Share

Patah Hati Kedua

"Halo, Mas, aku mau bicara sebentar," ucap Thalisa saat nada tersambung dengan Wira.

"Ada apa? Aku nggak punya waktu, sebentar lagi aku mau ketemu sama Sofia," pungkas Wira tanpa rasa bersalah.

Thalisa diam sejenak, ia mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha untuk menetralkan rasa jengkelnya terhadap sang suami yang semakin lama semakin tidak bisa didiamkan.

"Halo? Masih mau bicara atau nggak?" sarkas Wira, seketika membuat Thalisa sadar dari lamunannya.

"A-ah iya, Mas, aku cuma mau sampaikan amanah Bapak, kalau Mas harus datang ke sini. Ada yang mau Bapak bicarakan sama Mas," jelas Thalisa.

"Mau apa lagi? Memang kamu belum bilang kalau kita sudah mau cerai? Nggak bisa, aku nggak ada waktu untuk datang ke sana!"

"Mas, kamu nikahin aku itu minta restu baik-baik sama orang tua aku, jadi sekarang kalau Bapak minta kamu ke sini, harusnya bisa dong?" sahut Thalisa dengan kesal, ia sangat tidak menyukai perkataan Wira yang terkesan lari dari tanggungjawab.

"Kamu tuh ribet, ya?! Aku sibuk, harus cari-cari gedung untuk pernikahan aku nanti sama Sofia!"

"Astagfirullah, Mas!! Perceraian kita aja belum resmi sah di mata hukum dan agama, kamu malah mikirin pernikahan lain, apa kamu nggak mikirin perasaan aku? Perasaan Ibu sama Bapak aku?!" geram Thalisa dengan suara yang tertahan karena takut orang tuanya mendengar percakapan mereka.

"Kamu berisik banget, sih! Iya dua hari lagi aku ke sana, puas kamu!" Wira pun langsung mematikan sambungan teleponnya, membuat Thalisa memaki tertahan.

"Jahat banget kamu, Mas, aku salah apa sama kamu?" lirih Thalisa. Ia menempelkan tubuhnya pada dinding kamar dan menjatuhkan dirinya di lantai hingga terduduk lemah. Air matanya terus mengalir tanpa henti.

Saat Thalisa sedang menangis, terdengar ketukan pintu di kamarnya, ia pun segera menghapus air mata dan bangun dari duduknya. Thalisa membukakan pintu kamarnya, ia sangat gugup ketika Dafa langsung masuk dan duduk di kursi riasnya.

"Kakak, kenapa?" tanya Dafa tanpa basa-basi. Ia sudah mendengar cerita dari orang tuanya tentang Thalisa yang tidak bisa memiliki anak, namun Dafa belum mengetahui bahwa kakaknya itu akan segera bercerai dengan Wira.

Thalisa tersenyum sendu menatap Dafa, dari dulu memang Dafa lah tempat Thalisa untuk menumpahkan segala keluh kesahnya. Walaupun Dafa adalah adik namun, ia yang paling bisa mengerti keadaan Thalisa.

"Ini sudah malam, lho, Daf, kenapa kamu belum tidur?" ucap Thalisa, ia sengaja tidak menjawab pertanyaan Dafa karena tidak ingin membuat adiknya itu merasa cemas dengan keadaannya saat ini.

"Nggak usah mengalihkan pembicaraan deh, Kak, Dafa sudah tahu kok dari Ibu sama Bapak."

Dafa mengajak Thalisa untuk duduk di karpet berbahan katun berwarna merah yang ada di kamar kakaknya. Ia merindukan sang kakak yang selama ini selalu membuatnya nyaman, kakak satu-satunya yang paling Dafa sayangi.

"Kalau kamu udah tahu dari Ibu dan Bapak, terus kamu ngapain tanya lagi sama Kakak?" ledek Thalisa seraya menjewer telinga Dafa, hal yang paling Thalisa senangi.

"Aww, sakit, Kak!" teriak Dafa dengan kedua tangan mengusap-usap telinganya yang terlihat merah akibat serangan maut yang diberikan oleh Thalisa.

Tanpa disadari Thalisa sudah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah Dafa yang menggemaskan. Dafa adalah adik laki-laki Thalisa, berwajah tampan dengan kumis tipis yang membuatnya semakin terlihat manis. Rambutnya yang dibiarkan gondrong menambah kesan gemas pada dirinya.

Dafa yang melihat tawa sang kakak pun ikut tersenyum bahagia, ia mengusap air mata sang kakak yang masih tersisa di bawah matanya.

"Kakak boleh bohongin Dafa, tapi mata Kakak nggak bisa bohong sama Dafa. Dia bicara walaupun mulut Kakak nggak bersuara," ujar Dafa dengan senyum simpul di wajahnya. Mendengar sang adik berkata seperti itu, Thalisa langsung terdiam, ia tidak menyangka jika adiknya sudah cepat tumbuh dewasa dengan pemikiran yang matang.

"Kita nggak ada yang tahu ada apa dibalik semua ini tapi, kita harus yakin, kalau semua ini sudah menjadi skenario terbaik dari Tuhan buat Kakak, dan buat Mas Wira," kata Dafa dengan mata yang mengarah pada langit-langit kamar. Dafa menoleh sebentar ke arah Thalisa dan tersenyum.

"Dafa yakin, suatu saat Kakak pasti bisa punya anak. Kita cuma perlu berikhtiar dan selalu tawakal sama Tuhan, karena cuma Tuhan yang bisa memberikan keajaiban untuk hidup kita," sambung Dafa. Thalisa yang yang mendengar kata-kata dari adiknya langsung tersenyum bangga tetapi juga ... Ia merasa sedih. Andai saja Tuhan tidak memberikan cobaan ini, mungkin saja orang tuanya tidak akan sesedih ini.

Thalisa sedikit malu, karena ia sempat meragukan cobaan dari yang Maha Kuasa. Memang Dafa dan orang tuanya adalah penyemangat Thalisa untuk terus bertahan.

"Kamu adiknya siapa, sih? Tua banget bahasanya," ejek Thalisa seraya tertawa.

"Kakak pasti kangen, kan, sama aku? Ayo ngakuuu," balas Dafa dengan jari telunjuk yang mengarah ke wajah Thalisa.

Mereka pun berbicara dan bercanda bersama, saling bertukar cerita sampai larut malam.

***

Matahari pagi mulai menelusup memasuki kamar Thalisa melalui sela-sela jendela, tirai yang tadinya tertutup terlihat setengah terbuka. Pasti Ibu yang menggeser tirainya agar ia terbangun karena sinar matahari, pikir Thalisa.

Thalisa menguap beberapa kali, menyandarkan punggungnya pada kayu tempat tidur sambil memejamkan kedua matanya yang masih terasa berat untuk terbuka.

Selagi mengumpulkan nyawa-nyawa yang masih berkeliaran entah di mana, Thalisa mendengar suara ramai-ramai di samping rumah yang bertepatan di samping kamar tidurnya, Thalisa terkejut dan langsung bangkit dari duduknya ia pun berlari keluar kamar menuju sumber suara.

"Saya lihat Thalisa pulang kemarin, Thalisa kenapa pulang sendiri, Mbak? Memang suaminya kemana?" tanya salah satu tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah orang tua Thalisa.

Imas yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya diam saja seraya tersenyum kikuk.

"Apa jangan-jangan Thalisa lagi berantem, Mbak, sama suaminya?" sambung tetangganya lagi.

Imas menghela napasnya panjang, rasanya kesal sekali mendapatkan pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan oleh tetangga. Thalisa yang mendengar perbincangan sang ibu dengan ketiga tetangga itu tidak dapat berkata-kata lagi. Ia semakin takut dengan status janda yang sebentar lagi akan menjadi gelarnya di kampung ini.

"Suami Thalisa itu sedang sibuk, kerjanya di luar kota. Jadi Thalisa menginap dulu di sini sampai suaminya pulang dinas," ketus Imas. Ia pun berpamitan pada ketiga tetangganya itu untuk masuk ke dalam rumah.

Saat hendak masuk, Imas dikejutkan dengan keberadaan Thalisa di balik bilik yang menjadi sekat dapur dan teras samping.

"Allahuakbar, kamu kagetin Ibu aja, Nduk," ucap Imas yang tiba-tiba jantungnya berdetak menjadi lebih cepat, seperti habis lari marathon, ia khawatir Thalisa mendengar percakapannya dengan tetangga tadi.

"Seharusnya Ibu nggak perlu ngomong kayak gitu ke tetangga-tetangga, Bu," keluh Thalisa seraya berjalan gontai mendahului Ibunya.

"Lho, memangnya Ibu ngomong apa, Nduk?" sangkal Imas seraya menyusul langkah kaki anaknya menuju ruang tamu.

"Bilang aja kalau aku dan Mas Wira itu sudah mau cerai."

"Nggak, Ibu nggak akan izinin kamu bercerai dengan Wira!" larang Imas sambil memegang bakul yang berisi beras untuk dicuci.

Thalisa melotot seketika, ia terkejut mendengar perkataan sang ibu. Apa ibunya ini tidak berpikir bahwa Thalisa sudah diselingkuhi dan ingin diceraikan?

"Bu, Thalisa nggak salah dengar?" tanya Thalisa memastikan. Mungkin saja telinganya sudah sedikit terganggu.

"Kamu pikir jadi janda itu enak? Nggak, Nduk! Kamu pikir jadi janda apalagi dalam keadaan kamu mandul kayak gini, kamu nggak akan diomongin sama para tetangga?" bentak sang ibu dengan suara tinggi. Thalisa pun tersentak dan merasa jika yang ada di hadapannya saat ini bukanlah ibunya. Mana mungkin ibu yang selama ini menjadi kekuatan bagi Thalisa, justru malah membuat Thalisa semakin terpuruk?

"IMAS!!"

***

To be continue,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status