"Assalamualaikum," salam seseorang sambil mengetuk pintu rumah yang sudah terkunci.
"Waalaikumussalam, tunggu sebentar," sahut Dafa yang sedang menonton TV di ruang tengah, ia pun langsung berjalan keluar untuk membuka pintu. Begitu Dafa memutar knop pintu terlihat seorang laki-laki sedang menyandarkan satu tangannya di dinding dan satu tangannya lagi berkacak pinggang."Hei, Daf, gimana kabarnya? Sehat?" tanya seorang laki-laki yang berdiri di hadapannya. Dia tidak sendirian tetapi, bersama dengan seorang wanita di sampingnya, menggandeng tangan laki-laki tersebut tanpa ingin terlepas."Cuih!" Dafa membuang salivanya begitu melihat kedua orang tersebut. Saat Dafa ingin menutup pintu kembali, Bapak menahannya dari arah dalam, membuka sedikit untuk melihat siapa yang bertamu di tengah malam menuju subuh seperti ini."Masuk!" perintah Bapak pada kedua orang itu dengan wajah yang nampak kesal. Ia memanggil Imas untuk keluar namun, tidak dengan Thalisa."Gimana kabarnya, Pak? Sudah lama saya nggak datang ke sini," ucap Wira dengan wajah tanpa dosa. Ya, Wira lah yang berkunjung, ia datang bersama dengan calon istrinya, wanita yang sudah merebut suami dari anaknya, Thalisa."Nggak usah basa-basi!" protes Dafa yang masih berdiri di belakang sang bapak."Dafa, pelankan suaramu. Nanti Kakakmu bangun," ucap Bapak masih dengan nada suara yang ramah.Pintu kamar Bapak terbuka, menampakkan Imas yang sedang menguncir rambutnya sambil menguap menahan kantuk. Ia belum sadar jika ada Wira yang sudah duduk di kursi ruang tamu.Begitu sadar, Imas langsung membelalakkan kedua matanya, rasa kantuknya seketika hilang begitu saja saat melihat dua orang pengkhianat berada di gubuk tuanya."Mana Thalisa?" tanya Imas pada Dafa."Di kamar," jawab Dafa singkat."Jangan dibangunkan, biar saja Kakakmu tidur," perintah Imas. Ia pun menyusul suaminya untuk duduk di kursi tepat di samping sang suami."Saya di sini karena disuruh sama Thalisa untuk datang, katanya amanah dari Bapak," jelas Wira. Ia masih tidak menampilkan wajah berdosanya, ia hanya tersenyum sambil sesekali mengerlingkan satu matanya ke arah perempuan yang saat ini duduk di sampingnya."Ya, saya yang menyuruh Thalisa untuk menghubungi kamu." Bapak menatap Wira dengan penuh emosi. Kilatan amarah mulai terlihat di matanya."Jadi, ada apa?" Dengan tidak tahu dirinya Wira bertanya seperti itu kepada Bapak mertuanya sendiri.Dafa mulai tidak bisa mengontrol emosinya, ingin sekali ia menghajar lelaki tidak tahu malu ini tepat di bagian kepala, agar pikirannya dapat berfungsi kembali dengan normal.Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, mulai berjalan maju menghampiri Wira, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu dengan sangat kencang. Urat-urat di tangan Dafa mulai terlihat, bisa dibayangkan sekuat apa tenaga yang dikeluarkan oleh Dafa untuk menghajar orang ini."Dafa!!" teriak Ibu dengan cemas, ia takut terjadi baku hantam antara anak dan juga menantunya.Bapak hanya diam saja, tidak menghentikan Dafa yang akan memukul Wira. Masih ingatkah kata-kata Bapak yang mengatakan bahwa ia akan membiarkan Dafa melakukan apa pun pada menantunya saat ia datang? Ya, inilah waktunya Bapak terdiam."Heh, anak ingusan! Lepasin calon suami saya!" pekik Sofia sambil berusaha melepaskan tangan Dafa yang masih mencekik Wira."Dafa, lepasin." Suara lembut dan bernada itu memasuki indera pendengaran Dafa, dan juga orang-orang yang berada di ruang tamu. Seketika Dafa langsung melepaskan cengkeramannya dari leher Wira, berbalik badan menatap Thalisa yang sedang berdiri di depan pintu kamar yang tidak jauh dari ruang tamu."Jangan ada keributan, ini sudah malam. Dafa, ayo ikut Kakak," ajak Thalisa. Dafa pun menurut dan mengikuti Thalisa masuk ke dalam kamarnya."Sayang, kamu nggak apa-apa? Sakit nggak?" tanya Sofia seraya merapikan kemeja Wira dengan mata yang melirik ke arah kamar Thalisa, suara yang sengaja dibesarkan agar Thalisa mendengar.Wira hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum angkuh, ia tidak ingin terlihat lemah di depan Sofia yang akan menjadi istrinya nanti."Sekarang kalian istirahat aja dulu, tidur di ruang tamu. Nanti pagi Bapak dan Ibu mau bicara sama kalian bertiga," perintah Ibu seraya masuk ke dalam kamar dengan wajah yang terlihat masam.Wira dan Sofia beristirahat di ruang TV. Wira tidur di bangku yang terbuat dari kayu bambu, sedangkan Sofia tidur di sofa tanpa bantal mau pun selimut.***
Pukul enam lewat lima belas menit Thalisa sudah selesai membersihkan rumah, termasuk membangunkan kedua kerbau yang masih tertidur pulas. Tercipta satu ide jahil dipikirannya, segera Thalisa mengambil ponselnya di kamar, dan menyetel musik dengan volume yang lumayan keras untuk membangunkan mereka. Enak saja mau bangun siang, memangnya ini rumah siapa?"Aduuuuhhh ... Berisik banget, sih!" keluh Sofia seraya mengucak kedua matanya yang masih mengantuk."Ooopsss ... Keberisikan, ya, Sis? Sorry, sengaja," ejek Thalisa seraya menyengir kuda. Ia pun langsung kembali ke kamarnya."Dasar, nenek lampir!" gerutu Sofia. Ia menghampiri Wira yang masih asyik memejamkan kedua matanya, membangunkan kekasihnya itu dengan suara manja yang dibuat-buat. Ingin meniru suara artis Syahrini, namun suaranya lebih menggelikan!"Sayang, bangun, ayo kita pulang," keluh Sofia sembari menggoyang-goyangkan tubuh kekasihnya dengan pelan."Hmmm." Wira hanya berdeham tidak mendengarkan rengekan kekasihnya yang mengajak pulang."Ih, sayang, ayo dong. Aku udah nggak betah di sini! Kamu tahu nggak, sih, tadi tuh aku ditegur sama calon mantan istri kamu, tahu!"Wira langsung membuka matanya kaget, ia takut jika istri dan juga kekasihnya bertengkar hebat karena ulahnya yang membawa Sofia datang ke rumah mertuanya."Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?" tanya Wira sambil mengusap kedua pipi Sofia dengan lembut."Aku tadi di dorong sama istri kamu sampai jatuh," sahut Sofia. Ia berbohong untuk mendapat perhatian dari calon suami. Sungguh menyebalkan!"Kamu serius?" tanya Wira. Ia hanya memastikan karena selama yang Wira tahu, Thalisa tidak pernah berani untuk menyentuh atau pun menyakiti orang lain."Serius lah, sayang, masa aku bohong, sih!""Kamu tunggu di sini dulu, ya." Wira pun pergi meninggalkan Sofia untuk menyusul Thalisa yang berada di kamar. Ia ingin memastikan kebenarannya, kalau sampai yang dikatakan Sofia adalah benar, berarti keputusannya untuk menceraikan Thalisa tidak pernah salah.***
Thalisa yang sedang duduk menghadap jendela dengan ponsel di tangannya dikejutkan dengan suara dobrakan pintu kamar. Thalisa langsung menoleh dan bangkit dari duduknya memarahi Wira yang seenaknya masuk tanpa mengetuk pintu."Kamu apa-apaan, sih? Kalau mau masuk tuh ketuk pintu dulu!" omel Thalisa pada Wira. Ia sudah sangat kesal dengan Wira yang semakin lama semakin tidak menghargai dirinya."Kamu yang apa-apaan! Ngapain kamu pegang-pegang calon istri aku?" tuduh Wira dengan wajah yang berubah marah, seperti tidak memandang Thalisa sebagai istri lagi.Thalisa yang dituduh seperti itu mengernyitkan dahinya bingung, ia tidak merasa menyentuh Sofia sedikit pun, kalaupun bersentuhan, sudah dipastikan Thalisa akan mandi selama tujuh hari tujuh malam. Jijik shaaay!"Kamu punya masalah sama aku, nggak usah kamu sakitin Sofia! Dia itu calon istri aku!" bentak Wira dengan mata yang melotot, menunjukkan bahwa dirinya merasa kesal dengan perlakuan Thalisa terhadap calon istrinya."Terus kenapa kalau aku sakitin Sofia? Kamu mau apa? Nggak terima?!" tantang Thalisa dengan suara yang meninggi. Ia sudah tidak tahan untuk menyimpan rasa kesalnya pada dua makhluk astral ini."Harusnya kamu sadar, Mas! Aku ini masih istri kamu, ini rumah mertua kamu, buat apa kamu bawa-bawa perempuan lain ke rumah ini?!" murka Thalisa. Sungguh ia tidak habis pikir dengan suaminya, sebegitu teganya kah ia terhadap Thalisa dan keluarganya?"Aku salah apa sama kamu? Sampai kamu nyakitin aku kayak gini?! Aku cuma nggak bisa kasih kamu keturunan, dan itu juga bukan kemauan aku!! Apa kamu nggak mikirin gimana perasaan kedua orang tua aku?! Ha?""Selama ini, aku selalu sabar dengerin ocehan kamu dan juga Mama Windy yang selalu tanya kapan aku hamil, kapan aku punya anak! Kamu itu suami aku, Mas, harusnya hadir kamu itu sebagai dukungan untuk aku!" Amarah Thalisa sudah berada di ujung tanduk, ia sudah tidak peduli siapa pun mendengar suaranya yang berteriak kencang."KAMU MAU BUNUH AKU? BUNUH AJA SEKARANG, TAPI JANGAN LEMPAR KOTORAN KE WAJAH ORANG TUA AKU, MAS! AKU MOHON!" Tubuh Thalisa merosot jatuh ke lantai, tangisnya pecah, ia mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Sungguh hal ini membuat Thalisa merasakan dunianya sudah berakhir.Tangisan Thalisa berhenti sejenak, kepalanya mendongak ke arah Wira yang masih setia berdiri di hadapannya. Ia langsung bangkit dan mencari sesuatu di laci nakasnya.Yup, Thalisa menemukannya! Benda yang akan mengakhiri segala kesedihan dan juga derita dalam hidupnya. Sebuah cutter kecil akan mengantarkannya pada kematian, sebentar lagi.***
To be continue,Minta dukungannya ya untuk karya Madam ini dengan cara like, komentar, dan tambahkan cerita Madam ke Library kalian. Happy reading ❤
"Lebay banget, sih, baru mau diceraikan saja sudah segitunya," decak Sofia seraya menghentak-hentakkan kedua kakinya menuju keluar. Ia melihat persis bagaimana Thalisa memarahi Wira dan juga aksinya memegang cutter untuk mengakhiri hidup. Menurut Sofia hal itu sangat menggelikan, terlalu drama.Saat Sofia sedang duduk di kursi luar, tiba-tiba ada perempuan yang sebaya dengannya datang menghampiri. Ia langsung berdecak sebal, di saat-saat seperti ini, ia sangat tidak ingin diganggu."Permisi, Mbak," ucap perempuan itu dengan sopan dan senyum yang ramah."Iya, ada apa?" ketus Sofia dengan tatapan tidak suka."Thalisanya ada, Mbak?" tanya Lastri -teman sekolah Thalisa sewaktu SMA. "Soalnya yang saya dengar Thalisa sudah pulang ke sini," imbuhnya."Ada, lagi drama! Ada apa, sih? Nggak usah bertele-tele," kata Sofia dengan kedua tangan berada di depan dada.Lastri terpaku dan langsung tersenyum kikuk, ia menggaruk tengkuk lehern
Perceraian antara Thalisa dan juga Wira sudah sah dimata hukum dan negara beberapa bulan yang lalu. Kini Thalisa sudah resmi menyandang status barunya sebagai janda, ia harus memulai kembali kehidupannya yang baru, menjalani hari-hari tanpa harus bertemu dengan Wira dan sang mantan mertua Mama Windy.Thalisa sudah tidak tinggal di sukabumi, bukan karena rasa malu yang dialami oleh Imas selaku ibunya. Namun, karena Thalisa memang sudah saatnya untuk memulai kehidupan baru di tempat yang baru.***Bogor, 16 Maret 2021Warna langit yang biru sudah berubah menjadi jingga, matahari mulai meredupkan sinar cahayanya yang terang untuk kembali pulang. Sore hari adalah suasana yang dirindukan bagi seorang wanita yang selalu bekerja dari pagi hingga malam. Hampir tiga bulan ini, ia tidak pernah melihat matahari terbenam, dan inilah saat yang tepat untuk mendapati matahari yang ingin beristirahat dari hingar bingarnya dunia.Di atap ged
Hari minggu adalah jadwal Thalisa untuk mengajak Bunda Ara berolahraga. Thalisa mengenakan celana training dan tanktop berwarna mocca dibalut dengan sweater berwarna putih dengan rambut yang dikuncir kuda, semakin menambah kesan manis pada wajah putihnya.Thalisa pun berjalan menuju rumah Bunda Ara untuk mengajaknya berolahraga bersama. Pagi ini terasa teduh, membuat Bunda Ara malas untuk melakukan kegiatan olahraganya ini."Thalisa, Bunda nggak olahraga dulu, ya?" pinta Bunda Ara saat Thalisa sudah sampai di depan pintu rumahnya, yang kebetulan Bunda Ara sedang duduk di kursi depan rumah."Lho, kenapa, Bunda?" tanya Thalisa. Ia pun duduk di samping Bunda Ara untuk memastikan bahwa tetangga yang sudah dianggap seperti ibu kandungnya itu baik-baik saja."Bunda sakit?" tanya Thalisa dengan raut wajah yang khawatir. Ia takut jika Bunda Ara itu jatuh sakit.
Thalisa sedang terburu-buru berdandan, karena pagi ini ia bangun kesiangan. Setelah selesai menyisirkan rambutnya, Thalisa langsung berangkat ke kantor menggunakan sepeda motor yang ia beli tunai setelah mendapat bonus pekerjaan karena loyalitasnya pada perusahaan sangat baik.Membutuhkan waktu satu jam dari rumahnya menuju kantor, ditambah lagi dengan kemacetan yang biasa terjadi setiap jadwal kerja pada pagi hari, apalagi ini adalah hari senin. Sungguh, Thalisa tidak bisa membayangkan bagaimana jika bosnya tahu jika ia datang terlambat masuk kerja.Thalisa tidak berhenti melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 08.25, entah apa yang harus Thalisa katakan pada bosnya nanti jika ia sudah sampai.Ini semua karena kejadian kemarin siang, andai saja ia tidak melihat dua orang yang selama ini berusaha ia lupakan kehadirannya, pasti Thalisa tidak akan mengalami in
Thalisa mendapatkan pesan singkat dari Bunda Ara, ia terus saja mengirimi pesan yang menyuruhnya untuk makan malam bersama dengan anaknya. Bunda Ara memang belum mengetahui tentang apa yang terjadi antara Shofia, Wira, dan juga Thalisa beberapa bulan yang lalu.Sejak pulang dari rumah Bunda Ara, Thalisa tidak mengatakan sepatah kata pun pada Bunda Ara. Sama halnya dengan Shofia dan Wira. Mereka hanya diam saja, terkejut memang, namun, hanya dipendam dalam hati. Sejak kejadian itu pula, Thalisa tidak bisa tertidur nyenyak, ia terus saja terbayang-bayang akan masa lalunya yang kelam bersama dengan Wira.Thalisa sengaja mengabaikan pesan dari Bunda Ara, dan tidak berniat untuk membalasnya. Karena Thalisa belum siap untuk bertemu kembali dengan dua orang yang sudah menorehkan luka di hatinya.Bunda Ara terus saja menelepon Thalisa, berharap Thalisa mau mengangkat teleponnya. Namun, Thalisa masih bimbang,
Wira dan Shofia memberanikan diri masuk ke dalam kamar Bunda untuk melancarkan rencana yang mereka buat agar Bibi Erna tidak tinggal lagi di rumah ini.Shofia bertugas untuk mencari barang peninggalan sang ayah di lemari pakaian sang bunda dan mengambilnya untuk diletakkan di dalam lemari Bibi Erna. Sedangkan Wira bertugas menjaga pintu kamar Bunda, takut-takut jika nanti Bunda pulang dari acara arisannya dan memergoki Wira dan juga Shofia sedang mengacak-acak kamarnya. Rencana mereka bisa gagal, dan Shofia tidak akan mendapatkan harta warisan.Dapat! Shofia menemukan sebuah kalung berinisial huruf S yang mana itu adalah kalung yang diberikan almarhum ayahnya untuk diberikan pada Shofia. Ia memang belum ingin memakainya, maka dari itu ia menyuruh sang bunda untuk menyimpannya, dan akan sang bunda kembalikan begitu Shofia memintanya.Shofia pun langsung memanggil Wira dan menyuruhnya untuk menaruh kalung itu di tempat Bibi Erna. Kebe
Thalisa membanting pintu rumah dengan kondisi panik, bayang-bayang masa lalunya terasa semakin menghantui, dan suara orang-orang yang menghinanya pun begitu menusuk di telinga Thalisa.Ia pun menutup semua gorden hingga ruangannya menjadi gelap gulita tanpa pencahayaan lampu sedikit pun. Thalisa menutup kedua telinganya dengan kasar, air matanya mengucur deras membasahi pipi, ia hanya bisa berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk.Ia tidak menyadari, bahwa dibalik semua ini adalah salah satu bagian dari rencana sang mantan suami, Wira.Di depan rumah Thalisa sudah ada seseorang yang memperhatikan, berpakaian serba hitam, memakai topi dan juga masker untuk menutupi wajahnya. Ia mengikuti Thalisa mulai sepulang dari kafe hingga Thalisa sampai di rumah dalam keadaan yang memperihatinkan.Terpancar seulas senyuman bangga di sana. Ya, orang itu sangat senang melihat Thalisa menderita. Mencari kelemahan jan
Pagi ini Thalisa pergi ke kantor seperti biasa, Thalisa memulai aktifitasnya kembali setelah kemarin merasakan kegalauan yang membuatnya amat terpuruk.Kini, Thalisa tidak ingin mempedulikan atau mendengarkan perkataan orang lain terhadapnya. Ia hanya perlu tutup telinga jika ada orang yang membicarakan tentang dirinya. Begitulah saran dari dua orang wanita yang mempunyai peran penting dalam hidupnya saat ini. Mereka adalah Liona dan juga Cheryl.Kemarin adalah hari terburuk bagi Thalisa, karena ia kembali mengingat masa lalu yang membuatnya semakin tersiksa. Namun, dengan kehadiran dua sahabatnya ini, Thalisa bisa kembali percaya diri terhadap hidupnya. Kedua sahabat yang membawa dirinya dalam lingkungan yang positif.***Pekerjaan di kantor yang ia tinggalkan selama dua hari kemarin karena kecelakaan yang ia alami membuatnya harus kembali bekerja lembur sampai malam hari. Walaupun begitu, pekerjaan ini tidak membuat