"Bunda, hari ini aku ingin berkunjung ke rumah Mama Windy bersama Mas Wira." Shofia menghadang Arasya yang sedang memasak di dapur bersama Bibi Erna. Arasya tidak menjawab atau pun menanggapi perkataan Shofia padanya. Lebih tepatnya, Arasya mengabaikan Shofia.
"Bunda dengerin aku, nggak, sih?" bentak Shofia dengan kesal. Ia sangat marah karena sejak keributan tadi malam, Arasya mulai mendiamkannya. Tidak menjawab sepatah kata pun perkataan Shofia.
Arasya menarik napasnya dengan berat. Masih tidak menjawab, Arasya hanya menyuruh Bibi Erna untuk memotong sayuran. Sedangkan Arasya melanjutkan kembali kegiatannya yang sedang menumis cabai dan bawang yang sudah berada di atas wajan.
"Bi, jangan lupa untuk mengiris tomat dan mencuci seladanya, ya. Saya mau membawakan Thalisa salad untuk sarapan," perintah Arasya dengan wajah datarnya.
Mendengar sang ibu menyebut nama wanita sialan itu, Shofia mengepalkan kedua tangannya s
"Apa kabar?" tanya seseorang dengan perawakan tinggi besar itu dengan senyum yang mengembang. "K-alandra?" Thalisa menyebutkan nama teman sekolah SMA-nya itu dengan ragu-ragu. Ia ingat namanya. Namun, sepertinya ia lupa dengan pemilik wajah tampan yang saat ini sedang ia pandang. Melihat Thalisa yang tampak ragu itu pun membuat lelaki tersebut tertawa dengan girangnya. "Kamu masih mengingatku rupanya, Thalisa," kelakarnya dengan wajah memerah karena tawanya. "Ternyata benar? Kamu Kalandra?" Thalisa meyakinkan kembali tebakannya seraya meraih tangan teman lamanya itu dengan reflek. "Ya. Kalandra si cupu yang selalu kamu bela saat ada yang mencoba untuk merundungku," ungkap Kalandra dengan sumringah. Ia menjabat tangan Thalisa dengan lembut, memperkenalkan kembali wajah barunya yang lebih gentle. "Oh Tuhan ... Kalandra, sudah lama kita tidak bertemu
"Kamu ini nggak bisa kasih aku keturunan! Mamaku juga mau punya cucu kayak teman-teman mama yang lain!" bentak Wira dengan kilatan emosi yang terpancar di matanya."Mas, kamu kan tahu kalau aku nggak bisa kasih anak buat kamu dan juga cucu buat mama, kita bisa cari cara lain, kita adopsi anak. Tapi, kenapa kamu malah selingkuh sama perempuan lain, Mas?" kata Thalisa dengan mata yang mulai memerah ingin menangis."Terus sekarang kamu salahin aku kalau aku berhubungan dengan wanita lain?! Kamu yang mandul, kenapa aku yang disalahin, aku cuma mau anak dari darah daging aku sendiri, bukan hasil adopsi anak orang lain yang ada di panti asuhan! Ngerti kamu?!" sambungnya dengan kedua tangan yang sudah bertengger di pinggang.Siapa yang tidak sakit hati mendengar perkataan suami yang selama ini sangat dicintainya? Melihat suami berselingkuh dengan wanita lain dan berniat menjadikannya istri. Tentu saja Thalisa tidak terima, ia bukan perempuan bodoh dan lemah ya
Sudah satu minggu Thalisa tidak pulang ke kediaman Wira, berkomunikasi dengannya pun hanya untuk menanyakan tentang perceraian mereka. Selebihnya, Thalisa sudah pasrah akan status janda yang akan ia sandang nanti. Mau tidak mau, Thalisa harus menceritakan ini semua pada kedua orang tuanya.Persidangan akan diadakan dua minggu lagi, masih ada kesempatan bagi Thalisa untuk pulang ke kampung dan mengabari keluarganya. Setelah dari sana, Thalisa akan kembali lagi ke Jakarta untuk mengurus surat-surat kepindahannya.Menurut orang-orang di kampungnya, status janda adalah hal yang paling buruk, karena janda gemar digandrungi oleh laki-laki, terlebih laki-laki yang sudah memiliki istri. Itu sebabnya, menjadi janda sangat ditakuti oleh para perempuan di sana.Kakinya terasa berat untuk melangkah menuju terminal, ia sangat takut dengan tanggapan yang akan diberikan oleh kedua orang tuanya dan juga orang-orang sekampung yang bisa saja mengetahui hal ini dari mulut
"Halo, Mas, aku mau bicara sebentar," ucap Thalisa saat nada tersambung dengan Wira."Ada apa? Aku nggak punya waktu, sebentar lagi aku mau ketemu sama Sofia," pungkas Wira tanpa rasa bersalah.Thalisa diam sejenak, ia mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha untuk menetralkan rasa jengkelnya terhadap sang suami yang semakin lama semakin tidak bisa didiamkan."Halo? Masih mau bicara atau nggak?" sarkas Wira, seketika membuat Thalisa sadar dari lamunannya."A-ah iya, Mas, aku cuma mau sampaikan amanah Bapak, kalau Mas harus datang ke sini. Ada yang mau Bapak bicarakan sama Mas," jelas Thalisa."Mau apa lagi? Memang kamu belum bilang kalau kita sudah mau cerai? Nggak bisa, aku nggak ada waktu untuk datang ke sana!""Mas, kamu nikahin aku itu minta restu baik-baik sama orang tua aku, jadi sekarang kalau Bapak minta kamu ke sini, harusnya bisa dong?" sahut Thalisa dengan kesal, ia sangat tidak menyukai perkataan Wira yang t
"IMAS!!" pekik Johan dengan mata yang membelalak tajam. Ia menghampiri Imas dan menarik tangannya untuk meninggalkan Thalisa yang masih mematung di ruang tamu.Imas hanya diam saja tak bersuara, ia sudah tahu jika suaminya pasti sudah mendengar apa yang ia katakan pada Thalisa dan akan segera memarahinya."Nggak usah marah-marah, apa yang Ibu bilang juga benar, kan?" bela Imas dengan jari-jari yang menggulung kain yang dipakainya menjadi kecil."Istigfar, Bu! Thalisa anak kita sendiri, kenapa Ibu tega bicara seperti itu pada Thalisa? Apa Ibu nggak berpikir kalau kata-kata Ibu bisa saja menyinggung perasaannya?" protes Johan. Ia menangkupkan kedua pipi istrinya itu dengan cukup kencang."Lho, memang benar, kan? Dalam keadaan Thalisa yang nggak bisa punya anak terus jadi janda, apa orang-orang sini nggak akan menjadikan Thalisa bahan gosip, Pak? Ibu malu!""Nggak usah pikirin apa kata orang, Bu, tapi pikirin perasaan anak kamu sendiri.
"Assalamualaikum," salam seseorang sambil mengetuk pintu rumah yang sudah terkunci."Waalaikumussalam, tunggu sebentar," sahut Dafa yang sedang menonton TV di ruang tengah, ia pun langsung berjalan keluar untuk membuka pintu. Begitu Dafa memutar knop pintu terlihat seorang laki-laki sedang menyandarkan satu tangannya di dinding dan satu tangannya lagi berkacak pinggang."Hei, Daf, gimana kabarnya? Sehat?" tanya seorang laki-laki yang berdiri di hadapannya. Dia tidak sendirian tetapi, bersama dengan seorang wanita di sampingnya, menggandeng tangan laki-laki tersebut tanpa ingin terlepas."Cuih!" Dafa membuang salivanya begitu melihat kedua orang tersebut. Saat Dafa ingin menutup pintu kembali, Bapak menahannya dari arah dalam, membuka sedikit untuk melihat siapa yang bertamu di tengah malam menuju subuh seperti ini."Masuk!" perintah Bapak pada kedua orang itu dengan wajah yang nampak kesal. Ia memanggil Imas untuk keluar namun, tidak dengan Th
"Lebay banget, sih, baru mau diceraikan saja sudah segitunya," decak Sofia seraya menghentak-hentakkan kedua kakinya menuju keluar. Ia melihat persis bagaimana Thalisa memarahi Wira dan juga aksinya memegang cutter untuk mengakhiri hidup. Menurut Sofia hal itu sangat menggelikan, terlalu drama.Saat Sofia sedang duduk di kursi luar, tiba-tiba ada perempuan yang sebaya dengannya datang menghampiri. Ia langsung berdecak sebal, di saat-saat seperti ini, ia sangat tidak ingin diganggu."Permisi, Mbak," ucap perempuan itu dengan sopan dan senyum yang ramah."Iya, ada apa?" ketus Sofia dengan tatapan tidak suka."Thalisanya ada, Mbak?" tanya Lastri -teman sekolah Thalisa sewaktu SMA. "Soalnya yang saya dengar Thalisa sudah pulang ke sini," imbuhnya."Ada, lagi drama! Ada apa, sih? Nggak usah bertele-tele," kata Sofia dengan kedua tangan berada di depan dada.Lastri terpaku dan langsung tersenyum kikuk, ia menggaruk tengkuk lehern
Perceraian antara Thalisa dan juga Wira sudah sah dimata hukum dan negara beberapa bulan yang lalu. Kini Thalisa sudah resmi menyandang status barunya sebagai janda, ia harus memulai kembali kehidupannya yang baru, menjalani hari-hari tanpa harus bertemu dengan Wira dan sang mantan mertua Mama Windy.Thalisa sudah tidak tinggal di sukabumi, bukan karena rasa malu yang dialami oleh Imas selaku ibunya. Namun, karena Thalisa memang sudah saatnya untuk memulai kehidupan baru di tempat yang baru.***Bogor, 16 Maret 2021Warna langit yang biru sudah berubah menjadi jingga, matahari mulai meredupkan sinar cahayanya yang terang untuk kembali pulang. Sore hari adalah suasana yang dirindukan bagi seorang wanita yang selalu bekerja dari pagi hingga malam. Hampir tiga bulan ini, ia tidak pernah melihat matahari terbenam, dan inilah saat yang tepat untuk mendapati matahari yang ingin beristirahat dari hingar bingarnya dunia.Di atap ged