Beranda / Pendekar / Jagat Kelana / 3. Ada Apa Dengan Tubuhku

Share

3. Ada Apa Dengan Tubuhku

Seorang gadis berteriak sambil berlari menuju ke perundungan Jagat. Dia tidak memedulikan keadaannya yang masih basah kuyup dan berbelit kain jarit basah. Tubuh rampingnya bahkan terlihat jelas setiap lekuknya.

Jagat seketika melempar kain sarungnya yang selalu dililitkan di pinggang pada sang gadis. Savitri menangkap dan membungkus tubuhnya, "Apa yang kalian lakukan pada Jagat? Bukankah sudah sering guru katakan bahwa kita tidak boleh melakukan perundungan!"

Abimana menatap tajam pada gadis itu, "Kau hanya perempuan, Savitri. Tidak usah ikut campur!"

"Cuih! Selalu saja seorang Abimana yang sok berkuasa."

Kesempatan ini digunakan Jagat untuk berusaha duduk dan mengatur napasnya yang terasa sesak. Ada keanehan yang dia rasakan, bukankah awalnya dia berada di goa dengan luka dalam. Tapi kini ....

Sementara Abimana berjalan mengikis jaraknya dengan Savitri, lengannya yang kekar dan panjang meraih rahang gadis itu. "Bukankah sering pula aku berkata padamu, Savitri! Jauhi pemuda hina ini, kelak kau akan jadi ratuku."

"Lepaskan Abimana, sakit!" rintih Savitri dengan sorot mata penuh kebencian.

"Segera lepas gadis itu, Abimana, lihatlah paman koki sedang berjalan kemari!" kata Kurubumi dengan nada rendah.

Mendengar kabar itu, Abimana langsung menyentak wajah Savitri dan mengalihkan pandangannya ke arah kanan dimana terlihat seorang pria paruh baya yang masih kekar dan kuat. "Apa yang kalian lakukan di sini? Abimana, bukankah hari ini jadwalmu masuk ruang latihan? Mengapa masih berdiam di sini?" cerca Paman Koki.

Tatapan Paman Koki yang sering dipanggil Jemblung itu menatap satu per satu para murid padepokan. Saat tatapannya tertuju pada Savitri, dahinya berkerut ketat, "Kau perempuan, Savitri. Tidak baik berada di antara pria dalam keadaan seperti itu."

"Maaf, Paman. Aku hanya tidak senang melihat perundungan di depan mata," kilah Savitri.

"Segera kembali dan bersihkan tubuhmu!"

Savitri bergerak menjauh tanpa mengeluarkan suara memberontak sedikitpun, dia tahu apa yang dilakukan oleh Jemblung untuk melindungi marwahnya.

Sementara tatapan Jemblung beralih pada Jagat. "Sejak tadi malam kau menghilang hingga semua pekerjaanku berantakan. Mana hasil airmu, Jagat?"

"Maaf, Paman. Kuali saya bocor akibat lemparan kerikil oleh Abimana dan kawannya. Aku terbuang ke dasar jurang hingga berakhir seperti ini. Hai,tunggu bagaimana saat ini aku ada di sini?" jawab Jagat dengan mimik bingung.

"Bohong, mana buktinya?" Hentak Abimana tidak terima, "Justru dia lah yang berniat hendak mencabuli Nona Savitri!"

Jagat membeliakkan kedua bola matanya tidak percaya dengan apa yang dituduhkan Abimana. Pemuda itu berdecap, menghela napas panjang.

"Beri hukuman pada pria hina dan tidak tahu balas budi ini, Jemblung!" tukas Abimana.

Jemblung semakin menajam pada Jagat, dia menahan emosi agar otaknya bisa bekerja dengan baik. "Sebaiknya Pangeran dan yang lainnya kembali pada kewajiban masing-masing, biar pria tua ini yang urus masalah di sini!"

Abimana menatap Jagat tajam sambil menunjuk geram. Setelah puas, dia segera berbalik badan dan melangkah meninggalkan tempat itu bersama dengan dua sahabatnya.

Sementara di tempat itu, Jemblung berjalan mendekat pada Jagat. Dilihatnya pemuda itu dari jarak dua meter mulai ujung kepala hingga kaki. Terlihat lengkungan ke bawah di bibir pria tua, dia seakan merendahkan kondisi Jagat.

"Aku tidak bersalah, Paman. Sungguh, semua ini hasil perbuatan Abimana dan yang lainnya," kilah Jagat yang masih kekeh pada pendiriannya.

Apa yang diucapkan Jagat sesuai dengan keadaan yang ada dan tanpa dia berniat menambahi ataupun berkurang. Nada yang terucap pun terdengar tenang dan tegas. Hal ini membuat Jemblung sadar ada sesuatu yang tersembunyi di tubuh pekerjanya itu.

Jemblung memandang sekitar, pecahan kuali masih berserakan bahkan sudah berganti bentuk. Akhirnya Jemblung berkata, "Sudah, bantu aku di dapur. Masalah air, nanti menjelang malam kau isi tandon menggunakan bumbung bambu yang ada di sudut itu!"

"Baik, Paman. Lalu kuali ini?"

Jemblung memerhatikan tumpukan kuali yang ada di bawah kaki Jagat. "Kumpulkan dan buat lagi dari bahan itu. Aku tidak peduli bagaimana caramu agar jadi seperti sedia kala. Paham!"

Setelah berkata dan memberi perintah apa yang harus dikerjakan oleh Jagat, pria tua berjalan meninggalkan Jagat yang masih berdiri menatap puing-puing kuali.

Napasnya naik turun tidak beraturan, kedua tangannya mengepal kuat. Dia tidak mampu berkuasa atas dirinya sendiri. Perlahan rasa bersalah menyelinap di relung kalbu, Jagat hanya mampu mengumpat dalam hati.

Dia tahu sedang berhadapan dengan siapa, dari sekian murid hanya Savitri yang mau mendekat padanya meski murid perempuan lainnya selalu histeris saat dia berjalan di hadapan mereka. "Rasanya aku harus bersabar lagi. Hai Tulang, ayo bantu aku melanjutkan hukuman ini. Aneh, beberapa saat lalu tubuhku masih terasa sakit dan sesak. Kini?"

Setelah puas bicara pada diri sendiri, Jagat mulai memungut setiap pecahan kuali yang berserakan. Dikumpulkan semua menjadi satu di dasar kuali. Setelah merasa sudah selesai, maka dibawa puing kuali dan diletakkan di bawah tandon.

Pandangannya melihat pada sudut yang tadi ditunjuk oleh paman koki, bibirnya tersenyum tipis kala dilihatnya dua bumbung tinggi yang bersandar di dinding dapur. "Aku harus segera masuk ke dapur sebelum suara koki tua itu menggelegar lagi!" ucap Jagat bermonolog.

Pemuda itu melangkah panjang tertatih menyeret kakinya yang penuh memar dan luka. Darah tampak mengering pada tungkai bawahnya. Bau anyir darah menguar begitu saja.

"Bau apa ini?" Suara seorang pekerja memecah keheningan.

"Hai Jagat, lihat tungkaimu mengeluarkan darah!" kata yang lainnya.

Jagat berhenti sebentar lalu melihat tungkainya, segera dia menyobek kain pada pakaian dalamnya dan mulai mengikat luka itu. Kemudian dia menuju ke meja bahan baku. Pandangannya menyapu keseluruhan barang yang ada di atas meja, otaknya berpikir apa yang akan dia kerjakan lebih dulu

Namun, belum sampai tangannya terulur untuk meraih sayur hijau sebuah suara terdengar lantang agar dia lebih mendahulukan daging untuk dicincang. Tanpa bersuara, Jagat segera beralih pada meja daging.

Matanya mengerjab melihat limpahan daging merah tersedia di atas meja. Ada mual yang menyentak perutnya, bau anyir darah segar yang sedikit berbeda dari biasanya tercium di indranya. Lamat terdengar suara orang berbisik, "Kali ini keberuntungan berpihak pada padepokan kita, karena adanya kiriman daging babi hutan yang berlimpah dari para pemburu."

"Tetapi sama saja mereka minta jamuan diujung kalimat," celetuk yang lain.

Sedangkan Jagat masih berdiri termangu menatap tumpukan daging babi hutan itu hingga tepukan keras dirasakan pada pundaknya.

"Jangan melamun, ayo segera bantu saya potong ini daging agar cepat dimasak paman koki!" ucap pria botak.

"Baik, Paman. Ini dipotong kecil dadu atau melebar tipis?" tanya Jagat.

"Dadu saja, lebih efisien dan cepat."

Jagat sudah tidak bertanya lagi, dia fokus pada tumpukan daging di depannya. Belum juga mulai sebuah tangan terulur di depannya sambil menyodorkan selembar kain hitam. "Pakai ini, bau anyir menusuk hidung!"

"Terima kasih, Paman."

Kain itu Jagat gunakan untuk menutupi hidungnya sebagai masker. Pada masa itu belum ada kata masker ya, hanya kain tipis digunakan untuk penutup wajah.

Setelah merasa nyaman, Jagat mulai menggerakkan kedua tangannya memotong tumpukan daging. Pekerjaannya memotong daging sudah hampir selesai, terdengar suara Paman Jemblung memanggil namanya. Gegas pemuda itu berjalan cepat menuju tungku panas. "Iya, Paman!"

"Pergi ke sungai sekarang! Air dalam tandon sudah sulit turun, mungkin sudah di garis batas akhir," ujar Jemblung.

"Baik, Paman. Lalu bagaimana nasib daging di sana?"

"Biarkan saja, masih ada yang lain."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status