya, pasti ada sesuatu yang nggak beres," lanjut Liza dengan nada merendahkan.Gosip itu mulai menyebar seperti api liar di hutan kering. Sebagian karyawan yang mendengar cerita itu terkejut."Nggak heran, sih, dia masih sendiri. Suaminya nggak sudi menyentuh, gimana mau bahagia," komentar seorang karyawan.Namun, terdengar juga suara-suara bisikan kecil yang membela Dita, mungkin karena mereka sudah mengenal Dita sebagai perempuan yang baik selama bekerja di supermarket ini. "Si Liza itu, mulutnya kok jahat banget gitu si?" tanya seorang yang sebenarnya juga mengagumi Dita sebagai orang yang loyal pada perusahaan.Namun pengaruh yang disebarkan oleh Liza lebih kuat daripada mereka. Liza tetap saja menjelek-jelekkan kehidupan Dita seolah dia tidak pantas mendapatkan lelaki manapun."Enak saja, kamu perempuan tidak berguna, bisa mendapatkan perhatian lebih dari Dika!"
***
Beberapa menit setelah itu, Dita melangkah dengan hati-hati menuju area tugasnya. Langkahnya pelan dan matanya menatap sekitar sambil tersenyum kepada rekan kerjanya.
Tim kerja sudah berkumpul di depan rak-rak yang dipenuhi dengan produk-produk yang harus mereka atur dengan rapi. Dita bergabung dengan mereka, tetapi ketika dia memandang wajah-wajah rekan-rekannya, dia bisa merasakan atmosfer yang berubah. Pandangan mereka sudah tentu sangat berbeda dari hari sebelumnya. Dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang aneh di sini. Ada sesuatu yang terjadi sehingga membuat semua orang memandangnya dengan pandangan aneh seperti itu seolah dia sudah melakukan kejahatan yang tidak termaafkan.Liza dan sebagian orang yang tadi ikut menyebarkan gosip pura-pura sibuk, seolah tidak pernah membicarakan hal apa pun tentang Dita. Mereka sibuk berbicara tentang hal-hal sepele, tersenyum seakan-akan tak ada sesuatu yang terjadi beberapa saat lalu.Dita berusaha untuk mengabaikan pandangan sinis. Dia tahu bahwa ini adalah hasil dari usaha Liza untuk menjatuhkannya. Dalam hati, Dita menghela nafas panjang, mencoba memfokuskan pikirannya pada tugas."Dasar, wanita itu!" ucap Dita dengan suara yang tetap tenang meski hatinya berdebar. Suasana di supermarket masih terasa tegang. Liza, dengan senyuman licik, merencanakan serangan berikutnya. Ketika Dita tengah sibuk mengatur barang-barang di rak, Liza menyusup dengan hati-hati ke area mesin kasir.Liza berpura-pura sedang mencari sesuatu di dekat mesin kasir. Dengan cekatan, dia meletakkan beberapa uang di lantai, dekat kakinya.Dita yang fokus pada pekerjaannya, tanpa sengaja melirik ke arah Liza yang berdiri di sebelah mesin kasir. Matanya memperhatikan uang-uang yang berhamburan di lantai, dan tanpa berpikir panjang untuk memungut semua uang itu dan merapikannya kembali ke mesin kasir.Dengan hati-hati, Dita menundukkan tubuhnya untuk mengambil uang yang berserakan. Tiba-tiba, Liza berteriak, menarik perhatian semua orang karena suara teriakannya."Hei, lihat itu! Dita ambil uang dari mesin kasir!" seru Liza dengan nada tinggi, seolah menemukan bukti kejahatan yang besar.Rekan-rekan Dita terkejut dan segera berpaling ke arah mesin kasir. Dita, yang masih membungkukkan tubuhnya, terkejut oleh tuduhan yang dilemparkan ke arahnya. Liza dengan lincah menunjuk jari ke arah Dita, memperparah situasi. "Lihat, dia mengambil uangnya! Dia mencuri dari mesin kasir!""Lihat, dia mengambil uangnya! Dia mencuri dari mesin kasir!"Dita bangkit dengan cepat, seraya mencoba menjelaskan bahwa itu adalah kebetulan dan dia hanya mencoba merapikan uang yang jatuh. Namun, sorakan dan bisikan-bisikan di antara rekan-rekannya semakin memperparah keadaan.Meskipun Dita berusaha membela diri, tuduhan itu membuatnya terlihat bersalah di mata sebagian besar teman kerjanya. Liza, dengan senyuman licik di wajahnya, memanfaatkan kesempatan untuk menjatuhkan Dita lebih dalam lagi. "Tidak bisa! Kalau harus berbicara dengan bos mengenai hal ini," ucap salah satu rekan kerjanya dan melaporkan situasi itu kepada bos mereka.Dengan wajah yang berat, Dika memanggil Dita ke dalam ruangan kecil tempatnya biasa mengurus berbagai masalah karyawan. Dita mengikutinya dengan langkah gemetar, hatinya penuh rasa gelisah. Ruangan itu terasa begitu kecil dan udara juga terasa lebih berat dan sesak.Dika duduk di meja kecilnya, menatap Dita dengan tatapan penuh pertanyaan. Sejenak, r
Dita bangkit dengan cepat, seraya mencoba menjelaskan bahwa itu adalah kebetulan dan dia hanya mencoba merapikan uang yang jatuh. Namun, sorakan dan bisikan-bisikan di antara rekan-rekannya semakin memperparah keadaan.Meskipun Dita berusaha membela diri, tuduhan itu membuatnya terlihat bersalah di mata sebagian besar teman kerjanya. Liza, dengan senyuman licik di wajahnya, memanfaatkan kesempatan untuk menjatuhkan Dita lebih dalam lagi."Tidak bisa! Kalau harus berbicara dengan bos mengenai hal ini," ucap salah satu rekan kerjanya dan melaporkan situasi itu kepada bos mereka.Dengan wajah yang berat, Dika memanggil Dita ke dalam ruangan kecil tempatnya biasa mengurus berbagai masalah karyawan. Dita mengikutinya dengan langkah gemetar, hatinya penuh rasa gelisah. Ruangan itu terasa begitu kecil dan udara juga terasa lebih berat dan sesak.Dika duduk di meja kecilnya, menatap Dita dengan tatapan penuh pertanyaan. Sejenak, ruangan itu hanya diisi dengan suara langkah dan detik-detik wak
Dita melangkah mundur, memandang dua potongan pakaian yang telah ia pilih. Blus lavender dengan leher tinggi dan rok hitam panjang yang merayap ke lantai. Ia memutuskan untuk mencoba kombinasi itu. Saat ia mengenakan pakaian tersebut, Dita merasa seperti bintang yang bersinar di langit malam.Kemudian, ia memeriksa dirinya di cermin.Blus satin melingkari lehernya dengan lembut, memberikan sentuhan romantis. Rok hitam panjang menyorot anggunnya, menciptakan siluet yang mempesona. Dita tersenyum puas, namun kegelisahannya masih menyelinap di dalam hatinya.Dia membuka lemari lagi dan melirik dress hitam yang selalu menjadi andalannya. Meski sederhana, dress itu selalu berhasil menonjolkan kecantikan alaminya. Setetes keringat dingin mengelilingi keningnya saat dia memutuskan untuk tetap dengan pilihan pertamanya.Ponsel Dita berdering dengan lembut, menciptakan getaran kecil di udara. Pandangannya langsung tertuju pada ponsel yang tergeletak di a
Dita mengelap bibirnya dengan serbet yang halus. Matanya melirik ke arah Dika. Dika, dengan wajah tenangnya, sedang meneguk jus dengan tenang, seperti tak terlalu banyak pikiran yang mengganggunya."Ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan malam ini, Pak Dika?"Dika membalas senyuman Dita dengan santai, kemudian berkata, "Ya, sebenarnya ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan. Salah satunya adalah tentang peningkatan gaji untukmu."Sorot wajah Dita berubah, pipinya sedikit kemerahan."Tapi, saya baru bekerja di sini selama lima bulan, Pak," ujarnya dengan nada yang masih mencerminkan rasa tidak percaya.Dika tertawa ringan."Ya, tapi peranmu di sini sungguh berarti bagi perusahaan kita, Dita. Kamu telah berkontribusi besar dalam meningkatkan penjualan barang-barang kita dalam sebulan terakhir."Senyuman merekah di wajah Dita, dia merasa bangga dan dihargai."Terima kasih, Pak Dika. Say
"Eh, tadi lihat Dita, 'kan? Itu loh istrinya si Rizal!" bisik seorang wanita paruh baya ketika Dita baru saja melewati toko kelontong tempat gerombolan ibu-ibu itu menggosip. "Iya, iya, yang katanya udah jadi istri, tapi masih gatal itu kan!” timpal yang lain dengan nada berbisik. Padahal, Dita masih bisa mendengarnya dengan jelas. “Emangnya dia pikir dengan tubuhnya yang kayak gitu bisa dapat suami yang lebih daripada Rizal? Rizal kan sarjana!" Bisikan-bisikan lainnya menimpali seperti suara lebah. Mereka sibuk menggunjingkan dirinya seolah ia adalah makhluk paling hina di dunia. Dita menghela napas panjang, berusaha meredam amarahnya. Dia tahu betul bahwa kecantikan bukanlah jaminan kebahagiaan. Namun, hatinya terasa tertusuk ketika mendengar kata-kata kasar yang dilemparkan oleh ibu-ibu tersebut. "Kayaknya dia memang bebal deh, mertuanya aja kesel mulu sama dia. Rugi ya si Rizal!" ujar ibu lainnya sambil menyisir rambutnya dengan jari-jemarinya yang penuh perhiasan. Dita
Dita tidak menyerah begitu saja, Dita mencoba bersabar dan mengabaikan perangai buruk mertuanya. Dengan berat hati Dita ke dapur dan memasak seadanya dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Kamu itu dari dulu memang bukan mantu yang ibu inginkan. Entah kenapa Rizal mau menikahimu. Wanita tidak berpendidikan dan tidak memiliki karir. Bodoh sekali.” Dita hanya menahan isakan dan rasa sesaknya di dada. Ia kira dengan mengalihkan diri memasak, bisa menghentikan hinaan dari mertuanya. “Selama ini kamu tuh hanya dianggap budak saja. Tidak lebih. Apalagi kamu anak yatim piatu. Malu ibu kalau harus mengenalkan kamu ke luar sana.” “Maaf bu..” gumam Dita sambil mematikan kompornya. Dita tidak sempat lagi merasakan masakannya, karena rasanya dia sudah lelah dan muak mendengar mertuanya menjelek jelekan dirinya. “Sudah sana ke kamar. Ibu lapar! Ibu udah enek liat muka kamu di rumah ini.” Dita pun bergegas ke kamar dan menutup pintu kamar. Dita menatap ke foto pernikahannya dengan Rizal
‘Selama ini kamu cuma jadi benalu!’ Ucapan ibu mertua masih terngiang-ngiang di kepala Dita meski sudah beberapa waktu ia pindah ke sebuah kontrakan di kampung sebelah. Tidak hanya memergoki suaminya berselingkuh, ia juga diusir dari rumah dengan begitu kejam. Tapi Dita tidak ingin berlarut dalam kesedihan lebih lama. Dengan uang tabungan yang tidak seberapa, Dita mencoba mencari peruntungannya sebagai seorang reseller untuk bertahan hidup. Namun, meski Dita sudah pindah ke kampung sebelah, cibiran soal dirinya yang diusir mertua karena dicap sebagai istri yang nakal pun tetap berembus ke kampung ini. Tiba-tiba, suara pintu diketuk dengan kasar terdengar jelas dari luar, membuat lamunan Dita langsung buyar. “Sebentar!” seru Dita sambil berlari kecil untuk membuka pintu karena siapapun yang mengetuknya, tampak sangat tidak sabaran. “Heh! Dasar perempuan murahan!” Dita langsung tersentak mundur mendengar umpatan itu saat dirinya baru saja membuka pintu. “Kamu goda suami sa
Dita membuka pintu dengan ragu dan melihat sosok Dika yang tersenyum kecil. Dita pun membuka pintu lebih lebar lagi. “Saya mau tanya-tanya tentang rumah sewa di sekitar sini,” katanya. Dita tampak sedikit tidak nyaman. Matanya gelisah memandang sekitar. Ia takut hal ini akan menjadi bahan gunjingan tetangga lagi. “Maaf, saya juga tidak tahu banyak tentang wilayah di sini.” Dita menolak dengan halus. “Mungkin saya memang datang di waktu yang tidak tepat. Maaf ya, Dita.” Tanpa menunggu waktu lebih lama, Dika pun berpamitan. Tapi sebelum itu, ia memberikan kartu namanya. Dita memandang kartu itu lamat-lamat. Di sana tertulis, Dika adalah manajer minimarket di kota. ‘Mungkin ini bisa menjadi jalan untukku keluar dari kampung ini…’ batinnya sambil menggenggam erat kartu nama itu. Setelah berpikir semalaman, Dita pun bertekad untuk ke kota. "Sebentar lagi, aku akan meninggalkan tempat ini," gumam Dita sambil menatap lirikan matahari pagi yang menyapa melalui tirai tipis. Semak
Dita mengelap bibirnya dengan serbet yang halus. Matanya melirik ke arah Dika. Dika, dengan wajah tenangnya, sedang meneguk jus dengan tenang, seperti tak terlalu banyak pikiran yang mengganggunya."Ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan malam ini, Pak Dika?"Dika membalas senyuman Dita dengan santai, kemudian berkata, "Ya, sebenarnya ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan. Salah satunya adalah tentang peningkatan gaji untukmu."Sorot wajah Dita berubah, pipinya sedikit kemerahan."Tapi, saya baru bekerja di sini selama lima bulan, Pak," ujarnya dengan nada yang masih mencerminkan rasa tidak percaya.Dika tertawa ringan."Ya, tapi peranmu di sini sungguh berarti bagi perusahaan kita, Dita. Kamu telah berkontribusi besar dalam meningkatkan penjualan barang-barang kita dalam sebulan terakhir."Senyuman merekah di wajah Dita, dia merasa bangga dan dihargai."Terima kasih, Pak Dika. Say
Dita melangkah mundur, memandang dua potongan pakaian yang telah ia pilih. Blus lavender dengan leher tinggi dan rok hitam panjang yang merayap ke lantai. Ia memutuskan untuk mencoba kombinasi itu. Saat ia mengenakan pakaian tersebut, Dita merasa seperti bintang yang bersinar di langit malam.Kemudian, ia memeriksa dirinya di cermin.Blus satin melingkari lehernya dengan lembut, memberikan sentuhan romantis. Rok hitam panjang menyorot anggunnya, menciptakan siluet yang mempesona. Dita tersenyum puas, namun kegelisahannya masih menyelinap di dalam hatinya.Dia membuka lemari lagi dan melirik dress hitam yang selalu menjadi andalannya. Meski sederhana, dress itu selalu berhasil menonjolkan kecantikan alaminya. Setetes keringat dingin mengelilingi keningnya saat dia memutuskan untuk tetap dengan pilihan pertamanya.Ponsel Dita berdering dengan lembut, menciptakan getaran kecil di udara. Pandangannya langsung tertuju pada ponsel yang tergeletak di a
Dita bangkit dengan cepat, seraya mencoba menjelaskan bahwa itu adalah kebetulan dan dia hanya mencoba merapikan uang yang jatuh. Namun, sorakan dan bisikan-bisikan di antara rekan-rekannya semakin memperparah keadaan.Meskipun Dita berusaha membela diri, tuduhan itu membuatnya terlihat bersalah di mata sebagian besar teman kerjanya. Liza, dengan senyuman licik di wajahnya, memanfaatkan kesempatan untuk menjatuhkan Dita lebih dalam lagi."Tidak bisa! Kalau harus berbicara dengan bos mengenai hal ini," ucap salah satu rekan kerjanya dan melaporkan situasi itu kepada bos mereka.Dengan wajah yang berat, Dika memanggil Dita ke dalam ruangan kecil tempatnya biasa mengurus berbagai masalah karyawan. Dita mengikutinya dengan langkah gemetar, hatinya penuh rasa gelisah. Ruangan itu terasa begitu kecil dan udara juga terasa lebih berat dan sesak.Dika duduk di meja kecilnya, menatap Dita dengan tatapan penuh pertanyaan. Sejenak, ruangan itu hanya diisi dengan suara langkah dan detik-detik wak
"Lihat, dia mengambil uangnya! Dia mencuri dari mesin kasir!"Dita bangkit dengan cepat, seraya mencoba menjelaskan bahwa itu adalah kebetulan dan dia hanya mencoba merapikan uang yang jatuh. Namun, sorakan dan bisikan-bisikan di antara rekan-rekannya semakin memperparah keadaan.Meskipun Dita berusaha membela diri, tuduhan itu membuatnya terlihat bersalah di mata sebagian besar teman kerjanya. Liza, dengan senyuman licik di wajahnya, memanfaatkan kesempatan untuk menjatuhkan Dita lebih dalam lagi. "Tidak bisa! Kalau harus berbicara dengan bos mengenai hal ini," ucap salah satu rekan kerjanya dan melaporkan situasi itu kepada bos mereka.Dengan wajah yang berat, Dika memanggil Dita ke dalam ruangan kecil tempatnya biasa mengurus berbagai masalah karyawan. Dita mengikutinya dengan langkah gemetar, hatinya penuh rasa gelisah. Ruangan itu terasa begitu kecil dan udara juga terasa lebih berat dan sesak.Dika duduk di meja kecilnya, menatap Dita dengan tatapan penuh pertanyaan. Sejenak, r
Tidak terasa Dita sudah bekerja selama 3 bulan di Super store. Dita membawa banyak hal baik. Karena kesungguhannya dalam bekerja. Dika duduk di ruangannya, terfokus pada layar komputer yang menampilkan hasil penjualan bulan ini. Senyumnya mengembang, penuh kepuasan. Sejak kedatangan Dita ke perusahaan, tampaknya ada perubahan positif yang terjadi, terutama dalam pencapaian penjualan. Penghasilan bulan ini menunjukkan peningkatan yang signifikan, dan Dika tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Dia merasa bangga atas kontribusi Dita dan tim marketing dalam mencapai pencapaian tersebut. Dari sanalah Dika memutuskan untuk berbicara langsung dengan Dita, seakan tak bisa menahan hasratnya untuk memberi apresiasi. Tanpa ragu, dia meninggalkan ruangannya dan menuju ke lokasi supermarket. Semua karyawan terkejut melihatnya, tetapi Dika dengan tegas mengatakan bahwa dia hanya ingin berbicara dengan Dita pada saat ini. Bertemu di tengah ruangan, Dika melihat Dita. "Tolong, ikut aku sebe
Setelah beberapa kali telfon itu diabaikan, sebuah pesan masuk. "Baguslah kamu pergi dari rumah ini.. Dasarnya kamu memang hanya sebuah beban saja di sini! Memang menjadi liar itu kan keinginanmu!" Dita membaca pesan itu dengan mata sedih. Teganya Rizal mengiriminya pesan seperti itu, mereka seperti orang asing yang tidak pernah dipersatukan oleh pernikahan. “Kenapa Dit?” tanya Dika membuyarkan lamunan Dita. Dita memasukan ponselnya ke dalam tas. “Gak ada apa apa, ini ada penawaran pinjaman uang.” “Kamu lagi butuh uang?” “Engga, tabungan saya masih ada kok.” Dita turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih. Dalam hati Dita, berharap kalau ia bisa diterima kerja di tempat Dika dan menyusun hidupnya kembali. ** Dita terbangun karena suara dari ponselnya, Dita mengecek pesan masuk yang memang ia sudah nantikan.“Selamat kepada kandidat Dita. Silakan mulaI bekerja hari ini pukul 10.00 pagi.” Dita bergegas bangun dan bersiap siap berangkat kerja. Dita yakin ini adalah permulaan bai
Dita melangkah keluar dari pintu kontrakan. Langkah Dita membawanya menuju sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi di tengah pusat kota. Gerbang kaca berkilau menyambutnya dengan cahaya pagi yang menyilaukan. Rasa tegang melanda. Dengan napas dalam, Dita masuk ke dalam gedung tersebut. Di dalam, suasana tenang kantor tampak kontras dengan keramaian jalanan di luar. Seorang resepsionis dengan senyuman ramah menyambutnya. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" ucap resepsionis sambil menatap Dita dengan penuh perhatian. Dita menjelaskan tujuannya. "Saya datang untuk melamar pekerjaan. Apakah ada lowongan yang tersedia? Saya tahu tempat ini dari Dika manajer store." Resepsionis tersebut memberikan senyum manis. "Tentu, silakan naik ke lantai dua dan bertemu dengan Pak Budi di Departemen Sumber Daya Manusia. Mereka menerima lamaran secara langsung di sana." Dita mengucapkan terima kasih dan naik ke lantai dua dengan hati yang berdebar. Di Departemen Sumber Daya Manusia
Rizal, mantan suami Dita, yang tengah sibuk dengan ponselnya di ruang tamu, mengangkat kepala saat mendengar langkah-langkah ibunya. "Ada apa, Ma?" Bu Salim menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Dita sudah pindah ke kota besar." Rizal hanya mengangguk sebentar, kembali fokus pada ponselnya. "Ya, aku tahu." "Wanita itu mungkin sedang mencari target baru di sana," kata Bu Salim dengan nada sinis. Rizal menoleh, wajahnya tak berubah. “Biarin saja.” Nyonya Salim terdiam. Ia menyadari bahwa putranya telah dewasa dan mampu melihat hal-hal dari perspektif yang berbeda. Keesokan harinya, suasana di warung-warung kecil di kampung semakin riuh dengan percakapan tentang Dita. Bu Salim tiba di salah satu warung. Wajahnya yang keras dan sinis menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. "Tau nggak, sebenernya Dita tuh selama di sini, nggak pernah bener-bener jadi istri yang baik," ucap Bu Salim dengan nada berbisik, sambil memegang gelas kopi
Dita membuka pintu dengan ragu dan melihat sosok Dika yang tersenyum kecil. Dita pun membuka pintu lebih lebar lagi. “Saya mau tanya-tanya tentang rumah sewa di sekitar sini,” katanya. Dita tampak sedikit tidak nyaman. Matanya gelisah memandang sekitar. Ia takut hal ini akan menjadi bahan gunjingan tetangga lagi. “Maaf, saya juga tidak tahu banyak tentang wilayah di sini.” Dita menolak dengan halus. “Mungkin saya memang datang di waktu yang tidak tepat. Maaf ya, Dita.” Tanpa menunggu waktu lebih lama, Dika pun berpamitan. Tapi sebelum itu, ia memberikan kartu namanya. Dita memandang kartu itu lamat-lamat. Di sana tertulis, Dika adalah manajer minimarket di kota. ‘Mungkin ini bisa menjadi jalan untukku keluar dari kampung ini…’ batinnya sambil menggenggam erat kartu nama itu. Setelah berpikir semalaman, Dita pun bertekad untuk ke kota. "Sebentar lagi, aku akan meninggalkan tempat ini," gumam Dita sambil menatap lirikan matahari pagi yang menyapa melalui tirai tipis. Semak