Seorang gadis berteriak sambil berlari menuju ke perundungan Jagat. Dia tidak memedulikan keadaannya yang masih basah kuyup dan berbelit kain jarit basah. Tubuh rampingnya bahkan terlihat jelas setiap lekuknya.
Jagat seketika melempar kain sarungnya yang selalu dililitkan di pinggang pada sang gadis. Savitri menangkap dan membungkus tubuhnya, "Apa yang kalian lakukan pada Jagat? Bukankah sudah sering guru katakan bahwa kita tidak boleh melakukan perundungan!"Abimana menatap tajam pada gadis itu, "Kau hanya perempuan, Savitri. Tidak usah ikut campur!""Cuih! Selalu saja seorang Abimana yang sok berkuasa."Kesempatan ini digunakan Jagat untuk berusaha duduk dan mengatur napasnya yang terasa sesak. Ada keanehan yang dia rasakan, bukankah awalnya dia berada di goa dengan luka dalam. Tapi kini ....Sementara Abimana berjalan mengikis jaraknya dengan Savitri, lengannya yang kekar dan panjang meraih rahang gadis itu. "Bukankah sering pula aku berkata padamu, Savitri! Jauhi pemuda hina ini, kelak kau akan jadi ratuku.""Lepaskan Abimana, sakit!" rintih Savitri dengan sorot mata penuh kebencian."Segera lepas gadis itu, Abimana, lihatlah paman koki sedang berjalan kemari!" kata Kurubumi dengan nada rendah.Mendengar kabar itu, Abimana langsung menyentak wajah Savitri dan mengalihkan pandangannya ke arah kanan dimana terlihat seorang pria paruh baya yang masih kekar dan kuat. "Apa yang kalian lakukan di sini? Abimana, bukankah hari ini jadwalmu masuk ruang latihan? Mengapa masih berdiam di sini?" cerca Paman Koki.Tatapan Paman Koki yang sering dipanggil Jemblung itu menatap satu per satu para murid padepokan. Saat tatapannya tertuju pada Savitri, dahinya berkerut ketat, "Kau perempuan, Savitri. Tidak baik berada di antara pria dalam keadaan seperti itu.""Maaf, Paman. Aku hanya tidak senang melihat perundungan di depan mata," kilah Savitri."Segera kembali dan bersihkan tubuhmu!"Savitri bergerak menjauh tanpa mengeluarkan suara memberontak sedikitpun, dia tahu apa yang dilakukan oleh Jemblung untuk melindungi marwahnya.Sementara tatapan Jemblung beralih pada Jagat. "Sejak tadi malam kau menghilang hingga semua pekerjaanku berantakan. Mana hasil airmu, Jagat?""Maaf, Paman. Kuali saya bocor akibat lemparan kerikil oleh Abimana dan kawannya. Aku terbuang ke dasar jurang hingga berakhir seperti ini. Hai,tunggu bagaimana saat ini aku ada di sini?" jawab Jagat dengan mimik bingung."Bohong, mana buktinya?" Hentak Abimana tidak terima, "Justru dia lah yang berniat hendak mencabuli Nona Savitri!"Jagat membeliakkan kedua bola matanya tidak percaya dengan apa yang dituduhkan Abimana. Pemuda itu berdecap, menghela napas panjang."Beri hukuman pada pria hina dan tidak tahu balas budi ini, Jemblung!" tukas Abimana.Jemblung semakin menajam pada Jagat, dia menahan emosi agar otaknya bisa bekerja dengan baik. "Sebaiknya Pangeran dan yang lainnya kembali pada kewajiban masing-masing, biar pria tua ini yang urus masalah di sini!"Abimana menatap Jagat tajam sambil menunjuk geram. Setelah puas, dia segera berbalik badan dan melangkah meninggalkan tempat itu bersama dengan dua sahabatnya.Sementara di tempat itu, Jemblung berjalan mendekat pada Jagat. Dilihatnya pemuda itu dari jarak dua meter mulai ujung kepala hingga kaki. Terlihat lengkungan ke bawah di bibir pria tua, dia seakan merendahkan kondisi Jagat."Aku tidak bersalah, Paman. Sungguh, semua ini hasil perbuatan Abimana dan yang lainnya," kilah Jagat yang masih kekeh pada pendiriannya.Apa yang diucapkan Jagat sesuai dengan keadaan yang ada dan tanpa dia berniat menambahi ataupun berkurang. Nada yang terucap pun terdengar tenang dan tegas. Hal ini membuat Jemblung sadar ada sesuatu yang tersembunyi di tubuh pekerjanya itu.Jemblung memandang sekitar, pecahan kuali masih berserakan bahkan sudah berganti bentuk. Akhirnya Jemblung berkata, "Sudah, bantu aku di dapur. Masalah air, nanti menjelang malam kau isi tandon menggunakan bumbung bambu yang ada di sudut itu!""Baik, Paman. Lalu kuali ini?"Jemblung memerhatikan tumpukan kuali yang ada di bawah kaki Jagat. "Kumpulkan dan buat lagi dari bahan itu. Aku tidak peduli bagaimana caramu agar jadi seperti sedia kala. Paham!"Setelah berkata dan memberi perintah apa yang harus dikerjakan oleh Jagat, pria tua berjalan meninggalkan Jagat yang masih berdiri menatap puing-puing kuali.Napasnya naik turun tidak beraturan, kedua tangannya mengepal kuat. Dia tidak mampu berkuasa atas dirinya sendiri. Perlahan rasa bersalah menyelinap di relung kalbu, Jagat hanya mampu mengumpat dalam hati.Dia tahu sedang berhadapan dengan siapa, dari sekian murid hanya Savitri yang mau mendekat padanya meski murid perempuan lainnya selalu histeris saat dia berjalan di hadapan mereka. "Rasanya aku harus bersabar lagi. Hai Tulang, ayo bantu aku melanjutkan hukuman ini. Aneh, beberapa saat lalu tubuhku masih terasa sakit dan sesak. Kini?"Setelah puas bicara pada diri sendiri, Jagat mulai memungut setiap pecahan kuali yang berserakan. Dikumpulkan semua menjadi satu di dasar kuali. Setelah merasa sudah selesai, maka dibawa puing kuali dan diletakkan di bawah tandon.Pandangannya melihat pada sudut yang tadi ditunjuk oleh paman koki, bibirnya tersenyum tipis kala dilihatnya dua bumbung tinggi yang bersandar di dinding dapur. "Aku harus segera masuk ke dapur sebelum suara koki tua itu menggelegar lagi!" ucap Jagat bermonolog.Pemuda itu melangkah panjang tertatih menyeret kakinya yang penuh memar dan luka. Darah tampak mengering pada tungkai bawahnya. Bau anyir darah menguar begitu saja."Bau apa ini?" Suara seorang pekerja memecah keheningan."Hai Jagat, lihat tungkaimu mengeluarkan darah!" kata yang lainnya.Jagat berhenti sebentar lalu melihat tungkainya, segera dia menyobek kain pada pakaian dalamnya dan mulai mengikat luka itu. Kemudian dia menuju ke meja bahan baku. Pandangannya menyapu keseluruhan barang yang ada di atas meja, otaknya berpikir apa yang akan dia kerjakan lebih duluNamun, belum sampai tangannya terulur untuk meraih sayur hijau sebuah suara terdengar lantang agar dia lebih mendahulukan daging untuk dicincang. Tanpa bersuara, Jagat segera beralih pada meja daging.Matanya mengerjab melihat limpahan daging merah tersedia di atas meja. Ada mual yang menyentak perutnya, bau anyir darah segar yang sedikit berbeda dari biasanya tercium di indranya. Lamat terdengar suara orang berbisik, "Kali ini keberuntungan berpihak pada padepokan kita, karena adanya kiriman daging babi hutan yang berlimpah dari para pemburu.""Tetapi sama saja mereka minta jamuan diujung kalimat," celetuk yang lain.Sedangkan Jagat masih berdiri termangu menatap tumpukan daging babi hutan itu hingga tepukan keras dirasakan pada pundaknya."Jangan melamun, ayo segera bantu saya potong ini daging agar cepat dimasak paman koki!" ucap pria botak."Baik, Paman. Ini dipotong kecil dadu atau melebar tipis?" tanya Jagat."Dadu saja, lebih efisien dan cepat."Jagat sudah tidak bertanya lagi, dia fokus pada tumpukan daging di depannya. Belum juga mulai sebuah tangan terulur di depannya sambil menyodorkan selembar kain hitam. "Pakai ini, bau anyir menusuk hidung!""Terima kasih, Paman."Kain itu Jagat gunakan untuk menutupi hidungnya sebagai masker. Pada masa itu belum ada kata masker ya, hanya kain tipis digunakan untuk penutup wajah.Setelah merasa nyaman, Jagat mulai menggerakkan kedua tangannya memotong tumpukan daging. Pekerjaannya memotong daging sudah hampir selesai, terdengar suara Paman Jemblung memanggil namanya. Gegas pemuda itu berjalan cepat menuju tungku panas. "Iya, Paman!""Pergi ke sungai sekarang! Air dalam tandon sudah sulit turun, mungkin sudah di garis batas akhir," ujar Jemblung."Baik, Paman. Lalu bagaimana nasib daging di sana?""Biarkan saja, masih ada yang lain."Jagat berjalan keluar menuju tempat bumbung yang sudah dia sediakan. Tangannya bergerak cekatan mengikat keduanya pada tali tambang yang terkait pada bilah bambu, kemudian di pikulnya empat bumbung bambu yang beda tingginya. Sebelum mulai melangkah, Jagat membungkuk berniat melihat rendaman kuali yang hancur siang tadi. "Sudah mulai melunak, bagus juga khasiat daun itu."Setelahnya Jagat mulai melangkah tidak lupa memikul bilah bambu yang di kedua ujungnya sudah terikat empat bumbung sama. Pemuda itu bergerak cepat bolak balik sungai dan tandon hingga berulang kali. Suara gemerisik geraknya rumput sesekali menyapa cupingnya, tetapi tidak dia pedulikan. Menurutnya hanya hewan liar yang mencoba mencari makan tidak menyurutkan langkah yang terus maju hingga terlihat bayangan hitam meluncur cepat menuju ke arahnya. Slash! Kilatan cahaya menyentuh tali pada ujung bilah bambu yang dipikul. Sesaat kemudian berdiri sosok pria bertopeng dengan pedang tipis nan panjang. Di belakangnya masi
Seorang tabib memeriksa tubuh Jagat, Ki Jemblung dengan setia berdiri di tiang ranjang sambil terus melihat anak didiknya. Terlihat wajah cemas yang membayang diwajahnya. "Bagaimana, Tabib?"Sang tabib menatap sekilas pada Jemblung, lalu kembali fokus pada tubuh Jagat. Jemari tuanya mulai meraba beberapa lebam dan memar pada beberapa titik vital tubuhnya. Gelengan kepala sesekali terlihat membuat Ki Jemblung menjadi gelisah. "Ada apa dengan tubuh Jagat?" tanya Jemblung makin gelisah."Ada keanehan pada struktur tulang pemuda ini, Ki. Apa sebelumnya dia seorang pendekar?" Sang Tabib tidak menjawab pertanyaan koki padepokan, justru dia bertanya padanya. Jemblung mengerutkan dahi, dia juga tidak paham dengan kondisi tulang Jagat di masa silam. Untuk itu dia menjadi bingung sendiri, sejak kecil pun Jagat tidak terlihat sebagai sosok pria yang kuat. "Bagaimana, Ki?""Seingatku dia tidak pernah menjadi pria yang kuat. Sejak beberapa hari silam pemuda ini selalu disiksa oleh murid yang la
Jemblung meninggalkan Jagat dalam keadaan terdiam. Pemuda itu masih tidak percaya dengan keadaannya yang masih bisa selamat terjatuh dari jurang setinggi itu. Kembali dalam ingatannya sebuah kujang bermata sembilan mengelilingi tubuhnya yang sempat terbujur kaku. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Pria Muda?" Terdengar suara pria tua yang khas. "Siapa kamu, menilik suara yang kudengar rasanya aku pernah tahu pemilik ini?""Kita pernah bertemu di alam mimpi. Apakah semudah itu kamu lupa?"Jagat mencari sosok yang sedang berbicara, tetapi tidak terlihat bayangan sedikit pun. Helaan napas kasar dia keluarkan dan sungguh sesak di dada. Jagat masih duduk di tepian balai tempat dia biasa merebahkan diri. Tatapannya masih menyapu sekelilingnya untuk mencari pemilik suara tersebut. "Sampai akhir jaman kau tidak akan bisa temukan wujudku." Jagat terdiam, ingatannya mulai berputar mencari secercah peristiwa yang mungkin ada di memorynya. Iya, ingatannya berputar menampilkan sebuah aktifitas p
Jagat seketika melihat pada pusat tubuhnya dan kedua bola matanya membola dengan mulut terbuka. Dia tidak menyangka jika sinar itu bisa keluar dan dilihatnya lagi setelah beberapa hari tidak muncul. "Aku sendiri juga tidak tahu, Ki. Hanya saja saat aku terjatuh ke kedalaman jurang kemarin keadaanku segera pulih meskipun ada kujang bermata sembilan memasuki aku.""Apa yang kamu katakan, Jagat, kujang bermata sembilan? Kau tidak bohong, 'Kan?" Jagat menggeleng lemah, selama ini dia selalu berkata jujur. Jadi jika ada yang meragukan kejujurannya hatinya bagai dicubit kecil, perihnya tidak terkira. "Bukan maksud paman tidak percaya dengan apa yang kamu ungkap. Hanya saja, kujang itu sudah hilang dari kancah dunia persilatan. Bahkan benyak sekali pendekar pilih tanding berlomba untuk dapatkan kujang itu."Jagat meraup wajahnya kasar, dia terlihat begitu ragu dan tidak mengerti dengan maksud kalimat dari Ki Jemblung. Sementara sinar yang berada di pusat tubuhnya perlahan mulai pudar. Se
Jagat masih melangkah mengikuti suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Jantungnya pun ikut berdebar saat suara itu mulai terdengar dekat. Gegas langkahnya dipercepat untuk sampai, saat jarak sudah dekat pandangan menyebar. "Itu ...!""Jagat, akhirnya!""Apa yang terjadi denganmu, Savitri?""Semalaman aku terjebak di sini, aku juga tidak tahu sejak kapan jebakan ini ada," dengus Savitri. Jagat terdiam, tangannya dengan terampil mengurai tali yang melilit pada pergelangan kakinya. Jebakan itu masih untung tidak mengangkatnya ke atas hanya tergolek di tanah. "Sudah selesai. Bagaimana, apakah kamu bisa berjalan?"Savitri mencoba menggerakkan tungkainya perlahan, diputarnya pergelangan kaki lalu dinaik turunkan sesaat. Setelah merasa sedikit lebih baik, perempuan itu mencoba berdiri. Namun, belum sempat tubuhnya berdiri sempurna tiba-tiba otot sendi pada lutut terasa nyeri. "Aough!" Pekik Savitri saat dia terjatuh lagi. "Boleh ke depannya aku bantu?"Tanpa bersuara Savitri lang
Beberapa murid segera menyeret tubuh Jagat dan dilempar begitu saja di hadapan Abimana dan Jantaka. Jagat tersungkur. Namun, bibirnya mengulas senyum sinis membuat Abimana makin naik darah. "Terlentangkan tubuhnya dan ikat kedua kaki juga tangannya!" Suara Abimana memecah kericuhan para murid. Kurubumi melempar tali dadung pada beberapa murid seangkatannya. Bersama mereka, Kurubumi mulai mengikat sesuai arahan dari Jantaka. "Apa yang kalian inginkan atas tubuh lemah ini?" tanya Jagat dengan suara rendah. Abimana berjalan mendekat dan jongkok tepat di depan perut Jagat. Ujung jari tulunjuk mengarah pada pusat tubuh Jagat dan mulai menekan perlahan. Sinar putih kebiruan tidak mau padam justru makin bersinar menyilaukan mata. Abimana memicingkan kedua mata tetapi jari jemarinya masih bergerak di sekitar pusat tubuh Jagat. Bibirnya bergerak ringan seperti membaca mantra. Tiba-tiba, hawa hangat menyebar ke seluruh tubuh Jagat terutama pada bagian perutnya. "Apa yang kamu lakukan pada
Ketika pukulan dan kujang bertemu saat itu juga terdengar suara letusan yang begitu memekakkan telinga. Tubuh Abimana terlempar hingga beberapa depa ke belakang, sedangkan tubuh Jagat hanya tergolek lemas mundur satu depa. Semua terpana melihat keadaan Jagat yang hanya duduk diam sambil menatap satu per satu murid padepokan. Hanya mata yang bergerak, bibir masih tetap bungkam. Dari jauh terlihat sang begawan berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Jagat. "Apa yang terjadi, bukankah tadi aku suruh kau untuk lenjutkan pekerjaanmu. Mengapa justru di sini membuat ulah hingga terjadi luka dalam pada pangeran?" Begawan Sanggabumi berkata dengan nada dingin. "Awal mula bukan ulahku, Begawan. Mereka yang lebih dulu," jawab Jagat dengan sikap sopan. "Dia mencuri kujang mata sembilan, Bopo!" tuduh Jantaka. Begawan menoleh menatap pada putranya dari istri kedua, ada sorot tanya pada sinar kedua mata cokelat pekat. Hal ini membuat Jantaka menghela napas panjang terlebih dahulu baru men
Jagat yang sudah mendapatkan tempat nyaman bagi gerombolan ular pun segera kembali menuju jalan pulang. Pemuda itu ingat akan tugas dari Ki Jemblung yang inginkan kualinya berbentuk seperti semula. Maka, dengan alasan itu dia gegas pulang. Sepanjang perjalanan pulang, terdengar suara yang memekakkan telinga. Desingnya sangat dikenal. "Sudahlah jangan ganggu aku!" Pinta Jagat dengan nada rendah dan menekan. "Cepat cari pria itu, dia bernama Ki Banasraga. Hanya dia yang mampu membuatmu menjadi pendekar pilih tanding." Suara yang sangat dihafal oleh Jagat kembali terdengar. Pemuda itu terus berjalan tanpa memedulikan suara tersebut. Dia sama sekali tidak berminat mengikuti arahan dari pemilik suara. "Jika kamu memang ada, tunjukkan wujudmu!" Pinta Jagat. "Bukankah wujudku sudah ada dalam tubuhmu, Pangeran?""Pangeran, siapa itu yang kau sebut?""Tantu saja kamu, Pangeran."Seketika Jagat menghentikan langkahnya kala suara itu kembali menyebutnya dengan Pangeran. Ingatannya kembali p