Entah kenapa Haura selalu merasa berdebar saat Dean menyentuhnya, bahkan di dalam hatinya dia menginginkan lagi sentuhan tersebut. Hanya saja, tentu saja Haura merasa malu untuk mengatakannya.Haura tanpa sadar menyentuh bibirnya yang masih terasa basah akibat kecupan singkat dari Dean."Kalau mau lagi bilang, aku akan berikan." Bisik Dean di telinga Haura.Haura yang terkejut segera mendorong lelaki itu menjauh, dia langsung berbalik arah membelakangi Dean dengan wajah yang memerah.'Kenapa aku kayak jadi anak muda sih? Kok jadi deg-deg'an kayak gini?!' batin Haura sambil tangannya menyentuh dada.Dean terkekeh kecil melihat tingkah Haura yang menurutnya sangat menggemaskan sekali. Dia pun memeluk wanita itu dari belakang dan memberikan kecupan singkat di leher Haura."Geli, Dean!" keluh Haura yang merasa kegelian."Tapi kamu suka, kan?" Dean semakin mengeratkan pelukannya.Haura bergeming, dia memilih diam saja karena tidak mau menanggapi perkataan lelaki tampan itu.Jujur perasaann
"Pasangan yang beda usia ini kelihatan romantis sekali." Lilis datang dengan bertepuk tangan, dia tersenyum sinis kepada mereka."Kenapa sih dia datang lagi kemari?" tanya Haura pelan, tetapi masih terdengar di telinga Dean.Tahu kalau wanitanya tidak suka, Dean merapatkan tubuhnya dengan Haura. Lalu menyeringai." Emang kenapa? Ngiri, ya?" Dean menaik-turunkan alisnya."Idih, enggak kali! Ngapain aku ngiri sama cewek yang pacaran sama bocil? Yakali udah kerja, makan aja dikasih sama orang tua," ejek Lilis dengan tertawa terbahak-bahak.Dean mengeram marah, dia tidak terima dihina seperti itu. Haura yang melihat itu, segera mengeratkan genggaman tangannya kepada lelaki muda tersebut. Dean yang merasa ditenangkan oleh Haura, dia menjadi menahan amarahnya."Masalah kamu apa? Mau aku pacaran sama siapa aja, enggak masalah kali buat kamu! Tapi, apa kamu ngiri karena aku dapat cowok yang lebih tampan dari suami kamu itu?" Haura tersenyum mengejek kepada wanita hamil itu.Lilis langsung melo
"Ini mama, kenapa kamu keluar dari rumah sebelah sana?" Elisa bersedekap dada sambil menatap sang anak dengan penuh selidik.Dean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tetapi dia menanggapi sang ibu dengan santai. "Dia pacar baru aku, Ma!""Apa pacar baru? Masuk, kita perlu bicara di dalam!" Elisa menarik tangan Dean untuk mengikutinya masuk ke dalam.Raut wajah Elisa terlihat marah mendengar kalau anaknya menjalin hubungan dengan tetangga baru mereka itu."Kamu duduk di sini, jelasin kalau yang kamu katakan tadi tidak benar!" bentak Elisa dengan wajah memerah menahan emosi."Jelasin gimana maksudnya? Aku emang pacaran sama Haura, tetangga baru kita itu," jelas Dean sekali lagi.Lagi pula dia memang berniat akan mengatakan kepada sang ibu tentang hubungan mereka ini. Supaya Haura yakin kalau dirinya serius."Dia itu janda loh Dean, janda! Kenapa kamu yang masih lajang belum pernah nikah sama janda kayak dia." Elisa mengusap wajahnya dengan kasar.Dia tidak habis pikir dengan sang ana
"Kenapa wajah kamu pucat kayak gitu?" Dean heran menatap sang teman yang baru keluar dari rumah.Wajah Indra pucat, padahal tadi sebelum masuk meninggalkan Dean orang diri lelaki itu tidak sepucat itu."Enggak papa! Yok berangkat." Indra merangkul Dean untuk mengalihkan pembicaraan.Dean yang tidak ingin mengambil pusing, dia pun segera menjalankan mobil ke kampus. Lagi pula, kalau temannya sakit Indra akan segera mengasih tahu Dean. Apalagi Indra adalah tipe orang yang tidak bisa menahan sakit.*"Mama mau bertemu Haura, dia bilang enggak mendukung aku sama Haura karena dia janda!"Perkataan Dean sontak membuat Indra menjadi tersedak saat dia sedang minum. Semua minuman itu langsung menyembur keluar, membuat Indra menjadi terbatuk-batuk."Kenapa sih?" Dean menatap Indra kesal.Indra sigap membersihkan mulutnya yang belepotan dengan menggunakan tisu. "Enggak papa! Cuma kesedak aja,"Memang saat jam istirahat, Indra mengajak Dean untuk pergi ke kantin. Karena dia merasa lapar, setelah
Haura terpeleset dari tangga, sekarang janda cantik tersebut meringis kesakitan."Kamu enggak papa, Haura?" tanya Dean mendekati sang kekasih."Kayaknya kaki aku terkilir," jawab Haura sambil meringis memandangi kakinya.Dengan sigap Dean membawa Haura ke dalam ruangan kerja janda tersebut, di belakang Elisa terlihat cemas sambil mengikuti kedua sepasang kekasih itu.Dean menurunkan Haura di sofa, lalu melihat kaki wanita cantik itu. "Ada minyak kayu putih atau minyak angin enggak?" tanyanya."Ada." Dengan sigap Elisa mengeluarkan minyak kayu putih dari tas yang dia bawa.Dean mengambil minyak kayu putih dari sang ibu, lalu mulai ingin mengoleskan ke kaki Haura sambil memberikan pijatan."Tunggu, Dean!" Haura menahan tangan lelaki muda tersebut. Dean mendongak menatap Haura, sebelah alis lelaki itu terangkat. "Ada apa? Ini kalau enggak cepat nanti bengkak loh,""Aku takut, sakit," jawab Haura dengan suara gemetar.Membayangkannya saja membuat Haura menjadi ngilu, apalagi kalau sampai
Haura meremas pakaiannya, kaki yang terasa nyeri sedari tadi tidak dia rasakan lagi. Namun sekarang berganti, sekarang dadanya lah yang terasa nyeri.Nyeri! Mendengar perkataan Elisa yang berkata tidak merestui hubungan mereka. Padahal baru kali ini, Haura mencoba menerima Dean dengan lapang dada.Walau sebenarnya, Haura masih belum yakin untuk memulai sebuah hubungan, tetapi dia berusaha belajar untuk membuka hati dan memberikan kesempatan kepada Dean satu kali lagi."Hanya aja, aku enggak nyangka kalau ada sisi Dean yang kayak gitu," kata Elisa dengan wajah berbinar-binar.Haura tidak mengerti maksud dari perkataan Elisa, dia hanya melongo bingung menatap wanita yang terus mengoceh di sebelahnya."Kamu tahu, aku sering kesusahan sama Dean. Karena papanya yang terlalu memanjakan, semua kesalahan dibuatnya pun selalu dibiarkan dengan dalih 'namanya juga anak muda'," keluh Elisa dengan terdengar suara napas yang berat."Kok kayak gitu? Padahal kan seharusnya sebagai orang tua mengingat
Elisa terkejut melihat sang putra memarahinya, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.Sedangkan Haura, dia menjadi gelisah dengan Dean yang memarahi sang ibu. Dia pun berjalan mendekati Dean dengan tertatih-tatih."D-dean—" perkataan Haura terpotong karena Dean menyela."Diam, Haura! Aku tahu Mama enggak setuju sama hubungan kita, tapi kenapa Mama harus buat Haura menangis kayak gitu? Padahal tadi Mama berkata akan antarin Haura, aku pikir Mama enggak ngapa-ngapain dia ternyata malah ...." perkataan Dean tertahan.Dean sangat mengetahui sang ibu adalah wanita yang penyabar, tetapi kenapa saat menghadapi Haura Elisa malah berlaku kasar sehingga kekasihnya itu harus menangis sampai matanya sembab."Udah ngomongnya?!" tanya Elisa dengan nada ketus.Haura menunduk, dia tidak bisa menyela pembicaraan antara ibu dan anak di depannya ini. Padahal dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi malah menjadi tidak bisa mengatakannya."Kalau udah, mama pulang dulu aja. Haura, jangan lupa minum obatnya s
"Hukuman apa?" Dean menatap sang ibu dengan tatapan bingung.Wajah Elisa terlihat serius, sedangkan Rangga hanya menunggu sang istrinya mengatakan apa hukuman untuk putra mereka.Kedua lelaki itu terlihat cemas, karena sedari tadi belum saja Elisa menyebutkan apa."Hukumannya apa, Ma?" tanya Dean dengan tidak sabar.Dean lelah menunggu sang ibu untuk mengatakannya, padahal dia ingin segera beristirahat di kamar. Karena tubuh terasa sangat letih."Kamu harus bawa Haura kemari tiap Minggu, mama juga mau kenalan dengan calon mantu," kata Elisa dengan senyuman terukir di bibirnya."Ma, tapi takutnya malah dia merasa canggung sama Mama," tolak Dean tidak menyetujui."Eh, itu hukuman, ya! Jadi kamu gak bisa nolak, kalau enggak mau, aku gak bakalan menyetujui hubungan kalian!" ancam Elisa dengan raut wajah serius.Dean menghela napas panjang. "Tapi aku belum mengatakan kalau mau nikah sama dia, Ma,""Jadi kamu cuma mainin dia, Dean?" Kali ini Rangga yang bertanya, lelaki itu menatap penuh se
Mau tidak mau Haura keluar dari sana, " maaf ya maaf." wanita itu keluar dengan menangkupkan kedua tangannya.Lalu Haura berlari kecil menuju di mana tempat Elisa berada.Saat sampai di sana Elisa menatap aura dengan tatapan terkejut, membuat wanita itu menjadi risih dan menundukkan kepalanya."Enggak cocok, ya, Ma?" Haura bertanya dengan kepala menunduk, merasa gelisah karena takut tidak sesuai apa yang Elisa inginkan.Elisa tersenyum memandang Haura, " cantik kok menantu mama," pujinya."Emang bener? Tapi kenapa rasanya risih," tanya Haura sambil memperhatikan pakaian yang dipakai."Enggak cantik kok, masa sih mama bohong sama kamu?" Elisa mendekati Haura.Setelah setelah meyakinkan Haura kalau wanita itu cocok mengenakan pakaian berwarna merah muda tersebut, mereka pun memilih pergi ke salon bersama untuk melakukan perawatan.Selama hampir seharian penuh kedua wanita tersebut baru memilih pulang. Mereka memilih membeli makanan matang, lantaran merasa lelah bahagia di luar rumah."A
Rangga dan Elisa terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Dean, dengan cepat mengubah ekspresi wajah mereka kembali seperti biasa."Enggak masalah, semuanya bakalan baik-baik saja. Mama sama Papa bakal dukung apapun keputusan kalian." Elisa menggenggam jemari Haura dengan erat, memberikan kekuatan kepada sang menantu.Karena dia tahu betul perasaan Haura sekarang, sama seperti dirinya yang dulu mengetahui kalau kehamilannya sangat berisiko. Lantaran kandungan lemah, mungkin memang berbeda dengan kasus Haura. Namun tetap saja dirinya mengerti apa yang sekarang menantunya itu rasakan."Makasih, Mama dan Papa selalu dukung kami berdua." Haura membalas menggenggam erat jemari Elisa. " kalau begitu, gimana kalau kita pulang saja? Soalnya kan belum memasak buat makan pagi ini. Apalagi Papa sama Dean mau pergi bekerja," sambung Haura mengajak mereka semua untuk pulang."Mumpung udah di sini, gimana kalau kita makan di luar saja?" Elisa memandangi satu persatu ketiga orang yang berada di sam
Elisa sangat merasa bersalah melihat Haura yang terlihat sangat senang dia takut kalau semisalkan yang menanti itu tidak hamil sehingga dia mulai memikirkan kata yang tepat untuk mengatakan kepada Haura dengan pelan-pelan." Haura, coba kita periksa dulu ke rumah sakit. Biar tahu Hasilnya kayak gimana," Ucap Elisa dengan gelisah.Haura yang melihat Elisa gelisah membuat dia menganggukkan kepala. " Baiklah, Ma!""Kalau begitu memang bangun Papa dulu ya Sambil siap-siap kamu juga jangan lupa bangunin Dean supaya kita segera berangkat," ucap Elisa lalu pamit pergi ke kamar.Haura mengerti selalu segera menuju ke kamar untuk membangunkan sang suami, dia mengelus perutnya yang masih rata. Sambil terus berharap kalau di dalam perutnya itu ada bayi mungil yang bergerak-gerak di sana.Dengan penuh semangat Haura memilih membangunkan sang suami terlebih dahulu, dia mengguncangkan tubuh Dean perlahan." Dean, ayo bangun!" Haura mengguncangkan lagi tubuh dan secara perlahan." Ada apa, Haura? "
Tumpukan piring dan perkakas dapur yang kotor akibat Dean memasak di sana, belum lagi kompor terkena banyak noda. Sehingga membuat Haura jadi merasa terbakar, lantaran menahan amarah di dalam dada.Namun dirinya terpaksa menahan itu, lantaran ada kedua mertua sedang berada di sini, tidak ingin menunjukkan pertengkaran kepada Elisa dan Rangga. Haura pun memilih untuk menghembuskan napas secara perlahan, beeharap perasaan marah di dalam dada hilang."Dean, kamu seharusnya enggak usah masak. Bangunin aku aja kalau lapar," ucap Haura dengan menahan perasaan marah di dalam dada."Kamu kan lagi sakit, masa aku suruh masak?" Dean menatap bingung kepada Haura, merasa heran kepada wanita itu."Iya, benar kata Dean. Masa kamu lagi sakit disuruh masak, seharusnya Dean beli aja di luar," ucap Elisa menimpali.Elisa juga merasa sesak sekali dengan tumpukan yang berada di wastafel, ingin sekali dirinya memarahi sang anak. Namun karena Dean berniat baik, jadi untuk kali ini dia menahan perasaan kesa
Elisa langsung mendekati Dean untuk melihat apa yang terjadi, ternyata nasi yang dimasak lelaki tersebut menjadi bubur membuat dia menjadi tertawa dengan keras."Astaga, kok masak nasi aja malah jadi bubur?" Elisa tertawa dengan keras sambil memegangi perutnya yang terasa sakit."Hust, Ma! Haura lagi tidur di dalam kamar, nanti malah bangun," tegur Dean meminta kepada sang ibu untuk diam."Habisi, masak nasi aja sampai jadi bubur. Terus percaya diri banget masak, padahal ke dapur aja jarang," ejek Elisa yang tidak dapat menahan dirinya."Mau gimana lagi? Aku pengen masakin sesuatu buat Haura yang lagi sakit." Dean menundukkan kepalanya, merasa gagal ingin membuat sang istri terkesan."Kalau udah tahu enggak bisa masak, ya beli aja! Uang banyak kok, masa enggak mampu beli makanan matang," gerutu Elisa kesal, bisa-bisanya ingin memberikan makan menantunya dengan masakan tidak layak dimakan."Kalau beli makanan matang, buat apa aku capek-capek masak kayak gini? Tuh aku masakin dijamin en
Haura menganggukkan kepalanya, memang tubuhnya terasa tidak baik-baik saja sejak tadi malam."Sebaiknya kamu minum teh hangat dulu, makan walau sedikit agar minum obat dan cepat istirahat. Biar aku buatkan teh hangatnya dulu, kamu duduk aja di sana." Dean membuatkan segelas teh hangat untuk Haura.Sedangkan Haura terduduk lemas karena habis muntah tadi, rasanya dia kehilangan tenaga untuk sekedar berdiri atau melakukan apa pun. Beberapa menit kemudian, Dean datang membawakan segelas teh hangat untuk sang istri."Minum dulu, lalu setelahnya makan, ya!" perintah Dean terlihat sangat khawatir."Aku enggak nafsu buat makan," tolak Haura dengan wajah pucat."Sedikit aja, biar bisa minum obatnya. Pokoknya setelah aku beli obat di apotik, kamu harus udah kelar makan!" Dean bergegas mengambil kunci mobilnya, lalu pergi keluar.Memang karena rumah masih baru sehari ditinggali, wajar saja tidak memiliki kotak obat seperti di rumah Elisa. Sayur dan ikan saja dibelikan sang mertua, jadi bagaimana
Dean dan Haura melakukan hal yang biasa para suami-istri lakukan dimalam hari, mereka sangat menikmati setiap kali berbagi kasih sayang di atas ranjang. Walau pun wanita cantik itu sering merasa was-was seiring berjalannya umur rumah tanggan mereka."Kok kamu murung, Haura?" Dean menyingkap rambut yang menutupi sebagian wajah Haura."Enggak papa, cuma capek aja sih. Yuk kita tidur, lagian ini udah malam juga!" ajak Haura yang langsung menarik selimutnya.Haura memejamkan mata yang terasa sangat sulit untuk diajak tidur, wanita itu menoleh ke arah belakang ternyata sang suami sudah tidur dengan nyenyak. Dia pun memilih menatap wajah Dean yang sedang tertidur tersebut, berharap akan ikut terlelap ke alam mimpi.***Bagun dipagi hari dengan perasaan senang di rumah sendiri, Haura berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Pertama yang Haura lakukan adalah memasak nasi, setelah itu baru membua kulkas yang tentu saja isinya penuh. Jangan tanya siapa yang memenuhi isi kulkas itu? Siapa
"Eh, iya!" Haura ikut memperhatikan Lilis yang sedang menggendong bayi kecilnya.Rangga tidak menjawab, tetapi memilih memarkirkan mobilnya ke halaman rumah yang akan dia beli untuk sang anak. Memang belum dibayar, namun sudah sepakat untuk membeli rumah itu sebagai hadiah pernikahan. Hanya saja kalau Haura tidak menyukainya terpaksa Rangga membatalkan niat membeli walau pun sudah diberikan uang dimuka kepada pemilik rumah."Ngapain kalian kemari?" Lilis menatap ketus kepada keluarga Dean.Namun belum sempat menjawab, Dika keluar dari dalam rumah tersebut menatap mereka semua dengan ramah."Eh, Om dan yang lainnya udah datang! Ayo masuk ke dalam, biar bisa lihat-lihat rumahnya." Dika mengarahkan semuanya untuk masuk ke dalam."Ngapain ajak mereka masuk? Nanti kotor lagi rumahnya!" Lilis menatap t4jam kepada Dika, lelaki yang baru satu bulan dia nikahi."Lilis! Mereka ini yang mau beli rumah, jadi bisa enggak ramah sedikit sama mereka!" Dika menekan setiap kalimat yang keluar dari mulu
"Eh, Dean baru datang?" Elisa hanya senyum-senyum menatap sang anak."Asyik ya, pagi-pagi udah gosip." Dean mendudukkan bokongnya di kursi dengan kasar.Haura mengambilkan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya untuk sang suami, lalu baru duduk kembali untuk menyantap makanannya."Mama enggak gosip loh, Dean. Soalnya kan istrimu nanti pasti tahu juga sama kebiasaanmu yang itu." Elisa tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan."Tapi enggak gitu juga loh, Ma!" Dean menatap tidak suka sang ibu, mau bagaimana pun rasanya sangat tidak suka kalau diceritakan aibnya kepada sang istri.Menurut Dean pasti Haura akan mengetahuinya pelan-pelan tentang kebiasaannya itu, jadi tidak perlu diceritakan kepada sang istri."Benar kata Dean, Ma. Mau gimana pun nanti Haura juga bakalan tahu, kasian kalau diceritain aibnya itu. Kalau papa juga pasti kesal loh," ucap Rangga menimpali."Iya-iya deh. Mama minta maaf, tapi kamu harus benerin kebiasaanmu itu. Udah nikah koh masih aja dandannya lama, e