Share

Haidar

"Maaf, hidupku bukanlah cerita w*****d yang boleh sesuka hati dibuat mengikuti keinginan pembaca. Hidupku biarlah Tuhan yang menentukan lajur ceritanya dan maaf, jika tidak ada kamu didalamnya"

Afizena

_  _ _ Jalan Bahagia

Haidar POV:

Haidar Wafa Usamah seorang young entrepreneur, Founder  TOR sekaligus  guru les dipusat TOR. TOR sendiri merupakan kepanjangan dari Teacher Of the Road salah satu startup Indonesia yang saat ini tengah sampai tahan penjajagan. Belum begitu terkenal memang tetapi prospek kiprah kedepanya terlihat sangat menjanjikan. TOR sendiri memang baru berdiri kurang dari 3 tahun dan saat ini TOR masih tertinggal jauh dari kompetitornya, kalian tentu tahu siapa kompetitor TOR yang saat ini tengah naik daun. TOR sadar, TOR memang belum mampu mengajak kolaborasi selebritis. Belum mampu menjadikan salah satu publik figur Pintar sekelas Maudy Ayundah maupun Tasya kamilah untuk dijadikan Brand Ambassador

Ahh.. Jika dipikir-pikir PR TOR masih sangat banyak.

Meskipun begitu pendapatan seorang Haidar tentu sudah sangat cukup untuk meming seorang perempuan, tetapi buka  itu masalahnya.

Saat ini usiaku bahkan belum menginjak 30an dan aku masih terlalu muda untuk menikah.

Hei.

Apakah kalian bingung dengan siapa kalian bicara???

Ini dengan Haidar.

"Ulat bulu!!! Aku nggak suka.. Nggak mau.. Aku benci!!!! " Teriak wanita seorang wanita di belakangku.

Siapa pula dia??

Alamat!!

Mati aku.

Diakan Afizena Ayuningtyas putri dari kawan lama Abi.

Astaghfirullah lupa aku!

"Sudah,sudah tidak ada" Kataku sembari menepuk-nepuk punggungnya menenangkan, setelah beberapa waktu mencoba menenangkan wanita ini dan mohon maaf aku terpaksa merengkuh tubuh mungilnya.

Wanita ini tidak bisa diam, ia terus-menerus mengomel, mengeluarkan segala jenis sumpah serapah agar binatang tak berdosa ini segera menyingkir dari hadapanya.

Ah betapa malangnya nasib ulat bulu ini.

Sudah jatuh, diinjak pula.

Plus, dimaki-maki.

***

Sudah lebih dari 1 jam kami berdiri disini, di sebuah bukit pinus ditengah-tengah desa. Selama itupula kami saling diam. Wanita yang saat ini tengah berdiri sekitar 25cm dari tempatku duduk nampaknya juga tak ingin dab berinisiatif membuka pembicaraan.

***

Afizena POV:

Dihh.

Kelakuannya saat ini jauh berbeda dari yang bunda ceritakan.

Dimana suara cerewet yang bunda ceritakan?

Dimana rasa ingin tahu yang besar?

Dimana tatapan tajam?

Dan dimana sifat manjanya???

Entah, sedari tadi kuperhatikan dia hanya diam saja ya kecuali drama ulat.

Tapi boleh tidak aku berdoa semoga ulat bulu itu datang lagi??

Sungguh menjadi sepasang bisu di tengah hutan bukanlah ide yang bagus.

"Duduk mbak" Akhirnya aku bersuara, wanita itu hanya meliriku sekilas.

"Nggak mau, nanti ada ulat" Sorot matanya nampak waspada.

Sambil terus-menerus menggaruk tangan dan punggungnya, wanita itu kini berjalan mendekatiku "pulang yuk, gatel" Katanya seperti merengek.

"Sekarang? " Tanyaku tolol

"Ya kalau masnya mau sewindu lagi boleh, silahkan. Tapi saya sih, ah bukan. Aku maksudnya, aku sih maunya sekarang" Akhirnya dia duduk mengambil jarak dariku.

"Tadi katanya mau ngobrol, ditungguin diam saja" Cibirnya masih dengan menggaruki tanganya.

"Jangan digaruki terus, nanti tanganmu lecet" Kataku gemas sendiri melihat tingkahnya.

"Ih tapi gatel, gak tau apa kalau aku tuh phobia ulat buku. Udah sampai tahap jijik sampai benci  sampai setelur, ulat, kepompong, bahkan kupu-kupu nya aku ben-- " Tanganku reflek membekap mulutnya

"Iiih hhhh... Apaan sih! Bukan musim tau! " Sungut nya keras, wajahnya memerah tanda kalau dia marah.

"Pulang sekarang atau aku tinggal? Serah mau tersesat atau ma__ astaghfirullah ralat"

"Maaf, bukan maksud kurangajar. Kalau-kalau kamu lupa, kamu dari tadi sudah mengatakan hal yang sama.

Phobia ulat bulu kan?? Iya kamu sudah mengatakannya lebih dari 100 kali, perlu saya jabarkan? "

"Gak. Pulang! " See. Seharusnya aku tidak menanyakan sifat-sifat yang bunda jabarkan tempo hari.

***

Haidar POV:

"Jadi menurut mas Wawa, neng sasa gimana? Ayu to mas? " Bunda akhirnya membuka obrolan setelah seharian kemarin mati-matian menahan diri untuk tidak menanyakan perihal ini. Wawa adalah panggilan sayang kedua orang tuaku, namun aku akan sangat marah dan kesal apa bila ada orang lain yang memanggilku dengan nama ini. Awas saja.

"Wes to bun, besok aja nanya laginya biarkan anakmu sarapan dulu" Ayah menengahi

"Pie to yah" Kesal bunda. Sarapan kali ini diisi dengan perdebatan kecil antara ayah dan bunda seputar perjodohan ini.

Aku hanya tersenyum melihat keributan mereka, tanpa khawatir terjadi ketidak harmonisan diantara keluarga kami karena nyatanya, perdebatan kecil itu selalu berakhir dengan cerita manis ayah yang memeluk bunda maupun sebaliknya, jadi sebelum drama romance itu terjadi kuputuskan untuk menyingkir.

"Dalem¹ (bahasa Jawa sangat halusnya = aku) sudah selesai bun. Yah" Kataku sungguh dengan bahasa Jawa yang tidak pada tempatnya, kedua orang ini menghentikan perdebatannya, merek kompak melihatku

"Kok ndak nambah? " Tanya bunda.

"Mau kemana? " Tanya ayah hampir bersamaan.

"Sudah kenyang bun, mau kerumah Bara. Denger-denger dia pulang"

"Pamit yah, bun"Aku menyalami tangan kanan kedua torangtua ku, dan berpamitan.

"Anakmu lucu. Masa sudah pakai Dalem belakangnya bahasa Indonesia, jawanya dia duhh kacau" Keluh bunda sengaja dikerahkan supaya telingaku dengar.

"Sudah to, sak penting Wafa Masih Njawani ora sok kuto nek agi ning desane dewek² (Tidak sok kota//belagu// Nek = kalau. Sedang didesa sendiri) " Bela ayah

***

"Serius mau dijodohkan ente? " Bara meletakan kopi hitam dihadapanku yang saat ini tengah duduk bersila di atas rumah pohon miliknya.

"Yoi. Tapi gue nggak sreg ya sama ceweknya. Cantik sih, sukses juga tapi judes bray" Keluh ku, Bara tertawa puas.

"Yaelah.. Ane mah mau banget kalau ada yang mau, masalahnya nggak ada" Bara menyeruput kopinya

"Bangke! Mana ada orang berduit macam lo kagak ada yang mau, yang ada lo nya aja kali yang milih-milih  " Makiku saat pilot savage satu ini menaik turunkan alisnya.

"Jijik gue! " Kataku lagi, Kalau ada malaikat Izrail lewat udah biar Bara aja yang mampus duluan dah.

"Apa nih?  Jijik apa sedep dah" Nah ini followers homo setianya Bara datang.

"Nah ini, si maho datang" Sungut ku.

"Kenapa loe? PMS? " Iko menampilkan wajah prihatin yang menjijikan “Bangke! Kaos kaki lo bau nyet!” Sungut Iko.

"Biasa, bocah mau kawin tapi calon bininya galak, gak dapat jatah begitulah" Ledek bara, sontak membuat Iko tertawa puas, sangat puas.

"Ponsel loe bunyi tuh" Iko menunjuk ponselku yang nampak menyala dengan dagu dan kedua matanya.

"Bentar" Kataku kemudian memencet tombol jawab, rupanya nomor asing yang masuk, namun sepertinya aku tidak asing dengan nomor ini. Tak ingin terganggu oleh mereka aku beranjak pergi dan segera turun dari rumah pohon.

"Ngapain turun woi! " Teriak Iko kubalas dengan delikan tajam.

“Mau kemana lu?” Tanya Lukas saat hendak naik ke atas rumah pohon.

“Jawab telfon” Dia mengangguk.

"Hallo, dengan Haidar ada yang bisa saya bantu" Kataku.

"Ini afi" Kata suara wanita disebrang sana.

***

Entah setan darimana sehingga membuat perempuan ini mengalahkan egonya dan menghubungiku terlebih dahulu.

Bukankah ini sangat ajaib?

"Bisa tolong bantu saya, bantu saya untuk membatalkan perjodohan ini. Saya tahu anda tidak menyukai saya, begitu pun sebaliknya, jadi bisakah saya memohon kepada anda untuk membatalkan perjodohan ini" Kata perempuan itu lagi.

Aku menghela nafas kasar, drama macam apalagi ini.

Suara perempuan itu terdengar parau, mungkinkah sebegitu hinanya menerima perjodohan ini ataukah sebegitu buruknya rupaku hingga ia memohon sedemikian?

Dimana harga diri dan ego besarnya?

"Baik, akan saya usahakan dan saya bicarakan tentang pembatalan perjodohan ini pada orang tua saya dan orang tua anda" akhirya ku ikuti permainan perempuan aneh ini.

Mengapa semudah ini?  

Mengapa segampang itu aku melepaskan  perempuan yang mulai nampak menarik dimataku?

---JALAN BAHAGIA

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status