"Kamu ini nggak bisa kasih aku keturunan! Mamaku juga mau punya cucu kayak teman-teman mama yang lain!" bentak Wira dengan kilatan emosi yang terpancar di matanya.
"Mas, kamu kan tahu kalau aku nggak bisa kasih anak buat kamu dan juga cucu buat mama, kita bisa cari cara lain, kita adopsi anak. Tapi, kenapa kamu malah selingkuh sama perempuan lain, Mas?" kata Thalisa dengan mata yang mulai memerah ingin menangis."Terus sekarang kamu salahin aku kalau aku berhubungan dengan wanita lain?! Kamu yang mandul, kenapa aku yang disalahin, aku cuma mau anak dari darah daging aku sendiri, bukan hasil adopsi anak orang lain yang ada di panti asuhan! Ngerti kamu?!" sambungnya dengan kedua tangan yang sudah bertengger di pinggang.Siapa yang tidak sakit hati mendengar perkataan suami yang selama ini sangat dicintainya? Melihat suami berselingkuh dengan wanita lain dan berniat menjadikannya istri. Tentu saja Thalisa tidak terima, ia bukan perempuan bodoh dan lemah yang bisa dipermainkan begitu saja.Ini memang menyakitkan bagi Thalisa tetapi, ia juga harus bisa menerima kekurangan yang menjadi alasan Wira untuk berselingkuh."Aku nggak bisa memberikan kamu keturunan, dan kamu juga nggak bisa menerima aku apa adanya, untuk apa rumah tangga ini dipertahankan?!" bentak Thalisa. Ia langsung pergi menuju kamar dan membanting pintu dengan sangat keras.Thalisa membereskan baju-baju dan memasukkannya ke dalam koper sambil menangis pilu. Ia ingin pergi saja dari rumah ini, ia sudah tidak sanggup bertahan dengan suami yang tidak bisa menghargai keberadaannya sebagai istri. Bukankah sewaktu memulai pernikahan, Wira sudah berjanji di hadapan Tuhan dan di depan banyak orang bahwa ia akan menerima semua kekurangan, kesedihan dan kesenangan Thalisa? Memang lelaki tidak bisa dipercaya sekali pun sudah terikat janji oleh yang Maha Kuasa.Ia keluar dari kamar dengan mendorong dua koper dan satu tas jinjing yang diletakan di atas salah satu kopernya yang berwarna merah. Hatinya sangat hancur, ia ingin mengadu pada kedua orang tuanya yang berada di kampung namun, Thalisa sadar ia tidak akan bisa melakukan hal itu.Wira yang melihat Thalisa membawa banyak barang-barang hanya diam saja, ia tidak berbicara satu kata pun atau sekedar melarang Thalisa untuk pergi dari rumah. Seperti itukah sifat laki-laki? Sudah bersalah, mencari pembelaan dan tidak ada rasa penyesalan karena sudah menyakiti hati wanitanya dihari ulang tahun pernikahan mereka.Thalisa sudah tidak peduli lagi dengan Wira, ia langsung berjalan cepat dan keluar dari rumahnya, memberhentikan taksi yang melintas di depannya, lalu Thalia menaiki taksi itu sambil mengusap kedua pipinya yang masih basah karena air mata."Maaf, Bu, tujuannya mau kemana, ya?" tanya sopir taksi tersebut seraya memalingkan kaca spionnya ke arah belakang tempat Thalisa duduk."Kita jalan aja dulu, Pak, nanti di perjalanan saya kasih tahu arahnya," jawab Thalisa dengan suara yang serak. Sopir taksi itu pun mengangguk paham dan langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.***
Sampailah Thalisa di tempat tujuan, rumah yang dulu pernah ditempati oleh dirinya dan juga orang tuanya saat Thalisa ingin menikah. Tidak ada siapapun di sana, karena orang tua Thalisa sudah kembali ke kampung halaman untuk mengurus sawah-sawah yang menjadi milik keluarga mereka.Thalisa memasuki rumah tersebut, membuka pintu dengan tangan yang gemetar karena perasaannya saat ini sudah hancur berkeping-keping. Ia ingin mengadu namun, ia tidak sanggup membuat orang tuanya turut bersedih atas nasibnya saat ini.Selama ini Thalisa selalu menutupi bahwa rumah tangganya baik-baik saja bersama Wira, dan menutupi kenyataan kepada orang tuanya bahwa ia juga tidak bisa memiliki keturunan. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya orang tua Thalisa jika mengetahui semua permasalahannya.Ia meletakkan kopernya di ambang pintu kamar, berjalan menghampiri tempat tidur yang sangat ia rindukan. Ia berbaring mendekap guling yang berada di dekatnya, Thalisa kembali menangis, begitu lirih hingga siapapun yang mendengarnya pasti akan ikut terbawa suasana kesedihan yang dialami oleh Thalisa."Haruskah berakhir seperti ini, Tuhan? Aku tidak sanggup, apa kata keluargaku nanti? Pasti mereka akan malu memiliki anak yang ditinggalkan suami karena tidak bisa memberikan keturunan," lirihnya dengan isakan tangis yang mengiringi kesedihannya.Saat Thalisa sedang bercengkerama dengan tangisannya, tiba-tiba saja suara dering teleponnya berbunyi. Menampilkan nama sang ibu mertua di sana, buru-buru Thalisa mengusap air mata dan mengambil ponsel yang ia letakkan tepat di sampingnya. Dengan mempersiapkan telinga yang kebal, ia menggeser ikon berwarna hijau itu dan langsung menempelkan teleponnya ke telinga."Halo, Thalisa!" teriak Mama Windy sang ibu mertua. Saat mendengar Mama Windy berteriak Thalisa pun langsung menjauhkan teleponnya dari telinga. "Kamu dengar nggak sih?!" lanjutnya dengan suara yang terdengar sangat kesal."Iya, Ma, Thalisa dengar, ada apa?" sahut Thalisa dengan suara yang pelan."Ada apa kamu bilang? Hei! Kamu itu sudah pergi dari rumah dua jam yang lalu, kenapa kamu belum pulang?" Mama Windy diam sejenak menunggu jawaban dari Thalisa namun, Thalisa hanya diam saja membiarkan Mama Windy untuk meluapkan emosinya."Suami ditelantarkan begitu aja, memangnya kamu mau kalau suami kamu diurusin sama perempuan lain?" sambung Mama Windy dengan nada suara yang menyindir, Thalisa tahu jika mama mertuanya itu tidak menyukai Thalisa karena belum bisa memberikannya cucu. Dan Thalisa pun tahu, bahwa Mama Windy lah yang menyuruh Wira untuk mencari perempuan lain."Ma, aku nggak akan pulang malam ini. Wira juga udah-" belum selesai Thalisa bicara namun, sudah disela oleh Mama Windy."Kamu itu istri nggak tahu diri, ya! Nggak tahu diuntung! Kamu itu sudah diurusin sama anak saya supaya jadi orang kaya! Pantaslah kalau Wira itu mencari perempuan lain! Punya istri pun nggak bisa mengurus suami, kasih anak aja nggak bisa! Dasar mandul!" Mama Windy langsung menutup telepon sepihak dengan wajah yang memerah padam, ia sudah naik pitam melihat kelakuan Thalisa yang tidak bisa mengurus anaknya dengan baik menurut versi dirinya.Helaan napas keluar begitu saja bersamaan dengan air mata yang langsung mengalir tanpa diperintah, Thalisa sakit hati dengan semua ucapan mama mertua yang selama ini selalu ia hormati keberadaannya. Apakah pantas Thalisa menerima hinaan seperti itu dari ibu yang telah melahirkan suaminya?Thalisa kembali menangis meraung-raung meratapi nasibnya, kesedihan terus saja menggerogoti hatinya yang rapuh. Thalisa tidak bisa diam begitu saja harga dirinya diinjak-injak dan dipermainkan.***
"Wira, kamu itu gimana, sih, punya istri keluyuran kok didiamkan saja," gerutu Mama Windy yang sedang duduk di sofa seraya menangkupkan kedua tangannya di atas lutut."Aku udah nggak peduli, Ma, Thalisa mau ngapain di luar sana. Pokoknya dalam waktu dekat ini aku juga akan menceraikan Thalisa, dan menikah dengan Sofia," jelas Wira dengan tatapan yang mengarah pada ponsel yang sedang dipegangnya."Kamu sudah bawa Sofia periksa ke rumah sakit belum? Pokoknya kalau kalian sudah menikah, cepat-cepat buatin Mama cucu. Jangan kayak Thalisa, mandul nggak bilang-bilang sama Mama dari awal.""Semuanya sudah beres, Mama nggak perlu takut, Wira pasti buatin cucu untuk Mama, dua sekaligus kalau bisa, hehehe," kelakar Wira yang dibalas senyum kepuasan oleh Mama Windy.***
Semoga kalian suka dengan karya Madam, ya. Happy Reading❤Sudah satu minggu Thalisa tidak pulang ke kediaman Wira, berkomunikasi dengannya pun hanya untuk menanyakan tentang perceraian mereka. Selebihnya, Thalisa sudah pasrah akan status janda yang akan ia sandang nanti. Mau tidak mau, Thalisa harus menceritakan ini semua pada kedua orang tuanya.Persidangan akan diadakan dua minggu lagi, masih ada kesempatan bagi Thalisa untuk pulang ke kampung dan mengabari keluarganya. Setelah dari sana, Thalisa akan kembali lagi ke Jakarta untuk mengurus surat-surat kepindahannya.Menurut orang-orang di kampungnya, status janda adalah hal yang paling buruk, karena janda gemar digandrungi oleh laki-laki, terlebih laki-laki yang sudah memiliki istri. Itu sebabnya, menjadi janda sangat ditakuti oleh para perempuan di sana.Kakinya terasa berat untuk melangkah menuju terminal, ia sangat takut dengan tanggapan yang akan diberikan oleh kedua orang tuanya dan juga orang-orang sekampung yang bisa saja mengetahui hal ini dari mulut
"Halo, Mas, aku mau bicara sebentar," ucap Thalisa saat nada tersambung dengan Wira."Ada apa? Aku nggak punya waktu, sebentar lagi aku mau ketemu sama Sofia," pungkas Wira tanpa rasa bersalah.Thalisa diam sejenak, ia mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha untuk menetralkan rasa jengkelnya terhadap sang suami yang semakin lama semakin tidak bisa didiamkan."Halo? Masih mau bicara atau nggak?" sarkas Wira, seketika membuat Thalisa sadar dari lamunannya."A-ah iya, Mas, aku cuma mau sampaikan amanah Bapak, kalau Mas harus datang ke sini. Ada yang mau Bapak bicarakan sama Mas," jelas Thalisa."Mau apa lagi? Memang kamu belum bilang kalau kita sudah mau cerai? Nggak bisa, aku nggak ada waktu untuk datang ke sana!""Mas, kamu nikahin aku itu minta restu baik-baik sama orang tua aku, jadi sekarang kalau Bapak minta kamu ke sini, harusnya bisa dong?" sahut Thalisa dengan kesal, ia sangat tidak menyukai perkataan Wira yang t
"IMAS!!" pekik Johan dengan mata yang membelalak tajam. Ia menghampiri Imas dan menarik tangannya untuk meninggalkan Thalisa yang masih mematung di ruang tamu.Imas hanya diam saja tak bersuara, ia sudah tahu jika suaminya pasti sudah mendengar apa yang ia katakan pada Thalisa dan akan segera memarahinya."Nggak usah marah-marah, apa yang Ibu bilang juga benar, kan?" bela Imas dengan jari-jari yang menggulung kain yang dipakainya menjadi kecil."Istigfar, Bu! Thalisa anak kita sendiri, kenapa Ibu tega bicara seperti itu pada Thalisa? Apa Ibu nggak berpikir kalau kata-kata Ibu bisa saja menyinggung perasaannya?" protes Johan. Ia menangkupkan kedua pipi istrinya itu dengan cukup kencang."Lho, memang benar, kan? Dalam keadaan Thalisa yang nggak bisa punya anak terus jadi janda, apa orang-orang sini nggak akan menjadikan Thalisa bahan gosip, Pak? Ibu malu!""Nggak usah pikirin apa kata orang, Bu, tapi pikirin perasaan anak kamu sendiri.
"Assalamualaikum," salam seseorang sambil mengetuk pintu rumah yang sudah terkunci."Waalaikumussalam, tunggu sebentar," sahut Dafa yang sedang menonton TV di ruang tengah, ia pun langsung berjalan keluar untuk membuka pintu. Begitu Dafa memutar knop pintu terlihat seorang laki-laki sedang menyandarkan satu tangannya di dinding dan satu tangannya lagi berkacak pinggang."Hei, Daf, gimana kabarnya? Sehat?" tanya seorang laki-laki yang berdiri di hadapannya. Dia tidak sendirian tetapi, bersama dengan seorang wanita di sampingnya, menggandeng tangan laki-laki tersebut tanpa ingin terlepas."Cuih!" Dafa membuang salivanya begitu melihat kedua orang tersebut. Saat Dafa ingin menutup pintu kembali, Bapak menahannya dari arah dalam, membuka sedikit untuk melihat siapa yang bertamu di tengah malam menuju subuh seperti ini."Masuk!" perintah Bapak pada kedua orang itu dengan wajah yang nampak kesal. Ia memanggil Imas untuk keluar namun, tidak dengan Th
"Lebay banget, sih, baru mau diceraikan saja sudah segitunya," decak Sofia seraya menghentak-hentakkan kedua kakinya menuju keluar. Ia melihat persis bagaimana Thalisa memarahi Wira dan juga aksinya memegang cutter untuk mengakhiri hidup. Menurut Sofia hal itu sangat menggelikan, terlalu drama.Saat Sofia sedang duduk di kursi luar, tiba-tiba ada perempuan yang sebaya dengannya datang menghampiri. Ia langsung berdecak sebal, di saat-saat seperti ini, ia sangat tidak ingin diganggu."Permisi, Mbak," ucap perempuan itu dengan sopan dan senyum yang ramah."Iya, ada apa?" ketus Sofia dengan tatapan tidak suka."Thalisanya ada, Mbak?" tanya Lastri -teman sekolah Thalisa sewaktu SMA. "Soalnya yang saya dengar Thalisa sudah pulang ke sini," imbuhnya."Ada, lagi drama! Ada apa, sih? Nggak usah bertele-tele," kata Sofia dengan kedua tangan berada di depan dada.Lastri terpaku dan langsung tersenyum kikuk, ia menggaruk tengkuk lehern
Perceraian antara Thalisa dan juga Wira sudah sah dimata hukum dan negara beberapa bulan yang lalu. Kini Thalisa sudah resmi menyandang status barunya sebagai janda, ia harus memulai kembali kehidupannya yang baru, menjalani hari-hari tanpa harus bertemu dengan Wira dan sang mantan mertua Mama Windy.Thalisa sudah tidak tinggal di sukabumi, bukan karena rasa malu yang dialami oleh Imas selaku ibunya. Namun, karena Thalisa memang sudah saatnya untuk memulai kehidupan baru di tempat yang baru.***Bogor, 16 Maret 2021Warna langit yang biru sudah berubah menjadi jingga, matahari mulai meredupkan sinar cahayanya yang terang untuk kembali pulang. Sore hari adalah suasana yang dirindukan bagi seorang wanita yang selalu bekerja dari pagi hingga malam. Hampir tiga bulan ini, ia tidak pernah melihat matahari terbenam, dan inilah saat yang tepat untuk mendapati matahari yang ingin beristirahat dari hingar bingarnya dunia.Di atap ged
Hari minggu adalah jadwal Thalisa untuk mengajak Bunda Ara berolahraga. Thalisa mengenakan celana training dan tanktop berwarna mocca dibalut dengan sweater berwarna putih dengan rambut yang dikuncir kuda, semakin menambah kesan manis pada wajah putihnya.Thalisa pun berjalan menuju rumah Bunda Ara untuk mengajaknya berolahraga bersama. Pagi ini terasa teduh, membuat Bunda Ara malas untuk melakukan kegiatan olahraganya ini."Thalisa, Bunda nggak olahraga dulu, ya?" pinta Bunda Ara saat Thalisa sudah sampai di depan pintu rumahnya, yang kebetulan Bunda Ara sedang duduk di kursi depan rumah."Lho, kenapa, Bunda?" tanya Thalisa. Ia pun duduk di samping Bunda Ara untuk memastikan bahwa tetangga yang sudah dianggap seperti ibu kandungnya itu baik-baik saja."Bunda sakit?" tanya Thalisa dengan raut wajah yang khawatir. Ia takut jika Bunda Ara itu jatuh sakit.
Thalisa sedang terburu-buru berdandan, karena pagi ini ia bangun kesiangan. Setelah selesai menyisirkan rambutnya, Thalisa langsung berangkat ke kantor menggunakan sepeda motor yang ia beli tunai setelah mendapat bonus pekerjaan karena loyalitasnya pada perusahaan sangat baik.Membutuhkan waktu satu jam dari rumahnya menuju kantor, ditambah lagi dengan kemacetan yang biasa terjadi setiap jadwal kerja pada pagi hari, apalagi ini adalah hari senin. Sungguh, Thalisa tidak bisa membayangkan bagaimana jika bosnya tahu jika ia datang terlambat masuk kerja.Thalisa tidak berhenti melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 08.25, entah apa yang harus Thalisa katakan pada bosnya nanti jika ia sudah sampai.Ini semua karena kejadian kemarin siang, andai saja ia tidak melihat dua orang yang selama ini berusaha ia lupakan kehadirannya, pasti Thalisa tidak akan mengalami in